Emha Ainun Nadjib

Tokoh intelektual muslim asal Indonesia
Revisi sejak 7 Maret 2020 03.42 oleh Argo Carpathians (bicara | kontrib) (←Suntingan 36.79.210.191 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Lord Yeager)

Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun atau Mbah Nun[4] (lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; umur 66 tahun) adalah seorang tokoh intelektual Muslim Indonesia. Ia menyampaikan gagasan pemikiran dan kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk: puisi, esai, cerpen, film, drama, lagu, musik, talkshow televisi, siaran radio, seminar, ceramah, dan tayangan video. Ia menggunakan beragam media komunikasi dari cetak hingga digital dan sangat produktif dalam berkarya.[5]

Emha Ainun Nadjib
LahirMuhammad Ainun Nadjib
27 Mei 1953 (umur 71)
Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
Nama lainCak Nun, Mbah Nun[1]
Dikenal atasTokoh intelektual Islam
Inisiator Masyarakat Maiyah
Suami/istriNeneng Suryaningsih (cerai 1985)[2]
Novia Kolopaking (1997–sekarang)[3]
AnakSabrang Mowo Damar Panuluh
Ainayya Al-Fatihah
Aqiela Fadia Haya
Jembar Tahta Aunillah
Anayallah Rampak Mayesha
Situs webwww.caknun.com

Ragam dan cakupan tema pemikiran, ilmu, dan kegiatan Cak Nun sangat luas, seperti dalam bidang sastra, teater, tafsir, tasawwuf, musik, filsafat, pendidikan, kesehatan, Islam, dan lain-lain.[6] Selain penulis, ia juga dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, cendekiawan, ilmuwan, sastrawan, aktivis-pekerja sosial, pemikir, dan kyai. Banyak orang mengatakan Cak Nun adalah manusia multi-dimensi.[7]

Menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihatnya, yang kemudian celetukannya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "Ora dadi presiden ora pathèken”.[8] Setelah Reformasi 1998, Cak Nun bersama KiaiKanjeng memfokuskan berkegiatan bersama masyarakat di pelosok Indonesia. Aktivitasnya berjalan terus dengan menginisiasi Masyarakat Maiyah, yang berkembang di seluruh negeri hingga mancanegara.[9] Cak Nun bersama KiaiKanjeng dan Masyarakat Maiyah mengajak untuk membuka yang sebelumnya belum pernah dibuka. Memandang, merumuskan dan mengelola dengan prinsip dan formula yang sebelumnya belum pernah ditemukan dan dipergunakan.[10]

Kehidupan pribadi

Cak Nun merupakan anak keempat dari 15 bersaudara.[11] Lahir dari pasangan Muhammad Abdul Latief dan Chalimah. Ayahnya adalah petani dan tokoh agama (kyai) yang sangat dihormati masyarakat Desa Menturo, Sumobito, Jombang.[12] Juga seorang pemimpin masyarakat yang menjadi tempat bertanya dan mengadu tentang masalah yang masyarakat hadapi.[13] Begitu juga ibunya menjadi panutan warga yang memberikan rasa aman dan banyak membantu masyarakat.[11][14] Dalam ingatan Cak Nun, ketika ia kecil sering diajak ibunya mengunjungi para tetangga, menanyakan keadaan mereka. Apakah mereka bisa makan dan menyekolahkan anak. Pengalaman ini membentuk kesadaran dan sikap sosialnya yang didasarkan nilai-nilai Islam. Bahwa menolong sesama manusia dari kemiskinan dan membuat mereka mampu berfungsi sebagai manusia seutuhnya, merupakan kunci dalam Islam.[13] Kakak tertuanya, yaitu Ahmad Fuad Effendy, adalah anggota Dewan Pembina King Abdullah bin Abdul Aziz International Center For Arabic Language (KAICAL) Saudi Arabia.[15]

Paman Cak Nun, adik ayahnya, yaitu almarhum K.H. Hasyim Latief[16], seorang pendiri Pertanu (Persatuan Tani dan Nelayan NU), ketua PWNU Jawa Timur, wakil Ketua PBNU, wakil Rais Syuriah PBNU, dan Mustasyar PBNU[17] yang mendirikan Yayasan Pendidikan Maarif (YPM) di Sepanjang, Sidoarjo.[18] Dari garis ayah, Cak Nun bersaudara dengan aktivis masyarakat miskin kota Wardah Hafidz dan Ali Fikri yang masih sepupu ayah Cak Nun.[18] Dari garis ayahnya ini, kakek buyut Cak Nun, yaitu Imam Zahid[19], adalah murid Syaikhona Kholil Bangkalan bersama dengan K.H. Hasyim Asyari, K.H. Ahmad Dahlan, dan K.H. Romly Tamim.[20]

 
Emha Ainun Nadjib (berdiri paling kanan mengenakan kopiah) di masa kecil bersama keluarganya.

Pendidikan formal Cak Nun dimulai dari Sekolah Dasar di desanya. Karena semenjak kecil ia sangat peka atas segala bentuk ketidakadilan, ia sempat dianggap bermasalah oleh para guru karena memprotes dan menendang guru yang dianggapnya tak berlaku adil.[21] Suatu ketika ada guru terlambat mengajar, dan Cak Nun memprotesnya. Karena sebelumnya Cak Nun pernah terlambat masuk sekolah dan dihukum berdiri di depan kelas sampai pelajaran usai. Hukuman itu ia jalani sebagai konsekuensi kesalahannya dan itu merupakan aturan sekolah. Maka tatkala ada guru terlambat, menurut Cak Nun aturan yang sama harus diberlakukan. Dan ujungnya, ia keluar dari SD yang dianggapnya menerapkan aturan yang tidak adil itu.[22]

Kemudian oleh ayahnya, ia dikirim ke Pondok Modern Darussalam Gontor. Pada masa tahun ketiganya di Gontor, Cak Nun sempat menggugat kebijakan pihak keamanan Pondok yang dianggapnya tidak berlaku adil. Ia pun memimpin “demonstrasi” bersama santri-santri lain sebagai bentuk protes. Namun protes itu berujung pada dikeluarkannya Cak Nun dari Pondok.[23] Meskipun hanya 2,5 tahun di sana, Gontor memberikan kesan mendalam baginya. Budaya santri mengakar kuat dalam dirinya sehingga ia memiliki disiplin pesantren.[24] Kemudian ia pindah ke Yogyakarta melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah 4 dan selanjutnya tamat SMA Muhammadiyah 1[25] bersama dengan teman karibnya, Busyro Muqoddas. Usai SMA, Cak Nun diterima di Fakultas Ekonomi UGM. Di “kampus biru” ini, ia bertahan hanya satu semester, atau tepatnya empat bulan saja.[25] Sebenarnya ia juga diterima di Fakultas Filsafat UGM namun tidak mendaftar ulang.

Istrinya, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi. Bersama Novia, ia dikaruniai empat anak, yaitu Ainayya Al-Fatihah (meninggal di dalam kandungan)[26], Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah, dan Anayallah Rampak Mayesha.[27] Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah salah satu putranya yang kini tergabung dalam grup band Letto.

Aktivitas

Malioboro

 
Emha Ainun Nadjib di kediaman Umbu Landu Paranggi di Bali tahun 2017.

Pada akhir tahun 1969 ketika masih SMA, Cak Nun memulai proses kreatifnya dengan hidup “menggelandang” di Malioboro, Yogyakarta selama lima tahun hingga 1975.[28] Kala itu, Malioboro menjadi tempat bertemu para aktivis mahasiswa, sastrawan, dan seniman Yogyakarta.[29] Malioboro menjadi salah satu poros dalam jalur Bulaksumur-Malioboro-Gampingan yang menandakan dialektika intelektual-sastra-seni rupa.[30] Di Malioboro ini, Cak Nun bergabung dengan PSK (Persada Studi Klub), sebuah ruang studi sastra bagi penyair muda Yogyakarta yang diasuh oleh Umbu Landu Paranggi[28], seorang sufi yang hidupnya misterius. Banyak yang mengatakan pertemuan dengan Umbu memberikan pengaruh dalam perjalanan hidup Cak Nun selanjutnya.[31][32]

PSK yang didirikan tahun 1969 dan aktif hingga 1977, telah melahirkan sejumlah sastrawan terkemuka Indonesia, di antaranya Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, dan Cak Nun sendiri.[33] Keberadaan PSK tidak dapat dipisahkan dari Mingguan Pelopor Yogya. Kehidupan di PSK, di bawah asuhan Umbu, memang menuntut setiap penyair mudanya untuk berpacu setiap saat dengan “kehidupan puisi”.[30] Dan ketika di PSK, Cak Nun termasuk yang produktif menghasilkan karya sehingga di usia yang masih belia, belum genap 17 tahun, ia sudah mendapatkan legitimasi sebagai penyair dan disematkan sebagai penyair garda depan yang dimiliki Yogyakarta.[34]

Semasa di Malioboro ini, Cak Nun yang masih SMA sering bolos sekolah karena asyik dengan dunia sastra. Ia pernah membolos hampir 40 hari dalam satu semester. Ini membuat ia mulai tidak disukai guru-gurunya, ditambah rambutnya gondrong yang dianggap melanggar peraturan sekolah. Tapi ia mengatakan bahwa dirinya lebih suka mencari hal-hal yang belum diketahuinya namun tidak didapatkannya di sekolah.[35]

Wartawan

 
Emha Ainun Nadjib produktif berkarya dengan menggunakan mesin ketik.

Masih dalam masa berproses bersama PSK di bidang sastra, Cak Nun juga aktif dalam dunia jurnalistik dan kepenulisan, tahun 1973 sampai 1976. Sebagai wartawan serta redaktur beberapa rubrik di Harian Masa Kini Yogyakarta, seperti: Seni-Budaya, Kriminalitas, dan Universitaria, pun redaktur tamu di Harian Bernas selama tiga bulan.[36] Pada usia 24-25, tahun 1977-1978, kualitas esai-esai Cak Nun sudah diakui publik dan diterima harian Kompas. Pada 1981 saat usia Cak Nun 28 tahun, majalah Tempo telah menerima tulisan kolom-kolomnya dan ia menjadi kolumnis termuda majalah itu.[37][38] Lima tahun (1970-1975) Cak Nun menggeluti dunia kewartawanan. Berbeda dengan wartawan modern dalam mendefinisikan peran dan tugasnya sebagai penyiar berita, Cak Nun memiliki prinsip kewartawanan yang niscaya berhubungan dengan transendensi. Cak Nun menjelaskannya sebagai berikut:[39]

“Sekurang-kurangnya para wartawan adalah jari-jemari Al-Khabir, yang maha mengabarkan. Para wartawan menyayangi dinamika komunikasi masyarakat, Ar-Rahman. Mereka memperdalam cinta kemasyarakatannya itu, Ar-Rahim. Mereka memelihara kejujuran, kesucian, dan objektivitas setiap huruf yang diketiknya, Al-Quddus. Mereka berkeliling ronda menyelamatkan transparansi silaturahmi, As-Salam. Mereka mengamankan informasi, Al-Mu`min. Mereka mengemban tugas untuk turut menjaga berlangsungnya keseimbangan nilai kebenaran, kebaikan dan keindalan, dalam kehidupan masyarakat: Al-Muhaimin. Mereka menggambar indahnya kehidupan dengan penanya, Al-Mushawwir. Serta berpuluh-puluh lagi peran Tuhan yang didelegasikan kepada kaum jurnalis atau para wartawan”.

Musik Puisi

Tahun 1977/1978, Cak Nun bergabung dengan Teater Dinasti yang didirikan oleh Fajar Suharno, Gajah Abiyoso, dan Tertib Suratmo. Pada masa ini, keterlibatan Cak Nun bersama Teater Dinasti, dan keikutsertaan Teater Dinasti bersama Cak Nun tidak bisa dipisahkan.[40] Bersama Teater Dinasti, Cak Nun intensif mementaskan puisi dalam rentang perjalanan sejak 1978 sampai 1987. Ia menggunakan bahasa Jawa “jalanan” dan ungkapan-ungkapan populer yang bersifat oral dan menimbulkan plesetan yang mendekonstruksi logika, makna, serta humor dalam puisi-puisinya dan mengangkat masalah-masalah sosial.[41] Karya-karyanya bersama Teater Dinasti dianggap menjadi fenomena baru dalam pemanggungan puisi sehingga banyak dibicarakan oleh pengamat kesenian karena diiringi alunan musik dari seperangkat gamelan.[41]

 
Pementasan Musik Puisi Emha Ainun Nadjib bersama Teater/Karawitan Dinasti di akhir tahun 1970-an.

Pada tanggal 8 Desember 1980, Cak Nun dan Teater Dinasti mementaskan puisi di Teater Arena Taman Ismail Marzuki (TIM) yang berjudul Tuhan. Pembacaan puisi yang diiringi musik gamelan Jawa pada masa itu merupakan bentuk musikalisasi puisi yang tidak lazim. Karena itu, Cak Nun menyebut pementasan seperti itu sebagai “musik puisi”, bukan musikalisasi puisi.[42] Model pertunjukan demikian diakui Cak Nun sebagai terobosan dan merupakan strategi agar mendekatkan puisi kepada masyarakat di kampung-kampung. Hal ini lazim karena masyarakat pedesaan masih lekat dengan seni tradisi yang memposisikan gamelan Jawa sebagai instrumen utama.[43] Gamelan yang digunakan berbeda dengan gamelan pada umumnya, yaitu menggunakan besi, bukan kuningan. Pembacaan puisi dengan menggunakan gamelan besi oleh Cak Nun ini adalah bentuk pembelaan dan perhatiannya pada golongan masyarakat kelas bawah. Konsep bunyi gamelan besi mewakili kelas bawah, dibanding gamelan kuningan dan perunggu yang mewakili golongan elite, bangsawan, ningrat, dan semacamnya.[44]

Puisi-puisi Cak Nun selain dibacakan, juga banyak yang dimusikpuisikan. Pada akhir 1970-an, ia bersama Deded Er Moerad di Yogyakarta aktif menyelenggarakan poetry singing. Pada masa-masa itu pula, proses kreatif Cak Nun dijalani juga bersama Ebiet G Ade (penyanyi), Eko Tunas (cerpenis/penyair), dan EH. Kartanegara (penulis).[45] Keempat nama ini sering disebut Empat E: Emha, Ebiet, Eko, Eha.[46] Kelompok ini acapkali ngamen puisi di kampung-kampung dan kampus-kampus.[45] Ebiet, sebelum menjadi penyanyi terkenal banyak belajar dari Cak Nun dengan menyanyikan puisi karya Emily Dickinson dan Cak Nun.[47]

Teater

 
Emha Ainun Nadjib dalam Lokakarya Teater Rakyat tahun 1988.

Di Teater Dinasti, Cak Nun berkolaborasi dengan Gajah Abiyoso, Fajar Suharno, Simon Hate, Joko Kamto, dan Agus Istiyanto, yang sangat produktif melahirkan ide-ide dan pemikirannya dalam puisi-puisi dan naskah-naskah drama, seperti Keajaiban Lik Par (1980), Mas Dukun (1982), Geger Wong Ngoyak Macan (1989), dan Patung Kekasih (1989).[42] Kemenyatuan Cak Nun dan Teater Dinasti, selain pembacaan puisi, melalui pertunjukan drama teater menyuguhkan keunikan tersendiri di awal tahun 1980-an yang membuatnya semakin dikenal masyarakat sehingga banyak permintaan pementasan.[48]

Cak Nun juga diikutsertakan dalam lokakarya teater tahun 1980 pada Phillippine Educational Theatre Association (PETA), sebuah OAO—konsep teater yang mengusung nilai-nilai organisatoris, artistikal, dan orientatif—di Manila, Filipina.[49] Cak Nun, antara lain bersama Fred Wibowo dan Ariel Heryanto adalah peserta dari Indonesia angkatan pertama.[49] Persinggungan Cak Nun dan kawan-kawan Teater Dinasti dengan metode teater pembebasan PETA di Filipina ini tampaknya memicu mereka memberikan berbagai kegiatan pendidikan politik kepada rakyat melalui teater sebagai wahana ekspresi spirit pembebasan. Teater Dinasti pada era itu merupakan pelopor yang konsen dalam menggarap konsep teater pendidikan.[50]

Iowa, Rotterdam, Berlin

PSK di masa aktifnya sering mengadakan kegiatan dialog sastra bersama Umar Kayam dan sastrawan lainnya yang dipandang mapan di wilayah sastra nasional. Cak Nun dan Linus Suryadi AG dikenal memiliki kedekatan dengan beliau. Tahun 1981[51], Umar Kayam merekomendasikan Cak Nun untuk mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat.[52]

Sebagai sastrawan, Cak Nun juga diundang dalam beberapa acara internasional. Tahun 1984, Cak Nun diundang untuk mengikuti The International Poetry Reading Festival di Rotterdam Belanda. Seorang profesor di Universitas Leiden menjadi anggota committee festival yang menentukan siapa saja yang layak diundang ke festival bergengsi itu. Disarankan kepada sang profesor oleh Siswa Santoso—sahabat Cak Nun ketika aktif dalam diskusi di rumah almarhum Umar Kayam di Yogyakarta pada akhir era 70-an awal 80-an, seorang Emha Ainun Nadjib adalah sosok yang bisa diundang yang dianggap akan “menghidupkan” event itu.[53]

 
Emha Ainun Nadjib berorasi dalam Dies Natalies 2008 Institute of Social Studies (ISS) di Den Haag.

Berawal hanya diundang untuk mengisi festival, keberadaan Cak Nun di Belanda kemudian berlanjut. Profesor Ben White dari ISS (Institute of Social Studies) Den Haag menyukai pemikiran Cak Nun sehingga didukung untuk berkegiatan di ISS Den Haag selama setahun. Cak Nun bisa kuliah, seminar, konferensi, ke Berlin, ke mana-mana, asalkan untuk mendukung imajinasinya menulis. Tulisan-tulisannya pada periode itu banyak dimuat di buku Dari Pojok Sejarah.[53]

Tahun 1985, Cak Nun mengikuti Festival Horizonte III di Berlin, Jerman. Pada festival ini, ia membacakan puisi-puisinya yang dipadukan dengan ayat-ayat Al-Qur`an.[54] Seperti ketika di Rotterdam, Cak Nun juga kemudian menetap lama di Jerman. Tahun 1983, Cak Nun bersama Gus Dur dan rombongan berkunjung ke Utrecht, mereka menginap di kediaman Adnan Buyung Nasution yang sedang studi. Di sini Cak Nun bertemu dengan Pipit Rochiyat Kartawidjaja yang kemudian saling menemukan kecocokan pemikiran. Ketika berkelana di Jerman tahun 1985 itu, Cak Nun tinggal di rumah Pipit. Sebagian tulisan dalam buku Dari Pojok Sejarah juga ditulis di sana.[55]

Mandar

Di Yogyakarta, seorang asli Mandar Sulawesi Barat, alumni APMD Yogyakarta yang kemudian menjadi Pegawai Negeri Sipil yang suka sastra, bersahabat dengan Cak Nun. Namanya Alisjahbana.[56] Di kampungnya sekitar tahun 1983, di Tinambung, Alisjahbana menghimpun puluhan anak muda yang setiap malam mangkal dan bernyanyi-nyanyi di pinggir jalan, liar dan suka mabuk-mabukan. Anak-anak muda yang tidak mampu sekolah dan kuliah itu dihimpun dalam sebuah komunitas yang diarahkan sebagai wahana pembinaan pengembangan seni budaya. Nama komunitas itu adalah Teater Flamboyant.[57]

 
Emha Ainun Nadjib dan Nevi Budianto bersama Teater Flamboyant di Tinambung, April 1989.

Alisjahbana membina mereka agar bisa terarah dan mempunyai prospek dalam hidupnya ke depan. Secara pelan dan bertahap, anak-anak muda liar dan suka mabuk-mabukan itu bisa terkendali. Salah satu cara ia membangun mimpi mereka, adalah dengan mengenalkan beberapa orang pintarnya Indonesia ke mereka. Salah satunya yaitu Cak Nun. Setiap tulisan Cak Nun yang terbit di majalah terkemuka nasional, difotokopi sebanyak mungkin, dibagikan, dan malamnya didiskusikan sampai larut. Perlahan tumbuh rasa cinta anak-anak muda itu ke Cak Nun. Tidak satupun tulisannya yang ada di sejumlah media dilewatkan.[57]

Tahun 1987, atas inisiatif anak-anak itu, Cak Nun diundang ke Mandar. Ia disambut dengan gembira. Selama di Mandar, ia melakukan berbagai aktivitas. Memimpin langsung workshop teater, memandu anak-anak muda dalam diskusi dengan aneka topik, mandi ke sungai Mandar, sambil menantang anak-anak Mandar berlomba menyelam.[57] Tidak hanya bagi anak-anak muda ini, kedatangan Cak Nun juga punya arti besar bagi masyarakat Tinambung. Ketika itu Tinambung sedang mengalami kemarau panjang. Cak Nun lalu mengajak masyarakat bersama-sama sembahyang minta hujan. Begitu rampung shalat, hujan turun dengan lebatnya. Dan Cak Nun dianggap membuat keajaiban hingga banyak orang-orang tua mendatanginya di penginapan untuk meminta berkah doa dan pengobatan.[58]

 
Emha Ainun Nadjib bersama Baharuddin Lopa dalam sebuah acara di Polewali Mandar.

Tanggal 23-26 April 1989, Cak Nun datang kembali ke Tinambung bersama Nevi Budianto untuk kembali mengadakan workshop teater. Kegiatan ini juga diikuti pemuda-pemuda sekitar Tinambung: Polewali, Wonorejo, dan Campalagian.[58] Cak Nun pun sering ke Mandar pada tahun-tahun berikutnya hingga terjalin hubungan persaudaran yang sangat kuat antara mereka.[59] Cak Nun didaulat sebagai orang Mandar yang lahir di Jombang oleh tokoh-tokoh masyarakat Mandar yang berhimpun di Yayasan Sipamandar.[57] Cak Nun juga menjadi dekat dengan tokoh Mandar, yaitu Baharuddin Lopa[60] dan Bunda Cammana.

Tahun 2011, bertempat di Gedung Cak Durasim Surabaya, Cak Nun bersama Masyarakat Maiyah memberikan Ijazah Maiyah dan Syahadah Maiyah kepada mereka yang meneguhkan 5 prinsip nilai-nilai kehidupan: Kebenaran, Kesungguhan, Otentisitas, Kesetiaan, Keikhlasan. Dua di antara 12 orang penerimanya adalah orang Mandar: Alisjahbana dan Bunda Cammana.

Kedekatannya dengan masyarakat Mandar, membuat Cak Nun diminta memediasi pertemuan pejuang pembentukan Sulawesi Barat dengan Gus Dur yang ketika itu menjadi Presiden. Dengan terlibatnya Cak Nun, masyarakat Mandar yakin perjuangan pembentukan Sulawesi Barat yang sudah lama diupayakan akan membuahkan hasil. Akhirnya September 2004, Provinsi Sulawesi Barat bisa terwujud.[61]

Lautan Jilbab

Selain bersama Teater Dinasti, di akhir era 80-an dan awal 90-an, Cak Nun juga menghasilkan karya-karya naskah pementasan drama seperti Santri-santri Khidlir, Sunan Sableng dan Baginda Faruq, Keluarga Sakinah, Lautan Jilbab, Pak Kanjeng, dan Perahu Retak.[62] Pementasan Lautan Jilbab diangkat dari judul puisi berjudul sama. Puisi ini tercipta pada 16 Mei 1987 secara spontan, sore hari sebelum Cak Nun mengisi acara “Ramadlan in Campus” yang diselenggarakan Jamaah Shalahuddin UGM.[63] Setelah penampilan penyair Taufiq Ismail di boulevard UGM, pentas puisi Lautan Jilbab mendapat sambutan hangat 6000-an orang yang hadir.[64] Puisi ini kemudian mengalami revisi, dari satu judul berkembang menjadi 33 sub judul, terhimpun dalam buku Syair Lautan Jilbab yang terbit tahun 1989.[47]

Pada masa Orde Baru ketika itu, pemakaian jilbab di kalangan muslimah Indonesia, terutama di sekolah dan tempat kerja dilarang oleh pemerintah. Karena pemakaian jilbab dianggap sebagai fenomena politik Islam.[65] Atas bentuk represi Orde Baru itu, Cak Nun yang sejak kecil menentang ketidakadilan, memandang tindakan pemerintah ini melanggar hak asasi perempuan untuk berjilbab. Puisi Lautan Jilbab ini merupakan resistensi Cak Nun terhadap pembatasan hak asasi manusia oleh Orde Baru.[66]

 
Pementasan drama Lautan Jilbab, naskah Emha Ainun Nadjib, disutradarai Agung Waskito dengan supervisi Dr. Kuntowijoyo.

Drama Lautan Jilbab pertama kali dipentaskan kelompok Sanggar Shalahuddin UGM, disutradarai oleh Agung Waskito dengan supervisor Dr. Kuntowijoyo.[67] Pementasan ini dianggap memecahkan rekor jumlah penonton. Tidak kurang dari 3000 penonton pada malam pertama, dan sekitar 2000 penonton saat malam kedua.[68] Karena antusias yang tinggi itu, drama ini dipentaskan di banyak kota selain Yogyakarta, yaitu di Madiun, Malang, Surabaya, Bandung, Jember, dan Makassar.[69] Puisi dan pementasan teater Lautan Jilbab tak ubahnya sebuah ajakan perlawanan. Sejak itu pemakaian jilbab punya arti perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru.[70] Cak Nun mengungkapkan alasan perlawanannya:[70]

Pakai jilbab atau tak berjilbab adalah otoritas pribadi setiap wanita. Pilihan atas otoritas itu silahkan diambil dari manapun: dari studi kebudayaan, atau langsung dari kepatuhan teologis. Yang saya perjuangkan bukan memakai jilbab atau membuang jilbab, melainkan hak setiap manusia untuk memilih.

Menurut Niels Murder, seorang sosiolog Belanda yang perhatian kepada perkembangan sosiokultural Indonesia, sejak pentas Lautan Jilbab oleh Cak Nun bersama Sanggar Shalahuddin digelar, busana muslimah berjilbab menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia.[71][72]

ICMI

 
Pertemuan Emha Ainun Nadjib dan B. J. Habibie tahun 1991.

Cak Nun tidak menamatkan kuliah, tetapi ia dipandang sebagai salah satu intelektual terkemuka di Indonesia. Dekan Fakultas Psikologi UI tahun 1991, Dr. Yaumil Agus Akhir, mengatakan bahwa Cak Nun layak diberi gelar Doktor Honouris Causa, atau bahkan profesor karena pikiran dan wawasannya yang luas dan didukung analisis yang tajam.[73] Pada usianya yang belum genap 40 tahun, Cak Nun dimasukkan ke dalam jajaran kepengurusan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang dibentuk pada Desember 1990, dipimpin oleh B.J. Habibie.[74] Terkait hal ini, Cak Nun sejak awal mempertanyakan keterlibatannya di ICMI dengan bersurat langsung ke B.J. Habibie karena namanya dimasukkan dalam jajaran pengurus ICMI tanpa konfirmasi dan persetujuan resmi darinya.[75]

Cak Nun kemudian menerima dijadikan Ketua Bidang Dialog Kebudayaan, lantaran B.J. Habibie menjanjikan ICMI mampu menyelesaikan persoalan Waduk Kedungombo.[76] Namun, ICMI tidak berhasil membantu masyarakat Kabupaten Sragen, Boyolali, dan Grobogan, yang tertindas karena tidak mendapatkan ganti rugi tanah yang digunakan Orde Baru untuk pembangunan waduk.[77] Karena itu, Cak Nun memutuskan keluar dari ICMI.[78] Bulan Februari 1991, secara resmi Cak Nun mengirimkan surat pengundurannya langsung kepada B.J. Habibie.[79] Praktis hanya dua bulan ia menjadi pengurus ICMI.

Pak Kanjeng

Pak Kanjeng merupakan naskah Cak Nun, yang dipentaskan untuk mengkritik dan merespons kesemena-menaan penguasa rezim Orde Baru ketika membangun Waduk Kedungombo.[80] Setelah sebelumnya sangat sulit sekali mendapat izin pentas, tanggal 16 dan 17 November 1993 di Purna Budaya Yogyakarta (sekarang menjadi Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri UGM]), lakon Pak Kanjeng dipentaskan. Lakon ini memotret perlawanan seorang warga, yaitu Pak Jenggot, dalam menolak pembangunan Waduk Kedungombo di Boyolali, Jawa Tengah. Pementasan ini ditampilkan dengan bahasa yang sangat deras, keras, tajam, pintar, dan sarkastis.[81]

 
Pementasan lakon Pak Kanjeng, naskah Emha Ainun Nadjib tahun 1993.

Pak Kanjeng diperankan oleh tiga aktor yaitu Joko Kamto, Nevi Budianto, dan Butet Kertaradjasa. Ketiganya, masing-masing menggambarkan sebuah pribadi yang terpecah menjadi tiga: yang keras melawan, yang lunak toleran, dan yang ragu-ragu. Itu merupakan tiga faset kejiwaan Pak Kanjeng dalam menghadapi kekuasaan Orde Baru.[80] Pementasan ini digarap oleh Komunitas Pak Kanjeng (yang memang diambil dari judul naskah ini) dengan forum penyutradaraan oleh sembilan sutradara.[80] Selain ketiga pemainnya, dalam forum sutradara ini turut terlibat pula Agus Noor, Indra Tranggono, Djadug Ferianto, dan Cak Nun sendiri.[82] Gagasan berani dan keras dalam pementasan lakon yang mengkritik Orde Baru ini menyebabkan pertunjukannya dilarang di berbagai kota.[83]

Bagi Cak Nun sendiri, Pak Kanjeng bukan terutama sebuah pertunjukan. Melainkan sebuah laboratorium budaya, Laboratorium Pak Kanjeng yang kemudian dalam pementasan-pementasan selanjutnya menjadi Komunitas Pak Kanjeng (KPK). Komunitas ini pada akhirnya mengalami perubahan format, bermetamorfosa menjadi Gamelan KiaiKanjeng yang diinisiasi oleh Toto Rahardjo. Personel awal adalah Nevi Budianto, Joko Kamto, Bayu Kuncoro, Narto Piul. Selanjutnya beberapa personel baru pun direkrut ketika itu seperti Bobiet, Joko SP, Azied Dewa, Yoyok Prasetyo, Imoeng, Ismarwanto, Ardhani, dan Giyanto. Kemudian KiaiKanjeng pada tahun-tahun selanjutnya selalu bersama Cak Nun dalam melayani masyarakat.[84]

Televisi dan Radio

Setelah sebelumnya Cak Nun banyak menyampaikan gagasan dan kritiknya lewat media cetak, seminar, ceramah, pementasan musik puisi dan pertunjukan drama, pada pertengahan 1990-an ia memanfaatkan media audio-visual. Bersama KiaiKanjeng, pada 29 April 1996 Cak Nun mementaskan musik puisi Talbiyah Cinta di RCTI untuk menyambut Idul Adha.[84] Beberapa seniman terlibat seperti Ita Purnamasari, Novia Kolopaking, Gito Rollies, Dewi Gita, Amak Baldjun, Amoroso Katamsi, dan Wiwiek Sipala.

Masih di tahun 1996, stasiun televisi Indosiar setiap hari menyiarkan program acara Cermin, yang digagas Cak Nun dan Uki Bayu Sejati.[85] Dengan pembawaannya, Cak Nun mengajak para penonton untuk tenang dan rileks ketika menikmati tontonan berdurasi sangat singkat, sekitar satu atau dua menit.[86] Cak Nun muncul di antara tayangan iklan atau acara-acara lainnya, sebanyak 70 episode. Pesan yang disampaikannya cukup variatif. Tak lepas dari sentuhan moral agama dan masalah sosial.[87] Program ini dimaksudkan Cak Nun untuk menyajikan kepada pemirsa, sebuah tayangan yang lebih kontemplatif dan berprioritas moral, di tengah kondisi siaran televisi yang dipenuhi hiburan-hiburan ringan dan hanya mimpi-mimpi.[88] Selain Cermin, di Indosiar Cak Nun juga pernah memproduksi dan menayangkan sebuah talk show yang bernuansa santai tapi berisi tema-tema serius dan kritis. Acara yang tayang setiap Kamis malam ini bernama Gardu.[85]

Cak Nun dilibatkan dalam sebuah perhelatan besar di masa Orde Baru yang mendapat porsi tayangan media sangat penting. Yaitu siaran malam takbiran tahun 1997. Bertempat di kawasan Monumen Nasional (Monas), acara yang bertajuk Gema Zikir dan Takbir digelar.[89] Penting karena Presiden Soeharto memimpin langsung takbiran itu. Sebuah momen langka Soeharto takbiran nasional. Bersama Soeharto dalam takbiran itu adalah Wakil Presiden Try Sutrisno, Rhoma Irama, K.H. Zainuddin MZ, Cak Nun, Prof. Dr. Quraisy Shihab, K.H. Hasan Basri, Muammar Z.A., dan K.H. Ilyas Ruchiyat.[90]

Takbiran yang memang bernuansa politis, namun juga kental dengan unsur budaya. Hadirnya 'raja dangdut' Rhoma Irama dan Cak Nun menjadi magnet tersendiri. Takbir dan zikir penuh warna kesenian nuansa Islami yang tidak monoton.[90] Sebuah penggalan zikir pencerahan di masa menjelang krisis moneter itu disampaikan Cak Nun:[89]

Wahai Engkau pembuka segala pintu. Mohon. Jangan lagi bukakan pintu kelaliman di hati kami. Jangan bukakan lagi pintu kekerasan dan kebrutalan. Jangan bukakan pintu benci dan dengki di dalam jiwa kami. Mohon. Mohon. Jangan bukakan api dari lubuk nafsu kami. Ya Allah. Jangan bukakan pintu kerusuhan-kerusuhan lagi.

Selain televisi, Cak Nun berkomunikasi kepada masyarakat lewat frekuesi radio. Rekaman suara pemikirannya pernah disiarkan Radio Delta FM dalam tajuk Catatan Kehidupan.[91] Bulan Ramadlan tahun 2018 dan 2019, Cak Nun juga menyampaikan pesan-pesannya dalam program Radio Suara Surabaya bertajuk Tasbih.[92]

Reformasi 1998

Pada masa Orde Baru, sejak 80-an, Cak Nun termasuk salah satu tokoh masyarakat yang vokal dan kritis kepada Soeharto. Ia sering kali menempatkan diri dalam oposisi langsung melawan pemerintahan Orde Baru. Kegiatan-kegiatannya banyak sekali dicekal dan dibatasi ruang geraknya oleh TNI-Polri.[93] Perjuangannya melawan segala bentuk ketidakadilan Orde Baru mencapai titik puncaknya tahun 1998. Reformasi 1998 merupakan episode perjalanan Republik Indonesia yang melibatkan banyak pihak dan elemen masyarakat Indonesia. Masing-masing memiliki peran, termasuk peran signifikan Cak Nun dan beberapa tokoh nasional.

Detik-detik Lengsernya Soeharto

Mei 1998, kerusuhan pecah di berbagai kota, termasuk Surakarta, Bandung, dan Palembang usai terjadi penembakan dalam demonstrasi yang menewaskan mahasiswa Universitas Trisakti tanggal 12 Mei. Dikenal dengan Tragedi Trisakti. Jakarta rusuh tanggal 13 Mei, dan puncaknya, 15 Mei, beberapa pusat perbelanjaan di Jakarta hangus terbakar. Ratusan orang tewas.[94] 16 Mei, di tengah suasana Jakarta yang rusuh, beberapa intelektual berkumpul di Hotel Regent. Di antaranya Cak Nun dan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Dalam pertemuan ini, didiskusikan kemungkinan-kemungkinan untuk mengakhiri krisis ekonomi-sosial-politik yang intinya, Soeharto harus lengser. Tapi bagaimana caranya menyampaikan itu ke Soeharto, karena sebelumnya pernah ditempuh lewat Quraish Shihab, tapi menteri agama ini menolaknya. Cak Nun pada pertemuan itu mengeluarkan ide untuk membentuk opini bersama militer.[95]

 
Emha Ainun Nadjib menyatakan tegas bahwa Soeharto harus turun, saat Padhangmbulan 11 Mei 1998.

Ide pembentukan opini ini sebelumnya sudah dilakukan Cak Nun pada forum Padhangmbulan tanggal 11 Mei di Jombang yang menyampaikan seruan Soeharto untuk lengser, waktunya sudah hampir habis.[94] Cak Nun juga menerbitkan Selebaran Terang Benderang, sudah ditulis sejak tanggal 8 Mei dan dikirimkan ke berbagai media massa namun tidak ada yang memuatnya. Cak Nun menyatakan tegas: “Pak Harto Turun, TNI Berpihak Pada Rakyat”. Secara khusus di pertemuan Padhangmbulan itu, Cak Nun mengajak masyarakat melantunkan wirid dan zikir bersama yang dipuncaki pembacaan Hizib Nashr yang dipimpin Bu Chalimah, ibunda beliau.[96]

Setelah pertemuan di Hotel Regent tanggal 16 Mei, malamnya, Cak Nur, Cak Nun, bersama Oetomo Dananjaya, Malik Fadjar, dan S. Drajat merumuskan empat prosedur lengsernya Soeharto dengan meminimalisir korban dan memaksimalkan efektivitas kenegaraan.[97] Empat prosedur ini termaktub dalam surat Husnul Khatimah yang rencananya akan diserahkan kepada Soeharto. [98] Para perumus surat itu sebenarnya berasal dari sebuah kelompok diskusi rutin yaitu Majelis Reboan yang salah satunya diselenggarakan di Jl. Indramayu 14 Menteng.[99]

Keesokan harinya, 17 Mei, surat yang lengkapnya berjudul Semuanya Harus Berakhir Dengan Baik (Husnul Khatimah) itu dikabarkan kepada para wartawan di Hotel Wisata oleh Cak Nur, Cak Nun, dan kawan-kawan.[100] Konferensi pers itu menjadi pembicaraan di banyak media esoknya, 18 Mei.[95] Pada 18 Mei itu juga, surat tersebut disampaikan ke Soeharto melalui Mensesneg ketika itu, Saadilah Mursyid.[101] Sore harinya, tak diduga, Harmoko sebagai Ketua DPR/MPR yang dikenal setia kepada Soeharto, membacakan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri dengan arif dan bijaksana. Malam harinya, ternyata Soeharto menyambut baik usulan untuk Husnul Khatimah. Melalui Saadilah Mursyid, Presiden Soeharto menghubungi Cak Nur dan menyatakan bersedia mundur kapan saja. Kabar itupun diteruskannya kepada Cak Nun.[102][101][97][95]

 
Emha Ainun Nadjib dan tokoh-tokoh nasional lain menyimak konferensi pers Soeharto setelah pertemuan 19 Mei 1998.

Setelah usulan dalam surat Husnul Khatimah diterima dan menyatakan akan mundur, Soeharto ingin merundingkan cara lengser terbaik, tercepat, tetapi berisiko minimal bagi bangsa Indonesia. Ia ingin membahasnya bersama perumus surat itu dan tokoh-tokoh muslim segera. Soeharto secara khusus meminta agar Gus Dur diikutsertakan. Cak Nur mengusulkan agar Amien Rais juga diundang, tapi ditolak Soeharto.[94] Tanggal 19 Mei pagi, pukul 09.00, sembilan tokoh masyarakat diterima Soeharto di Istana Merdeka. Yaitu Cak Nur, Cak Nun, Gus Dur, Ahmad Bagja, KH. Cholil Baidowi, K.H. Ali Yafie, K.H. Ma’ruf Amin, Malik Fadjar, dan Sumargono. Selain mereka bersembilan, Cak Nur juga mengajak Yusril Ihza Mahendra. Yusril ketika itu bekerja sebagai penyusun naskah pidato kepresidenan yang sebenarnya tidak masuk dalam undangan, tapi Cak Nur memaksa karena Yusril paham hukum ketatanegaraan.[95]

Pertemuan 19 Mei pagi itu dijadwalkan hanya berlangsung setengah jam, tapi ternyata molor hingga dua setengah jam.[94] Dalam pertemuan itu tidak ada perdebatan, tidak ada desakan, tidak ada tawar-menawar kekuasaan. Justru pertemuan itu santai dan penuh gelak tawa. Kesemua tokoh, satu-persatu berbicara kepada Soeharto. Semuanya menegaskan beliau harus segera mundur. Pertemuan itu terjadi berkat kepastian malam sebelumnya, ketika Soeharto menyatakan bersedia mundur kepada Cak Nur. Ibarat sebuah pernikahan, pertemuan itu adalah bagian “resepsi”, karena sebelumnya kepastian “akad nikah” lengser sudah terjadi.[101]

Soeharto berencana akan membentuk Kabinet Reformasi. Juga, ia menerima usulan adanya semacam Komite Reformasi, yang berangkat dari gagasan formula keempat reformasi sebagai jalan tengah yang tertera dalam surat Husnul Khatimah. Soeharto meminta Cak Nur untuk memimpin komite itu. Tapi permintaan itu dengan tegas ditolak. Bila kabinet dan komite itu terbentuk, Cak Nur meminta tidak boleh satu pun dari tokoh-tokoh yang hadir tanggal 19 Mei itu dimasukkan Soeharto ke dalamnya. Soeharto sebenarnya sangat berharap kepada mereka, karenanya penolakan itu mengecewakannya. Ketika konferensi pers setelah pertemuan, Soeharto belum menyatakan mundur.[95] Ia menyatakan akan melakukan reshuffle kabinet dan memimpin reformasi, juga tak akan bersedia dipilih lagi dalam pemilu mendatang. Tak ada pernyataan yang jelas kapan ia akan benar-benar turun dari kursi presiden selain kode “secepat-sepatnya”.[103]

Merespons pertemuan itu, Amien Rais mengadakan konferensi pers di kantor PP Muhammadiyah. Ia mengatakan bahwa dengan tak memberi gambaran program dan tempo yang jelas, Soeharto sama sekali tak memberi titik cerah kepada masyarakat. Itu juga menandakan dengan gamblang Soeharto gagal membaca aspirasi rakyatnya.[94]

Pada hari yang sama dengan pertemuan di Istana Merdeka itu, 14 menteri Kabinet Pembangunan VII menandatangani surat pengunduran diri dari kabinet, di Gedung Bappenas dan menolak dimasukkan ke dalam Kabinet Reformasi atau Komite Reformasi yang akan dibentuk. Mereka adalah Akbar Tanjung, A.M. Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Sanyoto Sastrowardoyo, Subiakto Tjakrawerdaya, Sumahadi, Tanri Abeng, dan Theo L. Sambuaga.[104]

Keesokannya, 20 Mei, Soeharto menganggap pengunduran para menterinya yang ramai-ramai mundur, hanya rumor. Sampai Yusril yang berada di kediaman Soeharto di jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, mendapat kabar kepastian mundur itu langsung dari Akbar Tanjung, yang menunjukkan kopian surat pengunduran. Surat disampaikan ke Saadilah Mursyid, dan akhirnya Soeharto pun mendapat kepastian kabar itu. Merasa kehilangan dukungan politik, tidak didukung tokoh-tokoh yang menemuinya, dan masyarakat sudah ngamuk, “resepsi” lengser itu pun akhirnya terjadi. Pagi hari pukul 09.00, tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia di Istana Negara, dan kemudian Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden.[95]

Husnul Khatimah

Surat atau konsep Husnul Khatimah merupakan gagasan luhur yang lahir dari pemahaman atas Islam. Cak Nun mengungkapkan, jika ada seorang maling berhenti dari kemalingannya tidak harus melalui peristiwa dikepung lalu dipukuli beramai-ramai dulu. Tuhan masih memberi peluang Taubat dan Husnul Khatimah. Maka Soeharto perlu diambil perasaan dan psikologinya sehingga ia menyadari memang perlu mundur.[105]

Kerusuhan yang menewaskan banyak orang termasuk mahasiswa, penculikan-penculikan, situasi ekonomi yang sulit, korupsi-kolusi-kronisme-nepotisme yang akut, represi militer bertahun-tahun, ketidakbebasan berpendapat yang lama, dan berbagai kesalahan Soeharto lainnya, maka bisa dipahami segala situasi itu menyebabkan kebencian dan dendam yang mendalam masyarakat kepadanya. Mereka menghendaki pengalihan kekuasaan total dan tidak menoleransi keterlibatan Soeharto dalam reformasi. Sementara menurut pertimbangan dengan logika berpikir Husnul Khatimah, yang paling bertanggung jawab atas semua kesalahannya adalah Soeharto sendiri.[106]

 
Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, dan Yusril Ihza Mahendra dalam diskusi buku Islam Demokrasi Atas Bawah di Jakarta tahun 1998.

Cak Nur, Cak Nun dan kawan-kawan memilih untuk melakukan pendekatan yang berbeda, dengan berusaha tidak hanyut dalam arus kebencian yang tidak proporsional. Mencoba untuk tidak mengutuk-ngutuknya lagi walaupun ingin, karena sering mengalami tindakan represi dari rezim Orde Baru.[106] Sebelumnya, pada HUT Golkar ke-33 tanggal 19 Oktober 1997, Soeharto dalam pidatonya mengisyaratkan siap lengser keprabon madeg pandito.[107] Cak Nun memandang Soeharto yang berkuasa dengan kuat selama 32 tahun, pada saat militer masih dikendalikan penuh, dalam batinnya saat itu sudah madeg pandito. Maka tinggal disentuh hatinya agar dirinya menyelesaikan permasalahan dengan husnul khatimah.

Sebelum menawarkan Husnul Khatimah, terlebih dahulu dijelaskan tiga bentuk aspirasi reformasi yang muncul. Pertama, reformasi masih dalam kerangka sistem pemerintahan Orde Baru, yang berarti dilakukan bertahap hingga selesainya masa jabatan tahun 2003. Kedua, reformasi dalam sistem yang sangat berbeda dari Orde Baru. Yaitu Soeharto harus mundur. Ketiga, reformasi dengan proses kudeta. Dijelaskan dalam surat tersebut bahwa bentuk pertama tidak banyak menjanjikan dan terlalu lama. Sedangkan bentuk kedua dan ketiga akan memunculkan gerakan penentangan yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Maka Cak Nur, Cak Nun, dan kawan-kawan menawarkan bentuk keempat yang tetap mengandung kesulitan, tetapi relatif aman dan dapat memberi landasan legitimasi baru yang kuat untuk pemerintahan yang akan datang.[98]

Bentuk keempat inilah sebuah Husnul Khatimah yang intinya bahwa Soeharto bertekad memimpin sendiri reformasi secara menyeluruh. Dengan menyesali terjadinya krisis moneter, mengakui semua kesalahan dan segala kekeliruannya. Menyerahkan kekayaan pribadi dan keluarga untuk kepentingan bangsa dan negara. Kemudian Soeharto memimpin perbaikan-perbaikan yang ketentuan-ketentuannya dituangkan dalam legal-formal-konstitusional. Menyatakan bersedia mundur dari jabatan kepresidenan secepat mungkin melalui cara-cara damai dan konstitusional. Lalu membimbing bangsa Indonesia memasuki Millenium Ketiga. Juga disampaikan teknis waktu yang matang yaitu selama 20 bulan berikutnya, sampai tidak lebih dari tanggal 10 Januari 2000, pemilihan umum sudah harus terlaksana. Maksimal tanggal 11 Maret 2000 sudah terpilih presiden baru.[98]

Komite Reformasi

Gagasan Cak Nur dan Cak Nun selain bersikeras Soeharto untuk tetap mundur adalah, jika memakai logika reformasi, saat Soeharto mundur maka semestinya DPR/MPR juga ikut bubar. Karena keberadaan DPR/MPR selama masa kekuasaan Soeharto, dipandang hanya untuk mengukuhkan jabatan Presiden Soeharto. DPR/MPR dipandang bukan lembaga yang sesuai namanya yang mewakili rakyat. Maka perlu disiapkan Komite Reformasi yang akan menjadi embrio berdirinya Parlemen Reformasi sesegera mungkin.[108]

Komite Reformasi ini merupakan sebuah konsep sebagai langkah alternatif untuk menghindari konsekuensi naiknya B.J. Habibie yang dianggap masyarakat bagian dari Orde Baru. Karena bila B.J. Habibie menjadi presiden, akan muncul polarisasi konflik yang baru. Akan ada kelompok yang setuju kepada B.J. Habibie dan yang menolaknya.[109] Komite Reformasi ini semacam MPRS yang bertugas menyusun undang-undang politik dan pemilu, yang kemudian menyelenggarakan pemilu selama 6 bulan.

 
Emha Ainun Nadjib dan Abdurrahman Wahid menjelang pertemuan dengan Soeharto di Istana Merdeka.

Soeharto menyatakan akan membentuk Komite Reformasi dalam konferensi pers setelah bertemu sembilan tokoh pada 19 Mei. Yusril, bersama Saadilah, dipercaya Soeharto untuk merealisasikan pembentukan Komite Reformasi. Sekitar 45 nama diajak bergabung ke dalam Komite Reformasi.[104] 45 tokoh yang direncanakan masuk dalam Komite Reformasi ini antara lain Megawati Soekarno Putri, Gus Dur, Abdul Qadir Jailani, Adnan Buyung Nasution, Fahmi Idris, Y.B. Mangunwijaya, Kwik Kian Gie, Ali Sadikin, Daniel Sparingga, Muladi SH, Ismail Sunny, I Ketut Puja, Eggi R. Sudjana, Soelarso Supater, Adi Sasono, Affan Gaffar, Arbi Sanit, Achmad Tahir, Achmad Tirtosudiro, Ahmad Bagja, Akbar Tanjung, Albert Hasibuan, Anwar Hardjono, Anas Urbaningrum, A. M. Fatwa, Malik Fadjar, Harun Al-Rasyid, Hartono Suhardiman SE, Wiranto, Yusril Ihza Mahendra, serta para Rektor dari UI, ITB, UGM, Undip, Unair, Unpad, Unhas, IPB, dan IAIN Syarif Hidayatullah.[110]

Sebagai pemberi ide dibentuknya Komite Reformasi, sejak awal Cak Nur dan Cak Nun berjanji untuk tidak terlibat dalam komite maupun pemerintahan pasca lengsernya Soeharto.[111] Ini dilakukan untuk memberi contoh kepada masyarakat bahwa yang mereka lakukan bukanlah bertujuan kekuasaan. Karena kehadiran sembilan tokoh Islam ke Istana berada dalam posisi dicurigai masyarakat. Para tokoh ini sebelumnya dikenal kritis terhadap Soeharto selama krisis mulai melanda.[112] Cak Nur konsisten tidak mau memimpin komite ini, meskipun Soeharto mendesak.[113]

Yusril dan Saadilah pasca pertemuan itu tetap menjalankan perintah Soeharto untuk memformulasikan 45 nama-nama anggota Komite Reformasi. Namun orang-orang yang dihubungi, mayoritas menolak. Fahmi Idris yang awalnya mau, lantas mulai ragu-ragu. Ismail Sunny juga mengiyakan, tapi kemudian tidak mengontak lagi.[114]

Berbeda dengan Cak Nur, Cak Nun, dan Gus Dur yang mendukung adanya Komite Reformasi,[115] Amien Rais menolak gagasan itu karena menurutnya jika ketuanya adalah Soeharto sendiri, komite itu akan kehilangan kredibilitas dan akan sulit mencari tokoh yang kompeten untuk duduk di dalamnya.[94] Bahkan ia memandang, Komite Reformasi ini hanya cara Soeharto untuk mengulur waktu dan tetap berkuasa.[116] Sebenarnya Amien Rais akan ditunjuk sebagai Presiden Republik Indonesia oleh Komite Reformasi untuk memimpin masa transisi, namun Cak Nur tidak berhasil menjelaskan gagasan itu kepadanya.[117] Pada akhirnya Komite Reformasi pun kandas di tengah jalan, gagal terwujud.[118]

Ora Pathèken

Pada saat konferensi pers dalam pertemuan dengan sembilan tokoh di Istana Merdeka, Soeharto mengatakan “tidak jadi presisen tidak pathèken”. Idiomatik seperti ini bukan berasal dari habitat kulturnya Soeharto di Jawa Tengah dan Yogyakarta.[119] Istilah pathèken lazim diucapkan masyarakat Surabaya.[105]

Di dalam pertemuan itu Cak Nur menjadi juru bicara. Ia memberi kesempatan pertama kepada K.H. Ali Yafie untuk berbicara. Beliau menegaskan Soeharto harus mundur dan mengatakan mungkin ini pahit baginya.[120] Soeharto malah mengatakan, “Tidak, tidak pahit, saya sudah kapok jadi presiden”, yang kemudian menjadi headline berita koran Kompas esoknya, 20 Mei 1998. Ia dengan guyon mengatakan kapok sebanyak tiga kali sehingga Cak Nur menambahkan, “Kalau orang Jombang itu, bukan kapok, tapi tuwuk (kekenyangan).”[115] Cak Nun pun menimpali, “Ora dadi presiden, ora pathèken.”[121]

Gus Dur, oleh Cak Nur diberi kehormatan untuk bicara pada giliran akhir dan menjadi gongnya pertemuan. “Wah, tadi saya ketakutan ketika akan ketemu Pak Harto,” kata Gus Dur, “sebab saya pikir sampeyan ini monster. Tetapi alhamdulillah ternyata sampeyan ini ya manusia.”[101]

Kutipan konferensi pers Soeharto yang mengandung istilah ora patheken direkam koran Kompas saat itu:[115]

“Jadi, demikianlah, ada yang juga mengatakan, terus terang saja dalam bahasa Jawanya, tidak menjadi Presiden, tidak akan pathèk-en. Itu kembali menjadi warga negara biasa, tidak kurang terhormat dari Presiden asalkan bisa memberikan pengabdian kepada negara dan bangsa. Jadi, jangan dinilai saya sebagai penghalang, tidak sama sekali. Semata-mata karena tanggung jawab saya.”

Empat Sumpah Soeharto

Presiden Soeharto sudah turun, dan B.J. Habibie menjadi presiden. Di masa kepresidenan Habibie, krisis multidimensi terjadi. Pemimpin-pemimpin politik tidak bisa bersatu. Menurut Cak Nun ketika itu, siapapun bisa bicara apa saja dan bahkan para pemimpin pun sulit dipercaya. Himbauan ulama untuk tidak berbuat rusuh tidak dihiraukan. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Karena itu Cak Nun yang resah dengan keadaan ini memandang keluarga besar bangsa Indonesia perlu melakukan Ikrar Husnul Khatimah. Ikrar yang digagas Cak Nun ini rencananya diselenggarakan pada 14 Februari 1999, bertempat di Masjid Baiturrahman Komplek DPR/MPR. Mulanya, ide ini dilontarkan Cak Nun pada saat shalat tarawih Ramadlan, awal tahun 1999, bersama Ginanjar Kartasasmita, Abdul Latief, A.M. Hendropriyono, dan Akbar Tanjung. Menurutnya, ini satu-satunya cara untuk mencoba membuka pintu krisis legitimasi yang dialami Indonesia.[122]

 
Emha Ainun Nadjib mengundang Soeharto di rumahnya di Jalan Cendana untuk menghadiri Ikrar Husnul Khatimah, Februari 1999.

Dalam rencana acara Pertobatan Nasional bertajuk Ikrar Husnul Khatimah itu, para tokoh nasional diundang. Selain tiga tokoh di atas, tokoh-tokoh yang diundang antara lain: Presiden B.J. Habibie, Wiranto, Gus Dur, Megawati, Amien Rais, para menteri dan tokoh-tokoh lainnya, termasuk Soeharto.[122] Cak Nun mengundang Soeharto secara langsung ketika bertemu dengannya di Cendana sebanyak dua kali. Tanggal 26 Januari 1999, Soeharto mengundang Cak Nun. Sebelumnya, beberapa kali, orang-orang lain, termasuk anak-anaknya, Hutomo Mandala Putra dan Bambang Trihatmodjo, mencoba menghubungkan Cak Nun dengan Soeharto, tetapi tidak berhasil. Menurut Soeharto, Cak Nun termasuk orang yang dia percayai karena di tengah-tengah hujatan kepadanya, Cak Nun dianggap cukup objektif.[123]

Dalam pertemuan pertama selama tiga jam di kediamannya, Soeharto menyanggupi untuk hadir pada acara tanggal 14 Februari. Tidak hanya akan hadir, ia setuju untuk membayar semua dosanya dan mengakhiri sisa kehidupan dengan kebaikan-kebaikan dengan menandatangani rumusan Empat Sumpah Soeharto, di hadapan Cak Nun.[124] Sumpah yang rencananya dinyatakan di hadapan seluruh masyarakat, tokoh, dan semua wartawan media cetak dan televisi yang akan hadir itu berisi:[125] [126]

(1) Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah menjadi Presiden Republik Indonesia lagi. (2) Bahwa saya, Soeharto, bersumpah tidak akan pernah turut campur dalam setiap proses pemilihan Presiden Republik Indonesia. (3) Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas diadili oleh Pengadilan Negara untuk mempertanggungjawabkan kesalahan saya selama 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia. (4) Bahwa saya, Soeharto, bersumpah siap dan ikhlas mengembalikan harta rakyat yang dibuktikan oleh Pengadilan Negara.

Ide Cak Nun agar Soharto melakukan pertobatan ini lantas menjadi pemberitaan. Termasuk, menurut Cak Nun, ada pemberitaan miring dengan tuduhan yang penuh curiga dan tafsir aneh-aneh tanpa mengerti inti acara sebenarnya. Berita yang dimaksud dimuat antara lain di Pos Kota dan Terbit pada 3 Februari 1999. Berita-berita itu menggiring opini bahwa acara ini digagas Soeharto sebagai langkahnya menghindari upaya hukum yang sedang diproses untuk menghukumnya.[122] Cak Nun juga mendapat tanggapan bernada negatif dari para tokoh politik yang menganggap Cak Nun telah menjadi “mesin politik” Soeharto.[127] Gus Dur juga tampaknya kurang antusias dengan ide acara tersebut.[126]

Soeharto mengundang Cak Nun kembali ke Cendana tanggal 4 Februari 1999, dan skenario berubah. Karena Soeharto khawatir acara yang rencananya dihadiri 10.000 undangan itu bisa menimbulkan masalah yang memancing demo dan menambah huru-hara. Soeharto tetap berniat melakukan taubat nasuha meskipun tidak dilakukan di tempat acara Cak Nun digelar. Ia akan melakukannya di masjid dekat rumahnya, Masjid Bimantara, Kebon Sirih, dan berjanji akan menjelaskan soal pertobatannya pada 28 Februari 1999 di masjid dekat kediaman Gus Dur di Ciganjur.[126] Setelah pertemuan kedua itu, kepada wartawan Cak Nun menegaskan, “Ini ide saya dan bukan maunya Pak Harto. Mau datang atau tidak bukan urusan saya.”[122]

Meskipun Soeharto bersumpah untuk bersedia mempertanggungjawabkan kesalahannya dan mengembalikan harta yang dituduhkan telah dicurinya dengan dibuktikan pengadilan, namun hingga wafatnya tahun 2008, Soeharto tidak pernah sekalipun diadili oleh penegak hukum Republik Indonesia.[128]

Maiyah

Jika pada masa Orde Baru, aktivitas Cak Nun selalu ramai dalam hiruk pikuk media massa dan publik nasional, maka setelah Reformasi ia memilih ‘jalan sunyi’. Cak Nun mundur dari panggung nasional. Cak Nun menjaga jarak dengan media mainstream, karena ia menyadari sepenuhnya potensi destruktif yang kerap dibawa media daripada potensi konstruktifnya.[129] Waktu kegiatannya sebagian besar bersama masyarakat langsung di berbagai pelosok daerah di nusantara, lebih banyak dibanding sebelumnya.[130] Dalam aktivitasnya itu, Cak Nun bersama KiaiKanjeng melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metode perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Aktivitas Cak Nun yang intens bersama masyarakat itu kemudian berkembang sebagai sebuah konsep kebersamaan yang diikuti beragam lapisan masyarakat. Konsep ini kemudian tahun 2001 disebut Maiyah. Secara etimologis, Maiyah berasal dari kata ma’a, bahasa Arab yang artinya bersama. Dan arti Maiyah sendiri adalah kebersamaan.[131] Kebersamaan dibangun dengan berpijak pada kebersamaan Segitiga Cinta. Yaitu segitiga antara Allah, Rasulullah, dan makhluk.[132] Inspirasi konsep kebersamaan ini diambil dari Al-Qur`an yang dikaji oleh Marja’ (rujukan keilmuan) Maiyah: Ahmad Fuad Effendy. Bahwa kata ma’a dalam Al-Qur`an disebutkan sebanyak 161 kali yang berada dalam relasi atau kebersamaan antara Allah, Rasulullah, dan semua makhluk-Nya.[133]

Ada yang melihat Maiyah yang diinisiasi Cak Nun ini sebagai sebuah fenomena gerakan sosial budaya baru yang cukup memberikan harapan kebangkitan Indonesia. Maiyah dianggap sebagai oase di tengah berbagai dahaga sosial, kebudayaan, agama, dan krisi keadilan yang terjadi di Indonesia. Karena kesemua permasalahan itu diakomodasi dan diolah bersama menjadi energi kreatif yang menyiratkan prospek masa depan Indonesia yang lebih baik.[129]

Maiyah bisa dikatakan seperti sekolah gratis terbuka atau universitas jalanan untuk berbagai lapisan masyarakat, atau juga mirip pesantren virtual. Maiyah seperti menjadi laboratorium sosial yang melatih logika berpikir dan seni manajemen kehidupan. Pun formatnya lain dari berbagai bentuk institusi pembelajaran yang pernah ada.[134] Maiyah sangat terbuka bagi siapapun. Semuanya boleh datang ke Majelis Masyarakat Maiyah. Mereka yang merasa bertuhan, yang ateis, yang apolitis, juga yang politis, yang berpendidikan tinggi maupun tidak sekolah, semuanya boleh. Tanpa ada sekat yang dibangun untuk tujuan pemisahan. Tidak ada sekat berdasarkan agama, kelas sosial-ekonomi, dan atas dasar stratifikasi sosial yang selama ini telah terbentuk kehidupan sehari-hari.[135]

Maiyah begitu cair, luwes, rileks, nyaris tanpa struktur baku. Bukan sebuah organisasi. Maiyah lebih cenderung disebut “organisme” yang memiliki karakter seperti ruang yang menampung apapun dan siapapun di dalamnya.[134] Cak Nun mengatakan bahwa sejatinya Maiyah itu merupakan dinamika tafsir terus-menerus, tidak terlalu penting didefinisikan secara baku. Yang penting keberadaannya bermanfaat bagi masyarakat luas.[136] Toto Rahardjo, pimpinan KiaiKanjeng dan sahabat Cak Nun yang merupakan salah satu sesepuh Maiyah mengatakan bahwa, meskipun Maiyah dipandang sebagai sebuah gerakan sosial budaya, agama, bahkan gerakan sufi, menurutnya Maiyah mengambil posisi cukup sebagai majelis ilmu. Menurut Cak Nun, dengan berposisi sebagai majelis ilmu, Maiyah dapat menjadi penyokong segala organisasi, pergerakan, ataupun institusi yang ada di masyarakat.[136] Bagi nahdliyyin yang ber-Maiyah akan semakin kuat ke-NU-annya, dan warga Muhammadiyah tambah kuat ke-Muhammadiyah-annya. Maiyah berupaya untuk selalu berada pada titik seimbang, sebagai penengah, berada pada posisi washatiyah tidak memihak kepada siapapun, baik kekuasaan, ormas, mazhab agama, dan kelompok-kelompok atau aliran-aliran apapun.[137]

Padhangmbulan

Embrio atau cikal bakal Maiyah berawal dari sebuah pengajian tahun 1994 yang digagas Adil Amrullah (adik Cak Nun). Pengajian ini diselenggarakan di rumah orang tua Cak Nun di Jombang sebagai jalan silaturahmi Cak Nun dengan keluarga.[138] Karena padatnya jadwal undangan Cak Nun, maka keinginan teman-teman di Jawa Timur untuk bertemu dengannya diputuskan bisa satu bulan sekali. Cak Dil—panggilan akrab Adil Amrullah—butuh waktu dua tahun sejak 1992 merayu Cak Nun. Setelah disepakati, akhirnya mulai bulan Oktober 1994 diselenggarakan pengajian rutin.[139]

 
Suasana Padhangmbulan di tahun 90-an.

Pengajian itu dinamakan Padhangmbulan yang secara kebetulan diadakan setiap pertengahan bulan Hijriah, dan hari kelahiran Cak Nun adalah 15 Ramadlan ketika bulan purnama.[140] Padhangmbulan awalnya diikuti 50 sampai 60 orang. Bulan kedua 270 orang. Bulan ketiga 500 orang.[141] Setelah lebih dari 14 bulan diselenggarakan, pada awal tahun 1996 membludak hingga 10.000 orang yang puncaknya ketika menjelang Reformasi, pernah dihadiri 35.000 orang.[140] Dilihat dari pelat kendaraan mereka, ada yang dari Surabaya, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Cirebon, Malang, Brebes, dan lain-lain.[142]

Desa Menturo setiap Padhangmbulan diadakan menjadi sangat ramai. Sebenarnya pada masa lalu desa ini juga cukup ramai pada saat Muhammad Abdul Latief—akrab dipanggil Cak Mad, ayah Cak Nun masih hidup. Almarhum mewarnai kegiatan kehidupan masyarakat Menturo.[142] Cak Mad mendirikan Madrasah Islamiyah “Mansyaul ‘Ulum” di Menturo Timur tahun 1958.[19] Namun sepeninggal Cak Mad pada tahun 1975, keramaian saat itu perlahan meredup. Pun Cak Nun bersaudara banyak beraktivitas di luar Jombang. Hanya kakak keduanya, Miftahus Surur (Cak Mif) yang mendapat amanah melanjutkan perjuangan Cak Mad mengurus madrasah.[19] Padhangmbulan merupakan bentuk pengabdian anak-anak Cak Mad untuk melanjutkan perjuangan dan menjadi amal jariyah dalam permberdayaan masyarakat.

 
Emha Ainun Nadjib menampung keluh kesah masyarakat usai Padhangmbulan, sebagai upaya mereka mencari solusi.
 
Suasana Desa Menturo saat Padhangmbulan pada Maret 2018.
 
Masyarakat Maiyah mensyukuri berjalannya Padhangmbulan hingga tahun ke-26.

Merespons fenomena Padhangmbulan yang menjadi magnet berkumpulnya ribuan orang di tengah pengawasan rezim Orde Baru saat itu, Cak Nun mengatakan bahwa yang penting fungsinya harus jelas. Fungsi pertama adalah melalui tafsir Al-Qur`an, Padhangmbulan mencoba merefleksikan penyikapan-penyikapan terhadap masalah-masalah sosial yang akhirnya diharapkan terjadi pembenahan cara berpikir bersama melalui pembelajaran Al-Qur`an. Fungsi kedua adalah pemberdayaan. Ada konsep-konsep yang dicari bersama sebagai alternatif terbaru dalam memberdayakan umat. Karena mereka yang datang ke Padhangmbulan dari berbagai daerah dan latar belakang. Padhangmbulan tidak hanya pengajian, tetapi ada silaturahmi ekonomi di situ.[140] Di antara mereka ketika itu, yang datang ada tokoh politik, seniman, budayawan, dan selebriti. Seperti Rhoma Irama, Trie Utami, Arie Koesmiran, Imam Utomo (Gubernur Jatim), Tadjus Sobirin, Permadi, Kemal Idris, W.S. Rendra, hingga Prabowo Subianto. Tujuannya juga beragam. Memang ada yang betul-betul ikut pengajian untuk menimba ilmu.[142] Ada pula yang ingin berkonsultasi menyampaikan keluh kesah sebagai upaya mencari solusi atas masalah mereka.[143] Biasanya mereka diterima Cak Nun usai Padhangmbulan. Di antara masyarakat yang datang, ada yang sekadar jajan aneka makanan yang dijual para penjual dadakan.[142]

Luasnya sambutan masyarakat ketika itu dengan diadakannya Padhangmbulan, bagi Cak Nun sekeluarga, yang juga penting adalah pengaruh pengajian itu kepada sang ibunda, Chalimah (wafat 2012). Meski sudah lanjut usia ketika itu, ibu Chalimah sangat bersemangat untuk mempersiapkan acara sebulan sekali itu. Cak Nun mengatakan bahwa ibunya akan sangat sehat kalau bisa ngerumat banyak orang karena merasa senang. Karena kalau tidak ada kegiatan, mungkin bisa sakit-sakitan.[142]

Sejak awal, upaya tafsir dilakukan di Padhangmbulan melalui duet Cak Nun dan kakak pertamanya, Cak Fuad (Ahmad Fuad Effendy). Cak Fuad menyampaikan tafsir tekstual, sementara Cak Nun menyampaikan tafsir kontekstualnya. Tafsir tekstual dilakukan seperti lazimnya yang dilakukan para kyai. Beberapa ayat Al-Qur`an dibacakan Cak Fuad, lalu diterangkan arti atau terjemahnya. Cak Fuad juga sering menguraikan makna kata-kata kunci di dalam ayat-ayat tersebut. Kemudian disampaikan tafsirnya dengan merujuk pada beberapa kitab tafsir Al-Qur`an. Cak Fuad juga mencoba menyampaikan pemahamannya sendiri menyangkut ayat-ayat yang tengah dikaji tersebut. Sementara, tafsir kontekstual disampaikan Cak Nun yang berupaya memahami kejadian di masyarakat, baik itu peristiwa politik, sosial, budaya, dan keagaaman. Cak Nun meletakkan ayat-ayat yang dikaji sebagai sudut pandang, atau ditemukan kaitan-kaitan antara ayat-ayat tersebut dengan realitas sosial. Al-Qur`an tidak diposisikan sebagai objek kajian, melainkan sebagai metodologi membaca realitas.[144] Meskipun begitu, Cak Nun tidak mengklaim bahwa mereka mufasir.[140]

Tanggal 13 Oktober 2019, keluarga besar Cak Nun dan Masyarakat Maiyah mensyukuri perjalanan masih diselenggarakannya Padhangmbulan selama 26 tahun.[145]

Sinau Bareng

Meskipun keberangkatannya dari pengajian, dalam perjalanannya Cak Nun bersama Masyarakat Maiyah melakukan dekonstruksi atas model pengajian baku yang sudah ada.[134] Kebersamaan di dalam Maiyah menawarkan suatu wacana baru berupa gerakan kultural dengan metode yang alami. Forum-forum Maiyah adalah peristiwa pertemuan antar manusia yang alami, secara langsung, dan tanpa tendensi materialisme.[131] Kebersamaan yang dibangun di Maiyah merupakan upaya meniru Nabi Muhammad dengan Islam di Madinah, yaitu mengupayakan kecerdasan kolektif (swarm intelligent). Kecerdasan komunal ini tidak dibentuk oleh satu atau dua orang pandai, tapi dibuat oleh interaksi antar manusia.[146] Untuk melangkah menuju terwujudnya kecerdasan kolektif itu, Cak Nun dan Masyarakat Maiyah melakukan Sinau Bareng (belajar bersama) di mana-mana.

 
Sinau Bareng Cak Nun-KiaiKanjeng di Lamongan pada 2018. Tanpa jarak, tanpa sekat, semua berpartisipasi.
 
Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam Pembukaan Dieng Culture Festival 2016.

Ada dua bentuk umum Sinau Bareng, yaitu majelis ilmu yang diadakan sendiri oleh Masyarakat Maiyah rutin bulanan, dan yang diselenggarakan masyarakat umum pada waktu tertentu dengan mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng. Undangan dari masyarakat ke berbagai wilayah nusantara ini bisa 10 sampai 15 kali per bulan. Untuk Sinau Bareng secara massal, umumnya dilakukan di area terbuka. Durasi Sinau Bareng sendiri sangat beragam. Umumnya antara empat hingga delapan jam.[147] Sinau Bareng dirasakan sebagai wahana pendidikan alternatif yang semakin hari, masyarakat yang hadir berusia sangat muda. Dari generasi Milenial dan generasi Z.

Setidaknya ada 10 hal yang bisa diperhatikan dalam melihat perbedaan Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng dengan pengajian-pengajian pada umumnya:[148]

  1. Egaliter, tanpa sekat, tanpa seragam, hanya peci Maiyah sebagai tanda silaturahmi.
  2. Gamelan KiaiKanjeng adalah elemen primer dalam Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng.
  3. Siapa saja boleh naik ke panggung, untuk mencari apa yang benar bukan siapa yang benar.
  4. Panggung rendah hanya 40 cm tingginya dan jarak dengan jamaah sangat dekat tanpa pagar pembatas.
  5. Komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi dua arah dengan mengutamakan dialog, bukan ceramah monolog satu arah.
  6. Belajar bersama dengan diskusi multi dimensi ilmu, ilmu Maiyah yang universal.
  7. Dilakukan workshop yang menggembirakan.
  8. Para orangtua muda hadir mengikuti Sinau Bareng membawa anak-anaknya yang masih kecil hingga larut malam.
  9. Selalu shalawatan, atmosfer kemesraan dibangun, dan bergembira dengan kegembiraan yang disenangi Allah.
  10. Di akhir acara, satu persatu masyarakat yang hadir salaman dengan Cak Nun.

Opinium

 
Tampilan fitur Sinau Bareng pada aplikasi Opinium

Konsep Sinau Bareng yang lahir dari rahim Maiyah yang berangkat dari kultur berdaya bersama ini, selanjutnya bisa diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan. Tidak harus berupa pengajian dalam skala besar, yang terpenting inti konsepnya membangun kecerdasan bersama, bisa diaplikasikan. Seperti yang digunakan dalam aplikasi bersistem operasi Android bernama Opinium[149]. Sebuah aplikasi berbasis komunitas yang menyediakan alternatif kurasi informasi. Kurasi ini dibangun dari diskusi untuk menguji bersama keabsahan sebuah informasi, demi menghindari hoaks.[150]

Salah satu fitur utama dalam aplikasi Opinium adalah Sinau Bareng. Melalui fitur ini, setiap pengguna dapat membangun reputasi dan kredibilitas mereka melalui interaksi silang berbagai bidang studi. Semua pendapat dan diskusi di forum Sinau Bareng dapat diuji dan dikuratori oleh pengguna lain. Dengan parameter manfaat visual terbuka, Sinau Bareng menjadi laboratorium interaksi informasi yang penggunanya dapat menilai seberapa besar pengaruh dampak positif setiap pengguna.[149]

Majelis Masyarakat Maiyah

 
Majelis Masyarakat Maiyah "Mocopat Syafaat" di tahun ke-20, pada Oktober 2019.
 
Majelis Masyarakat Maiyah "Gambang Syafaat" di tahun ke-19 pada Desember 2018.
 
Masyarakat Maiyah mensyukuri perjalanan Kenduri Cinta di tahun ke-19, Juni 2019
 
Majelis Masyarakat Maiyah "Bangbang Wetan" di tahun ke-13, November 2019.

Berawal dari Padhangmbulan tahun 1994, Maiyah sebagai majelis ilmu kemudian berkembang. Masyarakat Maiyah di berbagai daerah berupaya melingkar setiap bulan, untuk istiqomah Sinau Bareng. Setidaknya lebih dari 60 Majelis Masyarakat Maiyah digelar setiap bulannya:

  • Mocopat Syafaat, Yogyakarta. Diselenggarakan sejak tahun 1999 di TKIT Alhamdulillah, Tamantirto, Kasihan, Bantul setiap tanggal 17 bulan masehi.
  • Gambang Syafaat, Semarang. Diselenggarakan sejak Desember tahun 1999 di Masjid Baiturrahman, Simpang Lima, Semarang setiap tanggal 25 bulan masehi.
  • Kenduri Cinta, Jakarta. Diselenggarakaan sejak Juni tahun 2000 di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada hari jumat (malam hari) di minggu kedua setiap bulan masehi.
  • Bangbang Wetan, Surabaya. Diselenggarakan sejak tahun 2008 di Surabaya, sehari setelah Padhangmbulan di Jombang diadakan.
  • Papperandang Ate, Mandar, Sulawesi Barat. Sejak tahun 1998.
  • Juguran Syafaat, Banyumas Raya.
  • Maneges Qudroh, Magelang.
  • Waro` Kaprawiran, Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo.
  • Damar Kedhaton, Gresik.
  • Majelis Gugur Gunung, Ungaran.
  • Jamparing Asih, Bandung.
  • Relegi, Malang.
  • Maiyah Dusun Ambengan, Lampung.
  • Suluk Pesisiran, Pekalongan.
  • Suluk Surakartan, Surakarta.
  • Lingkar Daulat Malaya, Tasikmalaya.
  • Magarmaya, Sukabumi.
  • Kidung Syafaat, Salatiga.
  • Likuran Paseduluran, Kebumen.
  • SabaMaiya, Wonosobo.
  • Maiyah Balitar, Blitar.
  • Pasemuan Bebrayan, Cilacap.
  • Majlis Alternatif, Jepara.
  • Lingkar Maiyah Klaten, Klaten.
  • Poci Maiyah, Tegal.
  • Maiyah Blora, Blora.
  • Maiyah Kahuripan, Gunung Kidul.
  • Maiyah Kalijagan, Demak.
  • Maiyah Kanoman, Pemalang.
  • Manunggal Syafaat, Kulonprogo.
  • Wisma Mutafailin, Sragen.
  • Sedulur Maiyah, Kudus.
  • Wolulasan, Purworejo.
  • Jembaring Manah, Jember.
  • Rampak Osing, Banyuwangi.
  • Sanggar Kedirian, Kediri.
  • Selapanan, Bojonegoro.
  • Semesta Maiyah, Lamongan.
  • Tasawuf Cinta, Nganjuk.
  • Sendhon Waton, Rembang.
  • Sulthon Penanggungan, Pasuruan.
  • Jimat, Tuban.
  • Paseban Majapahit, Mojokerto.
  • Damar Ate, Sumenep.
  • Paddhang Ate, Bangkalan.
  • Batang Banyu, Banjarmasin.
  • Maiyah Ternate, Ternate.
  • Maiyah Cirrebes, Cirebon.
  • Sibar Kasih, Cikarang.
  • Bege Silampari, Lubuk Linggau.
  • Suluk Bahari, Tanjung Pinang.
  • Maiyah Dualapanan, Lampung.
  • Batam Maiyah, Batam.
  • Masuisani, Bali.
  • Tong Il Qoryah, Korea Selatan.
  • Mafaza, Eropa.

Dalam Masyarakat Maiyah, juga terdapat kelompok diskusi Martabat yang digerakkan oleh Sabrang Mowo Damar Panuluh, juga kelompok diskusi Nahdlatul Muhammadiyyin yang diasuh oleh Mustofa W. Hasyim dan K.H. Marzuki Kurdi. Kedua kelompok diskusi ini diselenggarakan di Yogyakarta. Selain itu juga diadakan Majelis Pahingan di Menturo, Sumobito, Jombang. Juga berjalan Gerakan Anak Bangsa (Gerbang) yang menginisiasi Sekolah Warga di berbagai daerah.

Karya-karya

Cak Nun berkarya sejak akhir tahun 1969, pada usia 16 tahun. Mulai tahun 1975, karya-karyanya dibukukan. Buku-bukunya terentang dalam berbagai jenis: esai, puisi, naskah drama, cerpen, musik puisi, quote, transkrip Maiyahan, dan wawancara. Buku yang diterbitkan tahun 1980-an dan 1990-an, 20 sampai 30 tahun setelahnya masih diterbitkan ulang karena dipandang masih kontekstual dengan situasi dan kondisi kehidupan di Indonesia.[5] Karya-karya Cak Nun tersebut adalah:

 
Sebagian buku-buku karya Emha Ainun Nadjib.
 
Buku-buku kumpulan esai karya Emha Ainun Nadjib.
 
Kumpulan puisi, cerpen, naskah drama, musik puisi, skenario film, quote, transkrip maiyahan, dan wawancara karya Emha Ainun Nadjib.

Puisi

  1. “M” Frustasi dan Sajak-sajak Cinta (1975). Diterbitkan sederhana oleh Pabrik Tulisan.[151]
  2. Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978). Diterbitkan oleh Tifa Sastra UI.[152]
  3. Tak Mati-Mati (1978). Dibacakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.[151]
  4. Nyanyian Gelandangan (1982). Dibacakan bersama Teater Dinasti di Taman Budaya Surakarta.[151]
  5. 99 Untuk Tuhanku (1983). Dibacakan di Bentara Budaya Yogyakarta.[98] Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Pustaka-Perpustakaan Salman ITB. Diterbitkan kembali oleh Bentang tahun 1993 dan 2015.
  6. Iman Perubahan (1986).
  7. Suluk Pesisiran (1988). Diterbitkan oleh Mizan.
  8. Syair Lautan Jilbab (1989). Diterbitkan oleh Sipress.
  9. Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba (1990). Diterbitkan oleh Mizan, pertama kali tahun 1990 dan diterbitkan kembali tahun 2016.
  10. Cahaya Maha Cahaya (1991). DIterbitkan pertama kali oleh Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pembinaan Sastra (LP3S) tahun 1988. Edisi tahun 1991 diterbitkan oleh Pustaka Firdaus.
  11. Sesobek Buku Harian Indonesia (1993). Diterbitkan oleh Bentang, pertama kali tahun 1993 dan diterbitkan kembali tahun 2017.
  12. Abacadabra Kita Ngumpet... (1994). Diterbitkan oleh Bentang bersama Komunitas Pak Kanjeng.
  13. Syair-syair Asmaul Husna (1994). Diterbitkan oleh Salahuddin Press dan Pustaka Pelajar.
  14. Doa Mohon Kutukan (1995). Diterbitkan oleh Risalah Gusti.
  15. Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu (2000). Diterbitkan oleh Zaituna.
  16. Trilogi Doa Mencabut Kutukan, Tarian Rembulan, Kenduri Cinta (2001). Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
  17. Karikatur Cinta (2005). Diterbitkan oleh Progress.

Essai/Buku

  1. Indonesia Bagian Dari Desa Saya (1980). Diterbitkan pertama kali oleh penerbit Jatayu. Diterbitkan kembali tahun 1983 dan 1992 oleh Sipress, dan tahun 2013 oleh Kompas.
  2. Sastra yang Membebaskan: Sikap Terhadap Struktur dan Anutan Seni Moderen Indonesia (1984). Diterbitkan oleh PLP2M (Pusat Latihan, Penelitian, dan Pengembangan Masyarakat).
  3. Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan (1985). Diterbitkan oleh Mizan.
  4. Slilit Sang Kiai (1991). Diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti. Diterbitkan kembali tahun 2013 oleh Mizan.
  5. Secangkir Kopi Jon Pakir (1992). Diterbitkan oleh Mizan.
  6. Bola-Bola Kultural (1993). Diterbitkan oleh Mizan. Dicetak kembali tahun 2016 dan 2019.
  7. Markesot Bertutur (1993). DIterbitkan oleh Mizan. Dicetak kembali tahun 2012, 2015, dan 2019.
  8. Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1994). Diterbitkan pertama kali oleh Risalah Gusti. Diterbitkan kembali tahun 2015 dan 2018 oleh Bentang Pustaka.
  9. Gerakan Punakawan Atawa Arus Bawah (1994). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Dicetak kembali tahun 2015.
  10. Kiai Sudrun Gugat (1994). Diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti.
  11. Markesot Bertutur Lagi (1994). Diterbitkan oleh Mizan. Dicetak kembali tahun 2013, 2015, dan 2019.
  12. Sedang Tuhan Pun Cemburu: Refleksi Sepanjang Jalan (1994). Diterbitkan pertama kali oleh Sipress. Diterbitkan kembali tahun 2015 dan 2018 oleh Bentang Pustaka.
  13. Gelandangan di Kampung Sendiri (1995). Diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Pelajar. Diterbitkan kembali tahun 2015 dan 2018 oleh Bentang Pustaka.
  14. Nasionalisme Muhammad: Islam Menyongsong Masa Depan (1995). Diterbitkan oleh Sipress.
  15. Opini Plesetan, OPLES (1995). Diterbitkan oleh Mizan.
  16. Terus Mencoba Budaya Tanding (1995). Diterbitkan oleh Pustaka Pelajar.
  17. Surat Kepada Kanjeng Nabi (1995). Diterbitkan oleh Mizan. Dicetak kembali tahun 2015.
  18. Titik Nadir Demokrasi: Kesunyian Manusia dalam Negara (1996). Diterbitkan pertama kali oleh Zaituna. Diterbitkan kembali tahun 2016 oleh Bentang Pustaka.
  19. Tuhan Pun Berpuasa (1997). Diterbitkan pertama kali oleh Zaituna. Diterbitkan kembali tahun 2012 dan 2016 oleh Kompas.
  20. Demokrasi T*l*l Versi Saridin (1997). Diterbitkan oleh Zaituna.
  21. Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana (1998). Diterbitkan pertama kali oleh Zaituna. Diterbitkan kembali tahun 2016 oleh Bentang Pustaka.
  22. Iblis Nusantara Dajjal Dunia: Asal Usul Krisis Kita Semua (1998). Diterbitkan oleh Zaituna.
  23. Keranjang Sampah (1998). Diterbitkan oleh Zaituna.
  24. Kyai Kocar Kacir (1998). Diterbitkan oleh Zaituna.
  25. Mati Ketawa Ala Refotnasi: Menyorong Rembulan (1998). Diterbitkan pertama kali oleh Zaituna. Diterbitkan kembali tahun 2016 oleh Bentang Pustaka.
  26. Ikrar Husnul Khatimah Keluarga Besar Bangsa Indonesia (1999). Diterbitkan oleh Hamas dan Padhangmbulan.
  27. Jogja-Indonesia Pulang-Pergi (1999). Diterbitkan oleh Zaituna.
  28. Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1999). Diterbitkan oleh Zaituna.
  29. Hikmah Puasa 1 & 2 (2001). Diterbitkan oleh Zaituna.
  30. Segitiga Cinta (2001). Diterbitkan oleh Zaituna.
  31. Kafir Liberal (2005). Diterbitkan oleh Progress.
  32. Orang Maiyah (2007). Diterbitkan pertama kali oleh Progress. Diterbitkan kembali tahun 2015 oleh Bentang Pustaka.
  33. Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki (2007). Diterbitkan oleh Kompas. Dicetak kembali tahun 2016.
  34. Tidak. Jibril Tidak Pensiun (2007). Diterbitkan pertama kali oleh Progress. Diterbitkan kembali tahun 2017 oleh Bentang Pustaka.
  35. Istriku Seribu (2007). Diterbitkan pertama kali oleh Progress. Diterbitkan kembali tahun 2015 oleh Bentang Pustaka
  36. Kagum Pada Orang Indonesia (2008). Diterbitkan pertama kali oleh Progress. Diterbitkan kembali tahun 2015 oleh Bentang Pustaka.
  37. Jejak Tinju Pak Kiai (2008). Diterbitkan oleh Kompas.
  38. Demokrasi La Roiba Fih (2009). Diterbitkan oleh Kompas. Dicetak kembali tahun 2016.
  39. Anak Asuh Bernama Indonesia - Daur 1 (2017). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  40. Iblis Tidak Butuh Pengikut - Daur 2 (2017). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  41. Mencari Buah Simalakama - Daur 3 (2017). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  42. Kapal Nuh Abad 21 - Daur 4 (2017). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  43. Kiai Hologram (2018). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  44. Pemimpin Yang "Tuhan" (2018). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  45. Markesot Belajar Ngaji - Daur 5 (2019). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  46. Siapa Sebenarnya Markesot - Daur 6 (2019). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.
  47. Sinau Bareng Markesot - Daur 7 (2019). Diterbitkan oleh Bentang Pustaka.

Cerpen

  1. Yang Terhormat Nama Saya (1992). DIterbitkan oleh Sipress.
  2. BH (2006). Diterbitkan oleh Kompas.

Naskah Drama

  1. Sidang Para Setan (1977).
  2. Patung Kekasih (1983). Tentang pengkultusan. Ditulis bersama Fajar Suharno dan Simon Hate.
  3. Doktorandus Mul (1984).
  4. Mas Dukun (1986). Tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern.
  5. Keajaiban Lik Par (1987). Tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern.
  6. Geger Wong Ngoyak Macan (1989). Tentang pemerintahan "Raja" Soeharto. Ditulis bersama Fajar Suharno dan Gadjah Abiyoso.
  7. Keluarga Sakinah (1990).
  8. Lautan Jilbab (1990).
  9. Santri-Santri Khidlir (1991). Dipentaskan di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain. Dihadiri 35.000 penonton di saat dipentaskan di alun-alun Madiun),
  10. Perahu Retak (1992). Tentang Indonesia Orde Baru yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram.
  11. Sunan Sableng dan Baginda Farouq (1993).
  12. Pak Kanjeng (1994).
  13. Duta Dari Masa Depan (1996).
  14. Tikungan Iblis (2008).
  15. Nabi Darurat Rasul Ad Hoc (2012). Tentang betapa rusaknya manusia Indonesia sehingga hanya manusia sekelas Nabi yang bisa membenahinya. Dipentaskan oleh Teater Perdikan dan Letto.
  16. Sengkuni 2019 (2019).

Skenario Film

  1. Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2011). Ditulis bersama Viva Westi.[153]

Wawanca, Quote, Transkrip Maiyahan

  1. Kerajaan Indonesia (2006). Diterbitkan oleh Zaituna.
  2. Indonesia Apa Adanya (2016). Diterbitkan oleh Mizan.
  3. Hidup Itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem (2016). Diterbitkan oleh Noura Books.
  4. Urusan Laut Jangan Dibawa Ke Darat (2018). Diterbitkan oleh Pustaka Narasi.
  5. Allah Tidak Cerewet Seperti Kita (2019). Diterbitkan oleh Noura Books.

Musik Puisi

  1. Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu (1980). Dimusikpuisikan berrsama Teater Dinasti di Taman Ismail Marzuki (TIM).[151]
  2. Isro` Mi’roj Yang Asyik (1986). Dimusikpuisikan di UGM, Yogyakarta.[151]
  3. Satria Natpala (1995).
  4. Talbiyah Cinta (1996). Dipentaskan di RCTI.[84]
  5. Jangan Cintai Ibu Pertiwi (2001).
  6. Kesaksian Orang Biasa (2003).
  7. Republik Gundul Pacul (2004).
  8. Presiden Balkadaba (2009).

Album Musik dan Shalawat

  1. Perahu Retak (1995). Seluruh lirik ditulis oleh Cak Nun, dan lagu oleh Frangky Sahilatua.[154][155][156]
  2. Kado Muhammad (1996).
  3. Raja Diraja (1997).
  4. Wirid Padang Bulan (1998).
  5. Jaman Wis Akhir (1999).
  6. Menyorong Rembulan (1999).
  7. Allah Merasa Heran (2000).
  8. Perahu Nuh (2000).
  9. Dangdut Kesejukan (2001). Syair ditulis oleh Cak Nun.
  10. Maiyah Tanah Air (2001).
  11. Terus Berjalan (2008).
  12. Shohibu Baity (2010).

Penghargaan

 
Emha Ainun Nadjib ketika menerima Anugerah Adam Malik tahun 1991.
 
Emha Ainun Nadjib menerima HIPIIS Social Science Awards 2017.

September 1991, Cak Nun menerima penghargaan Anugerah Adam Malik di Bidang Kesusastraan yang diberikan Yayasan Adam Malik. Penyerahan anugerah ini diselenggarakan di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta. Keputusan anugerah ini berdasarkan hasil seleksi lima orang juri, yaitu Rosihan Anwar, Adiyatman, Lasmi Jahardi, Wiratmo Soekito, dan Amy Prijono.[157][158]

Bulan Maret 2011, Cak Nun memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[159] Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik, penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa penerimaya memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.[159] Penerimaan penghargaan ini diwakili oleh putranya, Noe Letto.[160]

Pada pergelaran Festival Film Indonesia (FFI) 2012, Cak Nun dinominasikan dalam kategori penulis Cerita Asli Terbaik untuk cerita film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya. Film ini juga mendapatkan dua nominasi lain yaitu Tio Pakusadewo sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik, dan Christine Hakim sebagai Pemeran Pendukung Wanita Terbaik.[161]

Dalam Kongres HIPIIS (Himpunan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) ke-10 yang diselenggarakan tahun 2017, Cak Nun memperoleh HIPIIS Social Sciences Award 2017 karena dipandang sebagai contoh ilmuwan sosial yang objektif dan mandiri, serta merupakan sosok yang kritis, independen, dan produktif. Cak Nun memperoleh penghargaan ini bersama ilmuwan Prof. Dr. R. Siti Zuhro M.A.[162]

Referensi

  1. ^ "Riwayat Panggilan 'Mbah Nun'". CakNun.com. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  2. ^ "Anak Petani Menggores Tinta Emas". Majalah SINAR. 1 Maret 1997. 
  3. ^ "Film 90-an, Novia Kolopaking Antara Sitti Nurbaya-Keluarga Cemara". bintang.com. Diakses tanggal 24 Agustus 2016. Ia menikah dengan budayawan Emha Ainun Nadjib pada 1997. 
  4. ^ "Riwayat Panggilan 'Mbah Nun'". CakNun.com. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  5. ^ a b "Terus Berkarya". CakNun.com. 8 Oktober 2019. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  6. ^ "Kata Mereka Tentang Cak Nun, KiaiKanjeng, dan Maiyah". CakNun.com. 18 Oktober 2019. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  7. ^ Rahardjo, Toto (2006). "Teman Siapa Saja". Jalan Sunyi Emha. Jakarta: Kompas. hlm. xviii. ISBN 979-709-255-0. Seorang host suatu talk show di sebuah stasiun televisi swasta, Jaya Suprana, bertanya kepada orang ini, "Orang selalu mengatakan bahwa Anda adalah manusia multi-dimensional. Sekurang-kurangnya kegiatan Anda di masyarakat memang sangat beragam. Apa pendapat Anda sendiri?" 
  8. ^ Oetama, Jakob (2006). "Pengantar Jakob Oetama". Jalan Sunyi Emha. Jakarta: Kompas. hlm. xvii. ISBN 979-709-255-0. Kehadiran buku ini tentu ditunggu khalayak pembaca, tidak hanya oleh para pengagum, tetapi juga pengritik sosok yang menyeletukkan kalimat 'ora dadi presiden ora pathèken', saat bersama sejumlah tokoh diundang Soeharto sebelum lengser. 
  9. ^ Hashman, Ade (2019). Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib. Yogyakarta: Bentang. hlm. 176. ISBN 978-602-291-589-8. 
  10. ^ "Emha Ainun Nadjib". CakNun.com. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  11. ^ a b Hadi, Sumasno (2017). Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran. Bandung: Mizan. hlm. 50. ISBN 978-602-441-010-0. 
  12. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 49. 
  13. ^ a b Betts, Ian L. (2006). Jalan Sunyi Emha. Jakarta: Kompas. hlm. 7. ISBN 979-709-255-0. 
  14. ^ Jalan Sunyi Emha. hlm. 18. 
  15. ^ "Perjuangan Cak Fuad Menjaga Bahasa Al-Qur`an di Kancah Dunia". CakNun.com. 24 Januari 2017. Diakses tanggal 3 Desember 2019. 
  16. ^ Masjkur, Ahmad Udi (27 April 2019). "KH Hasyim Latief, Sang Komandan Tempur Hizbullah". Indonesiana.id. Diakses tanggal 4 Desember 2019. 
  17. ^ "Tokoh NU KH Hasjim Latief Meninggal Dunia". NU Online. 20 April 2005. Diakses tanggal 4 Desember 2019. 
  18. ^ a b Ali, Fahmi (25 April 2015). "KH Hasyim Latief Sepanjang". Catatan Fahmi Ali. Diakses tanggal 4 Desember 2019. 
  19. ^ a b c Nadjib, Emha Ainun (28 Mei 2018). "Kunci Kebahagiaan". CakNun.com. Diakses tanggal 19 Desember 2019. 
  20. ^ Putra, Erik Purnama (4 Agustus 2015). "Kisah Kedekatan KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan". Republika. Diakses tanggal 4 Desember 2019. 
  21. ^ Nugraha, Latief S (2018). Sepotong Dunia Emha. Yogyakarta: Octopus. hlm. 94. ISBN 978-602-727-437-2. 
  22. ^ Jalan Sunyi Emha. hlm. xxii. 
  23. ^ Jabrohim (2003). Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib: Sebuah Kajian Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 1. 
  24. ^ Jalan Sunyi Emha. hlm. 8. 
  25. ^ a b Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 53. 
  26. ^ Yuswanto, Teguh (1 Juli 1998). "Novia Kolopaking: Lebih Baik Dia di Surga". Tabloid BINTANG. 
  27. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 157. 
  28. ^ a b Sepotong Dunia Emha. hlm. 80–81. 
  29. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 84. 
  30. ^ a b Sepotong Dunia Emha. hlm. 85. 
  31. ^ Salam, Aprinus; Alfian, M Alfan; Susetya, Wawan (2014). Kitab Ketentraman: Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib. Bekasi: Penjuru Ilmu. hlm. 133. ISBN 978-602-0967-07-3. 
  32. ^ Jalan Sunyi Emha. hlm. 1. 
  33. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 88. 
  34. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 89. 
  35. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 90. 
  36. ^ Tahajjud cinta Emha Ainun Nadjib. hlm. 28. 
  37. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 56. 
  38. ^ Jalan Sunyi Emha. hlm. 14. 
  39. ^ Wardhana, Sutirman Eka (2017). Yogya Bercerita: Catatan 40 Wartawan Ala Jurnalisme Malioboro. Yogyakarta: Tonggak Pustaka. hlm. 77. ISBN 978-602-745-877-2. 
  40. ^ H.D., Halim (1995). "Fenomena Emha". Terus Mencoba Budaya Tanding. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. xvi. 
  41. ^ a b Sepotong Dunia Emha. hlm. 131. 
  42. ^ a b Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 58. 
  43. ^ Pratama, Rony K (22 Maret 2019). "Maiyah Sebagai Pendidikan Alternatif Sosial Kemasyarakatan (3)". CakNun.com. Diakses tanggal 4 Desember 2019. 
  44. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 59. 
  45. ^ a b Sepotong Dunia Emha. hlm. 130. 
  46. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 57. 
  47. ^ a b Tahajjud Cinta Emha Ainun Nadjib. hlm. 31. 
  48. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 60. 
  49. ^ a b Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 61. 
  50. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 62. 
  51. ^ "1981 Participants". International Writing Program. Diakses tanggal 19 Desember 2019. 
  52. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 194. 
  53. ^ a b Karim, Ahmad (4 Oktober 2019). "Menggelandang di Belanda". CakNun.com. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 
  54. ^ Agustian, Fahmi (17 Oktober 2016). "Soto Handuk Celupan Sepatu Ala Chef Pipit Rochiyat". CakNun.com. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 
  55. ^ "Diskusi bersama Pak Pipit Rochiyat Kartawidjaja". CakNun.com. 27 September 2016. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 
  56. ^ Mustofa, Helmi (1 April 2017). "Pak Nevi Asisten Pengobatan Cak Nun". CakNun.com. Diakses tanggal 12 Desember 2019. 
  57. ^ a b c d Ismail, Hamzah (8 April 2018). "Orang Mandar yang Lahir di Jombang: Jejak Mbah Nun di Tanah Mandar". CakNun.com. Diakses tanggal 12 Desember 2019. 
  58. ^ a b Budianto, Nevi (11–17 Juni 1989). "Di Tinambung Mandar, Sulawesi Selatan, Emha Dimintai Berkah dan Pengobatan". Minggu Pagi. 
  59. ^ Mustofa, Helmi (24 Maret 2018). "Contoh Hubungan Erat Antar Dua Etnis". CakNun.com. Diakses tanggal 12 Desember 2019. 
  60. ^ "Korek Jress di Bandara". CakNun.com. Diakses tanggal 12 Desember 2019. 
  61. ^ Rahardjo, Toto (29 April 2016). "Rihlah Cammanallah: Perjalanan ke Bunda Cammana". CakNun.com. Diakses tanggal 12 Desember 2019. 
  62. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 63. 
  63. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 64. 
  64. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 65. 
  65. ^ Jo, Hendi. "Jilbab Terlarang di Era Orde Baru". Historia. Diakses tanggal 5 Desember 2019. 
  66. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 109. 
  67. ^ Kertarahardja, Kuswandi (4 Oktober 1988). "Sebuah Potret Nasib Wanita Berjilbab". Berita Buana. 
  68. ^ Kitab Ketentraman: Dari Khasanah Emha Ainun Nadjib. hlm. 147. 
  69. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 107. 
  70. ^ a b "Lautan Jilbab". CakNun.com. Diakses tanggal 5 Desember 2019. 
  71. ^ Mulder, Niels (2001). Ruang Batin Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: LKiS. hlm. 27. ISBN 978-979-896-634-7. 
  72. ^ Mulder, Niels (2007). Di Jawa: Petualangan Seorang Antropolog. Yogyakarta: Kanisius. hlm. 268. ISBN 978-979-211-467-6. 
  73. ^ "Emha Layak Dapat Gelar Doktor HC". Kedaulatan Rakyat. 12 Mei 1991. 
  74. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran. hlm. 67. 
  75. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 69. 
  76. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 70. 
  77. ^ Betts, Ian Leonard (2006). Jalan Sunyi Emha. Jakarta: Kompas. hlm. 28. ISBN 979-709-255-0. 
  78. ^ Mustofa, Helmi (12 Maret 2018). "Wah, Mbah Nun Mundur Dari ICMI". CakNun.com. Diakses tanggal 5 Desember 2019. 
  79. ^ "Setelah Pengurus Diumumkan". Majalah TEMPO. 23 Februari 1991. 
  80. ^ a b c "Pak Kanjeng". CakNun.com. Diakses tanggal 5 Desember 2019. 
  81. ^ "Lakon Politik Pak Kanjeng". Majalah TEMPO. 27 November 1993. 
  82. ^ Sepotong Dunia Emha. hlm. 118. 
  83. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 76. 
  84. ^ a b c Majid, Munzir (10 Oktober 2016). "Penabuh Gong". KenduriCinta.com. Diakses tanggal 5 Desember 2019. 
  85. ^ a b Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 78. 
  86. ^ Kurniawan, Didik W (10 April 2017). "Masih di Depan 'Cermin'". CakNun.com. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  87. ^ "Emha Ainun Nadjib Tampil di Indosiar". Majalah GATRA. 20 Januari 1996. 
  88. ^ Jalan Sunyi Emha. hlm. 36. 
  89. ^ a b "Silatnas Politik Cak Nun". Majalah SINAR. 1 Maret 1997. 
  90. ^ a b Ginting, Selamat (16 Juni 2018). "Soeharto, Tabir dan Takbir 1997". Republika. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  91. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 80. 
  92. ^ "Ramadlan di Suara Surabaya". CakNun.com. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  93. ^ Jalan Sunyi Emha. hlm. 23. 
  94. ^ a b c d e f Firdausi, Fadrik Aziz (19 Mei 2018). "Diminta Para Ulama untuk Mundur, Soeharto Bergeming". Tirto.id. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  95. ^ a b c d e f "Di Balik Detik-detik Itu". Majalah TEMPO. 18 Mei 2003. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  96. ^ Nadjib, Emha Ainun (2016). Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana. Yogyakarta: Bentang. hlm. 3 dan 10. ISBN 978-602-291-206-4. 
  97. ^ a b Nadjib, Emha Ainun (14 Mei 2018). "Reformasi NKRI, 7". CakNun.com. Diakses tanggal 6 Desember 2019. 
  98. ^ a b c d Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana. hlm. 32. 
  99. ^ Makka, A. Makmur (2008). Sidang Terakhir Kabinet Orde Baru: 12 Jam Sebelum Presiden Soeharto Mundur. Jakarta: Republika. hlm. 47. ISBN 978-979-110-240-7. 
  100. ^ Hisyam, Muhammad (2003). "Hari-Hari Terakhir Orde Baru". Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Pustaka Obor. hlm. 79. ISBN 978-602-433-161-0. 
  101. ^ a b c d Nadjib, Emha Ainun (2009). Demokrasi La Roiba Fih. Jakarta: Kompas. hlm. 115. ISBN 978-979-709-427-0. 
  102. ^ Tandjung, Akbar (2007). The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi. Jakarta: Gramedia. hlm. 69. ISBN 979-223-363-6. 
  103. ^ Parry, Richard Lloyd (2008). Zaman Edan: Indonesia di Ambang Kekacauan. Jakarta: Serambi. hlm. 227. ISBN 978-979-024-058-2. 
  104. ^ a b "Hari Ini 20 Tahun Silam: Saat Soeharto Bertekuk Lutut". CNN Indonesia. 21 Mei 2015. Diakses tanggal 8 Desember 2019. 
  105. ^ a b Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana. hlm. 94. 
  106. ^ a b Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 95. 
  107. ^ Najib, Muhammad (1999). Suara Amien Rais Suara Rakyat. Jakarta: Gema Insani Press. hlm. 128. ISBN 979-561-490-8. 
  108. ^ Demokrasi la Roiba Fih. hlm. 116. 
  109. ^ M, Wens (23 Mei 1998). "Kami Beri Waktu Habibie Enam Bulan Untuk Memenuhi Tuntutan Kaum Reformis". 
  110. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran. hlm. 93. 
  111. ^ Agustian, Fahmi (21 Mei 2018). "Ora Dadi Presiden, Ora Pathèken (Akad Nikah Lengser Keprabon Soeharto)". CakNun.com. Diakses tanggal 8 Desember 2019. 
  112. ^ Gaus AF, Ahmad (2010). Api Islam Nurcholish Madjid: Jalan Hidup Seorang Visioner. Jakarta: Kompas. hlm. 227. ISBN 978-979-709-514-7. 
  113. ^ Nadjib, Emha Ainun (17 Mei 2003). "Capres Kita 'Si Kung'". Majalah GATRA. Diakses tanggal 8 Desember 2019. 
  114. ^ Soempeno, Femi Adi (2008). Mereka Mengkhianati Saya: Sikap Anak-anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru. Yogyakarta: Galang Press. hlm. 172. ISBN 978-979-249-954-4. 
  115. ^ a b c "Pak Harto: Saya Kapok Jadi Presiden". Kompas. 20 Mei 1998. 
  116. ^ "Hari Ini dalam Sejarah: 21 Mei 1998 Jadi Saksi Keruntuhan Hegemoni Soeharto oleh Gerakan Reformasi". National Geographic Indonesia. 21 Mei 2019. Diakses tanggal 9 Desember 2019. 
  117. ^ Demokrasi La Roiba Fih. hlm. 117. 
  118. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran. hlm. 94. 
  119. ^ Demokrasi La Roiba Fih. hlm. 114. 
  120. ^ Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto: 2,5 Jam di Istana. hlm. 91. 
  121. ^ Sidang Kabinet Terakhir Orde Baru. hlm. 48. 
  122. ^ a b c d "Husnul Khatimah Ide Cak Nun Bukan Pak Harto". Majalah GARDA. 15–28 Februari 1999. 
  123. ^ "Membawa Ember ke Cendana". Majalah GATRA. 13 Februari 1999. 
  124. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran. hlm. 96. 
  125. ^ Nadjib, Emha Ainun (22 Mei 2002). "4 Sumpah Pak Harto". Jawa Pos. 
  126. ^ a b c "Mengatur Tobat Dari Desa Menturo". Majalah GATRA. 13 Februari 1999. 
  127. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 97. 
  128. ^ "Korupsi Soeharto Sulit Diadili Karena Dilegalkan Peraturan". Detik.com. 24 Januari 2008. Diakses tanggal 8 Desember 2019. 
  129. ^ a b Supraja, SH., M.Si., Dr. Muhammad (24 November 2018). "Alternatif Gerakan Indonesia Baru (Bagian-2)". Watyutink.com. Diakses tanggal 15 Desember 2019. 
  130. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 100. 
  131. ^ a b Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 105. 
  132. ^ Jufri, Ahmad Jamaluddin (23 Desember 2016). "Menyelami Maiyah Cinta Segitiga". CakNun.com. Diakses tanggal 15 Desember 2019. 
  133. ^ Effendy, Ahmad Fuad (2009). Ma’iyah di dalam Al-Qur`an: Sebuah Kajian Tematik (PDF). Jombang. 
  134. ^ a b c Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib. hlm. 171. 
  135. ^ Supraja, SH., M.Si., Dr.Muhammad (25 November 2018). "Alternatif Gerakan Indonesia Baru (Bagian-3)". Watyutink.com. Diakses tanggal 15 Desember 2019. 
  136. ^ a b Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib. hlm. 166. 
  137. ^ Soduwuh, Ihda Ahmad (5 September 2017). "Jalan Tengah Maiyah". CakNun.com. Diakses tanggal 15 Desember 2019. 
  138. ^ Saputra, Prayogi R (2016). Spiritual Journey: Pemikiran dan Permenungan Emha Ainun Nadjib. Jakarta: Kompas. hlm. 30. ISBN 978-602-412-092-4. 
  139. ^ "Pengajian Padang Mbulan, Dari Mengaji Hingga Membuat Bank Syariah". Republika. 9 Februari 1996. 
  140. ^ a b c d "Emha 'Kyai Mbeling' Ainun Nadjib: Bukan Organisasi, tapi Laboratorium Alam Pikir, Iman dan Sikap". Republika. 9 Februari 1996. 
  141. ^ Spiritual Journey. hlm. 73. 
  142. ^ a b c d e Anam, Saiful (6 Maret 1999). "Satu Purnama di Tepi Jombang". Majalah GATRA. 
  143. ^ "Konsultasi Usai Padhangmbulan". CakNun.com. 28 Maret 2017. Diakses tanggal 19 Desember 2019. 
  144. ^ Mustofa, Helmi (10 April 2017). "Al-Qur`an, Pengajian Maiyah, dan Masyarakat (1)". CakNun.com. Diakses tanggal 15 Desember 2019. 
  145. ^ Agustian, Fahmi (14 Oktober 2019). "Belajar Menjadi Manusia Sorogan dari Gamelan KiaiKanjeng". CakNun.com. Diakses tanggal 15 Desember 2019. 
  146. ^ Panuluh, Sabrang Mowo Damar (17 September 2018). "Kecerdasan Kolektif". CakNun.com. Diakses tanggal 15 Desember 2019. 
  147. ^ Semesta Emha Ainun Nadjib. hlm. 106. 
  148. ^ Agustian, Fahmi (1 Januari 2019). "Pengajian Kok Begitu: 10 Hal untuk Millenial Ketahui Tentang Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng". CakNun.com. Diakses tanggal 15 Desember 2019. 
  149. ^ a b "Opinium". Google Play Store. Diakses tanggal 19 Desember 2019. 
  150. ^ "Opinium, Aplikasi Penguji Hoaks Karya Pemuda Jatim". Tempo.co. 5 Mei 2018. Diakses tanggal 19 Desember 2019. 
  151. ^ a b c d e Sepotong Dunia Emha. hlm. 32. 
  152. ^ "Sajak-Sajak Serpanjang Jalan". CakNun.com. Diakses tanggal 12 Desember 2019. 
  153. ^ "Kru 'CAHAYA DI ATAS CAHAYA' Gelar Syukuran". KapanLagi.com. 20 Mei 2011. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 
  154. ^ Majid, Munzir (17 Juni 2019). "Proses Kreatif Album 'Perahu Retak'". CakNun.com. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 
  155. ^ "Tribute Untuk Franky Sahilatua di Konser Novia Kolopaking". KapanLagi.com. 16 Mei 2011. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 
  156. ^ "Emha di Mata Pengagum". Majalah GATRA. 2 Maret 1996. 
  157. ^ "Anugerah Adam Malik Untuk Emha". Jawa Pos. 5 September 1991. 
  158. ^ "Barangkali Saya Memang Konservatif". Jawa Pos. 10 September 1991. 
  159. ^ a b "Menbudpar Sematkan Satyalencana Kebudayaan 2010". antaranews.com. 24 Maret 2011. Diakses tanggal 24 Agustus 2016. 
  160. ^ "Noe Letto: Berkarya Tak Hanya Demi Penghargaan". KapanLagi.com. 24 Maret 2011. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 
  161. ^ "Diunggulkan Dapat Penghargaan, Reaksi Tio Datar". Kompas.com. 27 November 2012. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 
  162. ^ "Cak Nun dan Siti Zuhro Raih Penghargaan". LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). 10 Agustus 2017. Diakses tanggal 13 Desember 2019. 

Pranala luar