Muwaqqit

ahli astronomi di masjid atau institusi Islam lainnya
Revisi sejak 6 Januari 2020 02.01 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Dalam sejarah dunia Islam, muwaqqit (bahasa Arab: موقت, kadang disebut juga miqati) adalah seorang ilmuwan yang bertugas sebagai ahli astronomi, penjaga ketepatan waktu, dan penentu waktu salat di sebuah masjid, madrasah, atau institusi Islam lainnya. Jabatan ini pertama kali tercatat pada zaman Kesultanan Mamluk (1250–1517) dan menyebar ke berbagai masjid dan madrasah besar. Jabatan muwaqqit biasanya diberikan kepada seorang ahli astronomi (ilmu falak), termasuk banyak ilmuwan terkemuka seperti seperti Syamsuddin al-Khalili (1320–1380) yang bertugas di Masjid Umayyah, Damaskus. Ini berbeda dengan jabatan muazin (juru azan) yang biasanya dipilih berdasarkan kesalehan dan keindahan suaranya alih-alih keahliannya di bidang astronomi. Tidak semua masjid memiliki muwaqqit, bahkan masjid-masjid besar pun banyak yang hanya mengandalkan muazin untuk menentukan waktu salat berdasarkan metode-metode tradisional.[1]

Darul Muwaqqit ("rumah sang muwaqqit") di Universitas Al-Qarawiyyin, Fes, Maroko.

Latar belakang

Salat, ibadah harian umat Islam, dilaksanakan sesuai jadwal yang didasarkan pada hadis-hadis (perkataan dan kebiasaan) Muhammad. Pada masa generasi awal umat Islam, para ulama mendefinisikan batas awal dan akhir penyelenggaraan salat sesuai fenomena astronomi.[2] Definisi-definisi ini menjadi bagian ilmu fikih dan masih diikuti hingga sekarang. Misalnya, waktu magrib dimulai dari terbenamnya matahari dan berakhir saat hilangnya syafak merah dari langit barat.[3][4] Jika dinyatakan dalam waktu setempat, waktu terjadinya fenomena-fenomena ini berubah-ubah sepanjang tahun dan juga tergantung posisi bujur dan lintang tempat tersebut.[5] Kata miqat dalam artian "waktu salat" disebutkan dalam teks suci utama umat Islam yaitu Al-Qur'an dan hadis, walaupun Al-Qur'an tidak menyebutkan definisi persis waktu-waktu tersebut.[4][6] Ilmu untuk menentukan waktu berdasarkan posisi matahari dan bintang-bintang, terutama dalam konteks menentukan waktu salat, disebut 'ilmu al-miqat dalam bahasa Arab sejak masa awal Islam.[6]

Sebelum istilah muwaqqit muncul di catatan-catatan peninggalan Dunia Islam, jabatan yang paling terkait dengan waktu penyelenggaraan salat adalah muazin atau juru azan. Posisi muazin telah ada sejak masa hidup Muhammad dan disebutkan dalam banyak catatan sejarah. Tugasnya adalah mengumandangkan azan, sering kali dari atas sebuah minaret sebelum adanya pengeras suara.[6] Minaret juga memudahkan sang muazin mengamati fenomena matahari terbenam yang merupakan pertanda waktu salat magrib.[5]

Sejarah muwaqqit

Awal mula

 
Masjid Amru bin Ash di al-Fusthath (kini bagian dari Kairo), tempat pertama kali posisi muwaqqit tercatat secara resmi.

Tak seperti posisi muazin yang sejarah dan asal-usulnya banyak disebutkan dalam catatan sejarah, asal-usul posisi muwaqqit tidak begitu jelas. Catatan sejarah paling awal menunjukkan bahwa posisi ini telah ada di Mesir pada masa Kesultanan Mamluk abad ke-13.[7] Menurut sejarawan astronomi David A. King, muwaqqit pertama yang diketahui tercatat adalah seorang bernama Abu al-Hasan Ali bin Abdul Malik bin Sim'un, yang wafat pada 685 H (1286/1287 M) dan menjabat sebagai muwaqqit di Masjid Amru bin Ash di al-Fusthath, Mesir. Putranya Muhammad al-Wajih (wafat 701 H atau 1301/1302 Masehi) dan cucunya Muhammad al-Majd juga menjabat sebagai muwaqqit di masjid yang sama.[8] Pada saat yang sama posisi serupa juga kemungkinan ada di kawasan Al-Andalus dan Maghribi tetapi dikenal dengan istilah berbeda.[7] Di Al-Andalus pada akhir abad ke-13 terdapat pasangan ayah-anak bernama Ahmad dan Husain dengan nama keluarga ibnu Baso, yang merupakan pakar astronomi yang bertugas menentukan waktu salat di Masjid Agung Granada. Tercatat gelar yang berbeda-beda dalam teks-teks yang menyebutkan kedua tokoh ini, di antaranya al-muadzdzin al-mubarak, al-imam al-mu'addil al-mubarak, al-syaikh al-mu'addil, amin al-awqat, serta muwaqqit.[9] Di Universitas Al-Qarawiyyin di Fes dikenal gelar al-mu'addil untuk astronom Muhammad al-Sanhaji (sekitar tahun 1317).[10] Pada sekitar tahun 1300, penulis Mesir Ibnu al-Ukhuwwah menulis buku pedoman tentang profesi-profesi yang ada pada masa itu. Buku ini menyebutkan posisi muazin serta tugas-tugas dan persyaratannya, tetapi tidak menyebutkan posisi muwaqqit.[11]

Abad ke-14 dan ke-15

 
Masjid Umayyah, salah satu pusat kegiatan para muwaqqit sejak abad ke-14.

Jika benar posisi resmi muwaqqit pertama kali muncul di Mesir, posisi ini tak lama kemudian menyebar di daerah Palestina dan Syam. Di Masjid Al-Haram Al-Khalil di Hebron, tercatat seorang muwaqqit Ibrahim bin Ahmad yang pada sekitar 1306 membuat salinan naskah astronomi karya Nasiruddin bin Sim'un (wafat 1337), seorang anggota keluarga yang sama dengan para muwaqqit di al-Fusthath.[12] Di Halab (Aleppo) tercatat seorang muwaqqit bernama Ibnu al-Sarraj (aktif sekitar 1325) yang juga merancang dan membuat berbagai peralatan astronomi serta menulis makalah tentang cara pembuatan dan penggunaannya.[13]

Juga di Syam, Ibnu asy-Syathir (hidup 1304–1375) mengepalai sebuah tim muwaqqit yang bertugas di Masjid Umayyah, Damaskus. Ia menyusun dua zij (tabel astronomi) serta membuat alat-alat astronomi seperti astrolab dan jam matahari. Di luar karyanya yang berkaitan dengan penentuan waktu, ia juga aktif di bidang teori planet-planet dan sebuah makalah teoretis mengenai model pergerakan matahari, bulan, dan planet-planet. Model ini bersifat geosentris tetapi secara matematika setara dengan model yang dikemukakan Nicolaus Copernicus pada abad ke-16.[13][14] Rekan Ibnu asy-Syathir yaitu Syamsudin al-Khalili (1320–1380) yang awalnya merupakan muwaqqit di Masjid Yalbugha sebelum pindah ke Masjid Umayyah menulis tabel-tabel waktu salat untuk Damaskus serta tabel berisi arah kiblat dari berbagai tempat.[13] Tidak semua kalangan ulama fikih menyetujui aktivitas para muwaqqit ini. Kadi Damaskus Tajuddin as-Subuki (1327–1370) mencela para muwaqqit yang menurutnya dipenuhi tukang nujum (munajjimun) dan peramal (kuhhan).[15]

Pada abad ke-15 aktivitas para muwaqqit paling banyak berada di Mesir, terutama Masjid al-Azhar, tetapi kiprah mereka mulai meredup. Muwaqqit al-Azhar Sibth al-Maradini (1423–1506) menulis berbagai karya di bidang penentuan waktu. Karya ini menggunakan ilmu astronomi yang relatif sederhana dan sangat banyak digunakan di Mesir dan Syam. King berspekulasi bahwa bisa jadi akibat dari kepopuleran ini karya-karya astronomi lanjutan menjadi terpinggirkan dan menjadi salah satu faktor berkurangnya minat terhadap ilmu astronomi di dunia Islam. Di antara muwaqqit lain yang tercatat pada abad ke-15 di berbagai masjid adalah al-Kaum ar-Risyi, 'izzuddin al-Wafa'i, al-Karadisi, dan Abdul Qadir al-'Ajmawi. Selain itu, dua ilmuwan bernama Ibnu al-Majdi, Ibnu Abil-Fath ash-Shufi juga aktif menulis di bidang waktu salat, tetapi tidak memiliki jabatan muwaqqit resmi.[14]

Setelah abad ke-15

Ilmu al-miqat dan aktivitas para muwaqqit berlanjut pada masa Kesultanan Utsmaniyah, walaupun tidak menghasilkan inovasi-inovasi sebesar abad ke-14 dan 15. Berbagai masjid di Istanbul memiliki ruangan yang disebut muvakkithanes, dan para ilmuwan di zaman Utsmani membuat tabel-tabel waktu salat untuk tempat-tempat baru dan menyesuaikan tabel-tabel yang ada sesuai konvensi Utsmani yang menggunakan waktu matahari terbenam sebagai pukul 12. Pada masa ini, aktivitas muwaqqit juga masih tercatat di Syam (terutama Masjid Umayyah) dan Mesir hingga abad ke-19.[16]

Referensi

  1. ^ King, David A. (1983). "The Astronomy of the Mamluks". Isis. 74 (4): 531–555. JSTOR 232211. 
  2. ^ Wensinck 1993, hlm. 26–27.
  3. ^ Hadi Bashori 2015, hlm. 150.
  4. ^ a b Wensinck 1993, hlm. 27.
  5. ^ a b King 1996, hlm. 289.
  6. ^ a b c King 1996, hlm. 286.
  7. ^ a b King 1996, hlm. 288.
  8. ^ King 1996, hlm. 298–299.
  9. ^ King 1996, hlm. 299.
  10. ^ King 1996, hlm. 300.
  11. ^ King 1983, hlm. 534.
  12. ^ King 1997, hlm. 156.
  13. ^ a b c King 1997, hlm. 157.
  14. ^ a b King 1996, hlm. 306.
  15. ^ King 1996, hlm. 306–307, 329 no. 8.
  16. ^ King 1996, hlm. 308.