Wanua Manurung

Revisi sejak 15 Maret 2020 10.09 oleh Fatimah Umar (bicara | kontrib) (Perbaikan struktur kalimat)

Wanua Manurung merupakan salah satu kawasan paling penting dalam sejarah lahirnya kerajaan Luwu, sekaligus menjadi kerajaan tertua di Pulau Sulawesi. Saat ini, Wanua Manurung masuk dalam wilayah teritorial Kabupaten Luwu timur, Sulawesi selatan. Nama nya pun kini berubah menjadi menjadi Desa Manurung

Wanua Manurung
Berkas:Lambang Kabupaten Luwu.jpg

Negara Indonesia
ProvinsiSulawesi Selatan
KabupatenLuwu Timur
KecamatanMalili
Kode pos
92981
Luas5,77 km²

Sejarah singkat

Dalam buku I Lagaligo, Wanua Manurung dapat diartikan sebagai tempat lahirnya awal peradaban dan berakhirnya mitos tentang adanya perkawinan silang antara kerajaan bumi dan kerajaan langit

Berawal dari cerita rakyat tentang Sawerigading yang merupakan seorang putera raja Luwu dari Kerajaan Luwu Purba, Sulawesi Selatan, Indonesia, Wanua Manurung adalah kawasan penting dalam catatan perjalanan tokoh tersebut. Dalam bahasa setempat Sawerigading berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas (lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung. Jadi nama Sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di atas bambu betung[1]. Nama ini dikenal melalui cerita yang termuat dalam Sureq Galigo (Periksa Edisi H. Kern 1939), dimulai ketika para dewa dilangit bermufakat untuk mengisi dunia ini dengan mengirim Batara Guru anak patotoe di langit dan Nyilitomo anak guru ri Selleng di peretiwi (dunia bawah) untuk menjadi penguasa di bumi. Dari perkawinan keduanya lahirlah putra mereka yang bernama Batara Lattu’, yang kelak menggantikan ayahnya penguasa di Luwu.

Dari perkawinan Batara Guru dengan beberapa pengiringnya dari langit serta pengiring We Nyilitomo dari peretiwi lahirlah beberapa putra mereka yang kelak menjadi penguasa di daerah-daerah Luwu sekaligus pembantu Batara Lattu’. Setelah Batara Lattu’ cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We Datu Sengeng, anak La Urumpassi bersama We Padauleng ditompottikka. Sesudah itu Batara Guru bersama isteri kembali kelangit. Dari perkawinan keduanya lahirlah Sawerigading dan We Tenriabeng sebagai anak kembar emas yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan

Mengenai masa hidup Sawerigading terdapat berbagai versi di kalangan ahli sejarah. Menurut versi Towani-Tolotang di Sidenreng, Sawerigading lahir pada tahun 564 M. Jika versi ini dihadapkan dengan beberapa versi lain, maka data ini tidak terlalu jauh perbedaanya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan tiga versi mengenai masa hidup Sawerigading, yaitu:

  1. Versi Sulawesi Tenggara, abad V;
  2. Versi Gorontalo, 900 dikurangi 50 = 850;
  3. Versi Kelantan - Terengganu, tahun 710.

Fakta sejarah memberi pandangan bahwa cerita Sawerigading mempunyai nilai sejarah yaitu adanya kronik di Bone, Soppeng dan Wajo yang menyatakan bahwa raja pertama mereka adalah Tomanurung yang bersumber dari keturunan Sawerigading. Demikian pula kaum bangsawan di Sulawesi Selatan, termasuk Luwu, menganggap bahwa La Galigo dan Sawerigading adalah nenek-moyang mereka. Dalam silsilah raja-raja di Sulawesi Selatan Lontara Panguriseng, di puncak silsilah itu terdapat tokoh-tokoh La Galigo, Sawerigading, Batara Lattu’ dan Batara Guru. Menurut Mills, yang menciptakan silsilah itu raja-raja itu sendiri untuk memperoleh legitimasi magis-religius yang menurut dugaan meniru model-model kronik Jawa. Sebenarnya mereka tidak menyebut tokoh Sawerigading sebagai tokoh sejarah, tetapi mereka mengklaim bahwa tokoh-tokoh itu benar-benar ada, walaupun sebagian besar ceritanya adalah fiksi.

Nilai budaya

Terlepas dari makna relijius yang terkait dengan nama daera ini, Wanua Manurung juga memberi pesan dalam nilai budaya yang dilestarikan masyarakat daerah bugis sampai saat ini

Dalam cerita masyarakat Bugis, Wanua Manurung memiliki beberapa nilai budaya antara lain nilai religius, sistem kepercayaan pra-Islam yang menggambarkan dunia gaib dan konsep kejadian manusia. Dalam cerita ini digambarkan bahwa dunia gaib adalah dunia dewa-dewa di langit, di bumi (mulatau) yang keturunan dewa-dewa. Seiring dengan perkembangan Islam dan agama lain di Luwu, maka nilai religius dari cerita ini lambat laun akan mengalami kepunahan, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat. Beberapa kepentingan cerita itu dalam kajian ilmu-ilmu sosial dapat diuraikan sebagai berikut:

  • Wanua manurung terkait makna sejarah dalam cerita rakyat dapat dilihat faktanya dengan adanya silsilah raja-raja di Sulawesi Selatan yang menghubungkan keturunan mereka dengan sisila raja,. namun fakta sejarah ini perlu mengalami telaah kritis dengan memilah-milah antara fakta sejarah dengan cerita mitos yang telah diselipkan dalam penyusunan silsilah tersebut.
  • Nilai mitos dan legenda sangat dominan dalam mewarnai cerita rakyat yang berhubungan dengan Wanua Manurung, terbukti dengan alur cerita, tokoh cerita tempat dan peristiwa cerita, sesuai dengan ciri-ciri yang dikategorikan cerita mitos dan legenda.
  • Walaupun cerita ini kurang bernilai sejarah dan lebih dominan bernilai mitos dan legenda, tetapi cerita ini dapat membantu dalam pengungkapan bukti-bukti yang bernilai arkeologis dalam merekonstruksi sejarah kebudayaan Sulawesi Selatan.
  • Semboyan daerah Luwu sebagai bumi Sawerigading, artinya masyarakat Luwu mengidentifikasikan jati diri mereka dengan seorang tokoh mitologis agar dapat mempunyai implikasi positif. Mungkin dapat dibandingkan dengan menyebut Irak sebagai bumi Abunawas
  • Wanua Manurung mewariskan budaya dan adat istiadat yang dijunjung tinggi masyarakat daerah Bugis yang kemudian menyebar ke semua daerah kerajaan di sulawesi Selatan seperti Bone, Wajo dan Gowa

Tokoh legenda

Putra daerah

Lihat pula

Pranala luar

Referensi

  1. ^ Profil Kecamatan Malili. Diakses tanggal 7 Juli 2012.
  2. ^ "ceritarakyatnusantara.com". Sawerigading berasal dari dua kata.. 4 april 2009. Diakses 2 feb 2012.
  3. ^ Desa Manurung Dinilai Tim P2WKSS Sulsel. Diaakses tanggal 4 Oktober 2010.
  4. ^ Sawerigading. Diakses tanggal 29 September 2015