Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan elektif yang didirikan pada akhir abad ke-15 di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Matoa Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.
Kerajaan Wajo | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1399–1957 | |||||||||
Bendera | |||||||||
Ibu kota | Wajo | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Bugis | ||||||||
Agama | Islam | ||||||||
Pemerintahan | Kerajaan | ||||||||
Arung Matowa | |||||||||
Sejarah | |||||||||
• Didirikan | 1399 | ||||||||
• Dibubarkan | 1957 | ||||||||
| |||||||||
Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya [[Wajo]]. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi.
Sejarah Awal
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukkeq datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukkeq Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangareng Arung Cinnotabi II. Wé Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippeq sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu Kajurué.
La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah Sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah Takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Asijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.
Wajo sebagai Kerajaan
Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampareq Puang ri Maggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru Patau Mulajaji Sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Pada pemerintahan La Saléwangeng to Tenrirua Arung Matowa ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di Sulsel. La Koro, Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Dia juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian Bungaya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan [[Wajo]] dengan [[Bone]] membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpanna Bone. Saat itu Belanda melancarkan [[politik pasifikasi]] untuk memaksa semua kerajaan di [[Sulawesi Selatan]] tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh [[Wajo]] sehingga [[Wajo]] harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.
[[Wajo]] dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontakan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.
Struktur Kerajaan Wajo
Masa Batara Wajo
- Batara Wajo --> Penguasa tertinggi (1 orang)
- Paddanreng --> Penguasa wilayah (3 orang), terdiri dari Paddanreng Bettempola untuk Limpo (distrik) Majauleng, Paddanreng Talotenreng untuk Limpo (distrik) Sabbamparu dan Paddanreng Tuwa untuk Limpo (distrik) Takkalalla
- Arung Mabbicara --> Pejabat pemerintah kerajaan/hakim (12 orang). Terdiri dari 4 orang Arung Mabbicara untuk masing-masing dari 3 Limpo (distrik). Mengepalai Ana Limpo
- Pabbate Caddi --> Pemegang Panji kerajaan (12 orang), satu orang untuk tiap ana limpo (sub distrik)
Masa Arung Matoa
- Arung Matoa --> Penguasa tertinggi (1 orang)
- Paddanreng --> Penguasa wilayah (3 orang). Masing-masing mengepalai Limpo (distrik)
- Pabbate Lompo --> Panglima perang, terdiri dari Pilla, Patola dan Cakkuridi (3 orang). Satu orang tiap limpo (distrik). Pabbate Lompo Pilla mendampingi Paddanreng Bettempola, Pabbate Lompo Patola mendampingi Paddanreng Talotenreng, Pabbate Lompo Cakkuridi mendampingi Paddanreng Tuwa.
- Arung Mabbicara --> Aparat pemerintah/Hakim (30 orang). Masing-masing 10 orang tiap Limpo (distrik). Terdiri dari 4 orang Arung Mabbicara yang mengepalai ana limpo, dan 6 Arung Mabbicara yang tidak menguasai wilayah ana limpo (arung paddoki roki)
- Suro --> Utusan (3 orang). Masing-masing 1 orang Suro tiap Limpo (distrik)
Kelima jabatan diatas disebut sebagai Arung PatappuloE, penguasa 40.
Jabatan lain yang tidak masuk Arung PatappuloE
- Arung Bettempola --> Setelah La Tiringeng to Taba, dirangkap oleh Paddanreng Bettempola. Bertugas sebagai ibu orang Wajo. Mengangkat dan menurunkan Arung Matoa berdasar kesepakatan orang Wajo. Jabatan ini dimulai dari We Tadampali Arung Saotanre, istri Paddanreng Bettempola II. Setelahnya, dijabat oleh La Tiringeng To Taba. Dalam perkembangan, jabatan Arung Saotanre berubah menjadi Arung Simentempola. Setelah To Angkone, salah seorang Paddanreng Bettempola dipecat. Maka jabatan Paddanreng Bettempola dirangkap oleh Arung Simentempola yang berubah menjadi Arung Simentempola. Arung Bettempola pulalah yang memastikan kemerdekaan orang Wajo.
- Punggawa --> Panglima perang wilayah, bertugas mengantar Arung lili ke pejabat Arung PatappuloE. Terdiri dari 3 orang, satu orang tiap limpo. Meski tidak masuk Arung PatappuloE, tetapi punya wewenang memveto keputusan kerajaan tentang perang.
- Petta MancijiE -->> Staf keprotokuleran istana
- Parewa Sara -->> Pejabat Syariat. Dibentuk setelah Wajo menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan tahun 1610. Terdiri dari Qadhi, Imam, Khatib, Bilal dan Doja
Penguasa Kerajaan Wajo
No | Penguasa | Mulai Menjabat |
Akhir Jabatan |
---|---|---|---|
Batara Wajo | |||
1 | La Pauke (anak Datu Cina) | ||
2 | Wé Tenrisui | ||
3 | La Patiroi | 40 tahun | abad ke-15 |
Arung Matowa | |||
1 | La Palewo To Palippu | 1478 | 1484 |
2 | La Obbi Settiriware | 1484 | 1489 |
3 | La Tenriumpu To Samalangi | 1489 | 1494 |
4 | La Tadampare Puang ri Maggalatung | 1494 | 1523 |
5 | La Tenripakado To Nampe | 1526 | 1537 |
6 | La Temmassonge | 1537 | 1540 |
7 | La Warani To Temmagiang | 1540 | 1545 |
8 | La Malagenni | 1545 | 1545 |
9 | La Mappapuli To Appamadeng Massaoloccié | 1545 | 1564 |
10 | La Pakkoko To Pabbéle | 1564 | 1567 |
11 | La Mungkace To Uddama | 1567 | 1607 |
12 | La Sangkuru Patau Mulajaji Arung Peneki Sultan Abdurahman | 1607 | 1610 |
13 | La Mappepulu To Appamole | 1610 | 1616 |
14 | La Samalewa To Appakiung | 1616 | 1621 |
15 | La Pakallongi To Alinrungi | 1621 | 1626 |
16 | To Mappassaungnge | 1627 | 1628 |
17 | La Pakallongi To Alinrungi | 1628 | 1636 |
18 | La Tenrilai To Uddamang | 1636 | 1639 |
19 | La Isigajang To Bunne | 1639 | 1643 |
20 | La Makkaraka To Patemmui | 1643 | 1648 |
21 | La Temmasonge | 1648 | 1651 |
22 | La Paramma To Rewo | 1651 | 1658 |
23 | La Tenri Lai To Sengngeng | 1658 | 1670 |
24 | La Palili To Malu’ | 1670 | 1679 |
25 | La Pariusi Daeng Manyampa | 1679 | 1699 |
26 | La Tenri Sessu To Timo E | 1699 | 1702 |
27 | La Mattone’ | 1702 | 1703 |
28 | La Galigo To Sunnia | 1703 | 1712 |
29 | La Tenri Werung Arung Peneki | 1712 | 1715 |
30 | La Salewangeng To Tenriruwa Arung Sengkang | 1715 | 1736 |
31 | La Maddukkelleng Daeng Simpuang Arung Peneki Arung Sengkang | 1736 | 1754 |
32 | La Mad’danaca | 1754 | 1755 |
33 | La Passaung | 1758 | 1761 |
34 | La Mappajung Puanna Salowo Ranreng Tuwa | 1761 | 1767 |
35 | La Malliungeng | 1767 | 1770 |
36 | La Mallalengeng | 1795 | 1817 |
37 | La Manang | 1821 | 1825 |
38 | La Padengngeng | 1839 | 1845 |
39 | La Pawellangi Pajumperoe | 1854 | 1859 |
40 | La Cincing Akil Ali Datu Pammana Pilla Wajo | 1859 | 1885 |
41 | La Koro Arung Padali | 1885 | 1891 |
42 | La Passamula Datu Lompulle Ranreng Talotenreng | 1892 | 1897 |
43 | Ishak Manggabarani Krg Mangeppe | 1900 | 1916 |
44 | Andi Oddangpero Datu Larompong Arung Peneki | 1926 | 1933 |
45 | Andi Mangkona Datu Mario | 1933 | 1949 |
46 | Andi Sumangerukka Datu Pattojo Patola Wajo | 1949 | 1949 |
47 | Andi Ninnong Datu Tempe Ranreng Tuwa Wajo | 1949 | 1950 |
48 | Andi Pallawarukka Datu Pammana Eks Pilla Wajo | 1950 | 1952 |
49 | Andi Macca Amirullah Eks Sullewatang Ugi | 1952 | 1954 |
50 | Andi Pallawarukka Datu Pammana Eks Pilla Wajo | 1954 | 1957 |
Referensi
https://www.diskusilepas.id/2012/12/susunan-raja-raja-wajo-batara-wajo-1.htmll
https://www.diskusilepas.id/2013/12/sistem-pemerintahan-di-kerajaan-wajo.html
https://www.diskusilepas.id/2014/07/struktur-parewa-sara-di-wajo-abad-17.html