Sumanto

manusia kanibalisme asal Indonesia

Sumanto (lahir 3 Maret 1972) adalah seseorang yang dikenal karena kasus kanibalisme. Pada awal tahun 2003, namanya dikenal secara luas di Indonesia karena terlibat kasus pencurian mayat dan memakannya karena percaya ini akan memberinya kekuatan batin supranatural. Ia mengaku telah memakan 3 orang di tempat yang berbeda, yakni di Lampung dan Purbalingga. Kepercayaan Sumanto didasarkan pada kepercayaan mistis lokal. Para pakar berpendapat bahwa Sumanto mengidap penyakit jiwa.

Sumanto
LahirSumanto
(1972-03-03)3 Maret 1972
[ Ceper, Klaten]], Jawa Tengah, Indonesia
Suami/istriSutrimah
Tugiyem
AnakTitis Wahyu Widianti

Ia dihukum pidana selama 5 tahun, tetapi dibebaskan pada tanggal 24 Oktober 2006 yang bertepatan dengan Hari Idul Fitri, setelah beberapa kali mendapatkan remisi. Ia kemudian ditampung di rumah rehabilitasi An-Nur, Bungkanel, Karanganyar, Purbalingga. Sumanto ditempatkan di pesantren karena warga purbalingga tidak menerima kembali Sumanto di desanya.

Kehidupan awal

Sumanto dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1972 dari pasangan Nuryadikarta dan Samen. Ia merupakan anak sulung dari lima bersaudara—masing-masing bernama Mulyati, Karyono, Maryati, dan Mulyanto.[1] Masa kecilnya termasuk berkecukupan karena warisan yang diperoleh ayahnya dari kakek dan neneknya.[1] Sumanto menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Pelumutan 1, dan ia dipanggil dengan nama Suman oleh teman-temannya.[1] Sifatnya sebagai "anak badung" mulai terlihat pada periode ini, meski ia masih tetap mampu lulus sekolah dasar. Niatnya untuk masuk ke SMP Negeri 1 Kemangkon terhalang karena nilai ebtanas murni (NEM) yang diraihnya tidak mencukupi. Sumanto pada akhirnya mengulang kelas 6 di SD Negeri Pelumutan 2, dan ia lulus setahun berikutnya. [2]

Ia kemudian diterima di SMP pilihannya. Sekolah barunya berjarak 3 kilometer dari rumah, memaksa Sumanto untuk berjalan kaki pulang-pergi setiap hari.[2] Aktivitasnya sepulang sekolah adalah menggembala kambing dan mencari rumput, dan pada sore harinya ia belajar ilmu agama di masjid sekitar rumahnya.[2] Malam hari dihabiskannya dengan menyaksikan layar tancap atau pementasan wayang. Periode ini ditandai dengan kesulitan ekonomi yang melanda keluarganya. Masalah ini mau tidak mau mengakibatkan perabotan rumah tangga mereka satu per satu dijual demi memenuhi kebutuhan hidup.[2] Saat duduk di bangku kelas 3 SMP, Sumanto putus sekolah karena beberapa alasan tertentu.[2]

Kehidupan pribadi

Sumanto memiliki 2 orang mantan istri. Ia bertemu istri pertamanya, Sutrimah, saat bekerja di Lampung. Pernikahan ini tergolong singkat karena faktor kekerasan dalam rumah tangga.[3] Setahun setelah bercerai dengan Sutrimah, ia menjalin hubungan dengan seorang janda bernama Tugiyem—warga Lampung yang juga bekerja di perusahaan tebu tempat kerja Sumanto.[4] Mereka menikah pada tahun 1993 dan dikaruniai seorang putri bernama Titis Wahyu Widianti. Setelah menikah lagi, ia menjadi jarang pulang ke rumah dan hanya sesekali kembali. Kekerasan rumah tangga seringkali terjadi dan pernikahan ini berakhir dengan perceraian.[4]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c Amin 2005, hlm. 52.
  2. ^ a b c d e Amin 2005, hlm. 53.
  3. ^ Amin 2005, hlm. 60.
  4. ^ a b Amin 2005, hlm. 61.

Daftar pustaka

Sumber

Situs web