Tradisionalisme Jawa merupakan salah satu bentuk konsep aliran pemikiran politik yang mewarnai aliran politik di Indonesia. Konsep pemikiran tradisionalisme jawa merupakan konsep asli yang berasal dari nusantara. Tradisionalisme Jawa merupakan sebutan untuk tindakan masyarakat Jawa yang mengaplikasikan nilai-nilai budaya jawa yang dianut dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Nilai-nilai budaya jawa ini juga dijadikan pedoman bertindak dalam ranah politik. Tradisionalisme Jawa dalam bidang politik muncul didorong oleh keinginan nilai-nilai dan cita-cita politik idaman masyarakat Jawa. Tradisionalisme Jawa memiliki tujuan yang sama dengan nasionalisme radikal, yaitu menghormati negara kesatuan dan pemimpinnya, menginginkan negara yang berprinsip bahwa setiap manusia sama derajatnya dan sama-sama ingin bahagia. Dalam praktiknya, konsep pemikiran politik tradisionalisme jawa ini pernah digunakan oleh salah satu presiden Indonesia yaitu Soeharto. Dengan menerapkan konsep tradisionalisme jawa tersebut pemerintahan Soeharto dapat mampu mempertahankan kekuasaannya yang terbukti telah memimpin Indonesia selama 32 tahun. Soeharto menggunakan konsep pemimpin dalam kalangan masyarakat Jawa yang kedudukannya disamakan dengan kedudukan seorang raja. Seorang raja memiliki kekuasaan yang terpusat padanya, hampir tiada batas (kekuasaan absolut). Akan tetapi, dalam pemikiran Jawa kekuasaan yang demikian haruslah diiringi dengan dikap-sikap yang berbudi luhur, mulia, dan kasih sayang.

Ciri Politik Tradisionalisme Jawa

Pemikiran politik tradisionalisme jawa memiliki ciri yaitu,

  1. kekuasaan bersifat konkrit dimana kekuasaan itu adalah bentuk realitas seperti kekuatan yang ada pada benda seperti air, tanah, api. Biasanya sifat konkrit ini juga dimaknai sebagai suatu kekuasaan politik, dimana kekuasaan yang ada adalah suatu bentuk ungkapan dan seorang penguasa tersebut memiliki kekuatan yang sakti.
  2. Kekuasaan bersifat homogen, semua kekuasaan berasal dari sumber yang sama dan memiliki kualitas yang sama.
  3. Kekuasaan tidak mempermasalahkan keabsahan, contohnya ketika kerajaan Mataram lama masih berjaya, mereka membuat monumen, namun rakyat sekitar tidak suka, sehingga mereka memindahkan kerajaannnya ke Jawa Timur dan terjadi akumulasi kekuasaan. Dengan adanya kekuasaan yang berada di Jawa Timur, kekuasaan yang berada di Mataram lama semakin merosot.
  4. Kekuasaan bersifat konstan atau tetap, artinya pemusatan kekuasaan di suatu tempat sama artinya dengan pengurangan kekuasaan di tempat lain, jadi apabila terdapat seorang pemimpin yang akan menempati suatu kedudukan, maka harus terdapat penurunan suatu penguasa juga sehingga jumlah nya akan tetap atau konstan.
  5. Kesaktian pemimpin diukur dari besarnya monopoli kekuasaan, semakin besarnya suatu kekuasaan maka dapat diperlihatkan dengan semakin besarnya penguasa tersebut dapat memonopoli suatu wilayah.
  6. Tidak membutuhkan legitimasi, dimana segala kekuasaan dan hukum berasal dari raja karena raja adalah sumber kedaulatan. Dengan demikian, tidak dibutuhkan hukum sebagai syarat legitimasi kekuasaan.[1]

Sifat-Sifat Kekuasaan Jawa

  1. Kongkrit, karena kekuasaan ini dipandang sebagai bentuk ungkapan kasekten (sakti).
  2. Homogen, karena berasal dari sumber yang sama dan memiliki kualitas yang sama pula. Sumber yang sama yakni kekuatan yang satu meresapi seluruh dunia ini.
  3. Konstan, karena kekuasaan dipandang hanya berubah dalam pembagian kekuasaannya saja. Artinya, jika terjadi pemusatan kekuasaannya di suatu tempat, maka kekuasaan di daerah lainnya akan berkurang di tempat lainnya.
  4. Kesaktian seorang pemimpin diukur dari monopoli kekuasaan.
  5. Kekuasan terlihat dari sikap yang tenang, karena ketenangan dianggap sebagai inti dari manusia beradab, kekuatan batin, dan kontrol diri yang sempurna.
  6. metaempiris, sehingga cara untuk mendapatkan kekuasaan ini tidak dengan cara-cara yang empiris. Yang bisa dilakukan untuk mendapatkannya yakni dengan pemusatan tenaga kosmis, yang sering kali didapatkan melalui pengalaman "panggilan".
  7. Kekuasan dianggap hilang bila pemimpin mulai menunjukkan sikap pamrihnya
  8. Kekuasaan tidak memerlukan legitimasi hukum. Raja dipandang sebagai sumber kedaulatan, dimana segala kekuasaan dan hukum berasal dari raja. Karena itulah, ia tidak perlu legitimasi dan pembatasan kekuasaan melaluiu hukum dalam menggunakan kekuasaannya
  9. Kekuasaan dinilai dari hasil yang dicapai. Kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran rakyat lah yang menjadi tolak ukur hasil yang dicapai dari penggunaan kekuasaan raja.[2]

Referensi

  1. ^ Anderson, Benedict R.O’G., 1984,“Gagasan tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa”,dalam Miriam Budiardjo (Ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta:Penerbit Sinar Harapan.
  2. ^ https://www.academia.edu/8907825/Pemikiran_Politik_Tradisional_Jawa