Perkawinan Adat Makassar

Revisi sejak 24 Desember 2019 13.04 oleh Labbiri (bicara | kontrib) (istilah lokal)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Pengantar

Perkawinan Adat Makassar adalah salah satu warisan budaya yang sampai saat ini masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Makassar. Semua orang tua mengharapkan agar anaknya dapat tumbuh dan berkembang supaya setelah besar dapat menikah dengan ramai yang disebut Bunting Lompo. Harapan ini terwujud apabila sang anak baik laki-laki mauupun perempuan mengikuti aturan adat dan taat melakukan ajaran agama yang dianutnya.[1]

1. Bentuk- bentuk Perkawinan

Dalam masyarakat Makassar dikenal adanya dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinaan yang melalui proses peminangan assuro’ dan perkawinan tanpa melalui peminangan. Kedua bentuk perkawinan ini masih ditemukan dalam masyarakat Makassar.[2]

Bentuk perkawinan yang melalui proses peminaangan adalah suatu bentuk perkawinan yang tata cara pelaksanaannnya mengikuti adat-istiadat perkawinan masyarakat Makassar. Prosesnya kadang-kadang lama, bergantung pada kesepakatan kedua belah pihak.

Bentuk perkawinan yang tidak melalui proses peminangan dalam bahasa Makassar disebut Annyala ‘kawin lari’. Bentuk perkawinan semacam ini selalu menimbulkan perselisihaan antara keluarga si gadis dengan keluarga si pemuda. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kawin lari (Silariang), [3]antara lain:

a) Pinangan laki-laki ditolak, biasanya karena adanya perbedaan garis keturunan, status sosial dan status pendidikan.

b)  Pihak laki-laki tidak sanggup memenuhi persyaratan yang diajukan pihak perempuan, seperti uang belanja (Uang Panaik), mahar, dan lain-lain.

c)   Kedua belah pihak sudah terlanjur melakukan perbuatan yang melanggar hukum adat.

Berdasarkan faktor di atas, maka kawin lari dalam masyarakat Makassar terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

1) Silariang, yaitu proses kawin lari yang dilakukan oleh kedua pihak dengan dasar suka sama suka (saling mencintai) sehingga mereka bersama-sama ke rumah Imam untuk dinikahkan.

2) Nilariang/rilariang (dialek Konjo), yaitu seorang gadis dibawa atau dilarikan secara paksa oleh seorang pemuda karena hubungan mereka tidak direstui atau pihak laki-laki maerasa balas dendam karena dipermalukan oleh pihak perempuan.

3) Erang kale, yaitu seorang gadis membawa dirinya ke rumah Imam, lalu mereka menunjuk laki-laki yang akan menikahinya.

2. Prosesi Perkawinan Adat Makassar

Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam adat perkawinan Makassar dan setiap tahap menggunakan ungkapan yang berbeda-beda. Pada dasarnya, prosesi perkawinan terbagi atas tiga, yaitu sebelum perkawinan, perkawinan sedang berlangsung, dan sesudah perkawinan. Berikut ini dipaparkan tahap-tahap perkawinan beserta ungkapan yang digunakan dalam bahasa Makassar.

1)  Acara Sebelum Perkawinan

Ada beberapa tahapan praperkawinan adat Makassar,[4] yaitu:

a) Accinik rorong ‘Penjajakan’

Pada tahap ini pihak laki-laki melakukan penjajakan dengan penuh rahasia sehingga pihak perempuan belum mengetahui maksud kedatangan tamunya. Salah satu cara untuk mengungkapkan maksudnya ialah dengan menggunakan paruntukkana.

Ebarakna:

Pihak laki-laki: Lompona anne rappona untia, erokku ampalessoki anakna.

Pihak perempuan: “Io sallomintu erok nipalessok, mingka tenanaji nakke paklamungangku.

b) Appabattu kana ‘Melamar

Merupaka lanjutan dari ‘accinik rorong’. Contoh ungkapan yang digunakan

Pihak laki-laki: Niak annae nasuropakkutaknanngang Daeng Nanganu…Anjo mae bunga sibolloa apa niakmo angkalliki? Na punna tenapa, niak illak takasimbanganna Daeng Nganu…erok ampakabani bellaya, ampaka jarreki takrokaya.

Pihak perempuan: Alhamdulillah, rannu dudumak antu allanngereki ri kabattuanta, mingka takuassengapi anne ri niakna ri tenana angkalliki. Lanri kammanami anjo na kupauang aseng todok rodok toana siagang purinanna.[5]

c) Appakkuling ‘Mengulangi untuk Mempertegas’

Appakkuling ialah mempertegas kembali apa yyang teah dipertanyakan sebelumnya dengan maksud untuk mengetahui apakah lamarannya diterima atau ditolak.

d) Appakajarrek/Annyikkok ‘mengikat’

Appakajarrek yaitu menyepakati atau menyatukan pendapat untuk melaksanakan pesta perkawinan. Pada tahap ini sudah dibicarakan ‘sunrang’ uang belanja (doek panaik) 

dan perlengkapan lainnhya atau erang-erang, juga sering dibuktikan dengan sebentuk cincin yang disebut cincin passikkok.

2) Acara sedang Berlangsungnya Pernikahan[6]

a) Simorong/naikmi kalenna (Pengantin laki-laki di antar ke rumah pengantin perempuan). Laki-laki disambut dengan ganrang iareka nirateki. Setelah itu, pengantin diapanggil oleh

Anrong bunting/yang ditunjuk untuk melantunkan syair pakkiok bunting.

b) Appabattu  Nikka ‘Ijab Kabul’

c) Nilekka, yaitu pengantin perempuan diantar ke rumah pengantin laki-laki. Pada acara ini, pengantin perempuan juga membawa pakblasak iareka pakmatoang ia siratannaya.

Biasanya pengantin perempuan dipanggil pula dengan syair, lalu mereka diberikan sesuatu yang berharga ‘pannimbaranngi’.

3) Sesudah Perkawinan

Sesudah perkawinan masih ada acara yang disebut appakbajikang/ appakjamakkang yang berarti mendamaikan atau menyatukan tangan kedua mempelai dalam mengarungi bahtera rumah baru.

Ungkapan Anrong Bunting:

”Kupasijai kamminne topenu.........siagang topena....na kamma todong sikabale-baleinnu.

  1. ^ Wahid, Sugira (2008). Manusia Makassar. Makassar: Pustaka Refleksi. 
  2. ^ Labbiri, Labbiri (2018). Sastra Kelong. Makassar: Kanaka. ISBN 978-623-7029-09-0. 
  3. ^ Wahid, Sugira (1992). Metafora Bahasa Makassar. Makassar: PPs Universitas Hasanuddin. 
  4. ^ Daeng, Kembong (2016). Pappilajarang Basa Siagang Sasetera Mangkasarak. Makassar: UD MANDIRI. ISBN 978-602-1347-41-6. 
  5. ^ Labbiri, Labbiri (2018). Sastra Kelong. Makassar: CV Kanaka Media. ISBN 978-623-7029-09-0. 
  6. ^ Daeng, Kembong (2008). Bahan Ajar Bahasa Makassar. Makassar: FBS UNM. ISBN 978-602-1347-41-6.