Lucifer

malaikat yang dibangkitkan setelah kejatuhan iman Slavia
Revisi sejak 7 Januari 2020 01.36 oleh 114.125.219.135 (bicara) (PANTASKAH IBLIS DISEBUT DENGAN SEBUTAN “LUCIFER”? SEBUAH ANALISIS TEOLOGIS ATAS YESAYA 14:12-14 (Samuel T. Gunawan, teolog Protestan Kharismatik dan Gembala di BFM Palangka Raya))

PANTASKAH IBLIS DISEBUT DENGAN SEBUTAN “LUCIFER”? SEBUAH ANALISIS TEOLOGIS ATAS YESAYA 14:12-14 (Samuel T. Gunawan, teolog Protestan Kharismatik dan Gembala di BFM Palangka Raya)

PENDAHULUAN

Beberapa waktu yang lalu saya kedatangan tamu seorang anak muda ke rumah saya. Anak muda ini mengaku pernah bertemu dengan Iblis dalam mimpinya, dimana dalam mimpi tersebut ia berperang melawan Iblis namun pedang yang dipakainya tak mampu mengalahkan Iblis. Dimimpi itu juga anak muda ini melihat Yesus mengalahkan Iblis. Singkat cerita, dalam mimpinya tersebut anak muda ini mengatakan, Yesus memberitahukan kepadanya bahwa Iblis itu adalah Lucifer atau si Bintang Fajar sedangkan Yesus sendiri adalah Bintang Timur itu. Jadi berdasarkan mimpi itu anak muda ini menganggap bahwa istilah “Bintang Fajar” dan Bintang Timur itu tidak sinonim. Bintang Fajar adalah gelar Iblis, sedangkan Bintang Timur gelar Yesus. Mendengar kisah mimpi anak muda ini, saya bertanya kepadanya apakah dia percaya pada pada apa yang dikatakan Alkitab? Anak muda ini mengaku bahwa ia mempercayai Alkitab namun bersikeras bahwa mimpinya itu berasal dari Tuhan dan bahwa Bintang Fajar adalah nama Lucifer itu sendiri. Saya mengatakan kepadanya bahwa jika dia memperayai Alkitab, maka ia harus percaya bahwa Yesus yang datang dalam mimpinya itu adalah “Yesus” yang lain karena Yesus tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak sesuai ataupun bertentangan dengan yang dikatakan Alkitab. Namun sekali lagi, anak muda ini bersikeras mengatakan bahwa Bintang Fajar itu adalah Lucifer yaitu Iblis karena Yesus sendiri yang katakan dalam mimpinya. Bahkan ia mengancam saya dengan mengatakan bahwa jika saya tidak mempercayai apa yang dia katakan tentang mimpinya itu maka aka ada malapetaka yang akan menimpa saya. Karena saya percaya pada Alkitab dan saya tahu apa yang saya percayai, maka dengan nada tinggi saya menyuruh anak muda ini diam dan mempersilahkan dia pergi sebelum dia sempat mengucapkan kata-kata “kutuk malapetaka” yang sudah dia rancang, yang saya tahu pasti berasal dari setan.

Sebagai seorang teolog dan praktisi dalam gerakan Kharismatik, saya sudah sangat mengenal modus dari setan seperti yang dilakukan oleh anak muda di atas. Saya sudah bertemu dengan beberapa orang yang mengaku berkarunia, mendengar suara Tuhan dan benubuat palsu yang disertai kutuk malapetaka bila tidak mendengarkan nubuatan mereka. Namun yang perlu diketahui, orang-orang seperti ini membual (omong kosong) pada saat mereka berkata, “Beginilah firman Tuhan, …”. Mengapa? Karena seringkali apa yang mereka sampaikan tidak sesuai bahkan bertentangan dengan firman Tuhan yang tertulis. Saya harus menegaskan bahwa tidak pernah, sekali lagi, tidak pernah, bahwa suatu perkataan nubuat dari Roh Kudus atau pesan dari Tuhan bertentangan dengan Alkitab. Alkitab diberikan oleh Allah untuk tujuan menjadi Kitab Suci dan yang berotoritas bagi seluruh zaman Gereja (2 Petrus 1:21; Efesus 2:20). Dan semua karunia rohani harus tunduk pada otoritas Alkitab yang absolut. Namun ironisnya, beberapa orang mengatasnakan Roh Kudus mengangkat karunia nubuat pada suatu tingkat tidak bisa salah sehingga sama dengan otoritas Alkitab. Padahal seharusnya, semua perkataan nubuat masa kini harus diuji oleh Firman Allah yang tertulis dan tunduk otoritasnya yang absolut (Bandingkan Ulangan 4;2; Amsal 30:6; Wahyu 22:18).Ujian pertama yang menentukan benarnya suatu nubuat atau suatu pesan yang mengatasnamakan Roh Kudus adalah kesesuaiannya dengan ayat-ayat Alkitab. Roh Kudus tidak akan mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ayat-ayat Alkitab.

PRINSIP MENAFSIRKAN NUBUAT

Sebelum saya lebih jauh memberikan analisis teologis makna dari Yesaya pasal 14:12-14 ada baiknya disini saya mengingatkan kembali tentang prinsip penafsiran Alkitab yang sehat, khususnya yang menyangkut nubuatan. Namun pertama-tama saya ingin menegaskan kepada kita bahwa semua pengertian teologis yang telah kita miliki sebelumnya agar tunduk pada otoritas Alkitab. Artinya, pengertian-pengertian teologis dan doktrinal yang telah dimiliki sebelumnya tidak boleh mempengaruhi penafsiran kita atas Alkitab. Kita seharusnya menafsirkan Alkitab secara induktif dan bukan deduktif. Tentu saja, semua penafsir dalam taraf tertentu dipengaruhi oleh pandangan pribadi, aliran teologis dan denominasi, serta pandangan politik tertentu. Tidak satupun dari kita yang menafsirkan isi Alkitab dalam keadaan yang benar-benar murni. Bahkan tidak jarang terjadi seorang penafsir Alkitab membawa atau memasukkan idenya sendiri ke dalam teks, yaitu ide yang tidak dimaksudkan oleh teks tersebut. Hal ini bisa terjadi karena penafsir seperti ini di dalam memahami teks dipengaruni oleh asumsi atau pandangan teologinya sendiri, sehingga memaksanya untuk menafsirkan teks tertentu sesuai dengan apa yang diinginkannya. Sekali lagi, memang harus diakui, setiap penafsir Alkitab pasti memiliki asumsi (anggapan dasar) sebelum ia menafsirkan Alkitab. Karena itulah tidak seorangpun penafsir Alkitab yang bebas sama sekali dari pengaruh subjektivitas. Tetapi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir subjektivitas tersebut adalah dengan bersikap seobjektif mungkin. Jadi penafsir memang perlu memiliki asumsi yang wajar tetapi bukan prasangka yang subjektif. Sebab penafsir dengan prasangka yang subjektif pasti akan memasukkan idenya ke dalam bagian Alkitab yang ditafsirnya. Biasanya penafsir seperti ini tidak memperhatikan maksud penulis kitab, dan juga tidak memperdulikan jalan pikiran yang sehat (logis) dan bukti yang ada. Penafsir seperti ini lebih memilih memegang pandangan teologisnya sendiri ketimbang menyelaraskannya dengan yang penulis Kitab Suci maksudkan. Untuk alasan inilah, pengertian yang telah dimiliki sebelumnya harus disesuaikan dengan Alkitab dan bersedia dikoreksi Alkitab. Hanya pengertian, tafsiran dan pandangan teologis yang sesuai dengan Alkitab dan telah menerapkan prinsip hermeneutika yang sehatlah yang patut dianggap benar.

Selain prinsip tersebut di atas, ada beberapa prinsip penafsiran yang baik yang perlu diingat ketika kita mempelajari Alkitab, khususnya yang berhubungan dengan nubuatan, yaitu prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam metode penafsiran literal (harafiah). Metode penafsiran ini juga dikenali dengan berbagai istilah seperti gramatikal-historis, sintaksis-teologis, gramatikal-historis-kontekstual, historis-kultural dan leksikal-sintaksis. Meski begitu, istilah “gramatikal historis” ini lebih luas digunakan dalam kalangan Injili ketimbang beberapa istilah alternatif ini karena metode penafsiran ini merupakan metode penafsiran yang normal dan wajar. Artinya, ketika arti harafiah merupakan hal yang masuk akal maka jangan mencari arti lain karena hal itu dapat menyesatkan. Namun perlu ditegaskan bahwa metode penafsiran literal ini mengakui bahwa kata-kata atau frase Alkitabiah dapat digunakan secara denotatif (umum dan lazim) ataupun konotatif (kiasan atau figuratif), sama halnya dalam bahasa kita sehari-hari. Sebagai contoh, di sebuah lapangan sepak bola, jika seseorang berkata “Elang pasti mengalahkan para Singa”, maka kita mengerti bahwa orang itu secara konotatif sedang berbicara tentang dua tim sepak bola yang sedang bertanding, dan bukannya dalam pengertian secara denotatif bahwa burung-burung elang sedang menyerang singa-singa. Ringkasnya, metode penafsiran literal atau gramatikal historis ini menjadikan unsur-unsur gramatikal, kontekstual, historis dan budaya sebagai unsur-unsur penting dalam menafsirkan Alkitab.

(1) Menafsirkan dengan mempertimbangkan aspek gramatikalnya. Arti dari sesuatu bagian atau paragraf harus ditentukan oleh penyelidikan kata-kata yang ada di dalamnya dan hubungannya dalam kalimat. Kita menyebutnya sebagai gramatika (tata bahasa). Perlu diketahui, bahwa tata bahasa diperlukan untuk menyampaikan suatu berita dengan jelas dan akurat. Tata bahasa sendiri berkaitan dengan kaidah dari struktur yang terdiri dari unsur penting, seperti: subjek, objek, predikat, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, kata ganti, kata sambung, dan lainnya. Kaidah dari struktur tersebut digunakan oleh penulis kitab untuk menyusun kalimat sebagai kesatuan yang bermakna dan dapat dipahami oleh pembaca pada saat kitab itu ditulis. Secara metodologi, penelitian gramatika paling sedikit meliputi 2 hal, yaitu penyelidikan kata (lexiologi) dan penyelidikan tata bahasa dan relasi sintaksis. Karena kata memiliki artinya masing-masing dan maksud penggunaanya sangat bertalian erat dengan kata-kata lain yang membentuk sebuah kalimat maka penyelidikan antar kata atau antar frase (kalimat) menjadi sangat penting. Inilah yang disebut relasi sintaksis, yaitu menyelidiki hubungan antar kata dalam sebuah kalimat atau anak kalimat (frase). Jadi sebenarnya yang terutama ialah bagaimana agar penafsiran gramatikal tidak melenceng dari maksud keseluruhan teks dan sinkron dengan keseluruhan konteks.

2. Menafsirkan menurutkonteksnya. Sangat penting untuk menafsirkan kata, frase, kalimat dan ayat dalam suatu teks dengan terlebih dahulu mempertimbangkan konteksnya. Ini penting karena tanpa mempelajari konteksnya maka pengertian kita terhadap kata, frase, kalimat dan ayat tersebut menjadi tidak lengkap, khususnya jika ada kaitan pengertian yang tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain. Kata “konteks” berasal dari dua kata Latin, yaitu kata “con” yang berarti “bersama-sama atau menjadi satu” dan kata “textus” yang berarti “tersusun”. Jadi yang dimaksud dengan konteks disini menujuk pada kalimat atau bagian yang berada disekitar teks (ayat yang ditafsir). Konteks sendiri terdiri dari konteks dekat (ayat-ayat paling dekat yang berada sebelum dan sesudah teks yang ditafsirkan) dan konteks jauh (mulai dari seluruh bagian pada kitab dimana teks yang hendak ditafsirkan berada hingga seluruh Alkitab). Atau dalam sebuah bentuk lingkaran mulai dari lingkaran terdekat, maka yang dimaksud dengan konteks adalah konteks langsung, konteks keseluruhan kitab, konteks dari kumpulan kitab-kitab dari penulis yang sama, konteks seluruh Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru, dan konteks keseluruhan Alkitab. Jadi intinya jelas bahwa dalam menafsirkan Alkitab, teks (text) yang tidak dibaca dan dipelajari dengan memperhatikan konteks (context) akan menjadi “dalil” (pretext). Ini merupakan bahaya yang perlu diwaspadai oleh para penafsir Alkitab. Dan dalam prakteknya kesalahan yang seringkali dilakukan oleh para penafsir Alkitab adalah melakukan proof-texting, yaitu mengambil bagian-bagian tertentu dari Kitab Suci dan menafsirkannya secara tidak bertanggung jawab hanya untuk mempertahankan asumsi pribadi dan pandangan teologinya. Ingatlah ini, satu kalimat yang diambil dari Alkitab bukanlah firman Allah apabila kalimat itu ditempatkan pada konteks yang mengubah makna dari maksud Allah dalam konteks yang sesungguhnya.

3. Menafsirkan dengan mempelajari sejarah dan budaya Alkitab. Panafsir Alkitab yang benar haruslah memperhatikan latar belakang sejarah dan budaya teks yang dibaca. Alkitab telah ditulis oleh penulis Alkitab di era sejarah yang berbeda dengan kita saat ini, maka Alkitab hanya bisa dimengerti sepenuhnya dalam terang sejarah terkait. Jadi kita perlu tahu juga latar belakang geografis, historis, kultural, dan politis dari proses pengalihan yang ditulis Alkitab. Karena itu seorang penafsir harus melangkah keluar dari pola pikir modern khususnya pola pikir dunia barat yang ada padanya dan masuk dalam pola pikir bangsa Yahudi dan Yunani kuno saat Alkitab di tulis. Sebelum kita bisa mengerti cara memberlakukan berita Alkitab pada zaman sekarang, kita harus terlebih dahulu memastikan bagaimana hal itu diaplikasikan pada waktu pertama kalinya ditulis. Penafsir Alkitab yang mempelajari dan memahami latar belakang sejarah dan budaya Alkitab dengan baik dapat dipastikan akan menafsirkan Alkitab dengan lebih baik dibandingkan dengan panafsir yang tidak mempelajari sejarah dan budaya Alkitab.

MEMAHAMI ISILAH “LUCIFER” DARI TERJEMAHAN LATIN VULGATA

Kata “lucifer” tidak ada dalam naskan asli alkitab baik Ibrani maupun Yunani. Kata “Lucifer” ini muncul dalam Vulgata di abad ke 4, yaitu Alkitab bahasa Latin yang diterjemahkan dari oleh Santo Joremi dari Septuaginta. Dalam vulgata, kata “Lucifer” ini muncul 3 (tiga) kali di tiga bagian Alkitab yang berbeda. Dua kali muncul dalam Perjanjian Lama dan satu kali dalam Perjanjian Baru, seperti berikut ini:

Di dalam Ayub 11:17 Versi PL LAI tertulis, “Kehidupanmu akan menjadi lebih cemerlang dari pada siang hari, kegelapan akan menjadi terang seperti pagi hari”. Dalam terjemahan Latin Vulgata, ayat ini berbunyi “et quasi meridianus fulgor consurget tibi ad vesperam et cum te consumptum putaveris orieris ut lucifer”.Kata Latin “Lucifer” yang berarti “cahaya pagi, pembawa terang, atau bersinar” dalam ayat ini diterjemahkan dari kata Yunani “phôsphoros” dalam Septuaginta dari kata Ibrani “kaboor” yang berarti “cahaya pagi atau pembawa cahaya”. Dalam ayat ini kata “lucifer” dipakai secara netral Zofar, orang Naama sebagai bahasa kiasan pada saat ia berbicara kepada Ayub.

Di dalam Yesaya 14:12 Versi AITB LAI tertulis, “Wah, engkau sudah jatuh dari langit, hai Bintang Timur, putera Fajar, engkau sudah dipecahkan dan jatuh ke bumi, hai yang mengalahkan bangsa-bangsa!” Dalam terjemahan Latin Vulgata, ayat ini berbunyi, “quomodo cecidisti de caelo lucifer qui mane oriebaris corruisti in terram qui vulnerabas gentes”. Kata Latin “Lucifer” yang berarti “cahaya pagi, pembawa terang, atau bersinar” dalam ayat ini diterjemahkan dari kata Yunani “phôsphoros” dalam Septuaginta dari kata Ibrani “heylel” dari asal kata “hahal” yang dalam naskah Ibrani Masorah berarti “memuji”. Kata “heylel” ini merujuk pada “bintang timur atau bintang fajar” yang saat ini dikenali dengan “planet Venus”. Ayat ini telah ditafsirkan dan dianggap sebagai kiasan dari kejatuhan Iblis di masa lalu oleh beberapa penafsir Alkitab. Namun yang harus dipahami adalah bahwa dari aspek historis ayat ini harus ditafsirkan sebagai benar-benar nubuat atas kejatuhan raja Babel. Jadi ayat ini merujuk kepada Iblis hanyalah tafsiran. Dan karena hal itu hanya tafsiran maka seharusnya tidak dapat dijadikan acuan atau dasar dalam membangun sebuah ajaran yang Alkitabiah.

Di dalam 2 Petrus 1:19 versi AITB LAI tertulis, “Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu”. Dalam terjemahan Latin Vulgata, ayat ini berbunyi, “et habemus firmiorem propheticum sermonem cui bene facitis adtendentes quasi lucernae lucenti in caliginoso loco donec dies inlucescat et lucifer oriatur in cordibus vestris”. Kata Latin “Lucifer” yang berarti “cahaya pagi, pembawa terang, atau bersinar” dalam ayat ini diterjemahkan dari kata Yunani “phôsphoros” yang berarti “cahaya pagi atau pembawa cahaya”. Kata “lucifer” dalam ayat ini dari aspek konteks keseluruhan jelas merujuk kepada Yesus Kristus, bukan yang lain.

Berdasarkan perbandingan atas ketiga ayat tersebut dimana kata “lucifer muncul dalam bahasa Latin versi Vulgata maka jelaslah bahwa hanya dalam Yesaya 14:12 kata “lucifer” itu ditafsirkan, sekali lagi ditafsirkan dan dianggap secara subjektif sebagai nama kiasan dari kejatuhan Iblis. Sedangkan dua bagian ayat lainnya secara pasti sama sekali tidak merujuk kepada Iblis (Ayub 11:17 dan 2 Petrus 1:19). Justru sebaliknya, dalam 2 Petrus 1:19 kata “lucifer” secara kontekstual dapat dipastikan merujuk kepada figur Yesus Kristus. Dan ini didukung oleh ayat-ayat lain yang melambangkan Yesus Kristus sebagai "sumber cahaya" misalnya dalam Lukas 1:78, Wahyu 22:16, Efesus 5:14.

Dengan demikian merupakan hal yang sangat sangat keliru apabila kita menyebut Iblis dengan sebutan “Lucifer” dimana kata itu sama sekali tidak muncul dalam naskah asli Alkitab Ibrani dan Yunani. Dan ketika kata itu muncul dalam naskah terjemahan Vulgata, kata itu justru digunakan dalam 2 Petrus 1:19 secara pasti merujuk kepada Pribadi Yesus Kristus. Perlu dipahami, apabila pengajaran, diartikan sebagai suatu prinsip kebenaran yang berisi pokok-pokok iman yang diajarkan oleh Alkitab yang telah disusun secara sistematis, maka Alkitab dengan ayat-ayat yang jelas haruslah menjadi sumber dari semua ajaran Kristen. Pengajaran Alkitabiah haruslah merupakan satu kesatuan yang utuh, oleh karena itu tidak mungkin mengajarkan kebenaran yang saling bertentangan (kontradiktif) satu dengan yang lain, walaupun ada kemungkinan terdapat kebenaran yang bersifat paradoks. Berikut ini beberapa petunjuk untuk merumuskan pengajaran, yaitu: (1) Dasarkan pengajaran pada pernyataan-pernyataan yang jelas arti harfiahnya dan bukan berdasar dari kata-kata kiasan atau yang tidak jelas; (2) Dasarkan pengajaran pada perikop-perikop (konteks) yang bersifat pengajaran atau didaktik. Ini tidak berarti bahwa bagian-bagian yang naratif dalam Alkitab tidak mengandung makna teologis atau pengajaran; (3) Dasarkan pengajaran pada seluruh kebenaran Alkitab, tidak cukup kalau hanya sebagian kebenaran. Tidaklah bijaksana jika merumuskan pengajaran dari kebenaran yang tidak disebutkan dalam Alkitab; (4) Pakailah semua prinsip-prinsip umum hermeneutika yang gramatikal historis untuk menafsirkan pengajaran; (5) Hindarkan unsur-unsur spekulasi dalam merumuskan pengajaran.

MELURUSKAN STIGMA NEGATIF ATAS PENGGUNAAN KATA “LUCIFER”

Selama berabad-abad kata “Lucifer” telah dimaknai secara negatif sebagai sinonim atau bahkan disebut sebagai nama diri dari Iblis. Hal ini tentu saja merupakan kesalahan eksegesis terkait semantik. Istilah “Lucifer” ini muncul dalam Alkitab King James Version di dalam Yesaya 14:12-14 dan tidak terdapat dalam naskah asli Alkitab Ibrani maupun Yunani. Perlu diketahui bahwa kata Lucifer ini pertama kali muncul dalam Alkitab terjemahan Latin Vulgata di abad ke 4 dan kemudian diikuti oleh terjemahan King James Version. Kata Ibrani “הֵילֵל (Heylel)” dalam Yesaya 14:12 ini padanannya dalam bahasa Yunani Septuaginta adalah “εωσφορος (heôsphoros)”, yang diterjemahkan dengan “Lucifer” dalam versi Latin Vulgata dan diikuti oleh King James Version. Namun dalam New International Version (termasuk juga terjemahan TEV, CEP dan beberapa terjemahan Inggris lainnya) menerjemahkannya dengan “Morning Star”, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “Bintang Fajar” atau “Bintang Timur”, yang artinya “bersinar atau pembawa terang”. Dengan demikian, kata “Bintang Fajar” dan “Bintang Timur” itu sinonim dengan kata Inggris “Morning Star, dengan kata Latin “Lucifer” dan kata Yunani “Heôsphoros”. Semuanya merupakan terjemahan dari kata Yunani “Heylel”. Karena itu secara semantik tidak seharusnya semua kata sinonim tersebut dibedakan pengertian dan maknanya.

Perlu juga diketahui, bahwa bentuk nominatif maskulin pada kata Ibrani “Heylel” apabila merujuk kepada akar verbalnya maka kata ini dapat berarti “bersinar” menunjuk kepada bintang pagi atau bintang fajar yang saat ini dikenali sebagai planet Venus. Karena itulah, santo Joremi di abad ke 4 menerjemahkan kata Ibrani ““Heylel” ini dalam Vulgata dengan kata bahasa Latin “Lucifer” karena memang kata tersebut merujuk kepada planet Venus yang berarti “pembawa terang”. Jadi istilah “Lucifer” ini tidak pernah dimaksudkan oleh santo Joremi mengacu kepada nama Iblis, seperti yang dipahami oleh banyak orang saat ini. Jika memang istilah Lucifer ini dimaksudkan oleh santo Joremi mengacu pada nama Iblis, maka tentu saja santo Joremi tidak akan menggunakan kata ini dalam 2 Petrus 1:19 dimana dengan jelas konteks penggunaan kata tersebut dalam ayat ini merujuk kepada Yesus Kristus. Namun Alkitab Latin Vulgata ini jelas-jelas menggunakan kata “Lucifer” yang diterjemahkan dengan “bintang timur” dalam ayat itu yang secara kontekstual merujuk kepada Yesus Kristus dan tidak sama sekali merujuk pada Iblis. Dengan demikian, menyebut “Lucifer” sebagai sinonim atau bahkan nama Iblis tentu saja merupakan kesalahan semantik dalam studi eksegesis. Jika ada orang yang masih menyebut Lucifer sebagai sinonim atau nama diri dari Iblis berdasarkan tafsiran dari terjemahan Vulgata atas Yesaya 14:12-14 tersebut, saya katakan bahwa itu sama artinya orang itu telah melakukan kesalahan eksegesis karena tidak memperhatikan historis dan konteks ayat tersebut.

Pernahkah kita memikirkan kembali apa yang dimaksud dengan slogan “back to the Bible?” Bagi saya pribadi slogan tersebut berarti kita harus belajar dan kembali ke naskah asli Alkitab Ibrani dan Yunani, bukan kepada Alkitab terjemahan; kita harus menggali isi Alkitab dengan kembali ke pola pikir zaman Alkitab, bukan berdasarkan pada pola pikir modern. Karena itu merupakan hal yang keliru jika kita mendebatkan istilah tertentu berdasarkan terjemahan yang berbeda-beda yang telah disesuaikan dengan budaya dan konteks dimana Alkitab tersebut diterjemahkan dan bukan berdasarkan konteks dan budaya saat naskah asli Alkitab ditulis. Itu sebabnya diawal tulisan ini saya sudah menegaskan kepada kita bahwa semua pengertian teologis yang telah kita miliki sebelumnya agar tunduk pada otoritas Alkitab. Artinya, pengertian-pengertian teologis dan doktrinal yang telah kita miliki sebelumnya tidak boleh mempengaruhi penafsiran kita terhadap Alkitab. Ringkasnya, pengertian yang telah kita miliki sebelumnya harus sesuai dengan Alkitab dan bersedia dikoreksi oleh Alkitab. Hanya pengertian, tafsiran dan pandangan teologis yang sesuai dengan Alkitab dan telah menerapkan prinsip hermeneutika yang sehat yang patut dianggap benar.

TAFSIRAN ATAS YESAYA 14:12-14

Ada banyak diskusi yang dilakukan mengenai arti dari Yesaya 14:12-14. Paling sedikit ada tiga tafsiran yang menonjol, yaitu : (1) Sebuah mitologi Kanaan yang dikenal dari Ras Shamra Tablet berasal dari abad ke lima belas ditemukan di kota Ugarit. Istilah "bintang pagi" (Heylel) dan "bintang fajar" (Syakhar) keduanya adalah nama dewa dalam mitologi Kanaan. (2) Menunjuk kepada raja Babel yang jatuh karena kesombongannnya. Ada dua kemungkinan raja Babel yang dirujuk dalam ayat ini, yaitu: (a) Nebukadnezar; atau (b) raja Babel yang digelari Heylel bin Syakhar. (3) Mengacu kepada kejatuhan Iblis.

Pandangan pertama kelihatannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penafsiran yang normal dan wajar, karena tidak ada pembenaran untuk memasukan mitologi semacam itu ke dalam teks. Pandangan kedua merupakan pandangan yang sangat masuk akal bagi penafsiran historis. Sedangkan pandangan yang ketiga merupakan pandangan bagi penafsiran alegoris dengan mengabaikan arti historisnya. Saya sepakat bahwa secara historis Yesaya 14:12-14 ini benar-benar menubuatkan tentang kejatuhan raja Babel. Namun karena ayat tersebut melebihi segala sesuatu yang dapat dikatakan sebagai sekedar nubuatan bagi seorang raja di bumi (Babel) maka pertanyaannya adalah apakah Yesaya hanya sekedar menubuatkan tentang kejatuhan seorang pemimpin sejarah Babel pada saat ia menyampaikan nubuat ini ataukah juga tentang makluk lain dibalik nubuat itu? Karena itu disini saya ingin menjelaskan bahwa ayat Yesaya 14:12-14 harus ditafsirkan berdasarkan hukum reference ganda (the law of double reference) yaitu satu teks nubuat yang membicarakan dua peristiwa yang berbeda dan terpisah jauh, dimana penggenapan yang satu terjadi dalam kala kini dan lampau, atau kala kini dan akan datang. Jadi menurut hukum referensi ganda, ayat-ayat Alkitab yang berisi nubuat bisa menunjuk pada dua peristiwa yang dipisahkan oleh sebuah periode waktu yang yang signifikan namun nampaknya menyatukan keduanya menjadi sebuah gambaran yang meliputi periode waktu itu. Meskipun jarak waktu tidak jelas terlihat dalam ayat tertentu tersebut, jarak ini menjadi jelas terlihat ketika kita mempelajari ayat-ayat lainnya. Secara normal dan literal, ketika disampaikan, teks dalam Yesaya ini berisi nubuatan tentang kejatuhan raja Babel. Namun gambaran yang dinarasikan dalam teks tersebut jauh melampaui gambaran seorang manusia. Karena itu ayat ini juga dianggap menyingkapkan figur lain di masa lalu yang diidentifiaksi sebagai Iblis. Atau dengan kata lain, di dalam ayat nubuatan ini Iblis dipersonifikasikan di bawah figur raja Babel.

Karena itu, berdasarkan penjelasan di atas, jika Yesaya 14:12-14 ini memang dimaksudkan mengacu pada Iblis, maka lebih tepat menyebutnya sebagai personifikasi dari Iblis di bawah figur raja Babel. Namun pertanyaan penting muncul disini adalah “apabila ayat ini merupakan personifikasi dari Iblis di bawah figur raja Babel, maka itu artinya ayat ini mengkorfimasikan bahwa Iblis pernah menyadang gelar “Heylel (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar)?” Jawaban saya dengan tegas mengatakan “tidak!”. Iblis tidak pernah sama sekali menyandang gelar sebagai “heylel” tersebut. Mengapa? Secara historis raja Babel yang sombong itu disebut “heylel” bukanlah karena ia pernah menyandang gelar itu melainkan karena ia sendiri mengakui dirinya sebagai “Heylel”. Karena itulah Yesaya menyebut raja Bebal ini dengan gelar tersebut dengan nada ejekan dan menubuatkan mengenai kejatuhannya. Secara figuratif, Iblis juga tidak pernah menyandang gelar “Heylel” tersebut tetapi dalam pemberontakannnya Iblis mengakui dirinya sebagai “Heylel”. Karena itu dibawah figur raja Babel Iblis diejek sebagai “Heylel”. Jadi disini bukanlah nubuat nabi Yesaya yang salah, tetapi cara orang menafsirkan ayat itu yang seringkali salah. Lagi pula diseluruh Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak pernah ada di bagian manapun dalam Alkitab yang menyebut bahwa kata “heylel (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar) sebagai nama atau gelar Iblis. Buktinya setelah nubuatan dan kejatuhannnya, Iblis tidak pernah lagi disebut dengan nada ejekan memakai gelar itu. Untuk lebih memahami hal ini, berikut saya berikan contoh analoginya.

Seorang yang bernama Yahya Walono mengaku bahwa dirinya adalah pendeta padahal ia bukan pendeta. Lalu dengan nada ejekan saya mengatakan bahwa Yahya Waloni adalah seorang pendeta yang berdusta. Pertanyaannya, apakah dengan menyebut Yahya Waloni dengan sebutan pendeta membuktikan bahwa Yahya Waloni itu benar-benar seorang pendeta? Tentu saja tidak! Saya menyebut dia pendeta itu sebagai ejekan karena dia mengaku dirinya pendeta. Kira-kira begitulah tepatnya yang dilakukan oleh nabi Yesaya dalam nada ejekan terhadap raja Babel yang sekaligus figuratif Iblis. Jadi Iblis dibawah figuratif raja Babel dari sejak semula memang bukan dan tidak pernah disebut sebagai penyandang gelar “heylel” (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar), tetapi yang sebenarnya terjadi adalah Iblis mengaku bahwa dirinya adalah “heylel” karena dia hendak menyamai Putra Allah yaitu Yesus Sang “heylel” yang sesungguhnya. Hal ini terungkap dari pengakuannnya yang berkata “aku hendak menyamai Yang Mahatinggi (Ibrani “Elyon”, Yesaya 14:13-14). Disini penipuannnya menjadi sangat jelas bagaikan kristal. Iblis ingin menjadi dan menyamai Allah. Ia ingin berkuasa seperti Allah! Dan dosanya ini merupakan tantangan langsung terhadap kuasa dan otoritas Allah. Memang benar apa yang dikatakan Alkitab bahwa Iblis adalah bapa segala dusta (Yohanes 8:44) yang terus menipu dengan “menyamar sebagai malaikat terang” (2 Korintus 11:14). Iblis bukanlah “malaikat terang”, dia adalah pendusta yang menyamar dan mengaku-ngaku dirinya sebagai malaikat terang. Bahkan ironisnya, selama bertahun-tahun orang-orang Kristen yang mengaku sebagai orang Kristen yang Alkitabiah telah banyak terpedaya oleh tipu muslihat Iblis ini sehingga memberikan stigma negatif atas penggunaan kata “Heylel (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar) dan menggunakannnya sebagai nama Iblis, yang seharusnya gelar itu tidak pernah sama sekali disandang oleh Iblis. Hal ini disebabkan Iblis itu memang ahli dalam meniru dan menipu. Sebagai contoh, Allah itu Mahatinggi, lalu Iblis juga hendak menyamai Allah yang Mahatinggi itu. Allah disembah, lalu Iblis juga ingin disembah. Putra Allah, Yesus Kristus disebut “Heylel (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar), lalu Iblis juga menipu dengan mengaku dan klaim dirinya “Heylel (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar). Nanti di akhir zaman, Iblis akan buat Trinitas palsu. Trinitas sejati adalah Bapa, Putra dan Roh Kudus. Diakhir zaman Iblis akan tiru Trinitas dan buat Trinitas palsu yaitu : Iblis, Antikritus dan Nabi Palsu. Ketiganya, Iblis, Antikristus dan Nabi palsu ini akan dibuang ke Neraka (Wahyu 20:10). Yang lebih mengerikan lagi, akhir-akhir ini ada satu ajaran yang menyatakan bahwa Iblis itu adalah putra Allah. Ini adalah ajaran sesat yang berasal dai Iblis. Mengapa? Karena Iblis ingin meniru Yesus yang adalah satu-satunya Putra Tunggal Allah. Iblis dari dulu selalu ingin menjadi seperti Allah karena itu ia selalu meniru (memalsukan) hal-hal yang terkait dengan diri Allah.

NAMA DAN GELAR IBLIS YANG SESUNGGUHNYA

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, seharusnya orang Kristen tidak boleh lagi menyebut Iblis dengan nama atau sebutan “Heylel (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar) Mengapa? Karena gelar atau sebutan tersebut adalah milik Yesus Kristus. Kata Yunani "ο αστηρ ο λαμπρος και ορθρινος" dalam wahyu 22:16 diterjemahkan King James Version dengan "and the bright and morning star" yang membuktikan bahwa Yesus itu “Heylel (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar) sesungguhnya dan yang cemerlang. Justru disini kita harus menyadari kenyataan bahwa rencana Iblis adalah untuk meniru atau memalsukan rencana Allah, dan sejak dulu hingga sekarang memang benar demikian karakter dasar dari Iblis. Namun pertanyaan penting lainnya yang muncul adalah jika Iblis bukanlah “heylel (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar), lalu siapakah Iblis itu?

Iblis termasuk dalam golongan malaikat-malaikat kerubim (Yehezkiel 28:14) dan rupanya dia adalah ciptaan yang tertinggi (Yehezkiel 28:12). Bahwa Iblis atau Setan termasuk malaikat golongan kerubim didukung oleh teks Masoret. Terjemahan AITB “Kuberikan tempatmu dekat kerub yang berjaga” dalam teks Masoret adalah “engkau (‘at) adalah kerub”. Kerub yang tertinggi diantara kerubim ini jatuh dalam kesombongan karena kemegahannya. Ia kemudian dikenali dalam Alkitab sebagai Iblis. Kata “Iblis” yang dalam Alkitab King James Version disebut “Satan” berasal dari bahasa Ibrani “Satan” yang dalam bahasa Yunani disebut “Satanos” yang artinya “pemberontak” atau “musuh”. Kata ini muncul dalam King James Version ditemukan sebanyak 19 kali dalam Perjanjian Lama dan 36 kali dalam Perjanjian Baru (Kejadian 3:1-15; 1 Tawarikh 21:1; Ayub 1:7; Zakharia 3:1; Matius 4:10; Lukas 10:18-19; 2 Korintus 2:11; 1 Timotius 1:20; 1 Petrus 5:8-9; Wahyu 12; 20:1-3, 7-10). Kata lain yang digunakan untuk Iblis dalam King James Version adalah “Devil” yang muncul sebanyak 35 kali, berasal dari kata Yunani “Diabolos” yang berarti “pendakwa” atau “pemfitnah” (Matius 13:39; Yohanes 13:2; Efesus 6:11, Yakobus 4:7; Wahyu 12:10). Nama dan gelar lainnya diberikan kepada Iblis adalah “Naga” yang berasal dari dari kata Yunani “Drakon” yang secara harafiah berarti ular besar atau binatang laut yang dasyat (Wahyu 12:2-3, 7,9; 20:2). Gambaran Iblis sebagai naga menunjukan kelicikan dan penipuannya. Selain itu, Iblis juga disebut sebagai “Beelzebul” artinya adalah “Penghulu setan” (Matius 10:25; Markus 3:22; Lukas 11:15,18-19). Nama tersebut berasal dari bahasa Kasdim yang berarti “penghulu dari yang berterbangan”. Istilah ini muncul 4 kali dalam Perjanjian lama sebagai “Baal-Zebub” (2 Raja-raja 1:2,3,6,16) dan diidentifikasi sebagai Allah di Ekron. Ini dihubungan dengan penyembahan berhala di Kanaan karena itu ia dinamakan “Baal-Zebub”. Dan ada beberapa gelar dan sebutan lainnnya yang langsung ditujukan kepada Iblis, namun tidak satupun dari gelar atau rujukan itu yang menyebut Iblis dengan sebutan, gelar atau nama diri “Heylel (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar).

Dengan demikian tidaklah berlebih-lebihan apabila saya menyimpulkan bahwa orang-orang yang mengatakan istilah “Heylel (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar) sebagai sinonim atau bahkan nama diri dari Iblis, sebagai orang-orang yang telah melakukan kesalahan semantik dalam studi eksegesis. Dengan demikian tepatlah apabila saya mengatakan bahwa orang-orang yang menyebut istilah “Heylel (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar) sebagai sinonim atau bahkan nama diri Iblis sebagai orang-orang yang telah melakukan kesalahan semantik dalam studi eksegesis. Jika ada orang yang masih menyebut Lucifer sebagai nama diri Iblis berdasarkan tafsiran dari terjemahan Vulgata atas Yesaya 14:12-14 tersebut, saya dapat katakan bahwa telah melakukan kesalahan eksegesis karena tidak memperhatikan konteks dan historis ayat tersebut, namun yang lebih penting lagi orang itu telah ditipu oleh Iblis. Bisa jadi ditipu Iblis karena ketidaktahuannya atau bisa juga karena ajaran salah yang diwariskan turun temurun. Mengapa saya katakan orang tersebut telah ditipu oleh Iblis? Karena Iblis memang sangat ingin disebut dengan gelar “Heylel (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar) tersebut, gelar yang memang tidak pernah ia miliki. Karena satu-satunya yang berhak menyandang gelar “heylel (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar) adalah Kristus sendiri. Kristus sendiri mengenakan gelar ini untuk diriNya sebagaimana ditulis oleh rasul Yohanes demikian, “Aku, Yesus, telah mengutus malaikat-Ku untuk memberi kesaksian tentang semuanya ini kepadamu bagi jemaat-jemaat. Aku adalah tunas, yaitu keturunan Daud, bintang timur yang gilang-gemilang (the bright and morning star, KJV, Wahyu 22:16). Gelar “the Bright Morning Star” merupakan terjemahan Inggris NIV dari frase Yunani “ο αστηρ ο λαμπρος και ορθρινος” yang di terjemahkan dalam Alkitab Indonesia FAYH dengan “Bintang Fajar yang cemerlang”, adalah gelar bagi Yesus Kristus yang disebutkan paling akhir di dalam Alkitab, karena gelar ini muncul di pasal terakhir Alkitab. Sungguh tepat bahwa Yesus sendiri menyebut diriNya “Bintang Fajar yang cemerlang” (Terjemahan FAYH) atau “Bintang Timur yang gilang gemilang” (terjemahan AITB). Gelar Bintang Fajar ini menjadi lambang pengharapan zaman Mesias yang akan mengakhiri zaman kegelapan. Kristus sebagai Bintang Fajar yang cemerlang menandai dan mengantisipasi datangnya langit dan bumi baru di masa yang akan datang. Gelar ini diberikan kepada Kristus untuk menyatakan bahwa kedatanganNya dilukiskan seperti bintang yang menerangi seluruh pelosok langit dan bumi baru (Wahyu 21:23; 22:5). Istilah Yunani “λαμπρος - lampros” yang artinya “terang” dipakai dalam ayat ini menunjuk kepada sebuah bintang yang memiliki sinar dan cahaya paling cemerlang untuk menerangi seluruh galaksi. Berdasarkan gagasan ini maka Kristus disebut sebagai Bintang Fajar yang lebih cemerlang dari matahari dan bulan untuk menerangi kegelapan dunia baru. Sehingga di dalam langit dan bumi yang baru tersebut tidak diperlukan lagi matahari atau alat penerang lainnya. Sebab Anak Domba, yaitu Kristus sendiri yang akan menjadi lampunya (Wahyu 21:23). Dengan demikian, sebagai Bintang Fajar yang cemerlang Kristus akan memulai dan berperan sebagai terang ilahi dalam dunia baru pada saat Ia datang kembali yang kedua kalinya. Ia akan menggenapi seluruh janji tentang Mesias yang akan datang di akhir zaman (Wahyu 22:7,12,20). (Lihat artikel saya di link ini: https://www.facebook.com/notes/samuel-t-gunawan/jesus-christ-is-the-bright-morning-star/2629677533748078/)

PENUTUP

Di awal tulisan ini saya sudah menegaskan bahwa panafsir Alkitab yang benar haruslah memperhatikan latar belakang sejarah dan budaya teks Alkitab yang dibaca. Karena itu seorang penafsir harus melangkah keluar dari pola pikir modern khususnya pola pikir dunia barat yang ada padanya dan masuk dalam pola pikir bangsa Yahudi dan Yunani kuno saat Alkitab di tulis. Sebelum kita bisa mengerti cara memberlakukan berita Alkitab pada zaman sekarang, kita harus terlebih dahulu memastikan bagaimana hal itu diaplikasikan pada waktu pertama kalinya ditulis.Justru dalam berbagai pemahaman teologi yang berkembang hingga saat ini pada Kekristenan, khususnya di Indonesia lebih cenderung berkiblat ke teologi Barat. Salah satu akibat negatifnya adalah bahwa dalam kajian demonologis nama “Heylel (Latin:Lucifer; Ingris:Morning Star; Indonesia: Bintang Timur/Bintang Fajar) dianggap sebagai sinonim dengan Iblis, bahkan merupakan nama diri dari Iblis itu sendiri. Namun seperti yang telah dijelaskan di atas faktanya, kata “Lucifer” berasal dari bahasa Latin (Alkitab Vulgata) dan muncul dari penafsiran-penafsiran Kristen Barat. Sementara itu di seluruh Alkitab, baik orang Yahudi di Perjanjian Lama, bahkan Kristus sendiri, dan Para Rasul tidak pernah menggunakan kata “Lucifer” tersebut sebagai sinonim atau nama bagi Iblis. Istilah Lucifer sebagai nama dari Iblis muncul atas kesalahpahaman para penafsir terhadap terjemahan Alkitab Latin Vulgata di abad 4 yang menerjemahkan “Heylel” dengan “Lucifer”, yang kemudian kata ini diadopsi dalam terjemahan King James Version pada sekitar abad 17 Masehi, yang oleh beberapa penafsir Alkitab, khususnya para penganggung King James Version dianggap sebagai nama Iblis.

DAFTAR PUSTAKA

Achenbach, Reinhard., 2012. Kamus Ibrani-Indonesia Perjanjian Lama. Terjemahan, Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih: Jakarta. Archer, Gleason L., 2009. Encyclopedia of Bible Difficulties. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang. Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology. Terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah: Jakarta. Browning, W.R.F, 1996. A Dictionary of the Bible. Oxford University Press. Edisi Indonesia dengan judul Kamus Alkitab, ditejemahkan (2007), Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta. Carson, D.A., 2009. Kesalahan-Kesalahan Eksegetis. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta. Douglas, J.D., ed, 1993. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini. Jilid 1 & 2. Terjemahkan Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta. Drewes, B.F, Wilfrid Haubech & Heinrich Vin Siebenthal., 2008. Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Jilid 1 & 2. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta. Enns, Paul., 2004. The Moody Handbook of Theology. Jilid 1. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang. Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen, Jilid 2. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang. Fee, Gordon D., 2008. New Testament Exegesis. Edisi Ketiga. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. Ferguson, Sinclair B, D.F. Wraight & J.I Packer, ed. 2009. New Dictionary of Theology. Jilid 1, Terjemahan, Literatur SAAT: Malang. Grudem, Wayne., 1994. Systematic Theology: A Introduction to a Biblical Doctrine. Zodervan Publising House: Grand Rapids, Michigan Gunawan, Samuel., 2014. Kharismatik Yang Kukenal dan Kuyakini. Penerbit Bintang Fajar Ministries: Palangka Raya. Guthrie, Donald, dkk., 1982. Tafsiran Alkitab Masa Kini. Jilid 3. Terjemahan. Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta. Guthrie, Donald., 2010. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit BPK : Jakarta. Hagelberg, Dave, 2005. Tafsiran Kitab Wahyu : Dari Bahasa Yunani. Edisi Revisi. Penerbit Andi Offset : Yoyakarta. Hindson, Ed., 2000. Approaching Armageddon. Terjemahan, Interaksara: Batam. Jeremiah, David., 2017. Agents Of The Apocalypse? Terjemahan, Penerbit Andi Offset: Yoyakarta. Jeremiah, David., 2018. Agents Of Babylon? Terjemahan, Penerbit Andi Offset: Yoyakarta Ladd, George Eldon., 1999. Teologi Perjanjian Baru. 2 Jilid, Terjemahkan, Penerbit Kalam Hidup: Bandung. Lahaye, Tim., 2005. Memahami Nubuatan Alkitab Bagi Diri Anda. Terjemahan, Penerbit Gospel Press: Batam. Lahaye, Tim & Jeery Jenkins., 2005. Apakah kita Hidup Di Akhir zaman? Terjemahkan, Penerbit Gospel Press: Batam. Lahaye, Tim, dkk., 2004. The Popular Handbook On The Rapture. Terjemahan, Penerbit Andi Offset: Yoyakarta. MacArthur, John. F., 2000. The Second Coming. Terjemahan, Penerbit Penerbit Interaksara: Batam. Pandensolang, Welly., 2009. Kristologi Kristen. Penerbit YAI Press : Jakarta. Pfeiffer F. Charles & Everett F. Harrison., ed. 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Volume 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas Malang. Purnomo, David Pan., 1994. Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer. Pernerbit SAAT: Malang, hal. 23. Mounce, William D., 2011. Basics of Biblical Greek, edisi 3. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. Morris, Leon., 2006. Teologi Perjanjian Baru. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang. Rhodes, Ron., 2018. Panduan Lengkap Tanya Jawab Tentang Hari Kiamat. Terjemahan, Penerbit Andi Offset: Yoyakarta. Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1 & 2, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta. Sandison, George & Staff., 2013. Bible Answers for 1000 Difficult Questions. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang. Sproul, R.C., 2000. Mengenali Alkitab. Edisi revisi, terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang. Stedman, Ray C., 2002. God’s Final Word? Terjemahkan, Penerbit Gospel Press: Batam. Stuart, Douglas & Gordon D. Fee., 2011. Hermeneutik: Menafsirkan Firman Tuhan Dengan Tepat. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang. Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang. ___________., 2011. Hermeneutika: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab. Penerbit Literatur SAAT : Malang. Thiessen, Henry C., 1992. Lectures in Systematic Theology, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang. Tong, Stephen., 2004. Yesus Kristus Juruselamat Dunia. Penerbit Momentum: Jakarta. Yancey, Philip, 1997. Bukan Yesus Yang Saya Kenal. Terjemahan, Penerbit Profesional Books : Jakarta. Zuck, Roy B, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang. ________________., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang. Zuck, Roy B., 2014. Hermeneutik: Basic Biblical Interpretation. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.