Begawi
Begawi atau yang kerap disebut dengan istilah lengkap Begawi Cakak Pepadun merupakan upacara adat masyarakat Lampung untuk memberikan gelar adat kepada seseorang. Adapun masyarakat etnis atau suku bangsa Lampung yang melaksanakan begawi adalah yang berasal dari kelompok adat Lampung Pepadun. Istilah Pepadun sendiri berasal dari nama salah satu perangkat yang digunakan dalam begawi, yaitu singgasana dari kayu yang menyimbolkan suatu status sosial dalam keluarga. Di singgasana inilah gelar adat diberikan setelah orang yang ingin mendapat kenaikan status dari gelar tersebut diharuskan memberikan uang dan menyembelih kerbau dengan jumlah tertentu.[1] Sementara itu, begawi dapat diartikan sebagai "suatu pekerjaan" atau "membuat gawi".[2] Bagi masyarakat Lampung Pepadun, begawi cakak pepadun sifatnya wajib dilakukan oleh seseorang sebelum menyandang hak untuk menduduki posisi penyimbang yang dilakukan oleh lembaga perwatin adat.[3]
Upacara begawi cakak pepadun sekaligus menjadi penanda perbedaan kebudayaan antara masyarakat Lampung Pepadun yang mendiami wilayah tengah dan Lampung Saibatin yang mendiami daerah pesisir Lampung. Upacara adat besar yang disertai pemberian gelar atau juluk adok memang menjadi ciri khas dari adat Lampung Pepadun. Setiap orang memiliki kesempatan untuk melakukan peningkatan status adatnya dengan melakukan upacara ini yang mengharuskannya membayar sejumlah uang (dau) dan hewan ternak kerbau. Jumlah uang dan kerbau yang harus dibayarkan tergantung dari seberapa tinggi peningkatan status adat yang diinginkan, jika status adat yang diinginkan semakin tinggi, maka uang dan kerbau yang harus diserahkan jumlahnya juga semakin banyak.[3]
Dalam begawi, terkandung nilai-nilai egaliter dan keterbukaan karena setiap orang yang menyelenggarakannya bisa mendapatkan gelar adat sementara masyarakat Lampung Saibatin hanya mengenal pemberian gelar adat berdasarkan garis keturunan.[1] Selain itu, dalam masyarakat Lampung Saibatin orang yang berhak menerima gelar adat hanya laki-laki yang sudah menikah. Ini tentu berkebalikan dengan apa yang ada dalam begawi yang dilakukan masyarakat Lampung Pepadun di mana perempuan dan orang yang belum menikah juga bisa mendapatkan gelar.[4] Adat Lampung mengenal sifat keterbukaan ini dengan prinsip nengah nyappur, yaitu membuka diri kepada masyarakat agar memiliki pengetahuan luas, lalu neumi nyimah yang artinya bersikap murah hati dan ramah kepada setiap orang.[5]
Tujuan
Seperti telah diketahui sebelumnya, begawi bertujuan untuk memberikan gelar adat kepada seseorang. Melalui begawi, orang akan mendapatkan kenaikan status dalam adat melalui gelar suttan yang menandakan status paling tinggi.[2] Suttan sendiri bukan satu-satunya gelar yang bisa didapatkan melalui begawi karena ada pula gelar lain seperti Raja, Pangeran, dan Dalom. Pada intinya, begawi merupakan acara penetapan seseorang menjadi penyimbang. Dalam adat Lampung Pepadun, penyimbang merupakan kedudukan adat paling tinggi yang dipegang oleh anak laki-laki tertua dari keturunan tertua. Orang yang memegang gelar penyimbang memiliki wewenang untuk menjadi penentu dalam pengambilan keputusan.[1] Pembagian kewenangan ini adalah cerminan dari sistem kekerabatan masyarakat Lampung Pepadun yang bersifat patrilineal, yaitu mengikuti garis keturunan dari bapak. Karena itulah yang menjadi penyimbang adalah anak laki-laki tertua yang mewarisi kepemimpinan dari bapak dalam keluarga.[2]
Begawi juga berkaitan dengan ritus daur hidup di mana upacara ini juga menjadi bagian dari acara pernikahan. Dalam hal ini, Begawi bertujuan untuk memberikan gelar kepada pasangan pengantin yang melangsungkan pernikahannya. Dalam pelaksanaannya, Begawi diwarnai dengan berbagai prosesi mulai dari peragaan pencak silat, penyembelihan hewan, hingga acara musik dan tari-tarian yang bisa berlangsung hingga berhari-hari.[6] Jika begawi diadakan saat seseorang menikah, maka gelar adat akan diberikan kepada mempelai pria dan wanita. Selain itu, gelar juga bisa diberikan saat penerimanya masih berusia belia dan belum akan menikah.[4]
Bagaimana pentingnya gelar adat bagi masyarakat Lampung bisa dilihat dari pra-penyelenggaraan begawi. Untuk menyelenggarakan Begawi. tidak bisa sembarangan karena diperlukan keputusan dari majelis penyimbang untuk mengatur perihal pemberian gelar. Penyimbang sendiri adalah orang yang memiliki gelar suttan selaku gelar tertinggi. Dalam budaya Lampung sendiri memang dikenal sistem kasta meski saat ini sudah mulai ditinggalkan. Di bawah penyimbang, secara berurutan dikenal beduo, gundik, tuban, dan benughas.[5]
Meski terbilang ketat dalam persyaratan penyelenggaraan, nyatanya pemberian gelar adat dalam begawi justru terbilang memiliki aturan longgar karena gelar yang ada tidak hanya terbatas bagi orang dari etnis atau Suku Bangsa Lampung melainkan juga terbuka bagi etnis lain. Salah satu orang etnis non-Lampung yang mendapat gelar melalui begawi adalah mantan Bupati Lampung Tengah, Meski Mudiyanto berasal dari Jawa, ia menyandang gelar suttan sekaligus dinobatkan sebagai penyimbang adat dalam suku Subing dalam begawi adat mewaghi (mengangkat saudara) yang digelar pada tahun 2010. Dalam begawi itu, Mudiyanto mendapat gelar adat bersama dengan mantan Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Sapta Nirwandar. Lain dengan Mudiyanto, Sapta adalah orang Lampung yang lahir di kota Bandar Lampung.[5]
Prosesi
Dalam penyelenggaraan begawi cakak pepadun terdapat sejumlah prosesi yang harus dijalani sebelum ke acara inti. Seperti pernikahan pada umumnya, awalnya dilakukan acara lamaran yang dalam hal ini disebut dengan ngakuk muli. Setelahnya, sidang marga atau pepung marga akan d igelar untuk mendiskusikan pelaksanaan begawi agar berjalan dengan baik pada hari yang ditentukan. Selanjutnya, pihak perempuan dijemput di rumah adat menuju rumah laki-laki dengan menggunakan kereta kencana (khatow) Sementara mempelai perempuan duduk di kereta kencana, mempelai laki-laki berjalan di depannya dengan diiringi lantunan dzikir dari kitab barzanji. Ada pula acara lain seperti acara tari-tarian (cangget), juga ritual mencuci kaki yang disebut turun diway.[7]
Dalam rangkaian prosesi, dilakukan juga musyawarah adat yang disebut upacara Merwatin dan dilanjutkan dengan penyerahan uang sidang yang ditaruh di sigeh (tempat sirih). Selain musyawarah adat, dalam tahap ini juga diadakan penyembelihan kerbau yang dagingnya dimasak untuk jamuan kepada penyimbang.[8]
Acara turun diway diumumkan dan ditandai dengan pemukulan canang (alat musik gamelan khas lampung) oleh penglaku. Sampai tahap ini, pengantin baik itu mempelai pria (mengian) dan perempuan (majuw) akan menyandang gelar dipatcah haji. Sambil diiringi oleh lebuw kelamou, menulung, para penyimbang, kedua mempelai yang mengenakan pakaian kebesaran raja dan ratu berjalan beriring-iringan dengan membawa tombak yang digantungi kibuk ulow wou (kendi khas Lampung). Kedua mempelai selanjutnya duduk didampingi oleh tuwalau anau (orang tua kedua mempelai), lebou kelamou (paman mempelai), menulung (kakak mempelai), dan sai tuha tuha (tetua keluarga). Sambil duduk, jempol kaki kedua mempelai dipertemukan oleh lebou kelamu, menulung, dan batang pangkal.[3]
Berikutnya, jempol kaki dan ibu jari kedua mempelai dipertemukan di atas kepala kerbau oleh lebou kelamou, menulung, dan batang pangkal selaku perwakilan pihak keluarga. Setelah upacara pertemuan jari kedua mempelai, acara dilanjutkan dengan musek, yaitu disuapinya kedua mempelai dengan makanan oleh batang pangkal, lebou kelamo, dan benulung, selanjutnya diteruskan oleh tuwalau anau. Pembagian uang kepada peyimbang kemudian dilakukan sebagai tahapan berikutnya hingga canang ditabuh lagi yang menandakan inai adek (pemberian gelar dimulai).[3]
Pemberian gelar kepada mempelai oleh lebaw kelamo, benulung, batang pangkal, dan para penyimbang sekaligus menjadi akhir dari acara turun diway. Sebagai penutup acara, para penyimbang dan penglakuw tuho (orang tua yang dipercaya untuk mengatur acara) pun menyampaikan pesan kepada kedua mempelai dalam bentuk nasihan dan pantun.[3] Dalam begawi, acara bisa menghabiskan waktu hingga tujuh hari dan tujuh malam serta kerbau antara dua hingga tujuh ekor. Kerbau inilah yang disembelih dan dagingnya dikonsumsi bagi masyarakat kampung yang hadir. Rangkaian acara begawi dilakukan di balai adat yang disebut sesat.[9]
Masa kini
Keberadaan Begawi di tengah kehidupan masyarakat Lampung tidak terlepas dari pengaruh yang muncul seiring perkembangan zaman. Dari kajian-kajian ilmiah yang pernah dilakukan, terdapat tren penurunan pelaksanaan begawi. Seperti ditulis Roveneldo dalam tulisannya di jurnal kajian bahasa Ranah, Begawi dikhawatirkan bisa semakin menghilang di masa kini. Roveneldo menulis bahwa setidaknya terdapat empat alasan yang melatarbelakangi mengapa Begawi sangat sedikit dilakukan oleh masyarakat Lampung. Pertama, waktu yang dibutuhkan sejak awal hingga akhir acara terlalu lama. Kedua, solidaritas masyarakat semakin terkikis. Ketiga, besarnya biaya yang dibutuhkan. Kemudian keempat, adanya penurunan sejak tahun 1990 terhadap pernikahan dengan Begawi.[9]
Penelitian mengenai menurunnya pelaksaan begawi juga pernah dilakukan oleh Ria Septina, Yarmaidi, dan Nani Suwarni di Kotabumi Ilir, Kabupaten Lampung Utara. Dari penelitian tersebut disebutkan bahwa di Kotabumi Ilir jumlah acara pernikahan yang menggunakan begawi semakin sedikit yang digelar setiap tahunnya sejak 2008 hingga 2012. Tercatat pada 2012, pernikahan dengan begawi hanya sebanyak 25 persen dari yang ada pada tahun 2008.[10]
Senada dengan apa yang ditulis Roveneldo, penelitian di Kotabumi Ilir juga menyinggung faktor biaya sebagai penyebab semakin menurunnya jumlah penyelenggaraan begawi. Bahkan, informasi lebih detil disampaikan terkait biaya begawi di mana uang yang dibutuhkan bisa mencapai Rp 300 juta. Dengan mempertimbangkan adanya kebutuhan hidup lain yang lebih mendesak untuk dipenuhi seperti rumah dan pendidikan anak, maka menyelenggarakan begawi menjadi dikesampingkan.[10]
Referensi
- ^ a b c Kaya, Indonesia. "Masyarakat Adat Lampung Pepadun - Situs Budaya Indonesia". IndonesiaKaya (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2019-03-22.
- ^ a b c Sarah Fadhilah Baihaqqi, (2017), Pewarisan Nilai Budaya Melalui Simbol Gelar Adat Lampung Buay Nunyai (Studi di Kelurahan Kotabumi Ilir, Kotabumi, Lampung Utara, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmi Politik Universitas Lampung, Hal. 3-19.
- ^ a b c d e Ulul Azmi Muhammad, Iskandar Syah, Suparman Arif, (2017), Adat Turun Duwai pada Upacara Begawi di Kampung Komering Putih Lampung Tengah, PESAGI (Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah), Vol 5, No 5. Hal. 2-12.
- ^ a b Umi Kholifatun, (2016), Makna Gelar Adat terhadap Status Sosial pada Masyarakat Desa Tanjung Aji Keratuan Melinting, Skripsi Jurusan Sosiologi dan Antropologi FIS UNNES. Hal 4-5.
- ^ a b c Media, Kompas Cyber. "Cakak Pepadun, Simbol Strata Lampung". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2019-03-21.
- ^ "Begawi Adat Lampung, Pesta 7 Hari 7 Malam". KOMPAS.tv. Diakses tanggal 2019-03-31.
- ^ Iqbal Al Ghozi, (2017),Makna Filosofis di Dalam Prosesi Begawi Adat Cakak Pepadun di Keluharan Menggala Kota Kecamatan Menggala Kabupaten Tulang Bawang, Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung. Hal 53-55.
- ^ "Cakak Pepadun". www.pariwisatalampung.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-03-28.
- ^ a b NFN Roveneldo, (2017), Prosesi Perkawinan Adat Istiadat Lampung Pepadun sebagai Bentuk Pelestarian Bahasa Lampung, Ranah: Jurnal Kajian Bahasa Vol 6, No 2. Hal. 230-231.
- ^ a b Ria Septina, Yarmaidi, Nani Suwarni, Penyebab Menurunnya Pelaksanaan Begawi Pada Perkawinan Suku Lampung di Kelurahan Kotabumi Ilir, https://media.neliti.com/media/publications/249115-penyebab-menurunnya-pelaksanaan-begawi-p-840707ce.pdf