Peristiwa Talangsari 1989

Revisi sejak 11 Februari 2020 11.52 oleh Syahar Banu (bicara | kontrib) (Kronologi kejadian dan kaitan dengan pelanggaran HAM berat masa lalu)

[1]

Tragedi Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten L ampung Tengah). Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Aturan ini termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.[2] Komnas HAM mencatat tragedi Talangsari menelan 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa.[3] ABRI juga membakar seluruh perabotan rumah warga sehingga situasi saat itu sangat mencekam. Dusun itu sempat disebut sebagai Dusun Mati dan orang-orang yang tinggal di sana mendapat sebutan sebagai "orang lokasi" sehingga mendapat diskriminasi dari penduduk sekitar.[4]

Latar Belakang

Tragedi Talangsari 1989 berawal dari menguatnya doktrin pemerintah Soeharto tentang adanya asas tunggal Pancasila. Untuk menunjukkan komitmennya, Soeharto menyebut prinsip tersebut dengan Eka Prasetya Panca Karsa dengan program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).[3] Program P-4 banyak menyasar kelompok Islamis yang saat itu memiliki sikap kritis terhadap pemerintah Orde Baru. Aturan tersebut memancing reaksi kelompok Islam di Indonesia termasuk yang terjadi di tragedi Tanjung Priok 1984, Barisan Jubah Putih[3] di Aceh, dan kelompok Warsidi di Lampung.

Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.

Pada tanggal 1 Februari 1989, ketika Kepala Dukuh Karangsari mengirimkan surat yang ditujukan kepada Komandan Koramil (Danramil) Way Jepara, Kapten Soetiman, yang menyatakan bahwa di dukuhnya ada orang-orang yang melakukan kegiatan mencurigakan. Yang disebut sebagai orang-orang itu adalah Warsidi dan kelompok pengajian yang menamakan diri sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah, berlokasi di Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah. Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Berangkatlah sebuah rombongan dari Kantor Camat Way Jepara, menuju kompleks kediaman Anwar. Dipimpin oleh May. Sinaga memimpin, Kepala Staf Kodim Lampung Tengah. Rombongan besar terdiri dari Kapten Soetiman, Camat Zulkifli Malik, Kapolsek Way Jepara Lettu (Pol.) Dulbadar, Kepala Desa Rajabasa Lama Amir Puspamega, serta sejumlah anggota Koramil dan hansip. Seluruhnya berjumlah sekitar 20 orang. Terjadi kesalahpahaman di antara dua kelompok yang menyulut bentrokan. Kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Dalam bentrokan tersebut Kapten Soetiman tewas.

Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada 7 Februari 1989, 3 peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu ke Cihideung, pusat gerakan. Menjelang subuh keadaan sudah dikuasai oleh ABRI.

Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan advokasi korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246 penduduk sipil tewas dalam bentrokan tersebut. Sementara menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut 47 korban dapat diidentifikasi jenazahnya, dan 88 lainnya dinyatakan hilang. Jumlah yang sesungguhnya masih misterius. Menurut buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Lampung[5], terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, korban berjumlah 300 orang. Ratusan anak buah dan pengikut Warsidi ditangkap. Sampai kini para korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI.

Keterlibatan Militer, Polisi, dan Pemerintahan Sipil

Tragedi Talangsari disebut sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu karena peristiwanya terjadi secara meluas dan sistematis yang berbeda dengan kejahatan biasa. Menurut Undang-undang No. 26 tahun 2000 pasal 9.

Hubungan ‘Genetis’ Talangsari dengan Jama’ah Islamiyah (JI)

Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, bila kasus Talangsari ini dipandang dalam perspektif kekinian, tampak ada hubungan ‘genetis’ dengan gerakan JI (Jamaah Islamiyah). Dikatakan demikian, karena keduanya punya titik persintuhan dengan sosok bernama Abdullah Sungkar.

Abdullah Sungkar adalah tokoh NII yang hengkang ke Malaysia sejak 1985. Kemudian pada tahun 1993 ia memisahkan diri dari NII dan membentuk Jama’ah Islamiyah (JI). Kasus Talangsari terjadi pada Februari 1989, ketika Abdullah Sungkar masih berada di Malaysia. Ini dapat diartikan, meski secara fisik Abdullah Sungkar berada di Malaysia, namun komunikasi dan pembinaan terus berlanjut hingga ke Talangsari sekalipun.

Semasa masih berada di Indonesia, semasih menjadi kader NII, Abdullah Sungkar aktif membina gerakan keagamaan yang dinamakan Usroh. Sejumlah pelaku kasus Talangsari merupakan bagian dari gerakan Usroh Abdullah Sungkar ini. Misalnya, Sukardi, yang bergabung ke dalam gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984. Selain menjadi aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar, Sukardi juga anggota tim pencari dana Fa’i pimpinan Nur Hidayat bin Abdul Mutholib.

Nur Hidayat sendiri merupakan salah satu anggota gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Selatan, yang mengenal gerakan Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984 dari Ibnu Toyib alias Abu Fatih. Sosok Ibnu Toyib alias Abu Fatih kemudian hari dikenal sebagai salah satu petinggi JI, yang pernah menjabat sebagai Ketua Mantiqi II.

Nama-nama lain yang juga terkait kasus Talangsari yang juga menjadi anggota gerakan Usroh pimpinan Abdullah Sungkar adalah Mushonif, Abadi Abdillah, Margotugino, Suryadi, Alex alias Muhammad Ali, Arifin bin Karyan (mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jakarta Ring Condet).

Mushonif yang divonis 20 tahun penjara dalam kasus Talangsari, sebenarnya tidak terlibat dalam peristiwa itu. Ia adalah alumnus Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki (1983-1986) yang diutus untuk mengajar di Pondok Pesantren Al-Islam di Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah. Kala itu ia bersama Abadi Abdullah ditugaskan pimpinan ponpes Ngruki untuk mengajar di ponpes Al-Islam, Way Jepara, Lampung. Selama di Way Jepara, Mushonif aktif mengikuti pengajian yang diselenggarakan Warsidi. Karena, ia merasa satu pemahaman dengan Warsidi. Ketika ditangkap aparat, dengan jujur dan terus terang Mushonif mengakui dirinya anggota jamaah Warsidi, namun tidak terlibat aksi kekerasan.

Nama lain yang ikut membidani kasus Talangsari adalah Wahidin AR Singaraja alias Zainal, mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar Ring Condet (sejak 1984) yang terakhir bekerja sebagai Satpam Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. Ketika Nur Hidayat dalam masa pelarian, Wahidin menjadi semacam tempat singgah. Nur Hidayat sesekali mengikuti pengajian yang dikelola Wahidin. Ketika kasus Talangsari meledak, Wahidin hilang bagai ditelan bumi. Ia sama sekali tidak pernah mengikuti proses hukum sebagaimana Nur Hidayat dan sebagainya, karena buron hingga kini.

Wahidin AR Singaraja alias Zainal kelahiran Dusun Betung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Palembang, merupakan anggota tertua dari empat sekawan yang disebut-sebut sebagai aktivis dari Jakarta. Wahidin lahir pada tanggal 24 Agustus 1948. Meski sempat merencanakan gerakan makar di Talangsari bersama-sama dengan Nur Hidayat, Sudarsono dan Fauzi Isman, dan ikut menjalin kesepakatan dengan anggota tim perunding Warsidi, kasus Talangsari keburu meledak (6-7 Februari 1989), sebelum ia sempat menginjakkan kakinya untuk hijrah dan menetap di dukuh Cihideung.

Nama lain yang layak dikutip di sini adalah Abdul Haris alias Haris Amir Falah. Ia sempat menjadi bagian gerakan Usroh Abdullah Sungkar sejak 1984, dan pada tahun 1987 pernah menjadi bagian dari kelompok Nur Hidayat yang di kemudian hari merancang gerakan makar di Talangsari. Ketika itu Nur Hidayat mengawali persiapan perangnya dengan membentuk empat shaf yang dipimpin oleh empat orang. Pertama, shaf Ali dipimpin oleh Nur Hidayat (mengurusi masalah kemiliteran). Kedua, shaf Usman dipimpin oleh Sudarsono (mengurusi masalah pendanaan) Ketiga, shaf Abu Bakar dipimpin oleh Haris Amir Falah (mengurusi masalah dakwah). Keempat, shaf Umar dipimpin oleh Arifin Agule (mengurusi masalah perhubungan).

Belakangan, Haris mengundurkan diri, sehingga ia tidak terlibat kasus Talangsari. Nama Haris Amir Falah kembali mencuat ketika ia ikut mendirikan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Bahkan terakhir kali, Haris menjabat sebagai Ketua MMI Wilayah DKI Jakarta. Ketika Abu Bakar Ba’asyir mundur dari MMI dan mendirikan Jama’ah Ansharut Tauhid, Haris Amir Falah merupakan salah satu pendirinya. Bersama-sama dengan Abu Bakar Baasyir dan Fauzan Al-Anshari, Haris Amir Falah hengkang dari MMI.

Berdasarkan kenyataan di atas, sesungguhnya gerakan Usroh Abdullah Sungkar yang mengalir ke Lampung, menghasilkan radikalisme ala Warsidi (1989). Sebelumnya, ia mengalir ke Tanjung Priok (kasus Tanjung Priok 1984). Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menafikan keberadaan gerakan radikal yang disandingkan dengan doktrin agama, tidak ada alasan menafikan keberadaan JI, juga keberadaan jamaah NII yang tidak sekadar bercita-cita mendirikan negara ideologisnya tetapi mengupayakan cita-citanya itu melalui sebuah upaya sistematis dan terencana yang berdarah-darah sekalipun.

Kalau saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera ditumbangkan saat itu juga, mungkin di tempat itu akan menjelma menjadi sebuah basis pemberontakan yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu (1989) radikalisme berupa pemberontakan bersenjata dilakukan dengan panah beracun, golok, clurit atau bendorit (perpaduan antara bendo alias golok dengan clurit). Kini, radikalisme itu sudah menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, termasuk bom bunuh diri sebagaimana terjadi akhir-akhir ini di JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009.

Beberapa Nama, Saksi Palsu dan Islah

Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, dari sejumlah nama yang terlibat kasus Talangsari atau setidaknya ada keterkaitan dengan kasus Talangsari, beberapa di antaranya layak digolongkan sebagai orang-orang yang bingung. Mereka antara lain Azwar Kaili dan Jayus alias Dayat bin Karmo serta Fauzi Isman. Sedangkan saksi-saksi palsu, antara lain Suroso dan Purwoko. (http://riyantolampung.blog.com/2011/09/11/kasus-talangsari-jama%E2%80%99ah-islamiyah-dan-komnas-ham-04/)

Azwar Kaili

Keterkaitan Azwar Kaili dengan kasus Talangsari dapat dilihat dari dua hal. Pertama, ia merupakan simpatisan anggota jama’ah pengajian yang diselengggarakan oleh Abdullah alias Dulah dan Pak Sediono. Abdullah alias Dulah merupakan anak buah Warsidi, dan mantan aktivis Gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jawa Tengah. Tidak hanya Azwar Kaili yang aktif mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan Abdullah, juga Warsito (anak angkat Azwar), dan tiga anak kandungnya masing-masing bernama Iwan, Haris, dan Ujang.

Kedua, melalui sosok Warsito yang tewas dalam kasus Talangsari (7 Februari 1989). Azwar mengeksploitasi almarhum Warsito untuk ‘memeras’ Hendropriyono. Almarhum Warsito diposisikan sebagai korban. Padahal, meski usianya masih belasan, Warsito sudah dibina oleh Abdullah sebagai calon Mujahid. Akibat binaan Abdullah, Warsito dan beberapa teman sebayanya menjadi sosok yang militan. Warsito sudah dibina oleh Abdullah sebagai calon Mujahid, dan secara resmi menjadi anggota jama’ah sekurangnya sejak tahun 1988.

Keberangkatan Warsito ke Cihideung bukan sekadar mau nyantri, tetapi memang untuk mati syahid, dalam sebuah peperangan yang sudah direncanakan oleh komunitas Warsidi dan sejumlah muhajirin dari Jawa. Beberapa saat sebelum pecah kasus Talangsari, Warsito bersama Zulkarnaen dan Zulfikar (anak Pak Sediono) serta Isrul Koto (anak Pak Zamzuri), pamitan kepada orang tua masing-masing untuk berjihad ke Talangsari.

Menurut ingatan Zulfikar, sebelum berangkat ke Talangsari untuk berjihad, Warsito menyampaikan sebuah pesan kepada adiknya agar merawat ayam-ayam peliharaan miliknya. Pesan itu –yang kemudian menjadi pesan terakhir Warsito, berbunyi: “… seandainya saya mati dik, tolong dirawat ayam-ayam ini…” Hal ini menunjukkan bahwa Warsito memang sudah siap mati syahid, karena kepergiannya ke Talangsari semata-mata untuk berperang dalam rangka jihad.

Namun, oleh Azwar Kaili, kematian Warsito dimanfaatkan untuk menarik keuntungan materiel. Pada program Buser Petang di SCTV yang mengudara sejak 17:30 wib, khususnya segmen B-File yang tayang 22 September 2003, Azwar Kaili mengaku-ngaku sebagai korban kasus Talangsari. Padahal ia bukan korban. Azwar Kaili memang pernah ditangkap dan ditahan, tapi bukan karena terlibat kasus Talangsari. Melainkan, untuk kasus semacam praktik ilegal sebagai mantri.

Kasus Azwar itu bersamaan dengan kasus penangkapan jama’ah Warsidi. Ketika itu, hampir seluruh anggota pengajian yang diselenggarakan Abdullah dan Pak Sediono ditangkap dan ditahan, namun dilepaskan kembali setelah dipastikan tidak ada keterkaitan dengan kasus Talangsari. Kepada Abdul Syukur (penulis buku Gerakan Usroh Di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989), Azwar mengaku ia ditahan selama tiga bulan pada tahun 1989 oleh aparat keamanan setempat dengan tuduhan memberikan pendidikan kesehatan kepada anggota kelompok Warsidi di rumah Zamzuri.

Berkenaan dengan Warsito, Azwar Kaili mengatakan bahwa kepergian Warsito ke Talangsari adalah untuk nyantri, dengan berbekal uang seribu rupiah dan seekor ayam. Padahal, sebagaimana anak Pak Sediono dan Pak Zamzuri, keberangkatan Warsito ke Talangsari adalah untuk berjihad (mati syahid).

Azwar Kali juga mengatakan, rumah dan sejumlah harta bendanya yang dikumpulkannya sejak masih bujangan, musnah dalam sekejap karena dibakar oleh aparat. Peristiwa pembakaran itu terjadi ketika ia sedang memenuhi panggilan Danramil. Pernyataan tersebut, setahu kami tidak benar. Karena, meski terjadi penangkapan dan penahanan atas diri Azwar Kaili, namun tidak ada pembakaran dan perampokan terhadap harta bendanya.

Pengakuan dusta Azwar Kaili di SCTV kala itu, karena ia merasa dikecewakan oleh Hendropriyono. Sekitar September 2002, Azwar Kaili menyampaikan maksudnya kepada Sukardi (salah seorang pelaku kasus Talangsari) untuk bertemu dengan Hendropriyono, dengan maksud untuk mendapatkan kompensasi atas musibah yang selama ini ia derita berkenaan dengan kasus Talangsari.

Permintaan itu tidak dapat terwujud, karena saat itu Hendropriyono sedang bertugas ke luar negeri. Maka, Azwar Kaili pun memberi ultimatum kepada Sukardi, bahwa bila dalam waktu satu bulan tidak bisa dipertemukan dengan Hendropriyono maka ia akan mengajukan tuntutan. Lalu muncullah testimoni dustanya di SCTV.

Dua anak Azwar Kaili yang dulu ikut pengajian Abdullah, Haris dan Ujang, belakangan hari tersandung tindak kriminal. Keduanya ditangkap aparat kepolisian karena menjadi penadah sepeda motor curian di Lampung.

Meski cuma menempuh pendidikan sampai kelas tiga SMP, Azwar Kaili pada masa itu dikenal sebagai tenaga kesehatan (mantri swasta) yang merangkap sebagai penjual obat. Keterampilan sebagai mantri kesehatan termasuk suntik-menyuntik dan pengobatan, diperolehnya melalui seorang mantri kesehatan yang di desa Sidorejo.

Nasib baik rupanya berpihak kepada Azwar Kaili, sehingga kiprahnya sebagai mantri kesehatan kian berkembang. Apalagi Azwar beristrikan seorag bidan, sehingga mendongkrak tingkat kepercayaan masyarakat sekitar terhadap kiprah Azwar sebagai mantri kesehatan. Lebih jauh, Azwar dan istrinya mendirikan klinik kesehatan dan bersalin. Kiprah Azwar sebagai mantri kesehatan semakin diterima masyarakat karena ia tidak pasang tarif resmi, tetapi disesuaikan dengan kemampuan pasien.

Sebenarnya masyarakat sudah mulai tahu bahwa praktik Azwar Kaili sebagai mantri kesehatan tergolong ilegal. Namun karena selama ini tidak terjadi masalah, dan tidak ada patokan tarif, maka terjadilah proses pembiaran yang berlangsung lama. Apalagi Azwar bertutur kata lembut dan termasuk orang lama di Sidorejo.

Namun demikian, sejumlah mantri kesehatan di kawasan itu merasa bertanggung jawab terhadap etika profesi dan keselamatan masyarakat khususnya di bidang kesehatan, karena Azwar Kaili bukan mantri kesehatan yang berlisensi. Akhirnya, didorong oleh rasa tanggung jawab itu sejumlah tenaga kesehatan di sana melaporkan kiprah Azwar ke Kecamatan.

Akhirnya, Azwar Kaili diperiksa pihak Kecamatan, kemudian dipersilakan pulang, setelah pemeriksaan dianggap cukup. Ketika Azwar pulang, pecah kasus Sidorejo yang merupakan bagian dari kasus Talangsari (7 Februari 1989). Menurut keterangan dari Zamzuri, ketika itu istri Azwar ikut aktif menangani korban luka yang tergeletak di depan rumah Zamzuri. Oleh para mantri kesehatan yang sebelumnya sudah tidak berkenan dengan kiprah Azwar Kaili, maka peristiwa itu dijadikan alasan untuk melaporkan keterlibatan Azwar di dalam kasus Sidorejo. Maka, Azwar pun akhirnya ikut dibawa ke kantor Korem Garuda Hitam.

Setiba di kantor Korem Azwar Kaili mendapati sejumlah orang yang selama ini dikenalnya, seperti Sugeng Yulianto (salah seorang jama’ah Warsidi) sedang diperiksa pihak aparat. Selain Sugeng, Azwar Kalili juga mendapati Zamzuri sedang diperiksa aparat. Berdasarkan keterangan dari Zamzuri bahwa Azwar tidak tahu menahu dan tidak terlibat kasus Sidorejo dan Talangsari, maka pihak aparat Korem pun membebaskannya.

Menurut Zamzuri kala itu, Azwar Kaili sama sekali tidak terlibat peristiwa Sidorejo dan Talangsari. Ketika peristiwa itu terjadi, Azwar Kaili sedang menjalani pemeriksaan di kantor kecamatan sehubungan dengan pengaduan Dahlan (mantri kesehatan setempat), yang melaporkan praktik ilegal yang dilakukan Azwar Kaili. Rumah Azwar Kaili juga tidak terbakar atau dibakar, tetapi dijarah dan dirusak massa yang marah pasca terbunuhnya Lurah Arifin Santoso dan Kapospol Serma Sudargo di rumah Zamzuri yang berdekatan dengan rumah Azwar Kaili.

Di era reformasi, ketika kebebasan berekepsresi terbuka lebar, maka sejumlah LSM seperti Kontras dan Komite Smalam, memanfaatkan kondisi ini untuk mencari-cari celah berkiprah dengan cara mengungkap kasus masa lalu seperti kasus Talangsari. Media massa ikut meramaikan kiprah Kontras dan Smalam. Azwar berada dalam putaran arus kebebasan berekspresi ini. Maka, Azwar Kaili pun mendatangi Kontras dan SMALAM seraya membawa pernyataan bahwa dia adalah salah satu korban kasus Talangsari.

Gayung pun bersambut. Kontras dan Komite Smalam menjadikan Azwar sebagai dasar berpijak mengajukan tuntutan. Azwar ditampilkan seolah-olah merupakan korban kasus Talangsari yang telah mengalami penyiksaan luar biasa. Kontras dan Komite Smalam telah menjadikan korban palsu sebagai dasar berpijak. Dasar berpijak yang rapuh, yang hanya membuat Kontras dan Komite Smalam terperosok ke kubangan penuh dusta dan sandiwara.

Padahal, sebagaimana keterangan Jainal Muarif, putra dari almarhum Arifin Santoso (Lurah Sidorejo) yang gugur dalam kasus Sidorejo, Azwar Kaili bukan pelaku dan tidak menjadi korban peristiwa Sidorejo. Ketika kasus Sidorejo terjadi, Azwar Kaili tidak ada di rumah maupun di lokasi kejadian. Meski demikian Azwar beberapa kali menerima uang ‘duka’ dari Hendropriyono karena seorang anak angkatnya, Warsito, konon tewas di Talangsari.

Jayus alias Dayat bin Karmo

Dalam kasus Talangsari, Jayus bukan orang sembarangan. Ia bahkan diposisikan sebagai orang kedua setelah Warsidi. Berkat kedermawanan Jayus, maka Warsidi pun bisa memiliki lahan seluas satu setengah hektare. Tanah itu dihibahkan Jayus kepada Warsidi dengan tujuan jelas, membangun komunitas Islami di Cihideung.

Semula, dukuh Cihideung hanya dihuni oleh keluarga Warsidi dan keluarga Jayus, serta beberapa kerabat dekat mereka. Cihideung yang semula sepi kemudian berubah menjadi pedukuhan yang ramai, setelah dihuni para muhajirin dari Jakarta dan Solo (Jawa Tengah) yang sengaja hijrah ke cihideung dengan membawa anggota keluarga masing-masing.

Ketika itu, jilbab masih terlihat aneh di mata orang kebanyakan. Sedangkan muslimah yang datang dari Jakarta dan Solo (Jawa Tengah) itu termasuk yang aktif mengenakan busana muslimah dengan gamis lebar dan kerudung lebar. Masyarakat sekitar tidak hanya memandangnya dengan rasa aneh, tetapi juga memendam kecurigaan. Sejumput kecurigaan yang ada di dalam benak masyarakat kian membesar ketika Warsidi sebagai pimpinan komunitas sama sekali tidak melaporkan kedatangan para muhajirin dan keluarganya itu kepada aparat desa terdekat. Akhirnya, dilandasi kecurigaan yang kian membuncah, masyarakat sekitar pun melaporkan keberadaan komunitas Warsidi kepada pihak aparat desa.

Kian hari masyarakat sekitar kian curiga. Bahkan beredar isu negatif tentang sepak-terjang komunitas Warsidi. Dalam rangka merespon isu negatif itu, maka Jayus bersama sejumlah jama’ah Warsidi lainnya mendatangi rumah Sukidi Haryono (Kepala Dusun Talangsari III). Jayus dan kawan-kawan mendatangi Sukidi dengan berbekal senjata berupa parang, seraya mengancam Sukidi agar tidak bertindak yang dapat merugikan jama’ah Warsidi, misalnya melaporkan keberadaan komunitas Warsidi kepada pihak aparat keamanan.

Menurut kesaksian Sukidi, beberapa hari sebelum peristiwa Talangsari meletus (awal Februari 1989) silam, sejumlah anggota jama’ah Warsidi menebar ancaman akan membunuh dirinya yang dianggap telah membocorkan semua kegiatan jama’ah Warsidi kepada pemerintah. Mereka, antara lain Jayus, Sukardi, Joko dan Tardi Nurdiansyah bin Yasak (yang kala itu baru berusia 16 tahun).

Setelah peristiwa itu, menurut Sukidi, ia menerima laporan dari Supri warganya, bahwa ia akan dibunuh oleh Jama’ah Warsidi. Isu itu sedemikian santer, sehingga warga meminta Sukidi dan keluarganya mengungsi ke rumah Kades Amir Puspamega. Situasi kian memanas, karena jama’ah Warsidi melarang warga melakukan rodan dan menyalakan senter. Warga pun resah. Untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak dinginkan, Sukidi bersama Serma Dahlan dan Kopda Abdurahman melakukan ronda malam untuk menenangkan masyarakat (tanggal tanggal 5 Februari 1989 malam).

Saat ronda, mereka memergoki lima orang tak dikenal sedang berjaga-jaga di pos masing-masing sambil membawa senjata berupa pedang dan panah. Mengetahui itu mereka lalu meringkus kelima orang tersebut, yang ternyata anggota Jama’ah Warsidi. Kelimanya kemudian dibawa ke Koramil Way Jepara.

Jayus selama ini dikenal sebagai sosok yang ikhlas berkorban dan berjuang untuk menegakkan negara Islam, dengan menjadikan pedukuhan Cihideung sebagai basis perjuangan. Dihibahkannya tanah seluas satu setengah hektare merupakan bukti konkret keseriusan Jayus dalam hal ini.

Pada tahun 2001, berbagai media massa memberitakan keterlibatan Jayus bersama Kontras dan Komite Smalam untuk mengungkap kembali kasus Talangasari. Jayus bersama enam orang yang diakunya sebagai mantan jamaah Warsidi menghadap LBH Lampung untuk mengungkap kembali kasus Talangsari. Padahal, sebelumnya, pada tahun 2000, pada forum ishlah nasional yang berlangsung di Cibubur, Jayus dipercaya oleh pelaku, korban dan keluarga korban serta warga dusun Talangsari sebagai koordinator umum Gerakan Islah Nasional (GIN). Islah nasional ini kemudian menjadi landasan dan alasan yang kuat bagi pelaku, korban dan keluarga korban serta warga dusun Talangsari untuk menutup dan tidak akan pernah membuka kembali kasus Talangsari; disamping untuk menjalin perdamaian dan persaudaraan di antara para pelaku dan aparat beserta keluarganya masing-masing.

Jayus sejak saat itu tampaknya sudah banyak berubah menjadi petualang politik yang punya motif komersial. Mungkin karena terdesak oleh kebutuhan ekonominya yang meningkat. Dulu, Hendropriyono pernah memenuhi permintaan Jayus untuk menguasai kembali sebidang tanah miliknya di lokasi bekas kejadian yang pernah dibeli oleh Lurah Amir Puspa Mega. Permintaan itu dipenuhi, dan Jayus sama sekali tidak mengeluarkan uang sepeser pun.

Di antara para elite kasus Talangsari, Jayus satu-satunya pelaku yang mendapat putusan paling ringan, ia hanya menjalani masa penahanan selama satu tahun. Padahal, Jayus adalah orang kedua setelah almarhum Warsidi. Hal itu bisa terjadi karena Jayus telah “berjasa” (baca: berkhianat) dengan menunjukkan semua jamaah Warsidi yang ketika itu sedang berusaha melarikan diri ke Jakarta melalui Bakauheni. Berkat informasi dari Jayus, banyak jama’ah Warsidi yang berhasil ditangkap aparat. Karena telah berjasa, maka aparat Korem memperlakukan Jayus sebagai tahanan sangat istimewa dibandingkan dengan perlakuan aparat terhadap jama’ah Warsidi lainnya.

Karena menjalani hukuman paling ringan, maka Jayus sudah menghirup udara bebas ketika sebagian besar jama’ah Warsidi yang tertangkap masih meringkuk di dalam tahanan. Para napol kasus Talangsari serendah-rendahnya divonis 10 tahun, sebagian lainnya bahkan divonis seumur hidup.

Karena bebas lebih dulu, Jayus mempunyai peluang untuk mengeksploitasi narapidana kasus Talangsari yang masih mendekam di tahanan. Jayus menjual nama-nama korban dan narapidana kasus Talangsari ke berbagai organisasi atau kepada perseorangan yang menaruh simpati. Dengan dalih mengumpulkan dana untuk membantu para jama’ah Warsidi yang masih berada di dalam penjara. Jayus meraih keuntungan dari kasus Talangsari.

Begitu juga ketika sebagian narapidana kasus Talangsari masih berada di tahanan, Jayus termasuk yang merintis islah dan memperoleh keuntungan finansial dengan adanya gerakan ishlah itu. Bahkan Jayus sempat diberi kepercayaan untuk mengkoordinir gerakan islah bagi para jama’ah Warsidi di Talangsari Lampung. Padahal, jama’ah yang dimaksud itu sebenarnya anggota keluarga dan kerabat Jayus sendiri yang belum tentu terlibat dalam kasus Talangsari. Ketika menghadap LBH, yang dibawa Jayus juga anggota keluarga dan kerabatnya sendiri, yang diakui sebagai korban kasus Talangsari. Sebagai mantan pelaku kriminal, naluri kriminal Jayus rupanya tetap hidup, meski ia bertahun-tahun menjadi jama’ah Warsidi.

Terbukti, di kemudian hari ia berbalik arah melawan konsep islah yang ia rintis. Jayus tampak seperti orang bingung. Faktanya, hanya Jayus seorang yang menolak ishlah, sementara itu hampir seluruh keluarga korban dan pelaku kasus Talangsari sudah menerima ishlah, yaitu mereka yang berada di Jakarta, Solo maupun Lampung. Jayus satu-satunya pelaku kasus Talangsari asal Lampung yang setelah menerima ishlah kemudian menolak kembali karena punya motif komersial.

Sikap mencla-mencle Jayus ternyata juga dikhawatirkan oleh keluarganya seperti Joko alias Sadar, yang sampai saat ini menyesali sikap Jayus yang semula menerima konsep ishlah kemudian mencabut dukungannya terhadap konsep ishlah, sementara anggota keluarga lainnya yang dulu dilibatkan Jayus untuk ishlah sampai kini masih tetap memilih ishlah sebagai solusi. Dengan demikian Jayus telah mengkhianati keluarga korban dan anggota keluarganya sendiri.

Meski Jayus bukan representasi dari keluarga korban pada umumnya. Namun ia mampu membujuk sejumlah orang untuk mengaku sebagai mantan anggota Jamaah, untuk dibawa menghadap LBH Lampung. Padahal, orang-orang yang dibawanya itu, tak lain merupakan anggota keluarga Jayus sendiri, yang pada waktu kejadian belum mengerti permasalahan karena masih berusia sangat muda. Misalnya, Purwoko yang berusia 6 tahun ketika kasus Talangsari terjadi.

Mengapa Jayus mencla-mencle? Motifnya jelas urusan fulus. Ketika proses islah berada dalam proses awal, Jayus telah mengajukan permintaan sejumlah uang kepada Hendropriyono, untuk dibagi-bagikan kepada (katanya) korban Talangsari. Dana yang diminta Jayus sebesar sepuluh juta rupiah per orang, dengan alasan dana itu akan digunakan sebagai modal usaha para korban dan keluarga korban Talangsari yang dipimpinnya. Hendropriyono yang sudah kenal latar belakng Jayus, menolak permohon dana sebesar itu, karena beraroma pemerasan.

Rupanya Jayus kecewa karena permohonannya ditolak. Maka, ia pun mengkhianati kesepakatan islah yang sudah disepakati sebelumnya. Di luaran, Jayus berdalih orang-orang Jakarta selalu menghalanginya bertemu dengan Hendropriyono. Kemudian Jayus dimanfaatkan oleh Kontras dan Komite SMALAM dan dijadikan simbol perlawanan mengungkap kembali kasus Talangsari.

Untuk meyakinkan Kontras, Jayus berusaha membujuk sejumlah warga Talangsari untuk bergabung bersamanya mengajukan tuntutan ke Kantor Komnas HAM. Agar warga Talangsari tertarik, Jayus mengumbar janji akan memberikan sejumlah uang kepada mereka yang bersedia ikut ke Jakarta. Tipu-muslihat Jayus ditolak karena masyarakat Talangsari sudah enggan dan tak sudi mengenang masa lalu yang getir. Akibatnya, Jayus hanya berhasil membawa lima warga asli Talangsari untuk dibawa menuju Jakarta.

Karena lima terlalu sedikit, maka Jayus ‘menyewa’ 14 warga di luar masyarakat Talangsari untuk ditenteng ke Kantor Komnas HAM Jakarta, dan disuruh mengaku sebagai korban Talangsari. Tipu-daya licik Jayus itu ternyata membuat marah warga asli Talangsari. Maka, mereka pun melayangkan sepucuk surat kepada pengurus GIN (Gerakan Islah Nasional). Isinya, agar GIN mencegah Jayus yang membawa warga bukan asli Talangsari untuk menghadap Komnas HAM di Jakarta.

Jayus tidak sekadar membawa korban Talangsari palsu, ia juga membawa Suroso yang domisilinya berdekatan dengan tempat kejadian. Kelebihan Suroso, ia pandai bicara dan lebih cerdas dibanding para korban Talangsari palsu lainnya. Bila Suroso bisa diperalat Jayus, Sukidi tidak demikian. Melalui Joko, Jayus berusaha membujuk Sukidi (mantan Kadus Talangsari III) menjadi fasilitator pertemuan antara Jayus dan Hendropriyono, namun tidak berhasil.

Sayang, Pak Sukidi tidak sudi karena menilai Jayus hanya memperalat dirinya dan kasus Talangsari bagi kepentingan Jayus pribadi. (Keterangan langsung dari Pak Sukidi mantan Kadus Talangsari).

Pada tahun 2002, sekitar bulan September, salah seorang pelaku kasus Talangsari, Sukardi, berkunjung ke Lampung, antara lain bersilarturahmi ke kediaman Azwar Kaili di Sidorejo. Tak berapa lama, datang pula Jayus dan Suroso. Karena menganggap Sukardi orangnya pak Hendro, Jayus langsung menebar ancaman, bahwa pak Azwar akan diajaknya ke kantor Komite Smalam dan kantor LBH Lampung untuk melaporkan penemuan barunya berkaitan dengan kasus Talangsari. Ternyata, itu hanya sebuah gertak sambal. Sebab intinya, Jayus dan Azwar Kaili minta dipertemukan dengan Hendropriyono. Apabila pertemuan itu bisa terjadi, maka mereka akan menghentikan segala tuntutan terhadap kasus Lampung, mencabut pula tuntutan Kontras dan Komite Smalam. Sebaliknya, bila dalam waktu satu bulan tidak ada konfirmasi positif, maka mereka akan terus melakukan tuntutan terhadap kasus Lampung bersama Kontras dan Komite Smalam. Rupanya, bukan hanya Purwoko dan Suroso yang berhasil diperalat Jayus, juga Kontras dan Komite Smalam.

Pada kesempatan itu, Sukardi juga berusaha bertemu dengan sejumlah orang yang ditenteng-tenteng Jayus menghadap LBH, dan diakui sebagai korban kasus Talangsari. Mereka adalah Gono, Sutris, Cipto, Paimun, Budi Santoso, Mardi, Surip dan Kasman. Ternyata, tidak satu pun dari mereka yang dikenal Sukardi. Mereka memang bersedia dilibatkan dalam “proyek” yang direkayasa Jayus, untuk mendapatkan sesuatu sesuai dengan janji yang pernah diumbar Jayus.

Begitulah kenyataannya. Watak kriminal Jayus tetap eksis. Padahal, dulu ia bercita-cita mendirikan negara Islam, mendirikan Islamic Village di Cihideung.

Sugeng Yulianto

Sugeng Yulianto merupakan salah satu anggota pasukan khusus yang terlibat di dalam episode pembajakan bus “Wasis” dalam rangkaian kasus Talangsari-Sidorejo. Ia dituntut hukuman pidana seumur hidup. Lulusan STM ini, dalam drama pembajakan bus “Wasis” bertindak sebagai sopir, dan merupakan salah satu dari 11 anggota pasukan khusus Jama’ah Warsidi yang ditugaskan oleh imamnya untuk membuat kekacauan di Bandar Lampung, sebagai upaya mengalihkan perhatian petugas.

Pria kelahiran Solo tahun 1959 ini, merupakan anggota Jama’ah Warsidi khususnya di cabang Sidorejo pimpinan Pak Sediono. Ia menjadi bagian dari Jama’ah Warsidi didorong oleh kesadarannya sendiri.

Sugeng Yulianto alias Sugiman Yulianto bin Marto Djoyo berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang No. 161/Pid/B/Subv/1989/PN.TK tanggal 7 Nopember 1989, dijatuhi pidana penjara selama seumur hidup. Namun berkat dorongan kawan-kawan dan perjuangan Hendropriyono yang kala itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi dan PPH, maka Presiden Habibie memberikan grasi kepada napol kasus Talangsari melalui Kepres Nomor: 101/0 Tahun 1998 tanggal 31 Desember 1999.

Perjuangan Hendropriyono membebaskan napol kasus Talangsari bisa dilihat melalui surat no. R-028/Mentras/08/1998 tanggal 21 Agustus 1998. Isinya, Menteri Transmigrasi dan PPH memohonkan percepatan pembebasan Napol Korban Peristiwa Lampung kepada Presiden Republik Indonesia.

Selain melalui surat, Hendropriyono juga melobi langsung Jaksa Agung RI, yang waktu itu jabat oleh Mayjen AM. Ghalib, Menteri Kehakiman Muladi, Menhankam (Pangab) Wiranto dan Ketua MA, Sarwata. Hasilnya, Jaksa Agung RI melalui suratnya Nomor: R-196/A/D/9/1998 Tanggal 23 September 1998 turut menyarankan kepada Presiden untuk menyetujui permohonan Menteri Transmigrasi dan PPH perihal amnesti. Napol peristiwa Lampung atas nama Fauzi dkk.

Barulah sebulan kemudian, Menteri Sekretaris Negara, Akbar Tandjung, melalui suratnya No: R-311/ M. Sesneg/10/1998 Tanggal 26 Oktober 1998 berkirim surat kepada Menko Polkam, Menteri Kehakiman, Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI menyampaikan tentang petunjuk Presiden agar usul pemberian rehabilitasi kepada eks Napol peristiwa lampung atas nama Fauzi dkk dibantu prosesnya.

Ketika kasus Talangsari terjadi (Februari 1989), usia Sugeng Yulianto sudah memasuki angka 30. Ia bukan anak-anak lagi. Sehingga, keterlibatannya menjadi bagian dari Jama’ah Warsidi merupakan keputusan yang dapat dipertanggung jawabkannya.

Alasan yang mendasari Sugeng Yulianto hijrah ke Lampung, khususnya di Sidorejo, karena tertarik oleh bujukan Soleh, kawannya, yang mengatakan bahwa di Lampung selain mudah mencari nafkah, juga dapat menjalankan ajaran Islam dengan lebih baik. Namun di dalam persidangan, Sugeng Yulianto pernah mengatakan, bahwa keterlibatannya dengan orang-orang yang melakukan huru-hara di Tanjungkarang karena dipaksa oleh kelompok Warsidi. Bila tidak mau, dirinya akan dibunuh.

Tardi Nurdiansyah

Meski usianya masih belasan ketika kasus Talangsari terjadi (1989), namun Tardi merupakan salah satu jama’ah Warsidi yang tergolong militan. Ia juga ikut ke dalam rombongan yang melakukan ancaman dan teror kepada Sukidi Haryono (Kadus Talangsari III). Tardi Nurdiansyah yang lahir di Karanganyar (Jawa Tengah) dan pernah menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah ini, merupakan salah satu dari sebelas orang yang ditugaskan Warsidi membebaskan kawan-kawan mereka yang ditangkap aparat Koramil.

Sejak masih di Jakarta, Tardi sudah berkenalan dengan tokoh-tokoh pelaku kasus Talangsari. Bahkan sosok Warsidi sudah dikenalnya dengan baik sebelum pecah kasus Talangsari. Keakrabannya dengan Warsidi membuat Tardi memutuskan untuk hijrah ke Lampung. Apalagi, di Cihideng ada kakaknya yang sudah lebih dulu berdiam di sana. Di Cihideng Tardi merasakan suasana yang sama dengan Ponpes Ngruki tempat ia menempuh pendidikan. Berbekal pendidikan di ponpes Ngruki, Tardi pun mengamalkan ilmunya, mengajar mengaji bagi orang-orang di sekitar itu.

Dalam pandangan Tardi, kegiatan keagamaan yang dilakukan Warsidi, adalah gerakan untuk membangun masyarakat dengan suasana Islam, dan tidak ada maksud untuk melakukan pemberontakan. Menurut Tardi, aktivitas Warsidi dan pengajiannya adalah untuk menapat ridho Allah (mardhatillah). Warsidi ingin menegakkan syari’at Islam, meski pengetahuan agama Warsidi belum sehebat ulama di Solo yang pernah dikenalnya. Namun karena sifat pengajiannya yang eksklusif mengakibatkan aparat menduga bahwa gerakan itu adalah gerakan perlawanan terhadap pemerintah.

Tardi juga berpendapat, kasus Talangsari bukan sesuatu yang direncanakan, tetapi hanya insiden atau musibah saja, sebagai akibat dari adanya miskomunikasi antara Jama’ah Warsidi dengan aparat desa (pemerintah) dan warga sekitar. Menurut pengakuan Tardi, pada saat kejadian, dia sedang berada di Rajabasalama dan dalam perjalanan pulang ke Cihideung untuk menemui kakaknya. Namun ketika sampai di daerah Talangsari dia ditangkap oleh aparat keamanan. Padahal sebenarnya, ia anggota pasukan khusus yang mengemban tugas membebaskan lima Jama’ah Warsidi yang ditahan aparat. Namun misi itu gagal. Kelompok sebelas dipecah tiga. Tardi satu kelompok dengan Fadilah, berada di kelompok kedua.

Sebagaimana Sugeng Yulianto, Tardi yang berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor 1027 Pid/B/Subv/89/PN.TK tanggal 21 Desember 1989 dijatuhi pidana penjara selama 17 (tujuh belas) tahun, menghirup udara bebas di masa Presiden Habibie, bersama sejumlah napol kasus Talangsari lainnya.

Pengakuan Tardi yang cenderung apologis itu adakalanya dijadikan dasar bertindak bagi LSM tertentu untuk memposisikan kasus Talangsari sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Sikap Tardi bisa dimaklumi, karena ketika kasus Talangsari terjadi, ia masih berusia belasan, namun harus menerima vonis 17 tahun, di Nusakambangan pula.

Yang tidak bisa dimengerti adalah sikap Jayus alias Dayat bin Karmo, yang menjadi orang kedua setelah Warsidi di komunitas Cihideung. Ia menerima vonis yang ringan, meski pernah terlibat mengancam aparat dusun. Bahkan ketika sebagian besar jama’ah Warsidi dalam gundah gulana di dalam pelarian, Jayus justru sudah menjadi bagian dari aparat yang ketika itu gencar menangkapi jama’ah Warsidi. Tentu aneh jika di masa-masa tenang, dan mereka yang terlibat kasus Talangsari berusaha kuat melupakan masa lalunya yang getir, Jayus justru berusaha mengungkit kasus itu kembali, hanya semata-mata untuk mendapatkan keutungan materiel.

Bahkan, lebih jauh, Jayus memanfaatkan korban dan saksi palsu untuk memenuhi hajat kriminalnya. Ia memperalat Suroso, tetangganya, dan Purwoko, kemenakannya.

Suroso dan Purwoko

Suroso sebenarnya sama sekali tidak terlibat kasus Talangsari maupun Sidorejo. Ketika kasus Talangsari terjadi, usia Suroso baru sebelas tahun. Praktis, ia sama sekali tidak tahu menahu soal kasus Talangsari. Begitu juga dengan kedua orangtuanya. Kebetulan, kediaman orang tua Suroso tidak jauh dari tempat kejadian. Meski berdekatan dengan lokasi kejadian, Suroso dan orangtuanya sama sekali bukan Jama’ah Warsidi, dan tidak peduli dengan kiprah dan aktivitas Jama’ah Warsidi. Namun demikian, orang tua Suroso tetap menjaga hubungan baik dengan Warsidi yang menjadi tetangganya.

Karena bertetangga dengan Warsidi, maka pada saat terjadinya kasus Talangsari, rumah orang tua Suroso dirusak dan dijarah oleh penduduk sekitar, akibat salah sangka. Warga sekitar menduga, keluarga orang tua Suroso merupakan salah satu provokator terjadinya kasus Talangsari.

Terjadinya perusakan sekaligus penjarahan terhadap rumah orang tua Suroso, karena sepengetahuan warga, keluarga Suroso dikenal sebagai mantan anggota parpol terlarang (PKI). Warga juga menilai, kedekatan keluarga orang tua Suroso dengan Warsidi membuat mereka memposisikan keluarga orang tua Suroso sebagai musuh bersama. Apalagi, ketika itu, emosi warga belum sepenuhnya terlampiaskan, sehingga pelampiasan disalurkan kepada keluarga orang tua Suroso.

Nama dan sosok Suroso yang selama ini tidak dikenal sehubungan dengan kasus Talangsari, tiba-tiba menyeruak begitu saja berkat peran Jayus yang melibatkannya dalam sebuah aksi bersama Komite Smalam dan Kontras untuk mengungkap kembali kasus Talangsari. Dalam momen ini, Suroso yang pandai bicara bahkan dinobatkan sebagai juru bicara oleh Jayus. Suroso mau diperalat Jayus karena diiming-imingi imbalan (materi).

Selain Suroso, yang juga diperalat Jayus adalah Purwoko, kemenakannya sendiri. Ayah Purwoko bernama Supardi, merupakan salah satu korban tewas pada kasus Talangsari (Februari 1989). Kepada Radar Solo beberapa tahun lalu, ia pernah mengakui bahwa dirinya masih berusia 11 tahun ketika kasus itu terjadi. Sebenarnya Purwoko merupakan salah seorang yang memposisikan dirinya sebagai korban (dan keluarga korban) yang menyepakati proses islah yang digagas Fauzi Isman dan kawan-kawan. Ia ikut islah karena dibawa-bawa oleh Jayus, pamannya. Belakangan, Jayus pula yang menenteng-nentengnya keluar dari proses islah, dan menjalin persekongkolan dengan Komite Smalam dan Kontras untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.

Pada tanggal 6 Februari 1989, saat Kapten Soetiman tewas dibacok mbah Marsudi, Purwoko sedang berada di lokasi Cihideung. Namun pasca tewasnya Kapten Soetiman, Purwoko dibawa orangtuanya ngungsi ke rumah Jayus, pamannya. Rumah Jayus berdekatan dengan pondok. Sementara itu, ayah Purwoko, Supardi, tetap siaga menyambut peperangan yang sudah direncanakan.

Ketika aparat Korem Garuda Hitam menyerbu Cihideng (7 Februari 1989), Purwoko sedang bersiap-siap untuk shalat Subuh. Ketika itu, Purwoko mendengar bunyi rentetan tembakan senapan tentara berkumandang dari arah selatan Dusun Talangsari. Warga berhamburan ke luar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Keinhinan serupa juga ada di dalam hati Purwoko, namun sang ibu (Saudah), menyuruh Purwoko dan kedua adiknya untuk bersembunyi di kolong tempat tidur.

Saat itu, di rumah Jayus, ada sekitar 13 wanita dan anak-anak (termasuk Purwoko) yang bersembunyi. Tak berapa lama, Purwoko mendengar suara Muhamad Ali alias Alex yang berteriak memanggil mereka yang sembunyi agar keluar, karena rumah akan dibakar tentara. Dalam hitungan menit, Purwoko dan keluarganya keluar dari rumah Jayus. Setelah itu, Purwoko dan keluarga digiring ke halaman sebuah rumah yang berjarak 100 meter arah timur pondok. Di tempat itu, telah berkumpul puluhan wanita, anak-anak, serta orang tua.

Karena Jayus merupakan orang penting, maka ia dicari-cari tentara. Ketika itu, tentara menduga Jayus sudah mati tertembak. Padahal, Jayus bersembunyi di suatu tempat. Karena Purwoko dianggap dapat mengenali sosok Jayus, tentara pun membawa Purwoko untuk mengenali sejumlah jasad korban. Namun jasad Jayus tak ditemukan. Purwoko justru menemukan jasad Supardi, ayah kandungnya.

Tak berapa lama kemudian, karena (jasad) Jayus tidak ditemukan, Purwoko dan keluarga dibawa ke Markas Komando Resor Militer (Korem) 043 Garuda Hitam. Ternyata, di tempat itu ia bertemu Jayus, pamannya, yang ternyata masih hidup. Selang sehari kemudian, Purwoko, adik-adiknya, dan ibunya dipindahkan ke Panti Jompo dan Anak-Anak Yatim Piatu Lempasing Padang Cermai. Di tempat itu, ia kembali bertemu dengan teman-teman dan tetangganya yang sebelumnya ikut digiring ke Makorem Garuda Hitam.

Pada awal 1990, ibunya membawa mereka kembali ke Solo. Di sana, Purwoko dipercaya merawat rumah kos milik seorang temannya di bilangan Sriwedari, Solo. Sejak 1997, Purwoko ke Jakarta untuk menyelesaikan sekolah. Informasi terakhir, Purwoko sempat bekerja di toko besi di daerah Cemani, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Kalau Jayus benar-benar mati tertembak peluru tentara pada peristiwa Talangsari waktu itu, sudah pasti Purwoko tidak akan memainkan peran yang disodorkan Jayus sebagai korban kasus Talangsari dan tampil di media massa untuk mengajukan tuntutan. Padahal, dulu, Jayus pula yang membawa-bawanya untuk ikut proses islah.

Fauzi Isman dan Islah

Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus Jama'ah Warsidi, ISLAH sesungguhnya merupakan pilihan yang Islami. Pada mulanya, Riyanto tidak paham mengapa islah menjadi kontroversi, bahkan ada kesan ditentang oleh orang Islam sendiri. Belakangan, barulah ia tahu, kontroversi dan kesan penentangan itu bukan karena islah-nya itu sendiri, tetapi tokoh di balik proses islah itu.

Sebagaimana diketahui kemudian, di dalam proses islah antara mantan jama’ah Warsidi (mantan napol kasus Talangsari) dengan aparat keamanan (termasuk Hendropriyono), ada peranan Drs. AMF dan Drs. AYW yang sama sekali tidak terkait kasus Talangsari. Kedua tokoh ini di mata umat Islam, terutama kalangan pergerakan Islam, dianggap bermasalah. Sehingga, islah yang bergulir itu dinilai tidak serius sekaligus diduga lebih banyak muatan politis dan ekonomisnya. Apalagi, dari pihak pelaku kasus Talangsari, yang awal mula terlibat proses islah adalah saudara Fauzi Isman. Sosok ini terbukti juga bermasalah.

Pada mulanya, gagasan islah sama sekali belum muncul. Hendropriyono dalam kapasitasnya sebagai tokoh nasional yang kebetulan menjabat sebagai Menteri Transmigrasi dan PPH ketika itu, berinisiatif menjalin tali silaturahmi dengan para napol kasus Talangsari, korban, dan keluarganya. Drs. AMF diminta bantuannya sebagai mediator. Belakangan, Drs. AMF mengajak serta Drs. AYW yang sebelum pecah kongsi merupakan teman baik.

Undangan silaturahmi dari Hendropriyono yang dibawa oleh Drs. AMF kemudian disampaikan kepada Fauzi Isman. Maka, terjadilah pertemuan (silaturahmi), antara Hendropriyono dengan sejumlah pelaku kasus Talangsari seperti Fauzi Isman, Sudarsono, Sukardi, Maulana Abd Latif, dan sebagainya. Pertemuan (silaturahmi) yang berlangsung sekitar awal Mei 1998 itu, berlangsung di kantor Departemen Transmigrasi dan PPH. Pada kesempatan ini, Drs. AMF sebagai mediator turut hadir.

Ketika itu, Fauzi Isman memposisikan diri sebagai jurubicara. Salah satu usulannya adalah meminta bantuan Hendropriyono untuk mengusahakan agar napol kasus Talangsari dibebaskan. Ketika itu, usulan Fauzi Isman disambut baik oleh Hendropriyono. Namun demi memenuhi rasa keadilan, maka Hendropriyono kala itu juga berinisiatif untuk mempertemukan antara pelaku kasus Talangsari, korban kasus Talangsari dan keluarganya di satu pihak dengan para keluarga korban dari pihak aparat. Dari sinilah muncul gagasan islah yang dicetuskan oleh Fauzi Isman.

Bahkan ketika itu, Drs. AMF selaku mediator juga mengusulkan agar pada pertemuan berikutnya diundang juga KH Gani Maskur dari Bima (NTB). Usul tersebut disetujui, dan Drs. AMF dipercaya mengatur kedatangan KH Gani Maskur dan lain-lainnya. Maka, pada bulan Juni 1998, terjadilah pertemuan antara pelaku Talangsari, korban dan keluarganya baik dari pihak aparat maupun dari pihak sipil.

Sukardi, yang sudah ikut silaturahmi sejak Mei 1998, belakangan berseberangan, dan bahkan bergabung dengan Kontras untuk mengungkap kembali kasus Talangsari. Hal itu bisa terjadi, karena antara Sukardi dengan Fauzi Isman terjadi perbedaan pendapat. Barulah pada tahun 2002, Sukardi menyadari kekeliruannya, dan kembali berislah secara pribadi dengan Hendropriyono, seraya meninggalkan Kontras.

Hendropriyono sebenarnya menaruh kepercayaan yang begitu tinggi terhadap Fauzi Isman, untuk mengurusi aspek kesejahteraan para jamaah Warsidi. Sayangnya kepercayaan itu disalahgunakan oleh Fauzi. Ia menfaatkan itu untuk kepentingan pribadinya. Antara lain, Fauzi merekayasa sebuah proposal yang ditujukannya kepada Hendropriyono, untuk mendapat kucuran dana mendirikan sebuah perusahaan yang direncanakannya. Proposal itu dipenuhi Hendropriyono. Dana tiga ratus juta rupiah pun mengalir ke kantong Fauzi Isman. Dana sebanyak itu bisa mengucur, berkat jaminan sertifikat rumah Hendropriyono.

Namun, setelah dana mengucur dan perusahaan telah berdiri, ternyata Fauzi sama sekali tidak memperhatikan nasib para jama’ah Warsidi. Beberapa orang jama’ah yang bekerja di perairan laut Banten pada sebuah perahu pencari ikan tidak menerima gaji sebagaimana kesepakatan sebelumnya.

Arifin bin Karyam, yang bekerja di perahu ikan, tidak digaji selama tiga bulan oleh Fauzi, sementara itu Fauzi Isman sulit sekali ditemui. Akhirnya Arifin bin Karyam meninggalkan pekerjaannya dan kembali ke Brebes, Jawa Tengah meski tidak membawa gaji yang menjadi haknya.

Bisnis Fauzi Isman di perairan laut Banten yang mempekerjakan beberapa orang jama’ah Warsidi (termasuk Arifin bin Karyam), mengalami kerugian karena manajemen buruk dan Fauzi ingkar janji. Fauzi juga dinilai tidak memiliki itikad baik untuk meningkatkan kesejahteraan jama’ah Warsidi seperti diamanahkan Hendropriyono. Karena tidak mendapat keuntungan dari perusahaan yang didirikannya itu, Fauzi Isman pun berkelit. Bahkan ia lari dari tanggung-jawab. Lebih jauh dari itu, Fauzi mengkhianati gerakan islah yang dicetuskannya sendiri. Fauzi kemudian meminta dukungan Kontras dalam melakukan serangan terhadap Hendropriyono, dengan alasan mengungkap kasus Talangsari yang dikatakannya sebagai pelanggaran HAM.

Sebelumnya, Fauzi bersama Nur Hidayat mendirikan Koramil (Korban Kekerasan Militer). Lembaga ini dibentuk lewat sebuah jumpa pers di Kantor LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) di Jakarta.

Peradilan

Peradilan di antarnya digelar di Tanjung Karang (Lampung), Jakarta, Jawa Tengah, dan Lombok (Nusa Tenggara Barat). Rata-rata Jema'ah ditahan di Tahanan Kodim Metro Lampung, Korem Garuda 043 Garuda Hitam Bandar Lampung, LP Rajabasa, Kodam Diponegoro, Nusakambangan, dan tempat-tempat lainnya. Hukuman tertinggi adalah hukuman UNTUK seumur hidup.

Kelanjutan

Sejak reformasi bergulir pada 1998, atas dorongan dari AM Hendropriyono kepada Presiden BJ Habibie, seluruh tahanan politik kasus ini akhirnya dibebaskan.

Referensi

  1. ^ http://www.kontras.org/pers/teks/Kasus%20Talangsari%20Lampung.pdf
  2. ^ KontraS, KontraS. "Kasus Talangsari Lampung" (PDF). Diakses tanggal 11 Februari 2020. 
  3. ^ a b c Komnas HAM, Komnas HAM (2014). "Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat". Perpustakaan Komnas HAM. Diakses tanggal 11 Februari 2020. 
  4. ^ "Kisah Supiah Hapus Trauma Kelam di Dusun Talangsari Lampung". IDN Times. 10 Desember 2018. Diakses tanggal 11 Februari 2020. 
  5. ^ "Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung". kontras.org. Diakses tanggal 11 Februari 2020.