Bubuksah dan Gagangaking
Bubukṣah dan Gagangaking (variasi nama: Bubhuksah, Bela-belu yang dalam versi lisan Jawa modern terkadang ditambah gelar "syekh", Gagakaking, Dami Aking) adalah suatu cerita rakyat didaktis yang popular dari masa Majapahit, dan hingga sekarang diwariskan turun-temurun, baik secara lisan maupun tertulis (pada helai lontar, khususnya di Bali). Kisah ini diabadikan di beberapa candi dan potongan relief di Jawa Timur yang merupakan peninggalan Majapahit, seperti Candi Penataran, Candi Gambar Wetan, dan Candi Surawana. Cerita Bubuksah dan Gagangaking dalam relief candi sering kali ditampilkan bersama-sama cerita Sri Tanjung.
Cerita ini merupakan cerita didaktis keagamaan hasil pengembangan pujangga sastra Jawa asli. Isinya menceritakan bagaimana dua cara "laku" (ritual ibadah untuk mencapai tujuan tertentu) yang berbeda diukur hasilnya. Kesetiaan akan tujuan dari laku tersebut yang akan dinilai, bukan dari cara lakunya itu sendiri.
Jalan cerita
Karena diwariskan secara lisan turun-temurun, berbagai versi cerita ini muncul. Namun demikian, ada plot yang tetap dipertahankan. Berikut disampaikan versi yang cukup dikenal.
Ada dua orang bersaudara bernama Gagangaking (sang kakak) dan Bubuksah (adiknya), yang karena sesuatu hal (banyak versi mengenai hal ini), kemudian belajar untuk menjadi pertapa dan mendapat perkenan dewa. Mereka belajar dari seorang guru, namun dalam pelaksanaanlakú bertapanya menempuh dua jalan yang berbeda.
Gagangaking membatasi makan dan minum serta kenikmatan duniawi sebagai laku prihatin untuk mencapai tingkat spiritual tertinggi. Akibatnya tubuhnya menjadi kurus-kering; itulah mengapa ia dijuluki Gagangaking (artinya "tangkai kering"). Sebaliknya, sang adik - Bubuksah, yang artinya "usus serakah" - menempuh laku dengan menikmati segala hal yang duniawi, termasuk makan dan kesenangan, sebagai bentuk "tantangan" kepada tubuhnya sendiri sebagai bentuk pencapaian spiritual. Gagangaking, sebagai kakak mencoba mengingatkan Bubuksah agar meninggalkan cara laku tersebut, yang dianggapnya membuat sang pelaku mudah tergelincir dalam kenikmatan duniawi. Bubuksah menolak peringatan tersebut. Akhirnya, kedua bersaudara tersebut terlibat dalam perdebatan.
Menyaksikan perdebatan tersebut, sang Batara Guru menjadi prihatin. Untuk itu ia mengutus Dewa Kalawijaya untuk menguji keteguhan hati kedua pertapa tersebut. Dalam wujud harimau yang kelaparan, Kalawijaya mendatangi Gagangaking. Ia bermaksud untuk memangsa Gagangaking untuk menghilangkan laparnya. Gagangaking menolak maksud sang harimau dengan menyatakan bahwa ia terlalu kurus untuk dijadikan mangsa. Selanjutnya, sang harimau menemui Bubuksah dan menyatakan ingin memangsanya. Ternyata, Bubuksah menyediakan dirinya untuk dimangsa sang harimau karena menganggap itulah saatnya bagi dia untuk menuju tujuan lakunya, menghadap dewa.
Sang harimau lalu menyatakan bahwa Bubuksah dinyatakan lulus ujian dan mempersilakannya naik ke punggungnya untuk kemudian diantarkan menuju tempat para orang suci. Namun, sebelum berangkat, Bubuksah meminta sang harimau agar sang kakak, Gagangaking, juga ikut serta dengannya, dengan alasan ia pun juga telah melakukan laku tapa dengan tulus. Sang harimau menyetujui tapi dengan syarat Gagangaking tidak naik di punggungnya. Akhirnya Gagangaking ikut serta dengan berpegangan pada ekor sang harimau menuju ke tempat para orang suci.
Panil cerita di Candi Penataran
Nomor adegan | Gambar | Rincian cerita |
---|---|---|
1 | Adegan 1: | |
2 | Adegan 2: | |
3 | Adegan 3: | |
4 | Adegan 4: |
Bacaan
- Nawa Tunggal. Sudah 7 Abad, Misteri Relief Panji di Candi Penataran Belum Terkuak. TribunNews.com Edisi Rabu, 2 Desember 2015.
- Fadhil Nugroho Adi. Bubuksah-Gagang Aking, Dua Bersaudara yang Diabadikan di Relief Tiga Candi. Suara Merdeka daring. Edisi Selasa, 7 November 2017.
- Achmad Junaidi. Mengenal Lebih Jauh Blitar, Kota Makam Raja – Raja Episode 3 ( Candi Penataran/ Palah, Perwujudan Dewa Siwa). Deliknews.com. September 8, 2018.