Pengurusan Hutan di Indonesia adalah keseluruhan tindakan manajemen terhadap sumber daya hutan yang ada di Indonesia yang dilakukan dalam rangka mendapatkan totalitas barang-barang, manfaat-manfaat, dan nilai-nilai yang dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan kelestariannya untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Ruang Lingkup Pengurusan Hutan

 
Hutan di Indonesia

Jadi dilihat dari komponen-komponen kegiatannya, maka kegiatan pengurusan hutan merupakan tindakan manajemen yang di dalamnya terdapat komponen-komponen kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan kegiatan, dan pengawasan. Sasarannya adalah keseluruhan hutan sebagai suatu ekosistem berikut keseluruhan hasil, manfaat dan nilai yang dapat diperoleh secara berkelanjutan untuk generasi sekarang dan yang akan datang. Dalam praktik pengurusan hutan di Indonesia, istilah pengurusan hutan digunakan untuk menyatakan keseluruhan kegiatan yang terdiri atas perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, serta Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan kehutanan, dan pengawasan. Keseluruhan kegiatan ini dilakukan dalamrangka mendapatkan totalitas manfaat hutan secara lestari untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat Indonesia serta dapat mendukung system kehidupan di muka bumi, pada saat ini dan generasi yang akan datang, dari seluruh hutan yang ada di Indonesia.

Periodisasi Masa Pengurusan Hutan di Indonesia

Zaman Perang Kemerdekaan Tahun 1945-1949

Pengurusan hutan dilaksanakan oleh jawatan Kehutanan Republik Indonesia, Oengurusan hutan yang dilaksanakan dalam periode ini terdiri dari :

Zaman Demokrasi Liberal (1950-1959)

Pengurusan hutan dilaksanakan oleh jawatan kehutanan Republik Indonesia di bawah Lementerian Pertanian, berpusat di Jakarta dengan tugas menguasai, mengatur, serta mempergunakan hutan untuk kepentingan masyarakat dan negara.

  • Perencanaan hutan dilaksanakan oleh Bagian Planologi Kehutanan di bawah Jawatan Kehutanan, meliputu kegiatan-kegiatan untuk menetapkan dan mengatur wilayah hutan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.[2]
  • Pembinaan hutan meliputi kegiatan-kegiatan seperti reboisasi, perlindungan hutan dan rehabilitasi lahan.[1]

Zaman Demokrasi Terpimpin (1960-1965)

Dalam periode ini berhasil disusun Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap Pertama (1961-1969) oleh dewan perancang nasional (DPERNAS), dan mulai dilaksanakan desentralisasi urusan kehutanan dan perusahaan-perusahaan kehutanan negara.

  • Pengurusan hutan dilaksanakan oleh departemen kehutanan yang untuk pertama kalinya berdiri (1964) setelah Indonesia merdeka dan merupakan bagian dari kabinet Dwikora atau Kabinet 100 Menteri.
  • Perencanaan dalam periode ini mulai dilakukan perencanaan yang bersifat sistematis, mencakup rencana perusahaan (PERHUTANI) dan rencana Departemen Kehutanan, Rencana ini mencakup kegiatan-kegiatan inventarisasi hutan, pengukuhan hutan dan perencanaan hutan, reboisasi dan penghijauan, kegiatan kehutanan dalam produksi bahan makanan, industry kehutanan, proyek kehutanan sehubungan dengan jalan lintas Sumatera, pelestarian dan pengawetan alam serta penelitian, Pendidikan dan pelatihan kehutanan.[2]
  • Pemanfaatan dalam periode ini kayu telah dimasukkan dalam barang ekspor untuk menghasilkan devisa negara dengan target US $52,5 Juta serta meningkatkan kinerja untuk melindungi bumi.
  • Pembinaan Hutan kegiatan ini dilakukan untuk menanggulangi banjir yang saat ini sudah mulai terasa terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS): Citarum, Cimanuk, Cipunagara. Serta menyediakan habitat Flora dan Fauna yang hampir punah ataupun yang belum punah.[1]

Zaman Era Orde Baru (1965-1998)

Pengurusan hutan dilaksanakan oleh Direktoral Jenderal Kehutanan di bawah Departemen Pertanian. Namun kemudian diubah kembali menjadi Departemen Kehutanan pada Kabinet Pembangunan IV melalui KEPPRES RI No. 4/M/Tahun 1983 tentang kabinet pembangunan IV.

  • Perencanaan hutan selama periode ini keguatan perencanaan hutan difokuskan pada kegiatan pengukuhan dan penataan hutan, dilaksanakan untuk menunjang kegiatan tata ruang nasional. Perubahan tata guna hutan pertama yang dilakukan periode ini adalah tata guna hutan kesepakatan (TGHK), dilakukan setiap provinsi. Melalui TGHK, fungsi penggunaan hutan ditetapkan menjadi hutan suaka alam dan hutan wisata, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, dan hutan produksi yang dapat dikonversi.
  • Pemanfaatan hutan dalam periode ini ditekankan pada pemanfaatan hutan produksi untuk tujuan menghasilkan kayu dengan cara pemberian konsesi hutan kepada swasta dalam bentuk hak pengusahaan hutan (HPH).
  • Pembinaan Hutan dilaksanakan dengan kegiatan reboisasi yang dilakukan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Kritis dan pelestarian alam dilakukan dengan menetapkan 16 taman nasional agar menjaga siklus alam di Indonesia serta menjaga habitat flora dan fauna di Indonesia.[1]

Zaman Era Reformasi (1998-Sekarang)

Pengurusan hutan diindonesia mulai lebih serius ketika Zaman Era Reformasi Lahir dengan Prof. BJ. Habibie yang menjadi presiden Indonesia pada saat mulainya reformasi setelah Presiden soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Presiden BJ. Habibie pun saat dilantik sebagai presiden membentuk sebuah kabinet reformasi. Dalam Kabinet ini pengurusan hutan dilakukan oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Dan ada dua buah undang-undang yang berhubungan langsung dengan pengurusan hutan diindonesia.

1.     Undang-undang- Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah, disahkan pada 7 Mei 1999

2.     Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, disahkan pada 30 September 1999. Sebagai mengganti Undang-undang No. 5 Tahun 1967 Tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.

Pengurusan hutan selama periode ini tidak lepas dari upaya pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang telah terpuruk sejak penghujung era Orde Baru. Dalam upaya pemulihan ekonomi ini pemerintah Indonesia meminta bantuan IMF (international Moneter Fund) dan Bersama-sama membuat kesepakatan tentang langkah-langkah pemulihan ekonomi yang akan diambil dan kesepakatan ini dituangkan dalam bentuk Letter of Intent (LOI).

Beberapa komitmen Pemerintah Indonesia yang terkait dengan kehutanan dan perkebunan adalah sebagai berikut.

  1. Menggalan kerja sama dankoordinasi dengan Departemen/Instansi terkait menentukan prosedur/cara memerangi penebangan liar, terutama penebangan liar dalam taman nasional, serta menutup industri-industri yang tidak legal.
  2. Mempercepat penilaian kembali sumber daya hutan sebagai dasar untuk mutasi Program Kehutanan Nasional (PKN).
  3. Mengevaluasi kebijakan konversi hutan dan menghentikan sementara konversi hutan alam sampai PKN disetujui.
  4. Mengurangi kapasitas dan reksturisasi industri perkayuan dalam rangka menyeimbangkan antara persediaan dan permintaan bahan baku, dalam rangka meningkatkan daya saing industri perkayuan di Indonesia.
  5. Menutup industri perkayuan yang mempunyai hutang besar dan di bawah BPPN serta mengaitkan penghapusan utang dengan pengurangan kapasitas.
  6. Mengaitkan program penghutanan kembali dengan industri perkayuan yang ada dan yang dalam proses pengembangan.
  7. Menghitung kembali nilai nyata kayu.
  8. Memanfaatkan proses desentralisasi sebagai alat untuk mengembangkan pengelolaan hutan berkelanjutan (SFM).[3]

Kemudian dikembangkan dengan menambahkan empat isu tambahan yang juga dianggap penting dalam bidang kehutanan.

  1. Penanggulangan dan pencegahan kebekaran hutan.
  2. Penyelesaian Program Kehutanan Nasional (PKN).
  3. Penyelesaian masalah yang terkait dengan sistem tenurial lahan hutan.
  4. Perumusan sistem pengelolaan hutan yang memungkinkan terselenggaranya PHL atau SFM.

Dari 12 isu penting tersebut lahir karena untuk menjaga lingkungan alam di Indonesia agar tetap lestari dan pemanfaatannya dipakai sebaik-baiknya tanpa ada kata mengekspolitasi secara masif tetapi tetap memakai asas pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.[1]

Hubungan Pengurusan Kehutanan di Indonesia dengan Uni Eropa

Hubungan Indonesia dengan Uni eropa dengan persoalan kehutanan yaitu dituangkan dalam Peraturan Kayu Uni Eropa yang dimana lebih menitik beratkan produk hutan berlaku untuk semua kayu dan produk kayu dan kerja sama menjaga kelestarian hutan di Indonesia.

Peraturan Kayu Uni Eropa atau EU Timber Regulation (EUTR):

Sejak Maret 2013, semua kayu yang diimpor ke Uni Eropa harus berasal dari sumber resmi yang dapat diverifikasi. Pembeli Uni Eropa yang menempatkan kayu atau produk kayu di pasar untuk pertama kalinya harus menunjukkan uji tuntas (due diligence). Selain itu, EUTR mengharuskan pelaku usaha untuk menelusuri produk mereka pada sumber awal. Artinya bahwa apabila pemasok memasok kayu yang sah tapi tidak dapat menyediakan jaminan keabsahan yang didokumentasikan dengan baik mereka tidak akan mampu memasok ke pasar Uni Eropa.[4]

EUTR adalah bagian dari Rencana Aksi dari Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT). Selain EUTR, rencana aksi lainnya dari FLEGT adalah Voluntary Partnership Agreements (VPAs) yaitu kesepakatan perdagangan sukarela antara Uni Eropa dengan negara pengekspor kayu. Dalam hal negara menerapkan skema perizinan nasional yang mengakomodasi skema perizinan (licensing) ekspor kayu nasional, semua kayu yang diekspor dari negara tersebut dipertimbangkan sah/legal. Cara lain untuk membuktikan kepatuhan dengan melalui voluntary legality verification systems dan sertifikasi pengelolaan hutan lestari. Untuk spesies kayu langka Anda akan memerlukan izin dari CITES. Izin CITES akan juga membuktikan kepatuhan pada FLEGT. Bagi Anda memungkinkan untuk menyediakan dokumen keabsahan asal kayu untuk setiap pengiriman kayu atau produk kayu.[5]

Penerapan hutan lestari Uni Eropa di Indonesia

Di Indonesia adopsi pengelolaan hutan lestari merupakan kewajiban bagi pelaku usaha sektor kehutanan yang diatur pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. The Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) atau Kerjasama Sertifikasi Kehutanan Indonesia telah disetujui menjadi anggota Badan Pemerintah Nasional untuk menyediakan jasa sertifikasi. Implementasi efektif dari SFM akan menjamin bahwa sumber daya hutan Indonesia akan terus menyediakan pelayanan ekologis, ekonomi, sosial dan kebudayaan dengan cara yang terbaik, berimbang dan berkelanjutan. Di Indonesia, semua kayu dari hutan milik negara atau hutan milik swasta wajib untuk mengadopsi verifikasi legalitas. Prosedur ini adalah untuk menjamin kayu tersebut berasal dari sumber yang sah. Dalam industri primer dan sekunder, kayu untuk bahan baku dan produk akhirnya juga harus menjalani verifikasi seperti ini. Produk kayu untuk ekspor membutuhkan V-Legal Document.Informasi lebih lanjut dari dilihat di Timber Legality Assurance System (SVLK).[5]

Dengan penerapan EUTR, Uni Eropa tidak lagi menjadi pasar untuk penjualan kayu sesaat. Apabila Anda memutuskan untuk mempertahankan pangsa pasar Uni Eropa, harap diingat bahwa jaminan keabsahan kayu adalah aspek penting dalam perdagangan selain harga dan kualitas. Informasi tentang EUTR dapat dilihat pada Guidance Document for the EUTR (Dokumen Panduan untuk EUTR), Sejak diperkenalkannya EUTR, masih banyak hal-hal yang belum jelas mengenai dampak dan konsekuensinya. Untuk melihat berbagai skenario dari penerapan EUTR dapat merujuk pada dokumen Impact of the EUTR for SME exporters from developing countries (Dampak dari EUTR untuk Eksportir Kayu SME dari Negara Berkembang). [5]

Informasi tentang VPA dan informasi perkembangan negara Anda pada proses VPA atau FLEGT dapat dilihat pada portal FLEGT tentang Voluntary Partnership Agreements. EUTR hanya menangani permasalahan penjualan kayu ilegal tetapi tidak menyelesaikan secara langsung permasalahan deforestasi. Rujuk Pesyaratan Umum untuk informasi pengelolaan hutan lestari.[6]

produk kayu untuk bahan konstruksi di Negara Uni Eropa

Kayu atau produk kayu yang termasuk pada pekerjaan konstruksi harus ditandai dengan CE (CE Marking). Hal ini untuk menunjukkan bahwa produk tersebut sesuai dengan persyaratan ketahanan, stabilitas, keselamatan (dalam kebakaran), kesehatan dan lingkungan. Sejak bulan Juli 2013, produsen produk akhir kayu bahan konstruksi harus menyediakan deklarasi kinerja - Declaration of Performance (DoP). Karena tidak biasa bagi eksportir dari Indonesia untuk memasok produk akhir kayu bahan konstruksi ke Uni Eropa, persyaratan tanda CE tidak perlu diterapkan bagi Anda sebagai pemasok komponen kayu. Sebagai pemasok komponen kayu Anda harus menyediakan informasi tentang karakteristik penting produk Anda kepada pembeli.

  • Keterangan tentang karakteristik produk yang penting dapat dilihat pada Panduan tentang Peraturan Produk Konstruksi dan Implementasinya untuk perusahaan manufaktur.
  • Informasi lebih lanjut tentang Tanda CE pada produk konstruksi
  • Apabila ada pihak yang ingin memasok jenis kayu yang hampir punah atau spesies langka maka hanya akan mampu menebang dan ekspor kayu apabila kayu tersebut ada pada daftar CITES (international convention on trade in endangered species). Dalam hal ini pihak terkait harus mendapatkan izin (permit) dari CITES. Dengan izin CITES Anda secara otomatis mematuhi persyaratan Regulasi Kayu Uni Eropa dan kayu Anda dipertimbangkan diperoleh secara legal.[4]

Referensi

  1. ^ a b c d e Suhendang, Endang, VerfasserIn. Pengantar ilmu kehutanan Kehutanan sebagai Ilmu pengetahuan, kegiatan, dan bidang pekerjaan. ISBN 9789794935118. OCLC 1017986584. 
  2. ^ a b Susanty, Farida Herry; Suhendang, Endang; Jaya, I Nengah Surati; Kusmana, Cecep (2013-12). "KERAGAAN HUTAN DIPTEROCARPACEAE DENGAN PENDEKATAN MODEL STRUKTUR TEGAKAN". Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 10 (4): 185–199. doi:10.20886/jpht.2013.10.4.185-199. ISSN 1829-6327. 
  3. ^ Perdana dan, Aulia; Roshetko, James M (2013). "Seri Agroforestri dan Kehutanan di Sulawesi: Laporan hasil penilaian cepat untuk komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan di Sulawesi Selatan dan Tenggara" (PDF). 
  4. ^ a b Senjani, Yayu Putri (2015-09-01). "MANAJEMEN LABA AKRUAL DAN RIIL SEBELUM DAN SETELAH ADOPSI WAJIB IFRS DI UNI EROPA". ETIKONOMI. 12 (1). doi:10.15408/etk.v12i1.1905. ISSN 2461-0771. 
  5. ^ a b c Dwiprabowo, Hariyatno; Suwarno, Eno (2013-08-01). "KOMPONEN DAN BOBOT DARI KRITERIA DAN INDIKATOR TATA KELOLA PERUSAHAAN KEHUTANAN". Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 10 (2): 118–133. doi:10.20886/jakk.2013.10.2.118-133. ISSN 0216-0897. 
  6. ^ "Endangered Species Threatened Convention". 2000-01-01. doi:10.4324/9781315071503.