Politik Devide Et Impera Di Indonesia
Politik devide et impera adalah strategi yang digunakan oleh penjajah kolonial (Belanda) untuk menggagalkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca kemerdekaan Indonesia 1945. Politik Devide et impera juga termasuk strategi memecah belah suatu bangsa agar bisa ditaklukkan dengan tujuan untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar lebih mudah untuk dikuasai.
Pada 1947-1948 Belanda membentuk negara boneka dengan menjanjikan kemerdekaan terhadap beberapa negara boneka yang telah dibuatnya, diantaranya Negara Indonesia Timur (sekarang Papua), Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur.
Sejarah Awal
Pada Perang Dunia II, Jepang mengakui kalah dari tentara sekutu dengan pemboman kota Hirosima dan Nagasaki pada 6 dan 8 Agustus 1945. Setelah Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, sekutu kemudian memerintahkan Jepang untuk melaksanakan status quo, yaitu menjaga situasi dan kondisi sebagaimana adanya pada saat itu sampai kedatangan tentara sekutu ke Indonesia. Pada tanggal 16 September 1945 rombongan Belanda, perwakilan sekutu berlabuh di Tanjung Priok[1].
Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan). Terjadi kekosongan pemerintahan yang berkuasa Indonesia yang diakibatkan kekalahan Jepang. Oleh karena itu, para pemuda (Golongan Muda) melakukan penculikan terhadap Soekarno-Hatta yang kemudian membawa keduanya ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Peristiwa Rengasdengklok terjadi pada 16 Agustus 1946, yakni penculikan kepada dua bapak proklamator Republik Indonesia, Soekarno dan Hatta, ke Karawang, Jawa Barat, dengan tujuan supaya cepat mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Tetapi Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 1945, karena ingin kembali berkuasa. Hal inilah yang mengawali agresi militer I tahun 1947 dan agresi militer II tahun 1948.
Agresi Militer Belanda I Dan II
Setelah Indonesia Merdeka pada 1945, Belanda masih mempunyai urusan dengan Indonesia, yakni pengembalian semua wilayah yang dulu bekas jajahan Belanda menjadi bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). Untuk menjadi negara berdaulat, beberapa tahapan melawan Belanda dilakukan untuk mempertahankan teritori yang sudah dideklarasikan dari Sabang- Merauke.
Perjanjian Linggarjati 1946
Perjanjian yang terjadi di Linggarjati, Jawa Barat, dihadiri oleh pihak dari Indonesia yang diwakili Sutan Syahrir dan dari pihak Belanda diwakili Wim Schermerhorn, dimana menghasilkan resolusi yang melemahkan Indonesia secara de Facto. Pada perjanjian tersebut hanya akan mengakui Jawa, Sumatera dan Madura sebagai bagian dari negara Indonesia.
Agresi Militer Belanda I 1947
Pada 21 Juli 1947, Letnan Gubernur Jenderal Belanda Johannes van Mook menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati tidak berlaku lagi dan memulai operasi militer yang dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I yang berlangsung sampai 5 Agustus 1947. Belanda menamakan operasi militer ini sebagai Aksi Polisionil dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak.
Perjanjian Renville 1948
Akibat agresi militer 1 yang dilakukan Belanda, Amerika Serikat turun tangan untuk menetralkan situasi dengan menjadi penengah antara Indonesia dan Belanda. Keduanya lalu menandatangani perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Hasil dari perjanjian ini, Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan sebagian wilayahnya. Belanda hanya mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah pendudukan.
Agresi Militer Belanda II 1948
Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melanggar gencatan senjata dan isi Perjanjian Renville. Belanda mengerahkan 80.000 pasukannya kemudian menyerang ibu kota Indonesia yang pada saat itu di Yogyakarta dan melakukan penangkapan kepada Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.
Konferensi Meja Bundar 1949
Akibatnya, Amerika Serikat kembali menekan Belanda untuk berunding dengan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 2 November 1949, terkait pengembalian seluruh wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia, termasuk Papua didalamnya. Perjanjian ini menyatakan Belanda setuju untuk mentransfer kedaulatan politik mereka atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda menjadi Indonesia. Khusus untuk Papua Barat menjadi satu-satunya bagian dari Hindia Belanda yang tidak dipindahkan ke Indonesia dan status Papua Barat akan dibahas setahun kemudian, yakni 1950.
Politik Devide et Impera Belanda Di Indonesia
Meski telah sepakat dalam KMB, Belanda berupaya menggagalkan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia lewat politik devide et impera. Secara definitif Devide et impera atau Politik pecah belah adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
Devide et Impera pada dasarnya merupakan cara yang digunakan oleh Belanda pada saat itu guna mencapai tujuannya untuk mengadu domba kelompok-kelompok kecil di Indonesia, sehingga Belanda bisa dengan mudahnya menguasai kekayaan Indonesia (saat itu bernama Hindia Belanda). Belanda menggunakan politik Devide et Impera atau politik pecah belah di Indonesia untuk memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Politik pecah belah ini dilakukan oleh Belanda dengan pendirian negara boneka Belanda dijanjikan untuk merdeka.
Negara Boneka di Indonesia Timur (saat ini Papua) di Indonesia
Selama 1947-1948, pihak Belanda sengaja ingin menguasai Indonesia dengan mudah, dan membagi-baginya menjadi kelompok kecil, dengan total 6 bagian, diantaranya diantaranya Negara Indonesia Timur (sekarang Papua), Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur.
Sejak 1950 sampai 1961, Belanda masih belum mengembalikan Papua sampai 1961, dimana Belanda seharusnya mengembalikan Papua menjadi bagian dari Indonesia sesuai kesepakatan hasil konferensi Meja Bundar (KMB), di Den Haag, Belanda, yang akan dibahas satu tahun setelahnya, yakni pada 1950. Belanda masih menguasai Papua Barat sebagai wilayah jajahannya, Alasannya karena Belanda masih mau mempertahankan pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik sekaligus bertekad memperkuat basis ekonominya di Papua. Belanda diam-diam mendirikan negara boneka Papua. Belanda memulai dengan membentuk komite bernama New Guinea Council pada tanggal 19 Oktober 1961. Adapun tugasnya merancang Manifesto untuk Kemerdekaan dan Pemerintahan Mandiri, bendera nasional (Bendera Bintang Kejora), cap negara, memilih "Hai Tanahku Papua" sebagai lagu kebangsaan, dan meminta masyarakat untuk dikenal sebagai orang Papua. Belanda mengakui bendera dan lagu ini pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Ditahun yang sama, Belanda sekaligus mendirikan pasukan Papoea Vrijwilligers Korps atau Korps Relawan Papua (PVK), tentara buatan Belanda yang terdiri dari pribumi Papua.
Kembalinya Papua Menjadi Bagian dari Indonesia
Setelah Belanda mendirikan negara boneka di Papua, maka pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Trikora (Tri Komando Rakyat) dengan isi :
Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda.
Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.
Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Melalui hal tersebut, tindakan konfrontasi dengan Belanda tidak bisa dihindarkan. Panglima Mandala menyusun tiga strategi guna melaksanakan instruksi tersebut;
- Tahap Infiltrasi (penyusupan) (sampai akhir 1962), yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh musuh dan mengembangkan penguasaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat
- Tahap Eksploitasi (awal 1963), yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.
- Tahap Konsolidasi (awal 1964), yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat.
Namun setelah Trikora dilaksanakan, Amerika memfasilitasi perundingan Indonesia-Belanda yang menghasilkan New York Agreement tahun 1962.
- 15 Agustus 1962. Indonesia diwakili oleh Soebandrio, dan Belanda diwakili oleh Jan Herman van Roijen dan C.W.A. Schurmann menandatangani New York Agreement.
Isi kesepakatan tersebut memuat road map penyelesaian sengketa atas wilayah Papua/Irian Barat. Lima hari kemudian (20 September 1962) dilakukan pertukaran instrumen ratifikasi NYA antara Indonesia dengan Belanda tetapi pertukaran tersebut tidak menjadikannya otomatis berlaku, karena PBB terlibat. Maka PBB pun membawa Persetujuan bilateral The New York Agreement (NYA) ini ke dalam forum PBB, yang kemudian diterima dan dikukuhkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1752 yang mulai berlaku 21 September 1962.
Perundingan New York Agreement (NYA) mengatur penyerahan kekuasaan dari Belanda atas tanah Papua dilakukan secara tidak langsung. Belanda menyerahkannya kepada PBB, baru setelah itu PBB menyerahkan ke pemerintah Indonesia melalui referendum (PEPERA).
- 1 Oktober 1962. Wakil Gubernur Jenderal Belanda H. Veldkamp menyerahkan kekuasaannya atas Papua Barat kepada sebuah badan PBB yang khusus dibentuk untuk mengurusi masalah Papua tersebut. Badan PBB itu bernama UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority).
- 1 Mei 1963. UNTEA menyerahkan pemerintahan Papua bagian barat kepada Indonesia. Hollandia yang tadinya menjadi pusat kekuasaan kerajaan Belanda di Papua, diubah namanya menjadi Kota Baru. Momentum 1 Mei ini hingga kini diperingati sebagai Hari Integrasi Papua ke dalam NKRI.
- 4 Mei 1963. Bung Karno menjejakkan kakinya di Tanah Papua. Di hadapan ribuan orang Papua di Kota Baru, Bung Karno dengan semangat membara menyampaikan pidato :
“Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia…” (cuplikan pidato Bung Karno di Kota Baru, Jayapura, tanggal 4 Mei 1963)
- 5 September 1963. Papua bagian barat dinyatakan sebagai “daerah karantina”. Pemerintah Indonesia membubarkan Dewan Papua serta melarang bendera dan lagu kebangsaan Papua.
Proses persiapan referendum memakan waktu 7 tahun. Pada tahun 1969, referendum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dan dilaksanakan oleh Dewan Musyawarah PEPERA yang terdiri dari 400 kepala suku, 360 tokoh daerah, dan 266 tokoh lain dari berbagai kelompok masyarakat. Mayoritas perwakilan rakyat Papua dalam PEPERA memilih menjadi bagian dari Indonesia. Papua akhirnya kembali ke pangkuan NKRI menjadi provinsi ke-26 Indonesia dengan nama Irian Jaya.
Hasil PEPERA diuji dalam Sidang Majelis Umum PBB dengan mengesahkan hasil dengan resolusi No. 2504 tanggal 19 Oktober 1969 dengan 80 negara menyetujui Papua bagian dari Indonesia dan 20 negara lainya abstain. PEPERA juga disaksikan oleh 9 anggota UNTEA yaitu Iran, Amerika Serikat, Perancis, Pakistan, India, Filipina, Inggris, Australia, dan Selandia Baru.
Setelah Papua bagian barat digabungkan dengan Indonesia sebagai Irian Jaya, Indonesia mengambil posisi sebagai berikut:
- Papua bagian barat telah menjadi daerah Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945 namun masih dipegang oleh Belanda
- Belanda berjanji menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar penggabungan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah tindakan merebut kembali daerah Indonesia yang dikuasai Belanda
- Penggabungan Papua bagian barat dengan Indonesia adalah kehendak rakyat Papua.
Melalui Perjanjian New York tahun 1962 yang mengamanatkan Papua diserahkan ke Indonesia melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) (lembaga PBB) serta Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, secara sah Papua Barat telah kembali menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelompok yang didirikan oleh Belanda bernama pasukan Papoea Vrijwilligers Korps atau Korps Relawan Papua (PVK), tentara buatan Belanda terdiri dari pribumi Papua pada 1961, yang menolak bergabung menjadi bagian dari Indonesia pada akhirnya membentuk aliansi baru bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Belanda menjanjikan kemerdekaan terhadap kelompok ini agar Papua menjadi sebuah negara merdeka selambat-lambatnya pada 1970. Janji ini terus dipegang OPM. Oleh karenanya, kelompok OPM terus memperingati 1 Desember sebagai hari kemerdekaan mereka, padahal Belanda sudah kadung pergi duluan sebelum 1970, dan meninggalkan harapan kemerdekaan palsu tentang kemerdekaan Papua.
Referensi
- ^ September 21, yusuf arbi ramdan; Balas, 2018. "Kedatangan Sekutu dan NICA di Indonesia – Donisaurus". Diakses tanggal 2020-02-05.