Kartu Pers adalah kartu tanda pengenal yg diberikan kepada wartawan oleh badan resmi yg berwenang untuk itu[1]. Pers atau media adalah suatu lembaga sosial dan sebuah sarana untuk melakukan komunikasi massa yang melakukan beebrapa kegiatan terkait dunia kejurnalistikan diantaranya adalah meliputi mencari, mengolah, menyimpan, memiliki, serta menyampaikan informasi baik dalam bentuk berupa tulisan. Selain tulisan informasi yang disampaikan juga dapat berupa suara, gambar atau suara dan gambar, serta data- data, grafik ataupun hal-hal lainnya menggunakan media cetak, media elektronik. Dalam mencari, mengolah dan menyajikan sebuah informasi, tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Ada aturan- aturan dalam melakukan semua hal itu, mereka haruslah orang yang sudah terlatih karena setiap hal yang dibuat haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Dalam melaksanakan tugasnya pers sudah dilindungi, dan mereka juga sudah memiliki tanda pengenal yang harus selalu mereka kenakan setiap kali mereka bertugas. Tanda pengenal pers itulah yang dikenal masyarakat awam sebagai kartu pers.

Himbauan

Zaman globalisasi saat ini, dimasa teknologi telah berkembang dengan pesat dan canggih menimbulkan berbagai hal dalam masyarakat. Kecanggihan teknologi mulai dari telpon genggam yang bisa langsung merekam, mengedit, dan mempublikasikan sebuah informasi di media sosial menyebabkan banyaknya masyarakat yang tiba-tiba menjadi wartawan dadakan. Padahal tidak semua informasi itu bisa di sebarluaskan dengan sesuka hati, terutama hal hal yang menyangkut SARA karena pemerintah telah mengeluarkan Undang Undang ITE, yaitu sebuh undang-undang yang mampu membatasi setiap orang dalam mencari, mengolah, menyimpan, memiliki, serta menyampaikan informasi baik dalam bentuk berupa tulisan di media sosial [2]. Orang-orang yang mempunyai hak untuk mencari, mengolah, menyimpan, memiliki, serta menyampaikan informasi baik dalam bentuk berupa tulisan haruslah orang-orang yang sudah terlatih, mengetahui etika jurnalistik dan telah memiliki sertifikat yang berkaitan dengan semua itu, karena tidak semua orang bisa lolos untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Dewan pers selaku lembaga independen di Indonesia yang berfungsi untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di Indonesia sangat selektif dalam tugasnya yang berkaitan dengan dunia kejurnalistikan terutama dalam pemberian kartu pers. Dewan Pers mulai memberikan himbauan kepada semua perusahaan - perusahaan media massa agar tidak sembarangan atau asal-asalandalam mengeluarkan dan memberikan kartu pers terutama kepada yang mereka yang bukan berprofesi sebagai wartawan, agar kartu pers tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.

Alasan

Banyaknya keluhan dari masyarakat mengenai wartawan dadakan atau orang-orang yang mengaku sebagai wartawan agar dapat mencari atau meliput sebuah berita hanya dengan menunjukkan sebuah kartu pengenal mulai meresahkan warga. Pasalnya orang awam tidak akan mengerti tentang hal tersebut, tentang kartu pers atau wewenang apa saja yang dimiliki oleh pers dalam meliput sebuah berita. Informasi yang merebak dimasyarakat adalah menyangkut praktik pemberian kartu pers kepada orang yang bukan wartawan, seperti kepada pejabat, pengusaha, aparat hukum, dan anggota intelijen yang hampir terjadi disemua daerah di Indonesia.Mantan Ketua Dewan Pers Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA pernah menyebutkan, bahwa pemberian kartu pers merupakan identitas khusus yang sepatutnya hanya dimiliki oleh wartawan terkait dengan profesinya. Beliau juga menambahkan, kartu pers bukan hanya berfungsi untuk pengikat hubungan kerja antara wartawan dengan perusahaan pers yang mempekerjakan, melainkan juga pengakuan terhadap kompetensi dan keprofesionalisme seorang wartawan. Maraknya pemberian kartu pers kepada non-wartawan bisa saja mengandung maksud dan tujuan yang tidak terkait dengan dunia jurnalisme dan etika jurnalismesehingga dapat dikategorikan sebagai pelecehan terhadap profesi wartawan, dan dapat melanggar hukum. Dewan Pers mengingatkan agar komunitas pers dan perusahaan pers menjaga profesionalitas wartawan dan menjunjung kemerdekaan pers dengan tidak memberikan kartu pers kepada pihak-pihak lain di luar wartawan.

Tindak lanjut

“Penghormatan terhadap profesi wartawan harus dimulai dari kalangan pers sendiri. Tanpa penghormatan dari kalangan sendiri, profesi jurnalis tidak akan dihormati dari pihak lain,”


Dari sekitar 80 ribu wartawan yang ada di Indonesia, baru sekitar 10 ribu yang memiliki kartu kompetensi.  Penegasan ini disampaikan Stanley di Kantor Harian Timor Express,  Kupang, Rabu (15/6/2016).


Seperti diwartakan sebelum - nya, Menteri  Komunikasi  dan  Informatika Rudiantara menghimbau para wartawan untuk mengikuti uji kompetensi guna memperoleh sertifikat kewartawanannya. “Ini kan untuk pengembangan profesi. Jadi harus diurus sertifikasinya”, kata Rudiantara di sela-sela puncak peringatan Hari Pers Nasional  (HPN) 2016, di Mataram, NTB, Selasa (9/2/2016).


Stanley menambahkan, orang bisa dengan mudah mendapatkan kartu pers, namun kartu kompetensi yang ditandatangani dan diverifikasi (juga masuk di website Dewan Pers) tidak mudah didapatkan. Sebab, kata dia, untuk mendapatkan kartu kompetensi, wartawan harus terlebih dulu mengikuti uji kompetensi.


Dengan demikian, kata Stanley,  pada tahun 2018 nanti  Dewan Pers bisa membuat aturan  dimana semua orang bisa menolak wartawan, apabila yang bersangkutan tidak mampu menunjukkan kartu kompetensi, baik itu muda, madya dan utama. (Berdasarkan Peraturan  Dewan Pers No 1/2010, tanggal  2 Februari 2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan, ada tiga jenjang  kompetensi  yakni  Wartawan Muda, Wartawan Madya dan Wartawan Utama – red).


Lebih lanjut  Stanley menyatakan, wartawan profesional dibentuk dalam suatu proses latihan menulis dan tidak sekali jadi. Dia mengerti etika jurnalisme. Tetapi sekarang situasinya rawan, karena munculnya media abal-abal.


Diakui Stanley, Dewan Pers tidak bisa menangani semua pelaksanaan etik untuk semua wartawan, apalagi wartawan media abal-abal. Untuk itu, saat ini pihaknya berkonsentrasi pada media profesional.


Dan kepada media profesional, kata Stanley, Dewan Pers meminta untuk menjaga standar perilaku dan etika profesi dengan baik. “Kita juga melarang  media untuk menggunakan nama atau tupoksi dari lembaga negara, seperti KPK, Tipikor dan lain-lain. Karena modusnya lebih untuk menakutnakuti masyarakat”, ujarnya.


Selain fenomena abal-abal, ada banyak hal yang membuat media ini teledor. Hal ini dikarenakan pelaku media mengganggap beritanya  harus laku terjual dan dibaca orang. Akibatnya media cenderung berlomba-lomba untuk menampilkan sesuatu yang justru melanggar kode etik jurnalistik. Pada akhirnya muncul banyak komplain dari masyarakat. “Ini realitas miris yang terjadi saat ini”, pungkas Stanley.[3]


Dewan Pers mendapat banyak laporan menyangkut praktek pemberian kartu pers kepada orang-orang bukan wartawan, seperti pejabat, pengusaha, aparat hukum, petugas intelijen dan lain-lain. Kami ingin mengingatkan kepada kalangan pers bahwa praktek tersebut tidak dapat dibenarkan dan merupakan pelanggaran etika jurnalistik serta dapat mengancam kemerdekaan pers.

Kartu pers merupakan identitas khusus yang sepatutnya hanya dimiliki oleh wartawan terkait dengan profesinya. Pemberian kartu pers kepada individu non-wartawan bukan saja tidak patut, melainkan juga dapat melahirkan penyalahgunaan dan merugikan profesi wartawan. Kartu pers bukan hanya berfungsi untuk pengikat hubungan kerja antara wartawan dengan perusahaan pers yang mempekerjakan, melainkan juga pengakuan terhadap kompetensi dan profesionalisme seorang wartawan.

Dengan demikian pemberian kartu pers kepada non-wartawan dapat diduga mengandung maksud dan tujuan yang tidak terkait dengan jurnalisme, dapat dikategorikan sebagai pelecehan terhadap profesi wartawan, dan dapat melanggar hukum.

Oleh karena itu, Dewan Pers  mengingatkan agar komunitas pers dan perusahaan pers menjaga profesionalitas wartawan dan menjunjung kemerdekaan pers dengan tidak memberikan kartu pers kepada pihak-pihak lain di luar wartawan.  Penghormatan terhadap profesi wartawan harus dimulai dari kalangan pers sendiri. Tanpa penghormatan dari kalangan sendiri, profesi jurnalis tidak akan dihormati dari pihak lain.[4]

Referensi

  1. ^ "kartu pers | Arti Kata kartu pers". www.kamusbesar.com. Diakses tanggal 2020-02-03. 
  2. ^ "UU 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU 11 tahun 2008 tentang ITE | Jogloabang". www.jogloabang.com. Diakses tanggal 2020-02-05. 
  3. ^ "Dewan Pers". dewanpers.or.id. Diakses tanggal 2020-02-04. 
  4. ^ "Dewan Pers". dewanpers.or.id. Diakses tanggal 2020-02-04.