Kota Palopo

kota di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia

Kota Palopo adalah sebuah kota di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota administratif sejak 1986 dan merupakan bagian dari Kabupaten Luwu yang kemudian berubah menjadi kota pada tahun 2002 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002.

Kota Palopo
Daerah tingkat II
Berkas:Palopo5.jpg
Motto: 
Kota IDAMAN ("Indah, Damai, dan Nyaman")[1]

Peta
Kota Palopo di Sulawesi
Kota Palopo
Kota Palopo
Peta
Kota Palopo di Indonesia
Kota Palopo
Kota Palopo
Kota Palopo (Indonesia)
Koordinat: 3°00′S 120°12′E / 3°S 120.2°E / -3; 120.2
Negara Indonesia
ProvinsiSulawesi Selatan
Tanggal berdiri10 April 2002
Dasar hukumUU Nomor 11 Tahun 2002
Jumlah satuan pemerintahan
Daftar
  • Kecamatan: 9
  • Kelurahan: 48
Pemerintahan
 • BupatiDrs. H.M. Judas Amir
Luas
 • Total247,52 km km2 (Formatting error: invalid input when rounding sq mi)
Populasi
 ((2015)[3])
 • Total168.830
Demografi
 • AgamaIslam 82.27%
Kristen Protestan 15.64%
Katolik 1.60
Hindu 0.27%
Budha 0.22%
 • IPM77,30 (BPS;2019)
Zona waktuUTC+08:00 (WITA)
Kode BPS
7373 Edit nilai pada Wikidata
Kode area telepon0471
Kode Kemendagri73.73 Edit nilai pada Wikidata
APBDRp 496.086.732.240,00 (2012)[4]
DAURp. 408.527.791.000.-
Situs webhttp://www.palopokota.go.id/
Istana datu Luwu pada masa Hindia Belanda
Masjid Tua Palopo dengan corak khas Bugis
Pasar Kota Palopo

Pada awal berdirinya sebagai kota otonom, Palopo terdiri atas 4 kecamatan dan 20 kelurahan. Kemudian, pada tanggal 28 April 2005, berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palopo Nomor 03 Tahun 2005, dilaksanakan pemekaran menjadi 9 kecamatan dan 48 kelurahan.

Kota ini memiliki luas wilayah 247,52 km²[2] dan pada akhir 2015 berpenduduk sebanyak 168.894 jiwa[3] .

Sejarah

Perkembangan awal

Kota Palopo ini dulunya bernama Ware yang dikenal dalam Epik La Galigo. Nama "Palopo" ini diperkirakan mulai digunakan sejak tahun 1604, bersamaan dengan pembangunan Masjid Jami' Tua. Kata "Palopo" ini diambil dari kata bahasa Bugis-Luwu. Artinya yang pertama adalah penganan yang terbuat dari ketan, gula merah, dan santan. Yang kedua berasal dari kata "Palopo'i", yang artinya tancapkan atau masukkan. "Palopo'i" adalah ungkapan yang diucapkan pada saat pemancangan tiang pertama pembangunan Masjid Tua. Dan arti yang ketiga adalah mengatasi.[5]

Palopo dipilih untuk dikembangkan menjadi ibu kota Kesultanan Luwu menggantikan Amassangan di Malangke setelah Islam diterima di Luwu pada abad XVII.[5] Perpindahan ibu kota tersebut diyakini berawal dari perang saudara yang melibatkan dua putera mahkota saat itu. Perang ini dikenal dengan Perang Utara-Selatan. Setelah terjadinya perdamaian, maka ibu kota dipindahkan ke daerahn di antara wilayah utara dan selatan Kesultanan Luwu.[5]

Kota dilengkapi dengan alun-alun di depan istana, dan dibuka pula pasar sebagai pusat ekonomi masyarakat. Lalebbata menjadi pusat kota kala itu. Dalam kajian M. Irfan Mahmud, pusat kota ini melingkar seluas kurang lebih 10 ha, yang meliputi kampung Amassangan dan Malimongan.[5]

Dalam perkembangannya, maka perlahan-lahan Palopo meluaskan wilayahnya dengan terbukanya kluster kampung tingkat kedua, yakni Surutanga. Luasan wilayah kluster kedua ini sekitar 18 ha, dan diyakini dulunya menjadi pemukiman rakyat dengan aktivitas sosial-ekonomi yang intensif. Menurut penelitian, diduga bahwa Kampung Surutanga ini dihuni hampir semua golongan rakyat. Dengan lokasi yang dekat dengan pantai dan areal persawahan, maka sebagian besar masyarakat Surutanga saat itu bekerja sebagai nelayan dan petani. Pada kontek awal perkembangan Palopo ini, batas kota diyakini berada melingkar antara makam Jera’ Surutanga di selatan, makam Malimongan di sisi barat, dan makam raja Lokkoe di utara Sungai Boting.[5]

Perkembangan Palopo kemudian dilanjutkan dengan tumbuhnya Kampung Benturu sebagai kluster tingkat ketiga seluas 5 ha. Pemukiman Benturu kala itu dilingkungi benteng pertahanan yang terbuat dari tanah menyerupai parit. Tinggi rata-rata dinding benteng 2 meter dan lebar rata-rata 7 meter. Panjang benteng tidak kurang 5 kilometer menghadap pantai. Benteng ini disebut Benteng Tompotikka, yang bermakna “tempat matahari terbit”. Lokasi benteng ini diyakini berada di sekitar Kompleks Perumahan Beringin Jaya. Kala itu, dalam areal benteng ini terdapat jalan setapak sepanjang 1500 meter yang membujur timur-barat. Namun demikian, Kampung Benturu ini diyakini tidak sezaman dengan Surutanga dan Lalebbata. Benteng diperkirakan dibangun pada abad XIX untuk persiapan menghadapi Belanda.[5]

Masa Kolonial

Dalam catatan Gubernur Celebes tahun 1888, DF Van Braam Morris, pada saat itu di Palopo ada sekitar 21 kampung dengan jumlah bangunan rumah sebanyak 507 buah. Di era itu, Tappong menjadi wilayah paling padat dengan 100 rumah, lalu Ponjalae 70 rumah dan Amassangan 60 rumah. Total penduduk Palopo kala itu ditaksir sebanyak 10.140 jiwa. Jumlah ini belum termasuk penduduk di wilayah Pulau Libukang yang mencapai 400 jiwa. Keduapuluh satu kampung tersebut adalah: Tappong, Mangarabombang, Ponjalae, Campae, Bonee, Parumpange, Amassangan, Surutanga, Pajalesang, Bola sadae, Batupasi, Benturu, Tompotikka, Warue, Songka, Penggoli, Luminda, Kampungberu, Balandai, Ladiadia dan Rampoang.

Dari catatan Morris ini, bisa ditarik kesimpulan sederhana bahwa saat itu memang Palopo sudah memperlihatkan sebuah ciri masyarakat urban. Hal itu ditandai dengan pemusatan penduduk yang lebih intensif dibandingkan daerah lain di wilayah Kerajaan Luwu. Menurut M. Irfan Mahmud, masyarakat dari Toraja dan Luwu bagian utara mulai menghuni Kota Palopo dengan menempati lahan bekas makam di Luminda dan separuh lahan persawahan sebagai kelanjutan pemukiman di tepi Sungai Boting. Kedatangan atau migrasi masyarakat Toraja dan Luwu bagian utara ini tentu didorong oleh sebuah harapan. Bagi mereka, selain menjadi bantuan untuk pertahanan militer kerajaan Luwu, Palopo juga dianggap lebih memberi harapan atas kehidupan yang lebih baik atas diri mereka.

Ciri masyarakat urban ini ditegaskan lagi dengan terbangunnya infrastruktur pada masa kolonial. Belanda mulai membangun Palopo pada tahun 1920. Oleh pemerintah colonial, alun-alun kerajaan dibanguni pasar dan rumah jabatan pegawai Belanda. Istana Datu Luwu yang terbuat dari kayu dirombak dan digantikan dengan bangunan berarsitektur Eropa. Didirikan pula sekolah, asrama militer, rumah sakit dan gereja di sisi barat istana. Selain itu, pembangunan pelabuhan dan gudang di bagian timur merangsang tumbuhnya pemukiman baru. Banyak lahan rawa pantai diubah menjadi pemukiman. Demikian pula di bagian barat, yang mana lahan persawahan mulai beralih fungsi menjadi pemukiman. Daerah-daerah tersebut antara lain adalah Sempowae, Dangerakko, Pajalesang dan Boting.

Masa kemerdekaan

Perkembangan Palopo mengalami pasangsurut akibat insiden 23 Januari 1946 dan pemberontakan DI/TII. Pembangunan kembali bergairah ketika Abdullah Suara menjabat Bupati Luwu kala itu. Ia membangun banyak infrastruktur seperti Masjid Agung Luwu-Palopo, kantor Bupati Luwu (yang habis terbakar akibat rusuh pilkada beberapa waktu lalu), rumah jabatan Bupati (Saokotae), hingga Pesantren Modern Datok Sulaiman. Hal ini menjadikan Palopo sebagai ibu kota Kabupaten Luwu mulai menjadi mercusuar ekonomi di utara Sulawesi Selatan. Perlahan tetapi pasti, peningkatan status Kota Administratif (kotif) kemudian disandang di 4 Juli 1986 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 1986. Seiring dengan perkembangan zaman, tatkala gaung reformasi bergulir dan melahirkan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan PP Nomor 129 Tahun 2000, telah membuka peluang bagi kota administratif di seluruh Indonesia yang telah memenuhi sejumlah persyaratan untuk dapat ditingkatkan statusnya menjadi sebuah daerah otonom.

Ide peningkatan status Kotif Palopo menjadi daerah otonom bergulir melalui aspirasi masyarakat yang menginginkan peningkatan status kala itu, yang ditandai dengan lahirnya beberapa dukungan peningkatan status Kotif Palopo menjadi Daerah Otonom Kota Palopo dari beberapa unsur kelembagaan penguat seperti:

  • Surat Bupati Luwu nomor 135/09/TAPEM tanggal 9 Januari 2001 tentang Usul Peningkatan Status Kotif Palopo menjadi Kota Palopo;
  • Keputusan DPRD Kabupaten Luwu Nomor 55 Tahun 2000 tanggal 7 September 2000 tentang Persetujuan Pemekaran/Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Otonomi;
  • Surat Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan nomor 135/922/OTODA tanggal 30 Maret 2001 tentang Usul Pembentukan Kotif Palopo menjadi Kota Palopo;
  • Keputusan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan nomor 41/III/2001 tanggal 29 Maret 2001 tentang Persetujuan Pembentukan Kotif Palopo menjadi Kota Palopo;
  • Hasil Seminar Kota Administratif Palopo Menjadi Kota Palopo;
  • Surat dan dukungan Organisasi Masyarakat, Organisasi Politik, Organisasi Pemuda, Organisasi Wanita, dan Organisasi Profesi;
  • Disertai dengan Aksi Bersama LSM Kabupaten Luwu memperjuangkan Kotif Palopo menjadi Kota Palopo, kemudian dilanjutkan oleh Forum Peduli Kota.

Akhirnya, setelah Pemerintah Pusat melalui Depdagri meninjau kelengkapan administrasi serta melihat sisi potensi, kondisi wilayah, dan letak geografis Kotif Palopo yang berada pada Jalur Trans Sulawesi dan sebagai pusat pelayanan jasa perdagangan terhadap beberapa kabupaten yang meliputi Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Tana Toraja, dan Kabupaten Wajo serta didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai, Kotif Palopo kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Otonom Kota Palopo.

Tanggal 2 Juli 2002 merupakan salah satu tonggak sejarah perjuangan pembangunan Kota Palopo, dengan ditandatanganinya prasasti pengakuan atas daerah otonom Kota Palopo oleh Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Palopo dan Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Selatan, yang akhirnya menjadi sebuah daerah otonom, dengan bentuk dan model pemerintahan serta letak wilayah geografis tersendiri, berpisah dari induknya yakni Kabupaten Luwu.

Di awal terbentuknya sebagai daerah otonom, Kota Palopo hanya memiliki 4 wilayah Kecamatan yang meliputi 19 Kelurahan dan 9 Desa. Namun seiring dengan perkembangan dinamika Kota Palopo dalam segala bidang sehingga untuk mendekatkan pelayanan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat, maka pada tahun 2006 wilayah kecamatan di Kota Palopo kemudian dimekarkan menjadi 9 Kecamatan dan 48 Kelurahan.

Tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Palopo mencapai 8,8 persen. Dengan pertumbuhan yang cukup tinggi ini, Palopo tetap menjadi harapan dari warganya atas kesejahteraan yang lebih baik. Harapan ini tentu bukanlah harapan kosong belaka. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Palopo tercatat sebagai yang terbaik ketiga di Sulawesi Selatan. Inilah doktrin “wanua mappatuwo”. Palopo dan Tana Luwu pada umumnya adalah kota tempat menggantungkan optimisme dan harapan.

Wali kota

Wali Kota Palopo
 
Petahana
Firmanza DP

sejak 27 September 2024
Pemerintah Kota Palopo
KediamanRumah Jabatan Wali Kota
Palopo, Sulawesi Selatan
Masa jabatan5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan
PendahuluWali Kota Administratif Palopo
Dibentuk10 April 2002; 22 tahun lalu (2002-04-10)
Pejabat pertamaPatedungi Andi Tenriadjeng
WakilWakil Wali Kota Palopo
Situs webSitus web resmi

Berikut adalah daftar Wali Kota Palopo secara definitif sejak tahun 2002 di bawah Pemerintah Republik Indonesia.

Wali kota administratif

Sebelum menjadi sebuah kota, Palopo merupakan kota administratif dan merupakan bagian dari Kabupaten Luwu.

  Wali Kota Administratif Palopo
Kabupaten Luwu
No. Wali Kota Administratif Potret Partai Awal Akhir Masa jabatan Ref.
1   M. Alwy Rum
(1944–2021)
  Non Partai 1986 1989 2–3 tahun [6]
2   H. M. Ridwan
  Non Partai 1989 Tidak diketahui

Wali kota madya

  Wali Kota Palopo  
No. Wali Kota Potret Partai Awal Akhir Masa jabatan Periode Wakil Ref.
1   Patedungi Andi Tenriadjeng
(1945–2020)
  Non Partai 6 Juli 2003 6 Juli 2008 5 tahun, 0 hari 1
(2003)
Saruman
6 Juli 2008 6 Juli 2013 5 tahun, 0 hari 2
(2008)
Rahmat Masri Bandaso [7]
2   Muhammad Judas Amir
(1949–)
  Non Partai 6 Juli 2013 6 Juli 2018 5 tahun, 0 hari 3
(2013)
Akhmad Syarifuddin [8]
  NasDem 26 September 2018 26 September 2023 5 tahun, 0 hari 4
(2018)
Rahmat Masri Bandaso [9]

</onlyinclude>

Pengganti sementara

Dalam tumpuk pemerintahan, seorang kepala daerah yang mengajukan diri untuk cuti atau berhenti sementara dari jabatannya kepada pemerintah pusat, maka Menteri Dalam Negeri menyiapkan penggantinya yang merupakan birokrat di pemerintah daerah atau bahkan wakil wali kota, termasuk ketika posisi wali kota berada dalam masa transisi.

Potret Wali Kota Partai Awal Akhir Durasi Periode Definitif Ref.
  Patedungi Andi Tenriadjeng
(1945–2020)
(Penjabat)
Non Partisan 10 April 2002 6 Juli 2003 1 tahun, 87 hari Transisi [10]
  Andi Arwien Azis
(1976–)
(Penjabat)
Non Partisan 9 Juli 2018 26 September 2018 79 hari Transisi [11]
  Asrul Sani
(1975–)
(Penjabat)
Non Partisan 26 September 2023 27 September 2024 1 tahun, 1 hari Transisi [12]
  Firmanza DP
(1968–)
(Penjabat)
Non Partisan 27 September 2024 Petahana 52 hari [13]

Lihat Pula

Referensi

  1. ^ Syafrillah Filla (05-07-2012). "Refleksi 10 Tahun Kota Palopo". 
  2. ^ a b "Official Website Pemerintah Kota Palopo: Sekilas Palopo". Palopo: Pemerintah Kota Palopo. 
  3. ^ a b Kota Palopo dalam Angka 2016 (pdf). Palopo: BPS. 2016. hlm. 35-42. Diakses tanggal 21-09-2016. 
  4. ^ "Ringkasan APBD Tahun Anggaran 2012" (pdf). Pemerintah Kota Palopo. 04-01-2012. Diakses tanggal 14-02-2014. 
  5. ^ a b c d e f Mahmud, M. Irfan (2003). Kota kuno Palopo: dimensi fisik, sosial, dan kosmologi. Makassar: Masagena Press. ISBN 9799797705. LCCN 2004395232. OCLC 55680190. OL 3355797M. 
  6. ^ Mimbar Departemen Dalam Negeri. Depdagri. 1987. hlm. 11. 
  7. ^ "Tenriadjeng dan Rahmat Resmi menjadi Wali kota dan Wakil Wali kota Palopo 2008-2013". Pemerintah Kota Palopo. 5 Juli 2008. [pranala nonaktif permanen]
  8. ^ "Gubernur Telat, Pelantikan Wali Kota Palopo Molor". Tribun Timur. 6 Juli 2013. 
  9. ^ Diskominfo Palopo (9 Juli 2018). ""Juara" resmi pimpin Palopo". Pemerintah Kota Palopo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-01-18. Diakses tanggal 27 September 2018. 
  10. ^ "Sejarah Kota Palopo". Pemerintah Kota Palopo. 5 Juli 2003. [pranala nonaktif permanen]
  11. ^ Chaeruddin (9 Juli 2018). "Andi Arwien Azis Kembali Jabat Pj Wali Kota Palopo". SindoNews. Diakses tanggal 26 Agustus 2018. 
  12. ^ Renaldi Cahyadi (26 September 2023). Sudirman, ed. "Sosok Asrul Sani Pejabat Senior Kelahiran Bone Kini Jabat Pj Wali Kota Palopo". Tribun-Timur.com. Diakses tanggal 26 September 2023. 
  13. ^ "Firmanzah DP Resmi Jabat Pj Wali Kota Palopo". sulsel.herald.id. 27 September 2024. Diakses tanggal 27 September 2024. 


Kota Palopo dinakhodai pertama kali oleh Bapak Drs. H.P.A. Tenriadjeng, M.Si., yang diberi amanah sebagai penjabat Wali kota (Caretaker) kala itu, mengawali pembangunan Kota Palopo selama kurun waktu satu tahun, hingga kemudian dipilih sebagai Wali kota definitif oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palopo untuk memimpin Kota Palopo Periode 2003-2008, yang sekaligus mencatatkan dirinya selaku Wali kota pertama di Kota Palopo[1].

Pembagian Administratif

Kota Palopo awalnya terdiri atas 4 Kecamatan dan 20 Kelurahan. Berdasarkan Perda Kota Palopo Nomor 03 Tahun 2005, Kota ini dipecah menjadi 9 Kecamatan dan 48 Kelurahan.

Adapun daftar-daftar 9 Kecamatan tersebut adalah:

No. Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa)[2] Luas Wilayah (km²)[3] Jumlah Desa/Kelurahan Kepadatan Penduduk (Jiwa/km²)
1. Kecamatan Wara 32.026 11,49 6 2.787
2. Kecamatan Telluwanua 12.076 34,34 7 352
3. Kecamatan Wara Utara 19.628 10,58 6 1.855
4. Kecamatan Wara Barat 9.706 54,13 5 179
5. Kecamatan Wara Timur 31.998 12,08 7 2.649
6. Kecamatan Mungkajang 7.205 53,80 4 134
7. Kecamatan Sendana 5.915 37,09 4 159
8. Kecamatan Bara 23.701 23,35 5 1.015
9. Kecamatan Wara Selatan 10.448 10,66 4 980

Struktur Tanah

Struktur lapisan dan jenis tanah serta batuan di Kota Palopo pada umumnya terdiri atas 3 jenis batuan beku. Batuan metamorf dan batuan vulkanik serta endapan alluvial yang hampir mendominasi seluruh wilayah Kota Palopo.

Penyebaran jenis batuan dan struktur lapisan tanahnya mempunyai kecenderungan batuan beku granit dan garbo serta beberapa intrusi batuan lainnya. Kemudian dijumpai pula batuan beku yang merupakan jejak aliran larva yang telah membeku yang bersusunan balastik hingga andesitik.

Batuan sedimen yang dijumpai meliputi batu gamping, batu pasir, untuk mendukung pembangunan dan bangunan di kawasan Kota Palopo. Ketersediaan tanah urukan, pasir serta batuan di wilayah Kota Palopo cukup tersedia yang terhampar di beberapa sungai Battang, sungai Latupp,a dan sungai yang berbatasan dengan Kabupaten Luwu Kecamatan Lamasi atau Walenrang.

Suku dan Agama

Sebagian besar suku yang mendiami daerah ini meliputi Suku Bugis, Jawa, dan Konjo Pesisir dan sebagian kecil meliputi Suku Toraja, Minangkabau, Batak, dan Melayu. Islam adalah salah satu mayoritas agama yang dianut sebagian besar masyarakat Kota Palopo. Sedangkan Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu dianut oleh sebagian kecil masyarakat di Kota Palopo. Berikut jumlah penduduk menurut agama/kepercayaan:[4]

Islam 125.047 jiwa
Protestan 19.623 jiwa
Katolik 2.149 jiwa
Budha 324 jiwa
Hindu 483 jiwa
Khonghucu 3 jiwa
Lain-lain 303 jiwa

Geografis

Kota Palopo yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 tanggal 10 April 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Mamasa dan Kota Palopo di Provinsi Sulawesi Selatan terletak pada 02°53'15" - 03°04'08" LS dan 120°03'10" - 120°14'34" BT dengan batas administratif sebagai berikut:

Utara Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu
Timur Teluk Bone
Selatan Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu
Barat Kecamatan Walenrang dan Kecamatan Bassesang Tempe Kabupaten Luwu

Perusahaan Keramik

Kota Palopo rencana membangun perusahaan Keramik di antara :

Sasiun Radio

Kota Palopo sedang membangun stasiun radio, di antaranya :

  • Radio Wadi 99,7 FM (akan dilaksanakan 2025)

Referensi

  1. ^ "Official Website Pemerintah Kota Palopo: Sejarah Singkat Terbentuknya Kota Palopo". Palopo: Pemerintah Kota Palopo. 
  2. ^ Palopo dalam Angka 2013. Palopo: BPS. 2013. hlm. 83. Diakses tanggal 14-02-2014. 
  3. ^ Palopo dalam Angka 2013. Palopo: BPS. 2013. hlm. 8-10. Diakses tanggal 14-02-2014. 
  4. ^ "Sensus Penduduk 2010 - Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut: Provinsi Sulawesi Selatan". BPS.