Yap Thiam Hien

Pengacara dan pembela hak asasi manusia Indonesia
Revisi sejak 24 Februari 2006 12.16 oleh Ciko (bicara | kontrib) (Kegiatan)

Yap Thiam Hien (Koeta Radja 25 Mei 1913 - Brusel 25 April 1989) adalah seorang pengacara Indonesia keturunan Tionghoa. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Biografi

Yap Thiam Hien anak sulung dari tiga bersaudara dari Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio, dibesarkan dalam lingkungan perkebunan yang sangat feodalistik. Kondisi lingkungan feodalistik ini telah menempa pribadi cucu Kapitan Yap Hun Han ini sejak kecil bersifat memberontak dan membenci segala bentuk penindasan dan kesewenang-wenangan.

Ia pun belajar di Europesche Lagere School, Banda Aceh. Kemudian melanjut ke MULO di Banda Aceh. Setamat dari MULO, Yap meninggalkan Banda Aceh, melanjutkan studi ke AMS A-II jurusan Sastra Barat di Yogyakarta pada 1933. Ketika di AMS itu Yap banyak menghabiskan waktu membaca literatur berbahasa Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, dan Latin.

Kemudian ia pindah ke Batavia, dan masuk Chineesche Kweekschool. Selepas itu, Yap menjadi guru di Chinese Zendingschool, Cirebon. Berikutnya menjadi guru di Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School di Rembang dan Christelijke School di Batavia. Lalu, sejak 1938, Yap yang pernah menjadi pencari langganan telepon, bekerja di kantor asuransi Jakarta dan di Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman pada 1943.

Setelah kemerdekaan, Yap berangkat ke Belanda melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda. Dari sana ia meraih gelar Meester de Rechten.

Sekembali ke tanah air, ia mulai berkiprah sebagai seorang pengacara sejak 1948. Pada mulanya menjadi pengacara warga keturunan Tionghoa di Jakarta. Setelah lebih berpengalaman, Yap bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja dan Komar membuka kantor pengacara pada 1950. Sampai kemudian, Yap membuka kantor pengacara sendiri sejak tahun 1970 dan kemudian memelopori berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) dan kemudian menjadi pimpinan asosiasi advokat itu.

Dalam rangka memperkuat perlawanannya terhadap penindasan dan tindakan diskriminatif yang dialami keturunan Tionghoa, Yap ikut mendirikan BAPERKI, suatu lembaga politik untuk orang-orang Tionghoa. Lalu, pada Pemilihan Umum 1955, ia menjadi anggota DPR dan Konstituante.

Nama Yap muncul ke permukaan setelah ia terlibat dalam perdebatan di Konstituante pada 1959. Ketika itu, sebagai seorang anggota DPR dan Konstituante keturunan Tionghoa, ia menolak kebijakan fraksinya yang mendapat tekanan dari pemerintah. Ia satu-satunya anggota Konstituante yang menentang UUD 1945 karena keberadaan Pasal 6 yang diskriminatif dan konsep kepresidenan yang terlalu kuat.

Perjalanan karir dan perjuangannya juga ditopang dengan kuat oleh istrinya, Tan Gian Khing Nio, yang berprofesi guru. Mereka dikaruniai dua anak, Yap Hong Gie dan Yap Hong Ai, serta empat cucu. Yap, yang meraih gelar doktor honoris causa dikenal sebagai pengabdi hukum sejati.

Dalam perjalanan tugas menghadiri konferensi internasional Lembaga Donor untuk Indonesia di Brussel, Belgia, Yap menderita pendarahan usus. Setelah dua hari dirawat di Rumah Sakit Santo Agustinus, Brussel, Yap menghembuskan napas yang terakhir pada 25 April 1989. Jenazahnya diterbangkan ke Jakarta. Lima hari kemudian, diiringi ribuan pelayat, jenazahnya dikebumikan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta.

Kegiatan

Selama menjadi pengacara, Yap pernah membela pedagang di Pasar Senen yang tempat usahanya tergusur oleh pemilik gedung. Yap juga menjadi salah seorang pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Pada era Bung Karno, Yap menulis artikel yang mengimbau presiden agar membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Subadio, Syahrir, dan Princen.

Begitu pula ketika terjadinya Peristiwa G30S, Yap, yang dikenal sebagai pribadi yang antikomunis, juga berani membela para tersangka G30S seperti Abdul Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat. Yap bersama Aisyah Aminy, Dr Halim, Wiratmo Sukito, dan Dr Tambunan yang tergabung dalam Lembaga Hak-hak Asasi Manusia yang mereka dirikan dan sekaligus mewakili Amnesty Internasional di Indonesia, meminta supaya para tapol PKI dibebaskan.

Ia juga membela Soebandrio, bekas perdana menteri, yang menjadi sasaran cacian massa pada awal Orde Baru itu. Pembelaan Yap yang serius dan teliti kepada Soebandrio itu sempat membuat hakim-hakim militer di Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) bingung dan kesal.

Yap juga seorang tokoh yang antikorupsi. Ia bahkan sempat ditahan selama seminggu pada tahun 1968 sebagai akibat kegigihannya menentang korupsi di lembaga pemerintah.

Pada Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974, Yap juga tampil teguh memosisikan diri membela para aktivis mahasiswa. Ia pun ditahan tanpa proses peradilan. Ia dianggap menghasut mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran. Begitu pula ketika terjadi Peristiwa Tanjung Priok pada 1984, Yap maju ke depan membela para tersangka.

Lihat juga

Pranala luar