Perkawinan Adat Makassar
Perkawinan Adat Makassar adalah salah satu warisan budaya yang sampai saat ini masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Makassar. Semua orang tua mengharapkan agar anaknya dapat tumbuh dan berkembang supaya setelah besar dapat menikah dengan ramai yang disebut Bunting Lompo. Harapan ini terwujud apabila sang anak baik laki-laki maupun perempuan mengikuti aturan adat dan taat melakukan ajaran agama yang dianutnya.[1]
Adat Sebelum Perkawinan
Sebuah ungkapan Bahasa makassar yang menyinggung tentang perkawinan adalah “Tenapa nagana se’re taua punna tenapa na situtu ulunna salangganna”, ( seorang belum sempurna jikalau kepalanya belum berhubungan dengan bahunya). Makna dari ungkapan tersebut adalah bahwa seseorang baru bisa dikatakan sempurna yang dalam Bahasa Makassar disebut tau, bila ia sudah kawin. Seorang yang belum kawin diumpamakan mempunyai tubuh yang belum lengkap karena kepala dan selangkanya dianggap belum berhubungan. Suami dan istri dipersamakan sebagai kepala dan badan yang harus dihubungkan untuk menjadi manusia yang sempurna. Suami dan istri merupakan perlengkapan utama antara dengan lainnya. Seorang orang tua yang akan mengawinkan anaknya, baik putra maupun putri makai a akan mengatakan “la nipajjari taumi atau la nipattumi uluma salangganna.”Artinya akan dijadikan manusialah dia, dihubungkanlah kepalanya dan selangkanya, sebab anak, disebut gadis atau pun jejaka yang belum kawin maka dia belum bisa disebut “tau”. Ia belum punya hak untuk berbicara pada acara-acara tertentu. Oleh sebab itu, tanggung jawab seseorang sesudah dikawinkan akan bertambah.
Dikatakan pula bila seseorang mengawinkan anaknya “Nisungkemi Bongonna” artinya selubungnya telah dibuka oleh anaknya. Orang tua yang mencarikan jodoh untuk anakny tidaklah mudah, karena mengawinkan anak menghubungkan atau mempertautkan dua keluarga menjadi satu sebab itu memerlukan berbagai pertimbangan.
Hubungan perkawinan itu menyebabkan kedua leluarga terikat oleh suatu ikatan yang disebut Ajjulu Sirik maksudnya kedua keluarga Bersatu alam mendukung kehormatan keluarga. Orang yang tidak berketeurunan di sebut “Tau puppusuk”. Artinya orang yang tidak berlkembang biak dan termasuk orang sial. Terhadap seseorang yang banyak anak dikatakan “kalumannang mako kajaimi anaknu”, artinya engkau sudah kaya karena anakmu sudah banyak. Anak itu adalah pembawa rezeki.[2]
Bentuk- bentuk Perkawinan
Dalam masyarakat Makassar dikenal adanya dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinaan yang melalui proses peminangan ‘assuro’ dan perkawinan tanpa melalui peminangan. Kedua bentuk perkawinan ini masih ditemukan dalam masyarakat Makassar.
Bentuk perkawinan yang melalui proses peminaangan adalah suatu bentuk perkawinan yang tata cara pelaksanaannnya mengikuti adat-istiadat perkawinan masyarakat Makassar. Prosesnya kadang-kadang lama, bergantung pada kesepakatan kedua belah pihak.
Bentuk perkawinan yang tidak melalui proses peminangan dalam bahasa Makassar disebut Annyala ‘kawin lari’. Bentuk perkawinan semacam ini selalu menimbulkan perselisihaan antara keluarga si gadis dengan keluarga si pemuda. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kawin lari (Silariang), [3]antara lain:
- Pinangan laki-laki ditolak, biasanya karena adanya perbedaan garis keturunan, status sosial dan status pendidikan.
- Pihak laki-laki tidak sanggup memenuhi persyaratan yang diajukan pihak perempuan, seperti uang belanja (Uang Panaik), mahar, dan lain-lain.
- Kedua belah pihak sudah terlanjur melakukan perbuatan yang melanggar hukum adat.
Bentuk-bentuk perkawinan adat Makassar sebagai berikut:
1. Perkawinan dengan peminangan
Bentuk ini berlaku umum, baik bangsawan maupun golongan biasa. Hanya saja golongan bangsawan melalui proses yang panjang dan upacara dat tertentu. Apabila terjadi kesepakatan antara kedua calon maka ini disebut ‘abbayuang’ (bertunangan) . Ini adalah suatu cara adat untuk menjamin terciptanya lingkungan keluarga yang diterima, baik oleh keluarga maupun masyarakat.
2. Perkawinan dengan Annyala
“Annyala” artinya berbuat salah, dalam hal ini berbuat salah terhadap adat perkawinan yang diwujudkan dengan kawin lai. Pihak keluarga gadis menderita sirik, sehingga tumasirik berkewajiban “Appaenteng sirik”. Dengan membunuh lelaki yang melarikan anaknya, dan kekecualian yaitu apabila lelaki itu telah berada dalam rumah atau pekarangan rumah anggota hadat/pemuka masyarakat, atau setidak-tidaknya telah sempat membuang songkoknya ke dalam pekarangan rumah anggota hadat tersebut yang berarti ia telah berada dalam lindungan hadat, makai a tidak dapat diganggu lagi. Bagi kadhi/hadat merupakan kewajiban baginya untuk menikahkan si Annyala (Tumannyala).
Sebagai langkah pertama dihubungi orang tua gadis (tumasirik) untuk dimintai persetujuannya. Tetapi biasanya orang tua tidak dapat memberikan jawaban apalagi bertindak sebagai wali. Karena ia merasa antara ia dengan anak gadisnya tidak ada lagi hubungan yang disebut nimateimi (dianggap mati). Sebab itu tidak ada jalan lain bagi kadhi kecuali menikahkan tunnyala tetapi buka berarti ketegangan berakhir karena peristiwa adatnya belum selesai. Hubungan antara Tumasirik dan Tunnyala sebagai tuppakasirik tetap tegang, dan dendam tumasirik akan terus berlangsung selama tumannyala belum abbajik (damai). Annyala ada beberapa macam:
- Silariang berarti sama-sama lari karena kehendak Bersama setelah mengadakan mufakat kemudian menetapkan waktu untuk Bersama menuju rumah penghulu meminta perlindungan dan selanjutnya untuk dinikahkan. Adapun sebab khusus terjadinya silariang adalah:
- Si gadis telah punya tambatan hati dengan seorang laki-laki lalu ia ingin dikawinkan dengan seorang yang tidak dicintainya yang merupakan paksaan baginya.
- Si laki-laki tidak dapt memenuhi tuntutan pihak keluarga si agdis padahal keduanya saling mencintai.
- Karena perbedaan derajat antara keduanya.
- Nilariang, berarti dilarikan. Laki-laki secara paksa membawa lari si gadis ke rumah penghulumeminta perlindungan untuk diniukahkan. Adapun sebab khusus dari nilariang adalah:
- Pinangan laki-laki ditolak oleh pihak perempuan sedang mereka saling mencintai dan mereka dalam hubungan siratang. Penolakan itu dianggap penghinaan bagi keluarga laki-laki sehingga, laki-laki nekad membawa lari si gadis secara paksa.
- Penghinaan angsung dari gadis yng dipinangnya.
3. Erangkale, membawa diri, terjadi karena perempuan sendiri datang pada laki-laki minta dikawini atau ke rumah kadhi meminta dikawinkan dengan laki-laki tertentu yang dipilihnya. Sebab khusus dari Erangkale ini:
- karena pangngassengan (guna-guna) hal ini bila pemuda dihina oleh gadis ataupun keluarganya.
- karena si gadis telah mengadakan hubungan rahasia dengan seorang laki-laki sehingga ia hamil dan tak ada jalan lain baginya kecuali mendatangi si laki-laki yang melakukannya untuk dikawini.
- menghindari kawin paksa, sehingga si gadis mendatangi laki-laki pujaannya untuk minta dikawini.
Berdasarkan faktor di atas, maka kawin lari dalam masyarakat Makassar terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
- Silariang, yaitu proses kawin lari yang dilakukan oleh kedua pihak dengan dasar suka sama suka (saling mencintai) sehingga mereka bersama-sama ke rumah Imam untuk dinikahkan.
- Nilariang/rilariang (dialek Konjo), yaitu seorang gadis dibawa atau dilarikan secara paksa oleh seorang pemuda karena hubungan mereka tidak direstui atau pihak laki-laki maerasa balas dendam karena dipermalukan oleh pihak perempuan.
- Erang kale, yaitu seorang gadis membawa dirinya ke rumah Imam, lalu mereka menunjuk laki-laki yang akan menikahinya.
Prosesi Perkawinan Adat Makassar
Ada beberapa tahap yang dilakukan dalam adat perkawinan Makassar dan setiap tahap menggunakan ungkapan yang berbeda-beda. Pada dasarnya, prosesi perkawinan terbagi atas tiga, yaitu sebelum perkawinan, perkawinan sedang berlangsung, dan sesudah perkawinan. Berikut ini dipaparkan tahap-tahap perkawinan beserta ungkapan yang digunakan dalam bahasa Makassar.
Tahapan Prapernikahan[4]
Accinik rorong (Penjajakan)
Pada tahap ini pihak laki-laki melakukan penjajakan dengan penuh rahasia sehingga pihak perempuan belum mengetahui maksud kedatangan tamunya. Salah satu cara untuk mengungkapkan maksudnya ialah dengan menggunakan paruntukkana ebarakna:
Pihak laki-laki: Lompona anne rappona untia, erokku ampalessoki anakna.
Pihak perempuan: “Io sallomintu erok nipalessok, mingka tenanaji nakke paklamungangku.
Appabattu kana (Melamar)
Merupakan lanjutan dari ‘accinik rorong’. Contoh ungkapan yang digunakan
Pihak laki-laki: Niak annae nasuropakkutaknanngang Daeng Nanganu…Anjo mae bunga sibolloa apa niakmo angkalliki? Na punna tenapa, niak illak takasimbanganna Daeng Nganu…erok ampakabani bellaya, ampaka jarreki takrokaya.
Pihak perempuan: Alhamdulillah, rannu dudumak antu allanngereki ri kabattuanta, mingka takuassengapi anne ri niakna ri tenana angkalliki. Lanri kammanami anjo na kupauang aseng todok rodok toana siagang purinanna.[5]
Appakkuling (Mengulangi untuk Mempertegas)
Appakkuling ialah mempertegas kembali apa yang teah dipertanyakan sebelumnya dengan maksud untuk mengetahui apakah lamarannya diterima atau ditolak.
Appakajarrek/Annyikkok (mengikat)
Appakajarrek yaitu menyepakati atau menyatukan pendapat untuk melaksanakan pesta perkawinan. Pada tahap ini sudah dibicarakan ‘sunrang’ uang belanja (doek panaik) dan perlengkapan lainnhya atau erang-erang, juga sering dibuktikan dengan sebentuk cincin yang disebut cincin passikkok.
Tahapan Pernikahan
- Simorong/naikmi kalenna (Pengantin laki-laki di antar ke rumah pengantin perempuan). Laki-laki disambut dengan ganrang iareka nirateki. Setelah itu, pengantin diapanggil oleh Anrong bunting/yang ditunjuk untuk melantunkan syair pakkiok bunting.
- Appabattu Nikka ‘Ijab Kabul’
- Nilekka, yaitu pengantin perempuan diantar ke rumah pengantin laki-laki. Pada acara ini, pengantin perempuan juga membawa pakblasak iareka pakmatoang ia siratannaya. Biasanya pengantin perempuan dipanggil pula dengan syair, lalu mereka diberikan sesuatu yang berharga ‘pannimbaranngi’. [6]
Adat Sesudah Perkawinan
Adat Menetap Sesudah Perkawinan
Pada masyarakat Makassar adat menetap sesudah kawin, tidak dapat dipisahkan dengan sistem kekerabatannya yang bilateral. Sangat sukar untuk menentukan satu sistem adat menetap karena dalam berbagai keluarga akan ditemukan adat adat menetap kawin yang bilocal (parental), matrilocal mapun patrilocal. Tetapi yang cenderung dilakukan adalah neolocal.
Menurut pandangan orang Makassar wanita mempunai kedudukan dan kehormatan yang tinggi, oleh sebab itu dilindungi oleh kaum prianya karena wanita adalah sirik.
Adat Mengenai Perceraian
Perceraian yang umum dikenal adalah talak, terdiri atas (talak sattu, talak dua, talak tiga), takliknyaitu percraian karena adanya pengaduan istri karena tidak terpenuhinya satu syarat yang diucapkan oleh suami pada saat nikah. Talak, yaitu terjadi karena pengaduan timbal balik suami nistri keppengadilan agama. Khuluk, yaitu terjadi karena permintaan istri berdasarkan allsannya yang dapat diterima di pengadilan agama.
Hukum Waris
Harta benda dapat digolongkan atas harta silsilah, sebagai bawahan yang diperoleh sebelum perkawinan. Harta ini akan jatuh pada anak-anak, tetapi bila tidak punya anak maka akan kembalii pada orang tuanya. Harta cakkarak, diperoleh sesudah kawinakan jatuh kepada anak sebagai passaredan warisan. Antara anak lakiilaki dan perempuan bernbanding dua dan satu, sebagai mana dikatakan buraknea allembarak, baine ajjujung (lelaki memikul, perempuan menjunjung).
Poligami
Bagi orang Makassar, poligami tidak dilarang. Orang Makassar banyak yang beristri lebih dari satu. Tetapi ini dilakukan bukan hanya karena hubungan biologis, tetapi juga karena martabat dalam masyarakat, kedudukan politik, kekayaan, dan lain-lain.
Kawin Ulang
Kawin ulang terjadi pada orang yang telah melalui perceraian. Kawin ulang yang terjadi bukan dengan pasangan baru. Kawin dengan pasangan baru terjadi karena salah satu pasangan itu meninggal. Pasangan hidup yang ditinggal suami disebut balu baine
Sesudah perkawinan masih ada acara yang disebut appakbajikang/ appakjamakkang yang berarti mendamaikan atau menyatukan tangan kedua mempelai dalam mengarungi bahtera rumah baru.[7]
Referensi
- ^ Wahid, Sugira (2008). Manusia Makassar. Makassar: Pustaka Refleksi.
- ^ Rivai, Abu (1975). Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidkan dan kebudayaan.
- ^ Wahid, Sugira (1992). Metafora Bahasa Makassar. Makassar: PPs Universitas Hasanuddin.
- ^ Daeng, Kembong (2016). Pappilajarang Basa Siagang Sasetera Mangkasarak. Makassar: UD MANDIRI. ISBN 978-602-1347-41-6.
- ^ Labbiri, Labbiri (2018). Sastra Kelong. Makassar: CV Kanaka Media. ISBN 978-623-7029-09-0.
- ^ Daeng, Kembong (2008). Bahan Ajar Bahasa Makassar. Makassar: FBS UNM. ISBN 978-602-1347-41-6.
- ^ Wahid, Sugira (2008). Manusia Makassar. Makassar: Pustaka Refleksi. hlm. 100–124. ISBN 9793570245.