Suku Abung

suku bangsa di Indonesia
Revisi sejak 21 Januari 2020 03.20 oleh Adidsubing (bicara | kontrib) (Referensi: perbaikan nama.)

Suku Abung berada pada utara, tengah, timur Provinsi Lampung. Sebelah utara berbatasan dengan Sungkai dan Way kanan, sebelah barat berbatasan dengan daerah Lampung Barat, sebelah selatannya berbatasan dengan Lampung Selatan, dan sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa. Mayoritas masyarakat Abung memeluk agama Islam.

Orang Abung terkenal dengan sebutan “Masyarakat Pegunungan” serta memiliki sejarah khusus dalam perkara berburu baik itu hewan ataupun manusia (Irawan). Orang Abung tinggal di daerah Sekala Beghak pada mulanya sebelum berpindah ke daerah lebih rendah dan perpindahan tersebut untuk mencari tempat penghidupan yang baru. Secara nasab, Orang Abung khususnya bermarga Nunyai,Unyi,Subing dan Nuban tidak ada hubungan dengan Komunitas Adat Lampung Peminggir di Pesisir Barat dan Lampung Barat meskipun dahulu pernah bermukim cukup lama di sana.

Untuk percakapan sehari-hari, masyarakat suku Abung memiliki bahasa yaitu bahasa Abung dialek O/nyo.

Dalam kelompok-kelompok suku Abung terdapat sembilan marga (Abung Siwo Migo) yaitu Nunyai, Unyi, Subing, Nuban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa. Kedudukan Nyerupa sebelumnya di isi oleh Marga Bulan namun karena sebab tertentu, keluarlah Marga Bulan dan di gantikan oleh Marga Nyerupa.

Aktivitas masyarakat Abung dalam hal mata pencarian pada umumnya adalah menanam padi di ladang. Selain itu, tanaman yang biasa ditanam oleh masyarakat Abung sesudah memanen padi adalah lada (Lado). Tanaman lada memiliki usia produktif untuk menghasilkan yang panjang yaitu 20-25 tahun.

Mata pencarian lain yang penting bagi masyarakat Abung adalah menangkap ikan, khususnya di daerah berawa-rawa/sungai.

Menanam lada yang menjadi salah satu mata pencarian suku Abung merupakan kegiatan usaha mereka yang sangat produktif. Ladang untuk menanam lada atau komoditas lainnya sering di sebut Umo/Umbulan.

Dalam segi tata letak bangunan rumah perkampungan masyarakat Abung terdapat pola perkampungan masyarakat Abung yaitu komunitas adat (Aneg). Setiap kelompok masyarakat Abung mempunyai rumah permanen sendiri yang di kenal dengan Nuwo (Rumah). Ketika seseorang ingin membangun rumah ia tidak di perbolehkan membangun rumah jika menutupi cahaya matahari terbit dari rumah kerabat tertua. Di komunitas Orang Abung ada beberapa rumah yang memiliki nama atau gelar bila rumah tersebut adalah rumah Penyimbang, sebagai contoh Nuwo Agung. Serta Orang Abung memiliki tempat untuk melakukan upacara adat atau mengambil sebuah keputusan untuk menyelesaikan permasalahan yang bersifat kemaslahatan bersama dan akan di selesaikan secara musyawarah mufakat oleh Penyimbang di Balai Adat (Sessat)

Berdasarkan pola hubungan kekerabatan dan kekeluargaan dalam masyarakat Abung adalah kelompok patrilineal eksogami. Kelompok/suku yang memiliki kepala penyimbang. Penyimbang adalah tokoh adat atau seseorang yang memiliki posisi secara turun temurun dan dipegang oleh kaum pria. Dalam komunitas desa terdapat 10 kelompok/suku.

Selain itu, dalam pola pernikahan dan pola menetap masyarakat suku Abung sesudah menikah bersifat patrilokal. Dalam hal pernikahan bagi masyarakat Abung poligami adalah sesuatu hal yang diperbolehkan.

Banyak orang dalam masyarakat Abung yang poligami adalah orang-orang kaya. Pernikahan sesama saudara bahkan sesama sepupu tidak diperbolehkan. Dalam soal perceraian, menurut adat setempat tidak diperbolehkan. Apabila seorang istri meninggalkan suami maka pihak suami akan terkena sanksi adat (Cepalo).

Dalam melakukan upacara adat Suku Abung akan mengundang komunitas adat Pepadun lainnya (Sumbay) yaitu Pubiyan Telu Suku,Mego Pak Tulang Bawang,Way Kanan Buway Lima,Sungkai Bunga Mayang.

Dan tanda Suku Abung ada 5 yaitu 1.Pi'il Pesengirei (Berjiwa besar dan menghargai diri) 2.Anjak Pegegh (Asal usul keturunan jelas) 3.Waghei Miyanak (Saudara asal,saudara angkat sesuku jelas atau keluarga sedarah jelas) 4.Jeng Terrep (Kedudukan dalam adat jelas) 5.Juluk-Adeg (Gelar atau nama adat sebelum menikah dan sesudah menikah)

Masyarakat Abung memiliki beragam kesenian suku diantaranya adalah tari Ngigel. Tari Ngigel merupakan tari perang kuno yang dilakukan bersama dengan penyembelihan kerbau untuk persembahan pada saat upacara adat (Cakak Pepadun). Masyarakat Abung juga banyak menciptakan kerajinan yaitu seni kerajinan tembikar.

Referensi

Sumber : 1.Buku Recako Wawai Ningek susunan Abdullah A. Subing .BA 2.Buku Kedatuan di gunung dan keratuan di muara susunan Abdullah A. Subing .BA 3.Buku Orang Abung Susunan Friedrich W. Funke 4.Jejak Pengarung Samudera Di Bhumi Lampung susunan Muhammad Ridho P. Putra