Beji, Taman, Pemalang
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Beji adalah kelurahan di Kecamatan Taman, Pemalang, Jawa Tengah, Indonesia. Seperti berbagai keluarahan dan desa di sekitar jalur Pantura Jawa pada umumnya, kelurahan ini padat penduduk. Sebagian besar mata pencaharian penduduknya sebagai buruh, pedagang, dan pegawai negeri. Kelurahan Beji ini termasuk Kelurahan yang cukup menonjol dalam wilayah Kabupaten Pemalang. Rata-rata penduduk Kabupaten Pemalang mengenal nama Kelurahan Beji. Mungkin karena letaknya di jalan persimpangan jalur ekonomi Pemalang, sehingga orang lebih mengenal nama Kelurahan Beji.
Beji | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Provinsi | Jawa Tengah | ||||
Kabupaten | Pemalang | ||||
Kecamatan | Taman | ||||
Kodepos | 52361 | ||||
Kode Kemendagri | 33.27.09.1016 | ||||
Kode BPS | 3327090018 | ||||
Luas | - | ||||
Jumlah penduduk | - | ||||
Kepadatan | - | ||||
|
Bahasa
Dari segi bahasa, Kelurahan Beji ini unik, karena merupakan tempat bertemunya dialek Pemalangan dan dialek Pekalongan. Di mana dialek pemalangan mulai dari perbatasan Tegal ke timur sampai Ulujami merupakan dialek yang khas dan berbeda-beda. Kalau dari arah barat perbatasan Pemalang-Tegal dialeknya cenderung mengalun dan seperti dialek Tegalan, di Kelurahan Beji ini mulai berubah Banyumasan namun tidak mengalun namun cepat dan datar. Dialek yang agak berbeda mulai dari Kelurahan Beji ke timur ke arah Petarukan, dialek Petarukan sudah mulai terpengaruh dialek Pekalongan. Maka bisa dikatakan Kelurahan Beji memiliki dialek yang berbeda dengan Kota Pemalang dan Petarukan.
Letak dan Keadaan Alam
Beji adalah sebuah kelurahan yang secara administratif termasuk dalam Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang. Kelurahan ini letaknya 3 kilometer dari ibu kota kabupaten ke arah timur. Dari Semarang jaraknya 120 kilometer ke arah barat. Sedangkan, dari Jakarta jaraknya 235 kilometer ke arah timur. Kelurahan yang luasnya 335,122 hektare ini sebelah utara berbatasan dengan Desa Kabunan; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Taman dan Pedurungan; sebelah barat berbatasan dengan Desa Wanarejan Utara; dan sebelah timur berbatasan dengan Desa Kedungbanjar dan Kabupaten Serang.
Daerahnya merupakan dataran rendah dengan ketinggian 6 meter dari permukaan air laut. Curah hujan pada setiap tahunnya rata-rata 0,22 milimeter. Sedangkan, suhu udaranya berkisar 23--32° Celcius (Laporan Monografi, 2006: 1) Di tengah wilayahnya membujur jalan provinsi ke arah barat-timur. Jalan tersebut membelah Kelurahan Beji menjadi dua bagian, yaitu Beji-Lor (Beji-Utara) dan Beji-Kidul (Beji-Selatan).
Letaknya yang cukup strategis (tidak jauh dari ibu kota kabupaten dan dilalui oleh jalur Pantura), membuat kelurahan tersebut relatif mudah dicapai, baik dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun jasa angkutan umum. Dari Semarang dapat menggunakan berbagi jenis angkutan umum, seperti kereta api, bus (ekonomi, patas, eksekutif), dan travel. Demikian juga dari Jakarta. Apabila dari terminal menggunakan becak maka ongkos yang dikeluarkan Rp 20.000,00. Kemudian, jika menggunakan ojeg harus mengeluarkan uang sejumlah Rp 15.000,00. Sedangkan, jika menggunakan angkot (angkutan perkotaan) cukup hanya mengeluarkan uang sejumlah Rp 7.000,00.
Sejarah nama
Arti kata “Beji” tidak banyak yang mengetahui, bahkan dapat dikatakan generasi mudanya tidak mengetahui secara persis kenapa daerahnya bernama “Beji”. Beji, menurut salah seorang tetua masyarakat Beji, berarti “ tengah”. Maksudnya suatu daerah yang berada di tengah-tengah. Berdasarkan legenda yang ada di kalangan masyarakat Beji, konon daerah ini dahulu memiliki blumbang (semacam sumur). Akan tetapi, kini blumbang itu tidak lagi berada di Beji tetapi di desa tetangganya, yaitu Desa Taman yang berada di sebelah selatannya. Berpindahnya blumbang tersebut ke Desa Taman adalah sebagai akibat dari kekalahan Mbah Menu dalam adu kesaktian melawan Mbah Taman. Konon, suatu ketika Mbah Taman berkunjung ke rumah Mbah Menu. Ketika Mbah Taman berada di depan rumahnya, pintu rumah membuka dengan sendirinya. Ini artinya Mbah Menu sengaja memamerkan kesaktiannya. Singkat cerita Mbah Taman disuguhi ikan bakar. Kemudian, makanlah mereka berdua. Mbah Taman sadar bahwa terbukanya pintu dengan sendirinya tadi adalah sebuah tantangan untuk adu kesaktian. Oleh karena itu, ketika ikan bakar telah dimakan dagingnya, ia menaruh tulang-belulangnya (duri-durinya) ke dalam tempat cuci tangan. Dan, yang terjadi adalah tulang-belulang itu bergerak-gerak (hidup) sebagaimana layaknya seekor ikan. Melihat apa yang dipertunjukkan oleh Mbah Taman, Mbah Menu masih ingin menguji kesaktiannya. Untuk itu, ia mempersilakan Mbah Taman membawa pulang blumbang yang ada di belakang rumahnya. Dan, ternyata Mbah Taman dapat membawa ke rumahnya. Oleh karena itu, walaupun blumbang tersebut berada di Desa Taman, tetapi namanya tetap saja “Blumbang Beji” dan bukan “Blumbang Taman”. Sebagai catatan, sampai sekarang blumbang tersebut masih dipercayai memiliki kekuatan magis. Dalam hal ini jika ada seseorang yang dituduh mencuri sesuatu tetapi mungkir (tidak mengakui), maka jalan terakhir adalah disuruh untuk minum air Blumbang Beji. Konon, jika orang tersebut memang benar-benar tidak mengambil atau mencurinya, maka air tersebut tidak berpengaruh apa-apa. Akan tetapi, jika mencuri atau mengambilnya, maka perutnya akan menjadi bengkak alias busung.
Struktur Pemerintahan
Sejak tahun 2001 berstatus sebagai
{{{nama}}} | |||||
---|---|---|---|---|---|
Negara | Indonesia | ||||
Kode Kemendagri | 33.27.09.1016 | ||||
Kode BPS | 3327090018 | ||||
|
[[Kategori:{{{kecamatan}}}, {{{nama dati2}}}]] [[Kategori:Kelurahan di {{{dati2}}} {{{nama dati2}}}]] [[Kategori:Kelurahan di {{{provinsi}}}]] . Oleh karena itu, pemimpinnya (lurahnya) tidak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme yang disebut sebagai kodrah, tetapi ditunjuk oleh bupati. Oleh karena statusnya berubah, maka struktur organisasinya juga berubah. Dalam hal ini lurah (eselon IV/a) di dalam menjalankan pemerintahannya dibantu oleh seklur (sekretaris kelurahan), pembangunan, tamtib (ketenteraman dan ketertiban), dan kesra (kesejahteraan masyarakat). Namun dengan struktur pemerintahan yang masuk wilayah perkotaan menyebabkan terjadi perubahan tradisi politik tingkat desa. Dahulu kepala desa adalah tokoh desa yang mempunyai banyak kerabat, (karena dipilih langsung).
Kependudukan
Kelurahan Beji berpenduduk 12.355 jiwa. Jumlah tersebut jika dilihat berdasarkan jenis kelaminnya, maka komposisinya terdiri atas 6.168 jiwa laki-laki dan 6.187 jiwa perempuan. Sedangkan, jumlah kepala keluarganya (KK) ada 2.631 jiwa. Mereka tersebar di 7 lingkungan1. Setiap lingkungan mempunyai rukun tetangga (RT) sejumlah 2 atau lebih. Jumlah seluruhnya ada 50 RT. Sedangkan, jumlah rukun warganya (RW) ada 16. Lingkungan yang padat penduduknya adalah I, II, dan VI karena lingkungan ini di samping dekat dengan kantor kelurahan, juga dekat dengan pusat kegiatan ekonomi (pasar) dan gedung bioskop. Kantor kelurahan itu sendiri berada di Lingkungan VI.
Seiring dengan perkembangan desa menjadi kota, maka jenis mata pencaharian yang digeluti oleh penduduknya semakin bervariasi, tetapi sebagian besar (44,51%) bergerak di bidang wiraswata/pedagang. Sektor pertanian (petani pemilik, buruh tani, dan nelayan) yang mulanya merupakan mata pencaharian yang digeluti oleh sebagian besar penduduknya, kini menempati urutan ke dua (26,91%). Hal itu disebabkan di samping lahan pertanian (sawah) semakin menciut karena digunakan untuk berbagai keperluan, seperti: jalan, perumahan, dan perkantoran, juga karena adanya kecenderungan generasi mudanya enggan untuk bergelut dengan lumpur (bersawah). Urutan yang ke tiga (20,29%) adalah penduduk yang bekerja di sektor jasa, seperti: makelaran, buruh pasar, dan penarik becak. Sementara, pegawai negeri sipil dan militer walau dalam persentase menempati urutan yang terakhir, tetapi sebenarnya persentase itu menunjukkan perkembangan yang berarti jika dibandingkan dengan masa lalu. Pada tahun '60-an, pegawai negeri sering diledek dengan perkataan “mukur resik, duite langka” (hanya bersih, tidak punya uang). Bahkan, ketika itu pegawai negeri, khususnya guru, dijadikan sebagai sesuatu untuk menakuti anak gadis. Artinya, dalam sebuah keluarga jika anak gadisnya tidak mau diatur, maka diancam atau ditakuti dengan akan dikawinkan dengan guru.
Data tentang komposisi penduduk berdasarkan jenjang pendidikan yang dicapai oleh warganya tidak ditemukan dalam monografi Kelurahan Beji. Namun, keadaannya tidak jauh berbeda dari jenjang pendidikan yang dicapai oleh masyarakat Pemalang pada umumnya, yaitu sebagian besar hanya tamat sekolah dasar (SD).
Sedangkan komposisi penduduk berdasarkan agama, Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar (99,8%) penduduk Kelurahan Beji. Nasrani (Katolik dan Kristen) kurang dari 0,15%, sementara Hindu 0,05%. Sarana peribadatan yang ada hanya masjid (enam buah) dan langgar atau surau (33 buah). Untuk itu, bagi kaum Nasrani jika akan ke gereja, maka mereka pergi ke Pemalang.
Profesi yang banyak digeluti masyarakat Beji dewasa ini adalah kerajinan tenun khususnya sarung byur, banyak juragan tenun muda yang bermunculan. Masyarakat Beji yang menjadi juragan tenun umumnya belajar menenun di desa Wanarejan (Mlaki) terlebih dahulu, sekarang di Kelurahan Beji sudah menjadi pesaing produksi tenun asal Wanarejan, diawali sama juragan tenun yang bernama sodikin yang mulai membuka pranggok (tempat produksi sarung tenun) apalagi sekarang upah pengrajin sarung byur naik menjadi Rp24.000-Rp35.000 per sarung.
Potensi Kelurahan Beji ke depanya masih sangat bagus untuk investasi, itu karena letak geografisnya yang berada di jalur Pantura (Gandulan), di kawasan tersebut sekarang telah berdiri rumah sakit tulang standar internasional dan UKM konveksi baru, Texmaco sudah mulai dilelang, itu berarti tak lama lagi akan buka industri baru, apalagi kalau benteng jadi diaspal akan menjadi taman bermain yang bagus yang bisa mendatangkan para wisatawan, karena di Kali Elon bisa dibuat wahana bermain yang menyenangkan.
Rumah makan yang mulai populer di Kelurahan Beji ada warung makan mba sop yang menyediakan pecel belut dan pecel lele, ada bu ngapi yang menyediakan nasi grombyang itu semua ada di jalan belitung Kel. Beji, Pemalang, dekat Masjid At Tahmid, di sana juga ada yang melayani pesanan tempe kripik, rempeyek dlewer, opak usel, dan berbagai macam penganan lainnya.
Pendidikan di bidang agama ada TK MUSLIMAT, TPQ Alhikmah, PONDOK PESANTREN yang baru saja dibuka khusus untuk para penghafal Alquran (JL. Belitung rt 02 rw 14 lingkungan 6 (belakang masjid At Tahmid).
Sosial Budaya
Masyarakat Beji adalah pendukung kebudayaan Jawa. Sebagaimana masyarakat pendukung kebudayaan Jawa lainnya, mereka dalam berkomunikasi juga menggunakan bahasa Jawa. Akan tetapi dengan dialek yang khas (termasuk dalam kategori dialek “Banyumasan”) karena jika mengucapkan kata-kata tertentu, “bapak” misalnya, maka pengucapan huruf “k”-nya sangat kental (kentara). Hal ini berbeda dengan orang Jawa-Yogya dan Jawa-Solo yang pengucapan huruf “k”-nya “nyaris tak terdengar”. Selain itu, ada juga yang menyebutnya sebagai “Jawa Kowek” dan “Jawa Reang”. Bisa jadi, sebutan yang terakhir sangat erat kaitannya dengan suara yang relatif keras dan irama yang relatif cepat, sehingga memberi kesan berisik (reang). Hal ini berbeda dengan suara dan irama orang Jawa-Jogya dan Jawa-Solo yang relatif lembut dan lambat dalam bertutur dan atau bertegur sapa, sehingga terkesan teduh dan tidak berisik (halus). Oleh karena itu, masyarakat Beji menyebut bahasa Jawa yang diucapkan oleh orang Yogya dan Solo adalah bandek, yaitu suatu istilah untuk bahasa Jawa yang halus.
Prinsip keturunan yang dianut oleh masyarakat Beji adalah bilateral, yaitu suatu sistem penarikan garis keturunan melalui nenek-moyang laki-laki dan perempuan secara serentak. Artinya, yang dianggap sebagai kerabatnya adalah kerabat dari pihak laki-laki dan pihak perempuan. Sedangkan, istilah yang digunakan untuk menyebut dan atau menyapa kerabatnya antara lain: bapak (istilah untuk menyebut orang tua laki-laki), sima (istilah untuk menyebut orang tua perempuan), side lanang (istilah yang digunakan untuk menyebut orang tua laki-laki ayah dan ibu), side wadon (istilah yang digunakan untuk menyebut orang tua perempuan ayah dan ibu), lek atau paman (istilah yang digunakan untuk menyebut adik laki-laki ayah dan ibu), bibi (istilah yang digunakan untuk menyebut adik perempuan ayah dan ibu), kakang (istilah yang digunakan untuk menyebut saudara tua laki-laki), mbakyu (istilah yang digunakan untuk menyebut saudara tua perempuan), dan edi (istilah yang digunakan untuk menyebut saudara muda baik laki-laki maupun perempuan).
Sistem perkawinan yang mereka anut adalah “bebas”. Artinya, tidak hanya membatasi pada daerah sendiri (indogami-daerah), tetapi juga membolehkan orang kawin dengan gadis atau jejaka dari daerah lain. Sedangkan, tempat tinggal yang dianut setelah perkawinan adalah matrilokal (pengantin baru tinggal di rumah orang tua atau dekat dengan kerabat pihak perempuan). Pada masa lalu seorang pengantin lelaki baru bekerja seperti sediakala ketika hari perkawinan sudah mencapai hari ke tujuh. Selama itu Sang Pengantin hanya bersih-bersih halaman rumah (pagi dan sore hari). Namun, dewasa ini hal itu dapat dikatakan tidak dilakukan lagi karena pada umumnya setiap keluarga tidak mempunyai halaman yang cukup luas. Di samping itu, pepohonan besar dan rumpun-rumpun bambu telah banyak yang ditebangi dan berganti menjadi perumahan. Padahal, pada tahun '60-an banyak rumah yang halamannya cukup luas. Halaman rumah Man Simuh (almarhum), Man Wardi (almarhum), Man Bugel (almarhum), dan Man Merdi (almarhum) yang berada Lingukungan II misalnya; saat-saat musim ketige (kemarau) dijadikan sebagai arena untuk pergelaran sintren, lais, jaran eblek, beserta barongan. Sekarang pekarangan-pekarangan itu telah menyempit. Malahan, sebagian telah dimanfaatkan sebagai lorong-lorong kampung yang dilapisi dengan konblok dengan yang lebarnya kurang lebih 1,5 meter. Ini artinya, kesenian tersebut tidak mungkin lagi dipergelarkan di tempat itu. Dikarenakan juga tidak adanya generasi penerus kesenian itu.
Di kelurahan ini terdapat pabrik tekstil Texmaco Jaya, yang merupakan cikal bakal Teksmaco group, konglomerasi milik taipan Marimutu Sinivasan, yang sekarang bangkrut. Dahulu ketika dibuka (sekitar tahun '70-an) banyak warga Kelurahan Beji dan sekitarnya yang direkrut menjadi karyawannya. Ada yang menjadi staf, khususnya yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan atau sederajat, dan banyak pula yang berstatus buruh, khususnya bagi yang berpendidikan sekolah dasar (SD) dan yang tidak tamat SD. Bahkan, yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah pun banyak yang bekerja di pabrik tekstil tersebut. Akan tetapi, lama-lama banyak karyawan yang berasal dari daerah lain, seperti Yogyakarta dan Solo. Walaupun para pemuda (baca remaja) Kelurahan Beji diberi peluang yang relatif besar ketimbang remaja Kelurahan-desa lainnya, tetapi hal itu tidak membuat remajanya berlomba-lomba menjadi karyawan pabrik yang bersangkutan. Sebagian lainnya lebih memilih bekerja di luar Kelurahannya, khususnya Jakarta, karena lebih “bergengsi” ketimbang bekerja di Kelurahan sendiri. Dan, ini memberi peluang kepada remaja dari daerah lain.
Banyaknya karyawan dari daerah lain di samping menambah suasana kelurahan semakin “hidup”, juga banyak rumah dan atau kamar yang disewakan (pemondokan). Dewasa ini, seiring dengan bangkrutnya Tekmaco Jaya, suasananya tidak semeriah dulu lagi. Hal itu paling tidak tercermin dari keluhan seorang pedagang warung makan (gulai dan sate kambing) yang berada di daerah pasar.
Ada satu hal yang menarik pada warung ini karena ada menu spesialnya, yaitu grombyang. Menurut cerita yang berkembang di kalangan masyarakat Pemalang, grombyang (sejenis sayur-daging) dan kupat dekem adalah makanan tradisional khas Pemalang yang hanya diusahakan oleh sebuah keluarga secara turun-temurun.
Pada masa lalu orang-orang yang status sosialnya tinggi adalah yang memiliki harta benda yang berlimpah dan orang-orang yang pengetahuan agamanya (Islam) dalam. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada masa lalu banyak orang tua yang mengirim anaknya ke pesantren, seperti: Kaliwungu (Semarang), Kraprak (Yogyakarta), dan Lasem (Jawa Timur). Namun, dewasa ini yang termasuk dalam status sosial tinggi adalah tidak hanya orang-orang yang memiliki kekayaan dan pengetahuan agama saja, tetapi juga pendidikan formal yang tinggi. Ini artinya, orang-orang yang hanya memiliki kekayaan, pengetahuan agama, dan pendidikan formal yang sedang-sedang saja termasuk dalam status sosial sedang (menengah). Sedangkan, mereka yang tidak atau kurang mampu, baik dalam kekayaan, pengetahuan agama, dan pendidikan formal termasuk dalam status sosial yang rendah, seperti: tukang becak, songgol, dan buruh tani.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Beji masih mempercayai adanya makhluk-makhluk halus yang menempati tempat-tempat tertentu, seperti: sawah, pohon beringin, pohon gayam, jembatan, dan rumah kosong (rumah yang lama tidak dihuni). Sebutan memedi (makhluk-makhluk halus yang menakutkan) bermacam-macam. Ada yang disebut jim, gendruwo, tetekan, banaspati, kalong wewe, kuntilanak, dan lain sebagainya. Ini artinya, budaya yang ditumbuhkembangkan oleh masyarakat Beji, di samping merupakan tanggapan aktif terhadap kondisi geografisnya dan kontak-kontak dengan kebudayaan lain (akulturasi), tetapi juga diwarnai kepercayaan dan agama yang dianutnya. Hal itu tercermin dari kesenian tradisional yang mereka tumbuh kembangkan. Dalam konteks ini ada yang berbau magis seperti: lais, sintren, dan jaran eblek, krangkeng; dan ada yang berbau agamis (Islam) seperti samproh, madjruran, jipin, terbang jawa, dan terbang kencer.
Pada masa lalu berbagai kesenian itu tumbuh subur dalam masyarakat Beji. Namun, dewasa ini mulai tergeser kesenian lainnya, khususnya kesenian yang berbau populer seperti ndangndut dan group-group band. Di era '70-an ndangndut sangat populer. Dapat dikatakan jika seseorang punya hajat dan tidak bisa menampilkan orkes melayu (ndangndut), maka ia akan menyewa tape recorder yang dilengkapi dengan salon-salon yang besar, sehingga bunyi cukup menggelegar. Di saat-saat seperti itu berdatanganlah para pemuda atau orang tua yang berjiwa muda untuk ber-gengsot (menari ala-ndangndut). Kini ndangndut tidak populer lagi karena dianggap sebagai “kampungan”; yang dianggap “in” anak-anak muda dewasa ini adalah band karena mencerminkan “kekotaan” (anak kota dan bukan anak desa). Untuk berlatih band, mereka tidak perlu memiliki peralatan musik sendiri, tetapi cukup mendatangi ke studio musik yang ada di sekitarnya dengan cara membayar Rp 35.000,00 per jam.
Kesenian
Terbang Kencer Kesenian Masyarakat Kelurahan Beji
Asal usul
Terbang adalah salah satu peralatan musik tradisional yang cukup dikenal oleh masyarakat Pemalang, khususnya masyarakat Beji dan Mlaki (Wanarejan). Alat ini terbuat dari kayu yang dibentuk sedemikian rupa (melingkar), kemudian bagian atasnya diberi kulit. Jadi, hampir serupa dengan bedug atau gendang. Bedanya, jika bedug badannya besar dan panjang, kemudian gendang badannya kecil dan sedikit panjang, tetapi terbang badannya sedang (lebih kecil dari bedug tetapi lebih besar dari gendang pada umumnya) dan pendek. Pada badan terbang ada tiga pasang logam (besi putih) yang oleh masyarakat setempat disebut kecrek atau genjring atau kencer, sehingga jika terbang tersebut dibunyikan, tidak hanya mengeluarkan suara yang berasal dari kulit, tetapi juga suara gembrinjing (gemerincing). Oleh karena itu, terbang tersebut dinamakan sebagai terbang kencer atau terbang genjring. Meskipun ada dua nama untuk terbang ini, tetapi masyarakat lebih sering menyebutnya sebagai terbang kencer.
Sedikitnya ada dua versi yang berkenaan dengan asal usul terbang kencer. Versi pertama adalah yang mengatakan bahwa terbang kencer berasal dari suatu daerah yang ada di Jawa Timur. Versi ini sangat erat kaitannya dengan seorang yang bernama Gari (almarhum). Konon, ketika ia masih muda memperdalam agama Islam (mengaji) ke sebuah pesantren yang ada di daerah Jombang (Jawa Timur). Ternyata ia di sana bukannya memperdalam ajaran-ajaran agama Islam, tetapi mempelajari kesenian terbang, sehingga yang diperoleh bukannya ilmu agama tetapi ilmu suatu kesenian yang kemudian disebut sebagai terbang kencer. Ilmu kesenian yang dipelajari dan dikuasai itu kemudian diajarkan kepada para pemuda yang ada di desanya. Salah satu di antaranya adalah Yasin. Saat penelitian ini dilakukan, ia telah berumur 70 tahun. Menurut pengakuannya--ketika berumur 17 tahun--ia juga pernah memperdalam agama Islam di pesantren Kaliwungu (dekat dengan kota Semarang). Di sana ia sempat belajar selama 3 tahun. Ia adalah seorang pemuda yang aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang menyangkut politik, agama, maupun kebudayaan (kesenian). Dalam bidang politik ia bergabung dengan partai Nahdatul Ulama (NU) dan terdaftar sebagai Pemuda Ansor dan Barisan Serbaguna (Banser). Dalam kesenian ia pernah membentuk suatu organisasi kesenian yang disebut samproh, yaitu suatu kesenian yang ketika itu hanya membutuhkan peralatan: gambus (semacam gitar yang bagian perutnya menggelembung menyerupai kura-kura), piyul (biola), gendang, dan tamburin (kecrek). Dan, ketika penelitian ini dilakukan ia adalah orang yang dipercaya oleh teman-temannya untuk menjadi ketua terbang kencer yang ada di Kelurahan Beji. Ini artinya, terbang kencer yang ada di kelurahan tersebut berasal dari suatu daerah yang berada di Jawa Timur (Jombang).
Versi lain mengatakan bahwa terbang kencer berasal dari desa tetangga (Wanarejan), sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang guru terbang yang berasal dari Kelurahan Beji, yaitu Kambali. Berbeda dengan Yasin, ia belajar terbang kencer bukan pada guru terbang yang ada di desanya, tetapi guru yang ada di lain desa lainnya (Wanarejan) yang bernama Kurdi. Sayangnya ia tidak tahu di mana gurunya belajar terbang kencer, sehingga yang ia tahu terbang kencer berasal dari Wanarejan (Mlaki). Sementara, Kurdi sendiri sudah almarhum (meninggal dunia).
“Yang namanya guru terbang itu banyak dan setiap guru mempunyai daya tarik dan kekhasan tersendiri. Dalam hal terbang kencer saya lebih menyukai gaya Kurdi. Oleh karena itu, saya berguru kepadanya”, demikian katanya.
Lepas dari berbagai versi itu yang jelas bahwa ajaran dari Kurdilah yang kemudian dijadikan sebagai standar untuk terbang kencer yang berada di Kelurahan Beji.
Peralatan
Sesuai dengan namanya, kesenian terbang kencer hanya memerlukan satu jenis alat musik yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “terbang”. Alat ini bentuknya bundar menyerupai piring yang bagian alasnya terbuka. Permukaan bagian atasnya bergaris tengah sekitar 40 cm. Permukaan ini ditutup dengan kulit kambing. Jadi, bukan kulit kerbau atau kulit sapi karena kulit mereka lebih tebal ketimbang kulit kambing sehingga jika menggunakannya, suara yang dihasilkannya tidak lebih nyaring dari suara yang dihasilkan dari kulit kambing. Pemasangannya menggunakan perekat (lem), kemudian dipaku dengan paku jamur (paku yang salah satu ujungnya menyerupai bintang). Tampaknya tidak semua orang dapat memasangnya, tetapi ada ahlinya. Oleh karena itu, jika ada kerusakan dan memang harus diganti kulitnya, maka mesti dibawa ke ahlinya yang berada di luar daerah.
“Ada dua tempat pemasangan kulit terbang, satu di daerah Bantarbolang (Pemalang Selatan) dan satu lagi ada di Desa Waru daerah Tegal. Namun, teman-teman lebih suka ke Tegal karena hasilnya lebih baik”, demikian kata salah seorang pemainnya.
Bahan pembuatan terbang kencer yang hanya berupa kayu sawo, kulit kambing, paku jamur, dan rotan memang relatif mudah diperoleh. Namun, di Kelurahan Beji tidak ada ahlinya, sehingga mau tidak mau harus memesan atau membeli di daerah Tegal. Demikian juga, jika permukaan terbang yang terbuat dari kulit kambing rusak, maka mau tidak mau juga ke tempat yang sama, sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Sedangkan, bagian bawah terbang bergaris tengah sekitar 35 cm. Jadi, semakin ke bawah semakin menyempit. Badan terbang terbuat dari jenis kayu tertentu, yaitu kayu sawo karena jenis kayu ini di samping keras, kuat, dan tidak mudah retak, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah dapat menimbulkan gaung (efek suara) yang bagus. Pada badan terbang yang semakin ke bawah semakin kecil itu ada tiga lubang yang berukuran tinggi 1 cm dan panjang 11 cm dengan posisi mendatar. Jarak antara lubang yang satu dan lainnya sama. Di setiap lubang ada dua buah logam yang berbentuk bundar dan pipih menyerupai compac disc (CD) atau digital video disc (DVD) yang terbuat dari nekel (besi putih). Alat ini disebut kecrek atau kencer. Jika terbang ditabuh maka alat ini akan menimbulkan suara gembrinjing (gemerincing). Bunyi inilah yang kemudian membuat terbang tersebut, sebagaimana telah disinggung pada bagian atas, disebut sebagai “terbang grinjing” atau “terbang kencer”. Selain kecrek, terbang juga dilengkapi dengan rotan yang melingkar di dalamnya (di bawah kulit terbang) yang disebut sentek. Garis tengahnya kurang lebih sama dengan garis tengah terbang. Alat ini dimasukkan atau diselipkan pada celah antara kulit dan bagian permukaan bawah terbang. Fungsinya untuk mengencangkan kulit terbang, sehingga suaranya sesuai dengan yang diinginkan (lantang). Jika terbang tidak digunakan (disimpan), alat ini dicopot dan dibiarkan ada dalam terbang. Agar terbang tidak cepat rusak atau berdebu, maka sebelum disimpan dimasukkan dalam sebuah kantong yang terbuat dari kain.
Sebuah terbang kencer beratnya kurang lebih 2 kilogram. Ketika digunakan terbang tersebut diletakkan di atas tangan kiri dengan posisi tangan membentuk sudut 30--40. Jika dalam dalam ruangan, maka posisi duduknya seperti duduknya sinden (bersimpuh). Akan tetapi, jika dalam arak-arakan (dalam lapangan) posisinya berdiri karena harus berjalan menyusuri rute yang telah ditetapkan. Beratnya terbang sebenarnya bukan menjadi masalah karena jika pemainnya kecapaian ada penggantinya. Namun, karena satu dan lain hal ada juga pemain yang sebenarnya sudah sangat capai tetapi oleh ketuanya belum diganti juga. Hal ini pernah dialami oleh salah seorang pemain.
“Ketika itu ada acara khataman di desa Taman dan kami diundang untuk mengaraknya. Oleh karena rute-nya cukup jauh, kurang lebih 2 kilometer, ada di antara kami, termasuk saya, merasa lelah. Teman saya diganti, tetapi saya tidak. Meskipun demikian, saya diam saja. Sebenarnya saya jengkel (marah), tetapi kemarahan itu terobati karena begitu acara selesai Sang ketua menjelaskan bahwa jika saya diganti permainan tidak begitu menarik”, demikian katanya.
Pada masa lalu peralatan terbang kencer hanya sejumlah terbang (empat buah). Kemudian, biar kelihatan lebih semarak ditambah dengan bedug, khususnya ketika arak-arakan. Bedug tersebut diboncengkan sepeda karena ukurannya lebih besar (kurang lebih garis tengahnya 60 cm), sehingga jika dibawa dengan tangan relatif berat. Jadi, ada orang yang menuntun sepeda dan ada orang yang berperan sebagai penabuh. Dewasa ini bedug tersebut telah diganti bedug drumband. Alasannya adalah di samping praktis membawanya (tidak perlu dengan sepeda), tetapi biar kelihatan lebih canggih (modern).
Sebagai catatan, pada masa lalu terbang kencer dipentaskan bersamaan dengan terbang jawa. Akan tetapi, sekarang hanya cukup sendirian karena terbang Jawa telah punah (tidak ada penerusnya). Sebenarnya ketuanya (Serye) berusaha keras mengkader generasi muda agar kelak dapat menggantikannya. Namun, usaha itu sia-sia. Anak-cucunya tak ada satu pun yang berminat. Hal itu disebabkan adanya anggapan bahwa terbang jawa adalah terbang-nya orang-orang tua. Selain itu, lebih rumit ketimbang terbang kencer sebagaimana yang dikemukakan Kambali ketika mempelajarinya.
“Waktu itu saya dikader oleh Side (Mbah) Serye. Caranya adalah dengan mengikuti pergelaran. Namun, saya bersama seorang teman (Abdullah) tidak tahan; bukan karena pergelaran sampai semalam suntuk, tetapi caranya nabuh dirasa rumit (sulit). Selain itu, harus mempunyai suara yang melengking. Untuk itu, saya bersama teman saya berhenti”, demikian katanya.
Pemain
Pemain terbang kencer minimal berjumlah empat orang. Jumlah ini ada kaitannya dengan peranan pemain dalam kesenian terbang kencer itu sendiri. Dalam konteks ini ada yang berperan sebagai: telon, banggen, kapat, dan pajek. Masing-masing mangkon terbang tersendiri. Oleh karena itu, dalam suatu pelatihan atau pertunjukan yang hanya dilakukan oleh empat orang pemain disebut sepangkon. Demikian juga terbang-nya yang berjumlah empat buah itu disebut terbang sepangkon. Disebut demikian karena pada saat terbang itu tidak dibunyikan (ditabuh dengan telapak tangan), ia ditaruh di atas pangkuan. Grup kesenian terbang kencer Keluarahan Beji memiliki delapan buah terbang (rong pangkon). Jika dalam suatu pelatihan dan atau pergelaran kedelapan terbang tersebut digunakan, maka disebut rong pangkon. Meskipun pemainnya ada delapan orang bukan berarti bahwa ketukan yang dilakukan oleh setiap orang berbeda, tetapi sama seperti sepangkon. Jadi, setiap peran dilakukan oleh dua orang (telon, banggen, kapat, dan pajeg dilakukan oleh dua orang pemain). Selain pengetuk terbang, ada tiga orang lagi yang berperan sebagai penjawab (pelantun lagu) dan sekaligus sebagai pengganti jika ada salah seorang pengetuk terbang yang karena satu dan lain hal harus diganti (capai misalnya). Lagu-lagu yang dilantunkan bersumber pada kitab Barzanji yang berbahasa Arab. Dengan demikian, secara keseluruhan jumlah pemainnya ada sebelas orang. Rangkaian dan ketukan antarpemain yang berbeda itu pada gilirannya membuat satuan bunyi yang khas. Bunyi ini tidak akan terwujud jika ada ketukan yang tidak pas (keliru). Untuk itu, setiap pemain harus betul-betul menguasainya.
Untuk dapat menguasai seluruh ketukan terbang kencer, baik itu telon, banggen, kapat, maupun pajek dibutuhkan keminatan, keseriusan, dan kegigihan. Yasin, ketua perkumpulan terbang kencer Beji, mengatakan bahwa suatu saat ada pemuda yang berminat mempelajarinya. Namanya Untung Urip Wibowo yang ketika tulisan ini dibuat yang bersangkutan sudah meninggal karena kecelakaan. Ia adalah seorang penggendang dan penabuh drum yang cukup terkenal di Pemalang. Ia beranggapan bahwa memainkan terbang kencer lebih gampang ketimbang menabuh gendang dan atau drumband. Alhasil, ia pun mempelajarinya. Dan, ternyata terbang kencer lebih rumit ketimbang menabuh gendang dan atau drum. Akhirnya, ia tidak melanjutkan alias menyerah.
Selain Untung Urip Wibowo ada juga pemuda lain yang ingin mempelajarinya, yaitu Mustari (sekarang berumur 53 tahun dan bekerja di Kelurahan Beji dengan kedudukan sebagai Kasi Pemerintahan). Ia pernah menekuni terbang kencer selama satu tahun, tetapi belum menguasasi seluruhnya. Ia sebenarnya orang yang sangat berminat kepada semua kesenian. Namun, ia lebih memilih mempelajari terbang kencer karena sangat erat kaitannya dengan agama Islam. Hal ini tercermin dari jawaban atau lagu-lagu yang dilantunkan bersumber pada kitab barzanji dan dziba. Menurutnya kesenian seperti “Orkes Melayu” (ndangndut) dan group-groub band relatif lebih mudah untuk dipelajari ketimbang terbang kencer. Dalam terbang kencer antara ketukan terbang dan jawaban harus pas. Oleh karena itu, orang yang tidak tahu bacaan barzanji dan atau dziba semakin sulit untuk mempelajarinya.
Menjadi pemain terbang kencer selain harus berani kerja keras, keseriusan, dan tidak berputus asa, serta ada bakat seni, juga yang tidak kalah pentingnya adalah tidak mempunyai rasa malu, sebagaimana yang dikemukakan oleh salah seorang yang prihatin tentang keberadaan terbang kencer karena generasi muda enggan untuk mempelajarinya. Sampai-sampai ia menjelaskan bahwa untuk belajar terbang kencer tidak perlu mengeluarkan biaya. Namun, tidak ada anak muda yang berminat. Pada umumnya mereka malu mempelajari terbang kencer karena dianggap kuno dan kampungan.
“Ini artinya zaman sudah terbalik. Di zaman sekarang jika anak muda mendengar tape recorder, maka mereka akan mendatangi dan gengsot (joget ndangndud) di sana. Padahal, pada zaman saya masih remaja, saya malu ber-gengsot tetapi tidak malu nabuh terbang. Malah, ada kebanggaan tersendiri. Akan tetapi, sekarang anak muda malu untuk nabuh terbang, tetapi tidak malu gengsot”.
Kostum
Kostum yang dikenakan oleh para pemain dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Pada masa lalu mereka berkemeja putih, bersarung palekat, berjas dan berkopiah (pecis). Kemudian, pernah juga mereka berkemeja, bersarung byur, dan berkopiah (pecis). Sekarang mereka berbaju muslim (tanpa leher), bersarung byur, dan tetap berkopiah. Alasannya adalah lebih leluasa dan praktis.
“Memakai jas memang kelihatan lebih rapih dan gaya. Akan tetapi, gerakan tangan tidak leluasa. Dengan berkemeja agak lebih leluasa, tetapi lebih leluasa memakai baju muslim karena baju ini cukup longgar. Makanya, kami memutuskan untuk memakai baju muslim; lebih parkatis”, kata salah seorang informan..
Dewasa ini Perkumpulan terbang Beji yang dipimpin oleh Yasin memiliki 6 stel seragam yang warnanya berbeda-beda. Dengan demikian, dalam setiap kesempatan (pementasan) bisa menampilkan seragan dengan warna yang berbeda dari pementasan sebelumnya.
Tempat dan Pementasan Kesenian tradisional masyarakat Pemalang yang disebut sebagai terbang kencer tidak membutuhkan tempat atau ruangan yang luas serta panggung. Ia bisa dilakukan di lantai ruang tamu yang dialasi dengan tikar. Malahan, ketika arak-arakan dalam rangka khajatan seseorang atau kegiatan yang berkaitan dengan hari-hari besar keagamaan (Islam) atau hari-hari besar nasional 17 Agustusan, cukup memainkankannya dengan berjalan.
“Dahulu penganten jika tidak diarak seakan-akan belum sempurna, tetapi sekarang malah tidak mau diarak karena malu. Jadi, sekarang yang diarak adalah anak yang akan disunat. Selain itu, anak-anak yang katam Al Quran”, kata salah seorang pemainnya. “Dahulu setiap tahun sekali ada perlombaan terbang kencer. Jumlahnya puluhan karena hampir setiap desa mengikutinya. Yang dinilai antara lain: kerapian (kostum), ketepatan tutukan, dan kesesuaian nada suara. Perlombaan dilakukan di Masjid Raya Pemalang”. Namun, sekarang perlombaan tidak pernah ada lagi”, demikian katanya lebih lanjut.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pemain terbang kencer terdiri atas pemain yang berperan sebagai: telon, banggen, kapat, dan pajek. Telon (bahasa Jawa) berarti “tiga”. Namun, dalam permainan terbang kencer justeru pemeran telon menjadi sangat penting karena ketukannya menjadi pembuka dalam penerbangan. Ketukan tersebut disusul dengan ketukan pemegang banggen, lalu kapat dan diikuti dengan pajek. Pajek dalam suatu permainan terbang kencer dapat dikatakan hanya sebagai pelengkap. Dalam konteks ini ia hanya mengikuti akhir dari rangkain bunyi yang dihasilkan oleh pemegang telon, banggen, dan kapat. Jadi, jika akhiran itu berbunyi “tong”, maka ia akan “mengetong”. Demikian juga jika akhiran itu berbunyi “ding”, maka ia akan “mengeding”. Oleh karena itu, di kalangan penerbang ada semacam guyon (gurauan) bahwa pemajeg diibaratkan sebagai “anak bawang” karena tanpa pajeg permainan terbang kencer tetap berjalan. Hanya saja kumandang-nya (gema bunyi terbang) tidak sempurna. Selain itu, biasanya para penerbang berusaha untuk menguasai berbagai ketukan terbang, baik itu telon, banggen, maupun kapat, termasuk para pemain lainnya yang berperan sebagai penjawab (pelantun lagu-lagu pengiring). Sebab, jika ada yang kecapaian atau berhalangan hadir, maka menggantinya.
Lagu-lagu yang Dilantunkan
Lagu-lagu yang dilantunkan dalam pergelaran terbang kencer bersumber pada kitab Barzanji. Ada 7 pasal yang dilantunkan, yaitu: (1) Ashola tuala nabi, (2) Salatun, (3) Subhanama, (4) Sayidi, (5) Shola alaika, (6) Budad, dan (7) Sakratul ya nabi. Ke-7 pasal itu dilantunkan oleh 3 orang secara bersama-sama dan bersamaan dengan pengetukan terbang. Di kalangan mereka para pelantun itu disebut sebagai penjawab. Adakalanya pengetuk terbang juga ikut melantunkannya, terutama bagi yang sudah ahli (biasanya ketuanya). Selain ke-7 pasal tersebut ada pasal-pasal lain yang tidak dilantunkan, tetapi cukup hanya dibaca. Pada saat-saat seperti itu terbang tidak diketuk, sehingga yang terdengar hanya suara si pembaca. Pembacaan tidak dilakukan secara bersama-sama, tetapi salah seorang yang ditugasi oleh ketuanya (biasanya orang fasih pengucapannya dan suaranya bagus).