Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto
Rumah Tinggal Hasmo Sugijarto adalah salah satu bangunan cagar budaya yang terletak di Jalan Moh. Yamin No. 4, Kelurahan Salatiga, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah. Bangunan rumah ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern yang memperlihatkan ciri arsitektur kolonial. Setidaknya hingga tahun 2020, kondisi fisik bangunan rumah tersebut terawat dengan baik.
Keadaan bangunan
Rumah Tinggal Notosoegondo Salatiga dibangun pada awal abad ke-20 dan diperkirakan berusia lebih dari 100 tahun. Rumah ini terletak di kawasan strategis, yaitu Jalan Moh. Yamin (dahulu bernama Julianalaan).[1][2] Pada masa pemerintahan gemeente (kotapraja), kawasan tersebut berkembang menjadi pusat kota yang dikenal dengan nama Europeesche Wijk.[3] Menurut Prakosa dan Supangkat, kawasan ini hanya boleh ditempati oleh orang-orang Eropa, Timur Asing, dan masyarakat pribumi yang memiliki penghasilan setara dengan pegawai Eropa, yaitu kategori golongan gaji A (gaji tertinggi).[4][5]
Bangunan rumah tinggal ini merupakan salah satu bukti fisik dari konsep kota modern yang memperlihatkan ciri arsitektur kolonial.
Merupakan kompleks bangunan rumah tinggal yang terdiri atas bangunan induk dan paviliun di sisi kiri bangunan.
belum ada perubahan desain maupun renovasi bentuk
menggunakan pondasi batu kali yang tinggi untuk menghindari resapan air supaya tidak merusak tembok tanpa lapisan semen
rumah tinggal beratapkan perisai ganda tiga dengan pendopo berbentuk gazebo pada sudut bangunan dan dilengkapi jendela-jendela persegi panjang
di sebelah kiri bangunan terdapat ruang keluarga yang menunjukkan bahwa rumah ini memiliki penghuni yang banyak
luas bangunan dan pekarangan sampai Jalan Margosari mulai ditempati oleh keluarga Hasmo sugiarto sejak tahun 1950.
hasmo sugiarto memiliki seorang istri yang berprofesi sebagai bidan dan memiliki 7 orang anak yang semuanya perempuan.
Kondisi bangunan ini terawat dengan baik, bentuk bangunannya masih asli dengan estetika bangunan bergaya art deco Indo-Eropa.[6] dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.[6]
Setidaknya hingga tahun 2020, kondisi fisik bangunan rumah tersebut terawat dengan baik, ..... Rumah tinggal yang berdekatan dengan Kantor Pos Salatiga tersebut terdaftar sebagai salah satu cagar budaya di Salatiga dengan Nomor Inventaris 111-73/Sla/67.[a] Pada tanggal 17 Juni 2015, bangunan ini menerima penghargaan dalam bentuk pemberian kompensasi pelestarian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah bersama dengan empat bangunan lainnya, yaitu GPIB Tamansari Salatiga, Susteran OSF St. Fransiskus Xaverius, Rumah Tinggal Notosoegondo, dan Rumah Tinggal di Jl. Semeru No. 20 Salatiga.[7][8]
Lihat pula
Keterangan
- ^ Berdasarkan pada hasil kajian dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Salatiga yang dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Salatiga bersama BPCB Jawa Tengah pada tahun 2009.
Rujukan
- ^ Saputra, Imam Yuda (27 April 2016). "Wisata Salatiga: Ini 11 Benda Cagar Budaya". Solopos. Diakses tanggal 12 Maret 2020.
- ^ Supangkat (2012), hlm. 21: "(...) Itulah sebabnya mereka seakan berlomba membangun rumah-rumah dan bangunan dengan arsitektur Eropa yang berhalaman luas di kanan-kiri Toentangscheweg, sampai akhirnya daerah tersebut benar-benar menjadi kawasan permukiman orang Eropa (Europeesche Wijk)".
- ^ Anwar (2019), hlm. 147: "Untuk wilayah yang saat ini bernama Jalan Diponegoro, Jalan Yos Sudarso, Jalan Patimura, Jalan Moh. Yamin, pada masa kolonial adalah zona Europeesche Wijk dihuni oleh orang Eropa yang kaya-raya (...)"
- ^ Prakosa (2017), hlm. 16: "Selain diskriminasi dalam lapangan politik, ekonomi, sosial, dan hukum, pemerintah kolonial juga membedakan penduduk dalam pola permukiman. Mereka dikelompokkan dalam lokasi tertentu berdasarkan golongan etnis. Golongan Eropa, misalnya, bermukim di sekitar Toentangscheweg (...)"
- ^ Supangkat (2012), hlm. 35: "(...) Itulah sebabnya mereka seakan berlomba membangun rumah-rumah dan bangunan dengan arsitektur Eropa yang berhalaman luas di kanan-kiri Toentangscheweg, sampai akhirnya daerah tersebut benar-benar menjadi kawasan permukiman orang Eropa (Europeesche Wijk)".
- ^ a b Pemerintah Kota Salatiga (tanpa tanggal). "Bangunan Cagar Budaya". Pemerintah Kota Salatiga. Diakses tanggal 12 Maret 2020.
- ^ Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (19 Juni 2015). "Pemberian Kompensasi Pelestari Cagar Budaya Kota Salatiga". Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 11 Maret 2020.
- ^ Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (19 Juni 2015). "Bangunan-Bangunan di Kota Salatiga Penerima Kompensasi Pelestarian". Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 11 Maret 2020.
Daftar pustaka
Buku
- Prakosa, Abel Jatayu (2017). Diskriminasi Rasial di Kota Kolonial: Salatiga 1917-1942. Semarang: Sinar Hidoep. ISBN 978-602-6196-60-6.
- Raap, Olivier Johannes (2015). Kota di Djawa Tempo Doeloe. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-602-4243-61-6.
- Supangkat, Eddy (2012). Salatiga: Sketsa Kota Lama. Salatiga: Griya Media. ISBN 978-979-7290-68-9.
Jurnal ilmiah
- Anwar, Muhammad Khoirul (Agustus 2019). "Rekonstrusi Kota Kolonial Salatiga dan Kontribusi Teknologi Geographical Information System". 3 (2). ISSN 2549-3884.