Sunda

artikel daftar Wikimedia

Kata Sunda bisa mengandung berbagai arti yang secara umum berkaitan dengan suku Sunda di bagian barat Nusantara. Catatan sejarah tertua yang sudah ditemukan mengandung kata "Sunda" adalah prasasti Prasasti Kebonkopi II. Pakar F.D.K. Bosch, yang sempat mempelajarinya, menulis bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan menyatakan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya" dan menafsirkan angka tahun peristiwa ini bertarikh 563 Masehi.[1]

Keberadaan Sunda bisa dilihat melalui berbagai sumber, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Dari dalam negeri, berupa prasasti-prasasti yang ada di Bogor, Jakarta, dan Banten. Sedangkan sumber tertulis banyak berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, termasuk kronik perjalanan dari berbagai Negara.

Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara.

Naskah yang dibuat tahun 1677 masehi. Disusun oleh sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta dari Cirebon.

Panitia--yang dipimpin oleh Pangéran--Wangsakerta ini dimaksudkan untuk memenuhi permintaan/amanat ayahnya, Panembahan Girilaya, agar Pangeran Wangsakerta menyusun naskah kisah kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Panitia didirikan untuk mengadakan suatu gotrasawala (simposium/seminar) antara para ahli sajarah dari seluruh Nusantara, yang hasilnya disusun dan ditulis menjadi naskah-naskah yang sekarang dikenal sebagai Naskah Wangsakerta.

Gotrasawala ini berlangsung pada tahun 1599 Saka (1677 M), sedangkan penyusunan naskah-naskahnya menghabiskan waktu hingga 21 tahun (selesai 1620 Saka, 1698 M).

Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Sunda memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tb. H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya.

Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Calankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai oleh kerajaan lain. Sementara Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.

Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang.

Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pwahaci Larasati diperisteri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.

Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak) beribukota di Rajatapura.

Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agnynusa (Negeri Api) yang berada di Pulau Krakatau.

Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi.

Raja Dewawarman I sendiri berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra.

Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363, karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara.  Yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana bernama Jayasinghawarman.

Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.

Sementara Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.

Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.


Daftar nama-nama raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara adalah:


Tahun berkuasa Nama raja            Julukan                                                                


130-168 M     Dewawarman I       Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara           

168-195 M     Dewawarman II     Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra (Putera tertua Dewawarman I)

195-238 M     Dewawarman III   Prabu Singasagara Bimayasawirya (Putera Dewawarman II)

238-252 M     Dewawarman IV    Menantu Dewawarman II (Raja Ujung Kulon)

252-276 M     Dewawarman V     Menantu Dewawarman IV

276-289 M     Mahisa Suramardini Warmandewi  (Puteri tertua Dewawarman IV & isteri Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur melawan bajak laut)

289-308 M     Dewawarman VI    Sang Mokteng Samudera (Putera tertua Dewawarman V)

308-340 M     Dewawarman VII Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati               (Putera tertua Dewawarman VI)

340-348 M     Sphatikarnawa Warmandewi (Puteri sulung Dewawarman VII)

348-362 M     Dewawarman VIII    Prabu Darmawirya Dewawarman (Cucu Dewawarman VI yang menikahi Sphatikarnawa, raja ketujuh Salakanagara

Mulai 362 M Dewawarman IX    Salakanagara telah menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara


Tarumanegara


Kerajaan Tarumanegara merupakan salah satu kerajaan tertua Nusantara. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-4 (tahun 358) hingga abad 7 (tahun 668) masehi dan berpusat di Jawa Barat. Kerajaan Tarumanegara sendiri berasal dari kata “taruma” dan “nagara”. Tarum berasal dari nama sungai di Jawa Barat, yakni Citarum, sedangkan nagara berarti negara.

Pendiri kerajaan ini bernama Rajadirajaguru Jayasingawarman. Keberadaan Kerajaan Tarumanegara bisa dilihat melalui berbagai sumber, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Dari dalam negeri, sumbernya bisa dilihat pada 7 (tujuh) buah prasasti yang ada di Bogor, Jakarta, dan Banten.

Prasasti-prasasti tersebut, antara lain :


  1. prasasti Ciaruteun
  2. prasasti Jambu
  3. prasasti Muara Cianten
  4. prasasti Pasri Awi
  5. prasasti Cidanghiyang
  6. prasasti Tugu
  7. dan prasasti Pasir Muara.


Sedangkan sumber yang berasal dari luar negeri, antara lain berita Fa Hsien, berita Dinasti Sui, dan berita Dinasti Tang. Berita Fa Hsien yang berasal dari tahun 414 mengisahkan soal negeri Ye Po Ti, yang hanya sedikit dijumpai orang beragama Buddha.

Sebagian beragama Hindu dan sebagian beragama lain (Islam?) atau animisme. Kisah ini ditulis dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi. Ye Po Ti diinterpretasikan oleh para ahli sebagai Kerajaan Tarumanegara. Lalu, berita dari Dinasti Sui yang mengisahkan kalau di tahun 528 dan 535 datang seorang utusan dari To Lo Mo, berasal dari arah selatan.

Dan, Dinasti Tang mengisahkan soal utusan dari To Lo Mo yang datang pada tahun 666 dan 669. Para ahli menyimpulkan, To Lo Mo merupakan Tarumanegara.


Kerajaan Tarumanegara merupakan kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara


Sebelumnya Jayasingawarman yang merupakan raja pertama Tarumanegara telah memerintahkan, pusat kekuasaan berpindah dari Rajatapura ke Tarumanegara.

Makam Jayasingawarman diperkirakan ada di sekitar sungai Gomati, wilayah Bekasi. Setelah Jayasingawarman meninggal dunia, Kerajaan Tarumanegara dipimpin oleh putranya bernama Dharmayawarman yang memerintah dari tahun 382 sampai 395.


Masa Kejayaan Kerajaan Tarumanegara


Raja ketiga Kerajaan Tarumanegara bernama Maharaja Purnawarman yang memerintah dari tahun 395 hingga 434. Di masa Purnawarman, Kerajaan Tarumanegara menjelma menjadi kerajaan besar yang memiliki wilayah luas di pulau Jawa. Pada tahun 397, Purnawarman memusatkan pemerintahannya di dekat pantai, yang diberi nama Sundapura.

Di masa keemasannya, Purnawarman membawahi sebanyak 48 raja kecil, dan daerahnya membentang dari Salakanagara yang sekarang dikenal sebagai Teluk Lada Pandeglang, sampai Purwalingga (kemungkinan Purbalingga, Jawa Tengah).

Sungai Brebes, yang dahulu bernama Ci Pamali, dijadikan batas kekuasaan raja-raja kecil tadi. Menurut prasasti Tugu, pada tahun 417, Purnawarman memerintahkan untuk menggali Sungai Gomati dan Candrabaga yang memiliki panjang 6.112 tombak, atau sekitar 11 kilometer.

Penggalian sungai ini dimaksudkan untuk keperluan irigasi, yang berguna dalam mengaliri air ke sawah-sawah pertanian, mencegah banjir, dan jalur perairan untuk berdagang antardaerah. Berkat usahanya ini, kehidupan ekonomi rakyat Tarumanegara menjadi lebih baik.

Ketika kerja penggalian rampung, Purnawarman mengorbankan 1.000 ekor sapi kepada golongan Brahmana (golongan agama). Ini merupakan bukti bahwa Raja Purnawarman sangat menghormati kedudukan golongan Brahmana. Golongan Brahmana kerap dilibatkan dalam setiap upacara korban di kerajaan atau upacara-upacara keagamaan lainnya.

Di bidang budaya, ditilik dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf dalam prasasti-prasasti hasil peninggalan Tarumanegara, bisa dipastikan kalau tingkat kebudayaan rakyat Tarumanegara sudah tinggi. Sebab, keberadaan prasasti-prasasti tersebut menyiratkan kebudayaan tulis-menulis yang berkembang di masa Kerajaan Tarumanegara.


Dua belas orang raja

Selama masa kekuasaannya, Kerajaan Tarumanegara diperintah oleh dua belas orang raja. Setelah Raja Punawarman meninggal dunia, berturut-turut kekuasaan dipegang oleh Wisnuwarman yang memerintah pada tahun 434 sampai 455; Indrawarman yang memerintah pada tahun 455 sampai 515; Candrawarman yang memerintah pada tahun 515 sampai 535, Suryawarman yang memerintah pada tahun 535 sampai 561, Kertawarman yang memerintah pada tahun 561 sampai 628, Sudhawarman yang memerintah pada tahun 628 sampai 639, Hariwangsawarman yang memerintah pada tahun 639 sampai 640; Nagajayawarman yang memerintah pada tahun 640 sampai 666), dan terakhir Linggawarman yang memerintah pada tahun 666 sampai 669.

Pada masa pemerntahan Suryawarman, perhatian diberikan pula ke daerah timur, tidak hanya konsen pada raja-raja daerah. Manikmaya, menantu Suryawarman, pada tahun 526 membangun sebuah kerajaan baru di daerah Kendan, antara Bandung dan Limbangan. Daerah timur pun mengalami perkembangan ketika cicit Manikmaya pada tahun 612 mendirikan Kerajaan Galuh. Kerajaan Tarumanegara runtuh pada tahun 669.

Raja terakhirnya bernama Linggawarman yang memerintah pada tahun 666 hingga 669. Linggawarman menyerahkan kekuasaan kepada menantunya yang bernama Tarusbawa


Bermenantukan Raja Sunda dan Raja Sriwijaya


Putri Linggawarman yang lain bernama Sobankancana. menikah dengan Dapunta Hyang Srijayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya, sebuah kerajaan besar di Sumatra Selatan.

Sudah diuraikan di atas, keberadaan Kerajaan Tarumanegara dibuktikan dengan sumber yang berasal dari dalam negeri berupa prasasti dan luar negeri berupa berita Dinasti Sui, Dinasti Tang, dan Fa Hsien.

Pertama, Prasasti Ciaruteun yang ditemukan di sekitar sungai Ciaruteun-Ciampea, Bogor. Seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Ditemukan oleh N. W. Hoepermans pada tahun 1864

Prasasti ini peninggalan Purnawarman. Di prasasti tersebut, terdapat puisi empat baris. Tulisan dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta:

“vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam”

Terjemahannya menurut Vogel:

(Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara).

Di prasasti Ciaruteun kita bisa melihat sepasang kaki Raja Purnawarman dan sebuah lukisan mirip laba-laba.

Selain itu, ada pula gambar sepasang "padatala" (telapak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.

Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah) Pasir Muara.


Prasasti Telapak Gajah

Dua arca Wishnu dari Cibuaya, Karawang, Jawa Barat. Tarumanagara sekitar abad ke-7 Masehi. Mahkotanya yang berbentuk tabung menyerupai gaya seni Khmer Kamboja.

Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:

   “jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam”

Terjemahannya:

   (Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa).

Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguasa Guntur.

Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra.

Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.

Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya.

Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).

Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.

Kedua, prasasti Pasir Muara tahun 563 masehi yang ditemukan di Pasir Muara Cianten, Ciampea Bogor. Tulisan yang ada di prasasti ini: “sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda”

Terjemahannya menurut Bosch:

(Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda).

Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.

Ketiga, Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea

Keempat, prasasti Pasir Awi yang ditemukan di daerah Bukit Pasir Awi, Kabupaten Bogor. Pahat gambar daun dan ranting, buah-buahan, dan sepasang telapak kaki ada di prasasti ini.

Kelima, prasasti Cidanghiyang yang ditemukan di tepi sungai Cidanghiang, Kabupaten Lebak, pada 1947. Tulisan berhuruf Pallawa di prasasti itu: “Vicranto 'yam vanipateh/prabhuh satya parakramah narendra ddhvajabhutena/ srimatah purnnawvarmanah” (Inilah (tanda) keperwiraan keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia yang mulia purnawarman yang menjadi panji sekalian raja-raja).

Keenam, prasasti Jambu yang ditemukan di area perkebunan jambu di Bukit Koleangkak, Nanggung, Bogor bagian barat. terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang.

Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris:

“shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam”  

Terjemahannya menurut Vogel:

(yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman  yang pernah memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka  yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya).

Ukiran telapak kaki juga ada di prasasti ini.

Ketujuh, prasasti Tugu yang ditemukan di daerah Cilincing, Jakarta Utara pada tahun 1878.

Dibandingkan prasasti lainnya, tulisan Tugu yang juga wilayah dari Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi merupsakan prasasti ini paling panjang:

”Pura rajadhirajena guruna pinabhahuna khata khyatam purin phrapya. Candrabhagarnavam yayau pravarddhamanadwavincadvatsa (re) crigunaujasa narendradhvajbhunena (bhuten). Crimata Purnnavarmmana prarabhya Phalgune(ne) mase khata krshnatashimithau Caitracukla-trayodcyam dinais siddhaikavinchakai(h). Ayata shatsahasrena dhanusha(m) sacaten ca dvavincena nadi ramya Gomati nirmalodaka pitamahasya rajarshervvidarya cibiravanim.Bhrahmanair ggo-sahasrena(na) prayati krtadakshino” 

Terjemahannya : (Dahulu atas perintah rajadiraja Paduka Yang Mulia Purnwarman, yang menonjol dalam kebahagiaan dan jasanya di atas para raja, pada tahun kedua puluh dua pemerintahannya yang gemilang, dilakukan penggalian di Sungai Candrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota yang masyhur dan sebelum masuk ke laut.

Penggalian itu dimulai pada hari kedelapan bulan genap bulan Phalguna dan selesai pada hari ketiga belas bulan terang bulan Citra, selama dua puluh satu hari. Saluran baru dengan air jernih bernama Sungai Gomati, mengalir sepanjang 6.122 busur melampaui asrama pendeta raja yang dipepundi sebagai leluhur bersama para brahmana. Para pendeta itu diberi hadiah seribu ekor sapi).

Berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang Tarumanegara.

Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi seluruh Jawa Barat hingga Jawa Tengah yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor, Cirebon dan Purbalingga.


Kepurbakalaan Masa Tarumanagara


Candi Jiwa di situs Percandian Batujaya, Karawang – Provinsi Jawa Barat


No.          Nama Situs           Artefak                                                  Keterangan


1              Kampung Muara                 Menhir (3)            

                               Batu dakon (2)   

                               Arca batu tidak berkepala                

                               Struktur Batu kali               

                               Kuburan (tua)     

2              Ciampea              Arca gajah (batu)                                Rusak berat

3              Gunung Cibodas Arca                                                       Terbuat dari batu kapur

                               3 arca duduk       

                               arca raksasa        

                               arca (?) Fragmen

                               Arca dewa            

                               Arca dwarapala  

                               Arca brahma                                                        Duduk diatas angsa

(Wahana Hamsa)

dilengkapi padmasana

                               Arca (berdiri)                                                        Fragmen kaki dan lapik

                               (Kartikeya?)       

                               Arca singa (perunggu)                                         Mus.Nas.no.771

4              Tanjung Barat     Arca siwa (duduk) perunggu             Mus.Nas.no.514a

5              Tanjungpriok      Arca Durga-Kali Batu granit             Mus.Nas. no.296a

6              Tidak diketahui   Arca Rajaresi                                       Mus.Nas.no.6363

7              Cilincing               sejumlah besar pecahan                    settlement pattern

8              Buni      perhiasan emas dalam periuk                           settlement pattern

                               Tempayan          

                               Beliung

                               Logam perunggu                

                               Logam besi          

                               Gelang kaca        

                               Manik-manik batu dan kaca           

                               Tulang belulang manusia

                               Sejumlah besar gerabah bentuk wadah        

9              Batujaya (Karawang)        Unur (hunyur) sruktur bata               Percandian

                               Segaran I              

                               Segaran II            

                               Segaran III          

                               Segaran IV           

                               Segaran V            

                               Segaran VI           

                               Talagajaya I       

                               Talagajaya II      

                               Talagajaya III    

                               Talagajaya IV    

                               Talagajaya V      

                               Talagajaya VI    

                               Talagajaya VII   

10           Cibuaya               Arca Wisnu I       

                               Arca Wisnu II      

                               Arca Wisnu III    

                               Lmah Duwur Wadon          Candi I

                               Lmah Duwur Lanang         Candi II

                               Pipisan batu         


Kerajaan Sunda Galuh adalah dua kerajaan yang berbeda. Galuh didirikan oleh Wretikandayun, asalnya adalah bawahan dari Kerajaan Tarumanegara.

Sunda adalah perubahan dari Tarumanegara. Oleh karena pendeklarasian menjadi negara sendiri yang dilakukan oleh Kerajaan Galuh, maka kedua kerajaan ini menjadi kerajaan kembar yang terpisah oleh Sungai Citarum.

Dalam perjalanan bertetangganya, Sunda dan Galuh sempat pisah sambung selama beberapa periode hingga akhirnya benar-benar bersatu di bawah Prabu Siliwangi. Kerajaan Sunda Galuh kemudian menjelma menjadi Kerajaan Pajajaran.


Berdirinya kerajaan Galuh bermula dari eksodus seorang brahmana India bernama Manikmaya, yang oleh raja ke 7 Tarumanagara, Suryawarman, difasilitasi untuk membangun Kerajaan Kendan. Karena watak rata-rata dari kerajaan tatar Sunda yang memperlakukan kerajaan-kerajaan bawahannya sebagai kerajaan otonom, maka Kerajaan Kendan pun diwariskan secara turun-temurun.

Dari Manikmaya diteruskan oleh Rajaputra Suraliman Sakti, diteruskan oleh Kandiawan, yang kebetulan sudah mempunyai kerajaan sendiri, yaitu Medang Jati. Setelah Kandiawan lebih memilih untuk jadi petapa, kekuasaan diserahkan kepada anak bungsunya, yaitu Wretikandayun (612-702). Wretikandayun lebih tertarik mendirikan kerajaan baru, yang dinamakan Galuh, yang artinya adalah permata.

Di bawah kepemimpinan Wretikandayun, Galuh berkembang pesat, dari segi perdagangan dan terutama pasukan kerajaan. Keistimewaan lain adalah sang raja dikaruniai umur panjang hingga 110 tahun. Setara dengan pergantian enam kali Raja Tarumanagara, mulai dari Kertawarman sampai raja terakhir Linggawarman, sehingga ia paham betul lika-liku Tarumanagara.

Sementara itu Tarumanagara sebagai kerajaan induk mulai mengalami masa-masa redup pada era Linggawarman. Sehingga ketika wafat Linggawarman,

Tarus Bawa (669-723) menantu raja yang ditunjuk sebagai penerus tahta mengambil inisiatif untuk mengubah nama kerajaan menjadi Kerajaan Sunda. Tindakan tersebut disambut baik oleh Wretikandayun dengan mendeklarasikan pemisahan Kerajaan Galuh dari Sunda, yang dulunya Tarumanagara. Kedudukan Sunda dan Galuh menjadi sejajar, hanya dipisahkan oleh Sungai Citarum.


Proses Pergantian Kekuasaan di Kerajaan Sunda Galuh


Pergantian Kekuasaan di Kerajaan Sunda relatif lebih tenang. Tarus Bawa mempunyai seorang putera yang wafat sebelum beliau, sehingga namanya tidak tercatat dalam sejarah. Namun beliau memiliki dua orang puteri yaitu Sekar Kencana dan Mayangsari.

Sementara di Galuh, Wretikandayun mempunyai tiga orang putera yaitu Sempak Jaya, Jantaka, dan Amara. Dua orang putera Wretikandayun, yaitu Sempak Jaya  dan Jantaka mempunyai cacat fisik, sehingga Amara yang dipersiapkan menjadi putera mahkota. Sempak Jaya menjadi raja di Kerajaan Galunggung, dan Jantaka menjadi raja di Kerajaan Denuh.

Rencana Wretikandayun tidak berjalan sebagaimana yang ia inginkan. Amara kemudian mempunyai putera dengan kakak iparnya, istri dari Sempak Jaya. Amara menamai puteranya Bratasenawa atau Sena (Sang Salah). Kemudian Amara meninggalkan Galuh dengan perintah dari ayahnya. Amara meninggalkan Galuh menuju Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah.

Di Kalingga ia dijodohkan dengan Dewi Parwati, puteri dari Raja Kartikeyasinga dengan Maharani Shima. Dari hasil perkawinan ini, lahirlah anak perempuan yang diberi nama Sanaha.

Saat Raja dan Ratu Kalingga wafat, kerajaan di bagi dua; wilayah utara, Bumi Mataram, dan wilayah selatan, Sembara. Bumi Utara diserahkan kepada pasangan Amara-Dewi Parwati. Saat Wretikandayun wafat pada usia 111 tahun, Amara dipanggil pulang, dan dinobatkan sebagai raja dengan gelar Mandiminyak. Sementara sang istri, Dewi Parwati tetap di Kerajaan Bumi Mataram, dan menjadi penguasa di sana.

Putera dan puteri kandung Amara dari ibu yang berlainan, Sena dan Sanaha  dijodohkan. Dari pasangan itu lahir Sanjaya, pada tahun 683 M. Pada 703 M, Sanjaya dinikahkan dengan dengan Sekar Kencana, cucu Tarus Bawa.  Pada tahun 709, Amara wafat.

Setelah Amara wafat dan Bratasenawa naik tahta, timbul kontroversi  tentang siapa yang berhak menduduki tahta Galuh.

Hampir terjadi perang antara Galuh dan Sunda. Namun karena kudeta sudah terjadi, dan Sena dinyatakan selamat, pasukan Sunda urung bertempur.

Legitimasi pasukan Sunda mengerahkan pasukan karena Bratasenawa adalah besan Tarus Bawa.

Purbasora berhasil memduduki tahta Galuh (716-726) dan Kerajaan Sunda dipimpin Tarus Bawa yang sudah uzur. Pada tahun itu Tarus Bawa wafat. Sanjaya kemudian naik tahta menggantikan Tarus Bawa.

Sanjaya mengerahkan pasukan untuk menggempur Galuh. Dibantu Kerajaan Bumi Sembara dan Bumi Mataram (pecahan Kerajaan Kalingga, Jawa tengah sekarang) Galuh porak-poranda, dan Purbasora tewas di tangan Sanjaya. Peristiwa ini terjadi tahun726 M.

Dengan demikian penyatuan pertama Galuh Sunda terjadi pada zaman Sanjaya. Mahkota Galuh diserahkan kepada Premana Dikusuma (726-732), Cucu Purbasora sendiri. Namun pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Tamperan Bramawijaya, buah perkawinan Sanjaya dengan cucu Tarus Bawa, Sekar Kencana.

Sebagaimana kakeknya, Sanjaya memiliki rencana untuk menjamin stabilitas Kerajaan Galuh. Sanjaya kemudian menjodohkan Premana Dikusumab dengan Dewi Pangreyep, keponakannya yang juga cicit Tarus Bawa.

Dalam perundingan damai yang diadakan di Galuh pada tahun 739, disepakati beberapa hal sebagai berikut:

• Manarah menguasai Kerajaan Galuh

• Banga mengusai Kerajaan Sunda

• Sanjaya tetap menjadi Raja Bumi Mataram

• Demunawan Menguasai Kerajaan Kuningan

Manarah kemudian dikenal sebagai Ciung Wanara dalam legenda Ciamis

Kerajaan Sunda Galuh Bersatu


Setelah mengalami masa peperangan selama empat generasi, Kerajaan Sunda Galuh memasuki era damai sejak Galuh dipimpin Manarah alias Ciung Wanara ( 739-783) dan Sunda dipimpin Rakeyan Banga (739-766). Berikut ini adalah berturut turut nama raja-raja Sunda dan Galuh:

Raja-raja Sunda sampai Sri Jayabupati


No     Raja                                                                                            Masa pemerintahan


1   Maharaja Tarusbawa                                                                   669-723

2   Sanjaya Harisdarma                                                                     723-732

3   Tamperan Barmawijaya                                                              732-739

4   Rakeyan Banga                                                                             739-766

5   Rakeyan Medang Prabu Hulukujang                                        766-783

6    Prabu Gilingwesi                                                                            783-795

7    Pucukbumi Darmeswara                                                             795-819

8    Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus                                       819-891

9    Prabu Darmaraksa                                                                       891-895

10  Windusakti Prabu Dewageng                                                     895-913

11  Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi                       913-916

12  Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa                                         916-942

13  Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa                                   942-954

14 Limbur Kancana                                                                           954-964

15 Prabu Munding Ganawirya                                                         964-973

16 Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung                                 973-989

17 Prabu Brajawisesa                                                                         989-1012

18 Prabu Dewa Sanghyang                                                               1012-1019


19 Prabu Sanghyang Ageng                                                              1019-1030

20 Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati                                     1030-1042


Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah Kulon


No           Raja                                                                                       Masa pemerintahan


1              Wretikandayun                                                                    670-702

2              Rahyang Mandiminyak                                                    702-709

3              Rahyang Bratasenawa                                                      709-716

4              Rahyang Purbasora                                                            716-723

5              Sanjaya Harisdarma                                                          723-724

6              Adimulya Premana Dikusuma                                         724-725

7              Tamperan Barmawijaya                                                   725-739

8              Manarah                                                                               739-783

9              Guruminda Sang Minisri                                                    783-799

10           Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara Sang Triwulan  799-806

11           Sang Walengan                                                                    806-813

12           Prabu Linggabumi                                                               813-852

13           Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus                             819-891


Pada masa Rakeyan Wuwus, Kerajaan Sunda dan Galuh bersatu, karena Raja Galuh Linggabumi tidak punya keturunan. Akhirnya tahta diserahkan kepada suami adiknya, yang adalah Raja Sunda, Rakeyan Wuwus (819-891).

Dengan demikian ini adalah penyatuan kedua sejak Sanjaya. Rakyat Sunda Galuh mengalami masa penyatuan yang damai sejak Manarah hingga Banga dalam rentang waktu 150 tahun.


Kerajaan Sunda Galuh Mengalami Kejayaan


Meskipun tidak tercatat melakukan ekspansi memperluas wilayah, kala itu kerajaan mempunyai angkatan perang yang kuat baik angkatan darat maupun angkatan laut.

Sebagaimana diketahui, beberapa pelabuhan penting saat itu di bawah otoritas Sunda Galuh, terutama Banten, Cirebon, dan tentu saja Kalapa ( Sunda Kalapa, Jayakarta, dan akhirnya Batavia, Jakarta ).

Peperangan antara negara-negara sekitarnya (Sriwijaya, Kediri, Samudra Pasai) tidak memengaruhi perdamaian di Kerajaan Sunda Galuh. Bahkan pada masa Raja Darmasiksa (1175 - 1297), Kerajaan Sunda Galuh - tepatnya di bekas ibukota Sundapura - menjadi tempat perundingan damai segitiga antara Kekaisaran China, Sriwijaya, dan Kediri.

Perlu dicatat, Darmasiksa mempunyai seorang cucu yang bernama Raden Wijaya. Raden Wijaya, setengah Sunda, setengah Jawa, kemudian  mendirikan Majapahit yang terkenal itu. Darmasiksa memang raja visioner.

Dia mendirikan banyak kabuyutan, di antaranya Ciburuy (Garut), Sanghyang Tapak (Sukabumi), dan Kanekes (Banten). 800 tahun kemudian, kini, kita masih dapat menyaksikan miniatur Kerajaan Sunda di Kanekes.

Pada era Prabu Lingga Dewata (1311-1333), Kerajaan Sunda Galuh mempunyai ibukota baru, yaitu Kawali (=kuali, belangga). Selama ini ibukota kerajaan berada bolak-balik antara Pakuan, Galuh, atau Saung Galah (sekitar Gunung Galunggung).

Mulai saat itu orang mengenal era  Kawali dalam perjalanan sejarah Sunda Galuh. Pada saat yang sama, Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpah palapa  dihadapan Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhana di Majapahit.

Hampir 400 tahun berlalu sudah sejak Raja Sunda Sembawa memerintah. Masa keemasan terus berlanjut hingga Prabu Maharaja Lingga Buana (1350-1357) naik tahta.

Dua kerajaan besar, dua kerajaan yang sejajar, dua raja dengan satu nenek moyang

Berkat bimbingan sang paman, Anggalarang tumbuh menjadi pribadi yang bijaksana. Pada waktu dinobatkan ia berusi 23 tahun, dan bergelar Mahaprabu Niskala Wastukencana, dikenal juga dengan nama Wangisutah, seorang raja besar telah dilahirkan.

Pada waktu itu Keluarga Kerajaan Sunda Galuh mempunyai anggota keluarga beragama Islam yang baru saja pulang Haji. Dia adalah kakak ipar raja sendiri, putera dari Bunisora, pamannya.

Tidak terjadi intrik atas perbedaan agama ini. Bratalegawa atau Haji Purwa Galuh setelah masuk Islam, justru diberi tanah di Cirebon untuk mengembangkan agamanya.

Pada saat tersebut juga sebuah tim ekspedisi dari Negeri China dipimpin Laksamana Cheng Ho mengunjungi Pelabuhan Muara Jati di Cirebon, dan menghadiahkan  sebuah mercusuar di sana.

Didirikan  sebuah pesantren yang digagas oleh Syekh Hasanudin bin Yusuf di daerah Karawang, tentunya atas izin Mahaprabu.

Sementara sebuah padepokan agama Budha didirikan di Kerajaan Talaga, Majalengka sekarang.

Mahaprabu Wastukencana yang berkuasa atas Kerajaan Sunda dan Galuh menjelang akhir hayatnya membagi kerajaan menjadi dua bagian, sebelah barat Citarum,

Kerajaan Sunda diberikan kepada Haliwungan atau Prabu Susuktunggal, anak dari istri Ratna Sarkati. Sebelah timur Citarum, Kerajaan Galuh kepada Dewa Niskala, anak dari istri Mayangsari. Kedua Kerajaan berdiri sejajar. Kerajaan Sunda Galuh kembali ke masa pemecahan, kali ini karena amanat Wastukencana.


Akhir Masa Kerajaan Sunda Galuh


Perang Bubat ternyata masih menyisakan soal. Diawali dengan pelarian pembesar Majapahit ke Galuh. Waktu itu memang sedang terjadi huru-hara akibat perebutan kekuasaan di Majapahit. Pelarian di sambut baik di Galuh.

Yang jadi soal adalah Dewa Niskala mengawini salah seorang pembesar Majapahit tersebut, sesuatu yang diharamkan sejak Bubat. Lebih-lebih lagi wanita itu telah bertunangan.

Akibat pelanggaran kode etik itu, Prabu Susuktunggal menjadi murka dan berniat menyerbu Galuh. Namun perang dapat dicegah, dan pihak-pihak bersengketa duduk di meja perundingan. Hasil kesepakatan adalah baik Susuktunggal ataupun Dewa Niskala harus mengundurkan diri sebagai raja di kerajaan masing masing.

Sebagai gantinya mereka menunjuk Jayadewata yang merupakan anak Dewa Niskala sekaligus mantu Susuktunggal. Akhirnya Kerajaan Sunda Galuh kembali dilebur dengan Raja Jayadewata, Sribaduga Maharaja, Prabu Siliwangi, dengan ibukota Pakuan. Maka lahirlah Kerajaan Pajajaran.


Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati

No           Raja                                                                                       Masa pemerintahan

1              Darmaraja                                                                            1042-1065

2              Langlangbumi                                                                      1065-1155

3              Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur                             1155-1157

4              Darmakusuma                                                                     1157-1175

5              Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu                             1175-1297

6              Ragasuci                                                                               1297-1303

7              Citraganda                                                                            1303-1311

8              Prabu Linggadéwata                                                           1311-1333

9              Prabu Ajiguna Linggawisésa                                             1333-1340

10           Prabu Ragamulya Luhurprabawa                                   1340-1350

11           Prabu Maharaja Linggabuanawisésa                             1350-1357

12           Prabu Bunisora                                                                    1357-1371

13           Prabu Niskala Wastu Kancana                                        1371-1475

14           Prabu Susuktunggal                                                               1475-1482

15.           Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja)                                         1482-1521

16.          Prabu Surawisésa                                                                1521-1535

17.          Prabu Déwatabuanawisésa                                               1535-1543

18.          Prabu Sakti                                                                           1543-1551

19.          Prabu Nilakéndra                                                                1551-1567

20.          Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana              1567-1579




Etimologi

Kata ini kemungkinan berasal dari bahasa Sanskerta yang bisa berarti 'cahaya' atau 'air'.[butuh rujukan] Dalam naskah historis lainnya menyebutkan Sunda merujuk pada ibu kota Kerajaan Tarumanegara yang bernama Sundapura. Sehingga masyarakat yang menghuni wilayah tersebut dikenal sebagai orang Sunda yang disebut hingga kini. Kerajaan Tarumanegara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang terbukti dengan bukti prasasti dan berita naskah kuno di negeri Tiongkok. Letak tepat kota Sundapura masih menjadi penelitian para ahli, apakah di Jakarta, Bekasi atau Karawang sekarang. Hanya di Karawang terdapat situs percandian Batujaya seluas 5 km persegi yang menunjukkan tumbuh kembangnya kebudayaan sejak abad 2 Masehi hingga abad 12 Masehi.

Lihat pula

Bacaan

  • Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1 – 23.
  • Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda, Nusantara, dan Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu, 16 Desember `1995. Bandung: Universitas Padjadjaran.
  • Ekadjati, Edi S. 1981. Historiografi Priangan. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
  • Ekadjati, Edi S. (Koordinator). 1993. Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat.
  • Raffles, Thomas Stamford. 1817. The History of Java, 2 vols. London: Block Parbury and Allen and John Murry.
  • Raffles, Thomas Stamford. 2008. The History of Java (Terjemahan Eko Prasetaningrum, Nuryati Agustin, dan Idda Qoryati Mahbubah). Yogyakarta: Narasi.
  • Z., Mumuh Muhsin. Sunda, Priangan, dan Jawa Barat. Makalah disampaikan dalam Diskusi Hari Jadi Jawa Barat, diselenggarakan oleh Harian Umum Pikiran Rakyat Bekerja Sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat pada Selasa, 3 November 2009 di Aula Redaksi HU Pikiran Rakyat.
  • Uka Tjandrasasmita. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Kepustakaan Populer Gramedia.
  • E. Rokajat Asura. (September 2011). Harisbaya bersuami 2 raja - Kemelut cinta di antara dua kerajaan Sumedang Larang dan Cirebon. Penerbit Edelweiss.
  • Atja, Drs. (1970). Ratu Pakuan. Lembaga Bahasa dan Sedjarah Unpad. Bandung.
  • Atmamihardja, Mamun, Drs. Raden. (1958). Sadjarah Sunda. Bandung. Ganaco Nv.
  • Joedawikarta (1933). Sadjarah Soekapoera, Parakan Moencang sareng Gadjah. Pengharepan. Bandoeng,
  • Lubis, Nina Herlina., Dr. MSi, dkk. (2003). Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II. CV. Satya Historica. Bandung.
  • Herman Soemantri Emuch. (1979). Sajarah Sukapura, sebuah telaah filologis. Universitas Indonesia. Jakarta.
  • Zamhir, Drs. (1996). Mengenal Museum Prabu Geusan Ulun serta Riwayat Leluhur Sumedang. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.
  • Sukardja, Djadja. (2003). Kanjeng Prebu R.A.A. Kusumadiningrat Bupati Galuh Ciamis th. 1839 s / d 1886. Sanggar SGB. Ciamis.
  • Sulendraningrat P.S. (1975). Sejarah Cirebon dan Silsilah Sunan Gunung Jati Maulana Syarif Hidayatullah. Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon. Cirebon.
  • Sunardjo, Unang, R. H., Drs. (1983). Kerajaan Carbon 1479-1809. PT. Tarsito. Bandung.
  • Suparman, Tjetje, R. H., (1981). Sajarah Sukapura. Bandung
  • Surianingrat, Bayu., Drs. (1983). Sajarah Kabupatian I Bhumi Sumedang 1550-1950. CV.Rapico. Bandung.
  • Soekardi, Yuliadi. (2004). Kian Santang. CV Pustaka Setia.
  • Soekardi, Yuliadi. (2004). Prabu Siliwangi. CV Pustaka Setia.
  • Tjangker Soedradjat, Ade. (1996). Silsilah Wargi Pangeran Sumedang Turunan Pangeran Santri alias Pangeran Koesoemadinata I Penguasa Sumedang Larang 1530-1578. Yayasan Pangeran Sumedang. Sumedang.
  • Widjajakusuma, Djenal Asikin., Raden Dr. (1960). Babad Pasundan, Riwajat Kamerdikaan Bangsa Sunda Saruntagna Karadjaan Pdjadjaran Dina Taun 1580. Kujang. Bandung.
  • Winarno, F. G. (1990). Bogor Hari Esok Masa Lampau. PT. Bina Hati. Bogor.
  • Olthof, W.L. (cetakan IV 2008). Babad Tanah Jawi - mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647. PT. Buku Kita. Yogyakarta Bagikan.
  • A. Sobana Hardjasaputra, H.D. Bastaman, Edi S. Ekadjati, Ajip Rosidi, Wim van Zanten, Undang A. Darsa. (2004). Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda. Pusat Studi Sunda.
  • A. Sobana Hardjasaputra (Ed.). (2008). Sejarah Purwakarta.
  • Nina H. Lubis, Kunto Sofianto, Taufik Abdullah (pengantar), Ietje Marlina, A. Sobana Hardjasaputra, Reiza D. Dienaputra, Mumuh Muhsin Z. (2000). Sejarah Kota-kota Lama di di Jawa Barat. Alqaprint. ISBN 9799565243.

Pranala luar

  1. ^ Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, (1995), La principauté de Banten Girang, Archipel, Vol. 50, pp 13-24