Kadipaten Jipang
Kerajaan Jipang" atau lazim dikenal dengan nama Kadipaten Jipang adalah nama sejarah yang sering disebut dalam beberapa kronik Jawa, khususnya yang terkait dengan Kerajaan Demak dan proses berdirinya Kerajaan Pajang. Jipang sering disebut sebagai Tanah Mahkota tempat tinggal keluarga Raja, Jipang merupakan "Tanah Lungguh" atau apenage dari Kerajaan Majapahit, sebuah Pemerintahan yang memiliki hak otonomi luas yang dipimpin oleh keluarga Raja atau orang- orang yang berpengaruh di Kerajaan yang berkuasa saat itu sebagai daerah bagian dari pertahanan luar Kerajaan. Status Kadipaten Jipang adalah Kerajaan vazal Majapahit yang lazim disebut Kadipaten. Adipati Jipang pertama adalah Ratu Ayu Retno Komolo yang tidak lain adalah anak dari Raja Majapahit Brawijaya V. Kerajaan Djipang merupakan salah satu pendukung utama berdirinya Kerajaan Demak. Kerajaan Djipang dengan suka rela menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Demak sebagai Kerajaan Vazal(bawahan). Hal ini bisa terjadi karena Pendiri Kerajaan Demak R. Fatah tidak lain adalah Kakak dari Ratu Jipang sendiri yang dalam babad tanah jawi sering disebut sebagai Penguasa Jipang. Bukan hanya itu bahkan Prajurit Jipang Soreng soreng pun dikerahkan untuk secara total sebagai pasukan utama Kerajaan Demak. Tercatat nama Sunan Ngudung dan Sunan Kudus yang merupakan Bapak dan anak adalah 2 orang Jipang yang menjadi Panglima Kerajaan Demak di masa R. Fatah dan Pati Unus. Nama Jipang banyak muncul dalam catatan sejarah karena penguasanya, Arya Penangsang lebih dikenal dengan nama Arya Jipang yang merupakan Sultan Demak ke 5 telah dibunuh oleh Pasukan perusuh kiriman adipati Pajang Joko Tingkir (Hadiwijaya) guna merebut takhta Demak lalu mendirikan Kerajaan Pajang. Ini terjadi pada tahun ke 8 setelah mangkatnya Mukmin Sunan Prawoto Sultan Demak 4 yang sempat bertahta lebih kurang 1 tahun, 1546 - 1547 Pada masa Arya Penangsang menjadi Sultan Demak 5 ibu kota Kerajaan/ Kesultanan Demak yang semula oleh Mukmin dari Bintoro dipindahkan ke Prawoto (Pati), yang masa itu dikenal dengan sebutan Demak Prawoto oleh Arya Penangsang dipindahkan lagi ke Jipang. Sehingga pada masa itu di kenal dengan sebutan Demak Jipang
Kerajaan Djipang Kadipaten Jipang | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1475–1560 | |||||||||
Bendera | |||||||||
Ibu kota | Jipang Jipang, Cepu, Blora | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jawa Kuno (selanjutnya berkembang menjadi bahasa Jawa modern seperti sekarang) | ||||||||
Agama | Islam | ||||||||
Pemerintahan | Kerajaan | ||||||||
Ratu/ Raja Adipati | |||||||||
• 1475-1500 | Raden Ayu Retno Kumolo | ||||||||
• 1500-1521 | Pangeran Raden Surowiyoto (R. Kikin) | ||||||||
• 1521-1554 | Pangeran Raden Arya Penangsang | ||||||||
Sejarah | |||||||||
• Berdirinya Kotaraja Jipang | 1475 | ||||||||
• Jipang menjadi Kadipaten Pajang | 1560 | ||||||||
| |||||||||
¹ (1475-1479 sebagai bawahan Majapahit) | |||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Wilayah Kadipaten Jipang meliputi Kabupaten Blora, Pati Lasem Rembang, dan Kabupaten Bojonegoro. Nama "Jipang" saat ini masih sebagai nama desa di bagian selatan Kecamatan Cepu (Desa Jipang) yang dulu pernah menjadi pusat kotaraja tempat kedudukan Arya Jipang. Nama "Panolan" pun saat ini masih menjadi nama desa yakni desa Panolan yang letaknya sekitar 7 km dari desa Jipang, berada dalam wilayah administrasi kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora. Semasa Arya Penangsang berkuasa nama Jipang tanpa Panolan. Nama Jipang Panolan adalah nama semasa Jipang di kuasai Kerajaan Pajang sebagai Kadipaten penuh, dimana pusat Pemerintahan yang semula di Kotaraja Jipang dipindahkan ke desa Panolan. Sejak itulah Jipang menjadi Kadipaten dengan nama Kadipaten Jipang Panolan.
Berita-berita Kuno tentang Kerajaan Djipang
Nama Jipang diberikan kepada daerah antara Gunung Kendeng dan pegunungan pesisir utara, yaitu daerah hulu Sungai Lusi atau Serang, yang sekarang bermuara di Laut Jawa di sebelah selatan Jepara. Mungkin dahulu kala sungai ini bermuara di sebuah selat yang dangkal, tempat Demak, Pati, dan Juwana, yang memisahkan Pulau Muria dan daratan Jawa. Daerah ini sekarang terletak di kabupaten-kabupaten Blora dan Bojonegoro, yang termasuk Karesidenan Rembang. Jipang konon nama sebagian dari daerah itu. Daerah-daerah dan kerajaan-kerajaan ini berperan penting dalam legenda sejarah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam riwayat-riwayat diberitakan bahwa Blora ialah tempat tinggal seorang pandai dari zaman bahari, Arung Bondan namanya. Rupanya, ia seorang ahli bangunan, nenek moyang patih-patih dan pejabat-pejabat raja-raja di zaman kuno. Menurut beberapa pembawa cerita, Mendang Kamulan, sebuah negeri asal dalam dunia dongeng, terletak di daerah Blora ini. Bojonegoro konon tempat tinggal seorang putra raja, bernama Angling Darma, yang mengerti bahasa hewan. Matahun ialah nama salah satu “tanah mahkota” (langsung dikuasai raja) Kerajaan Majapahit pada abad ke-14, yang terletak di pedalaman Karesidenan Rembang yang sekarang. Tetapi, menurut Dr. Noorduyn, daerah itu tidak dapat seluruhnya disamakan dengan Kerajaan Jipang dahulu; nama kota Matahun belum dijumpai. Ibu kota daerah yang sekarang, Rembang, terletak di pantai utara, antara Juwana dan Lasem. Lasem ialah nama salah satu “tanah mahkota” kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Ada kemungkinan bahwa Gunung Lasem, yang sekarang terletak di garis pantai, lima abad yang lalu merupakan sebuah tanjung yang agak besar. Juwana sudah digambarkan sebagai kota pelabuhan yang, menurut Tome Pires, pada permulaan abad ke-16 diperebutkan oleh “Gusti Pate”, panglima terakhir kerajaan Majapahit. Tome Pires memberitakan juga bahwa di Pati dan Juwana dibuat garam dalam empang-empang sepanjang pantai; garam ini merupakan barang ekspor.[3] Diberitakan oleh musafir Portugis itu bahwa pada waktu kunjungannya, Rembang mempunyai galangan kapal, tempat pembuatan kapal-kapal dagang Demak. Daerah Rembang yang sekarang, yang membentang ke timur melewati Tuban, terkenal karena mehghasilkan kayu jati. Berita Tome Pires tentang pembangunan kapal-kapal di kota pelabuhan Rembang menguatkan dugaan bahwa sudah sejak dahulu hutan-hutan di pedalaman mendatangkan hasil. Bahkan menurut perkiraan, sebelum zaman Islam di sana-sini sudah ditanam kayu jati untuk menjamin persediaan kayu yang bermanfaat ini.[5] Pada zaman Kompeni (VOC) dan pemerintahan Hindia Belanda, hutan-hutan jati di Rembang mendapat perhatian sepenuhnya. Dalam hubungan ini baiklah kita ingat akan kaum “Kalang”, kelompok orang-orang Jawa, yang sekalipun beragama Islam masih menaati kebiasaan-kebiasaan yang aneh dan giat dalam perhutanan, khususnya di daerah Rembang. Pada abad ke-17 sudah diberitakan bahwa kaum Kalang di daerah-daerah yang banyak hutannya di Jawa Tengah dan Jawa Timur mempunyai pemimpin-pemimpin sendiri. Mungkin mereka sudah sejak zaman pra-Islam mendiami hutan-hutan dan mengusahakannya. Dan mungkin juga bahwa beberapa dongeng, yang terdapat dalam buku-buku cerita Jawa, berdasarkan cerita mitos mereka. Dalam kesusastraan pra-Islam hingga kini baru sedikit saja ditemukan penggambaran yang jelas tentang kaum “Kalang” ini.
Arya Penangsang dari Jipang
Menurut tambo Jawa, seperti diuraikan sebelum ini, raja Demak yang keempat, Susuhunan Prawata, dibunuh oleh Rangkud orang yang setia pada sepupunya, Arya Panangsang, kira-kira pada tahun 1547. Arya Penangsang memerintah di Jipang sebagai raja bawahan. Mungkin juga tujuannya untuk membalas dendam kematian ayahnya, yang sebelumnya telah dibunuh oleh Susuhunan Prawata demi untuk menaikkan Trenggana, Bapak nya Sunan Prawata menjadi Raja Demak ketiga. Mungkin juga Arya Penangsang menganggap dirinya berwenang menduduki tahta Demak selanjutnya. Tetapi rupanya ia kemudian dikalahkan dan dibunuh dalam pertempuran melawan laskar perusuh Jawa dan dibunuh dalam pertempuran melawan laskar Jawa dari pedalaman, yaitu laskar Jaka Tingkir, penguasa Pajang. Jaka Tingkir bertindak untuk merebut kekuasaan Arya Penangsang atas Demak dengan alasan sebagai pembalas dendam, atas kematian Kiai Kalinyamat dari Jepara, ipar Susuhunan Prawata, yang telah menemui ajalnya juga karena perseteruan dengan Arya Panangsang. Akhirnya Jaka Tingkir, sebagai Raja Pajang, merubuhkan kedaulatan Kerajaan Demak.
Episode sejarah Jipang ini telah mendapat perhatian secukupnya dari Dr. Noorduyn.[7] Dengan tepat dinyatakannya bahwa tidak ada alasan untuk meragukan kebenaran sejarah tindakan kekerasan dan berakhirnya riwayat Arya Panangsang menurut cerita tutur Jawa, seperti dilakukan Prof. Berg sebelumnya. Suatu berita dalam sebuah surat berbahasa Belanda mungkin menyangkut pendekar Jipang yang semangat tempurnya menyala-nyala. Anehnya, masih lama juga ia hidup dalam cerita-cerita rakyat setempat. Orang masih percaya bahwa ia akan hidup kembali jika potongan-potongan tubuhnya, yang telah dipencarkan ke mana-mana pada waktu ia meninggal, dikumpulkan dan disatukan lagi. Cerita rakyat ini mungkin semula beredar di kalangan umat Islam yang masih menganggap bahwa cucu raja besar Raden Patah itu adalah pengganti tahta kerajaan di Demak yang sah.
Penguasa-penguasa Jipang dan Blora selanjutnya
Kekalahan dan kematian Arya Penangsang ternyata telah memaksa sanak saudaranya yang tidak ikut menjadi korban, menyingkir ke Surabaya dan Palembang. Dalam bagian berikut ini akan dibicarakan suatu pemberitaan yang berasal dari Palembang mengenai keturunan Jipang. Sesudah Jipang direbut, raja Pajang menyerahkan wilayah itu kepada salah seorang anggota keluarganya untuk diperintah sebagai tanah/ daerah gaduhan, ‘pinjaman’. Sesudah raja mangkat dalam usia lanjut pada tahun 1587, Jipang dijadikan tempat tinggal putranya, Pangeran Benawa, karena kota Kerajaan Pajang telah diduduki oleh Senapati Mataram. Pada dasawarsa terakhir abad ke-16 daerah Jipang juga jatuh ke bawah kekuasaan raja Mataram (1591). Pada tahun 1598, raja bahkan memerintahkan orang-orang dari Pajang membangun kembali ibu kota Jipang dengan kerja rodi. Pada waktu itu Jipang merupakan daerah perbatasan antara daerah raja Mataram dan Surabaya. Pada abad ke-17 dan ke-18, Jipang dijadikan tempat kedudukan bupati yang mewakili raja-raja Kartasura dan Surakarta. Mereka menganggap dirinya keturunan Matahun. Dari sinilah berasal para patih Surakarta yang terkenal dalam abad ke-19, yang memakai nama Sasranagara dan Sasradiningrat. Yang masih perlu dijelaskan ialah bahwa menurut daftar tahun kejadian yang disebut babad sangkala, pada tahun 1559 atau 1561 raja Pajang telah mengirim ekspedisi bersenjata ke Blora (yang disebut pamblora). Jika diperkirakan kemenangan atas Arya Panangsang dari Jipang terjadi pada tahun 1554, maka lima tahun kemudian di Blora, tidak jauh dari Jipang, masih juga terjadi pemberontakan melawan kekuasaan raja baru di Pajang. Tidak ada keterangan yang dapat menunjukkan apakah yang berkuasa di Blora adalah anggota-anggota jalur Jipang dari keturunan Demak pula; hal ini tidak mustahil.
Hubungan keturunan penguasa Jipang dengan Palembang
Nama Jipang tampak dicantumkan pada plakat yang diumumkan pada tanggal 1 September 1818 oleh komisaris Belanda Muntinghe, yang isinya menjamin bahwa bagi Palembang pemerintah Hindia Belanda akan mempertahankan undang-undang, terkenal dengan nama “Piagam Pangeran Jipang” (de wet, bekend onder de naam van Pejagem van dan Pangerang van Djiepan).[13] Dalam riwayat Palembang yang bersifat sejarah, berkali-kali terdapat kata-kata yang menunjuk pada hubungan dengan Jawa, khususnya dengan Jawa Timur. Suatu undang-undang yang terkenal sebagai piyagem Pangeran ing Jipang tidak dikenal dalam kesusastraan Jawa. Yang pasti ialah bahwa di berbagai daerah Sumatera Selatan telah dipakai buku-buku hukum Jawa yang disusun di keraton raja-raja Demak. Salah satu di antaranya, yang paling