Majas

teknik yang digunakan untuk memberikan arti tambahan, ide, atau perasaan untuk pesan literal
Revisi sejak 31 Maret 2020 18.25 oleh Rachmat04 (bicara | kontrib) (Dikembalikan ke revisi 16449940 oleh Akmal agassi (bicara))

Majas atau gaya bahasa yaitu pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu yang membuat sebuah karya sastra semakin hidup, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis.[1] Majas digunakan dalam penulisan karya sastra, termasuk di dalamnya puisi dan prosa. Umumnya puisi dapat mempergunakan lebih banyak majas dibandingkan dengan prosa.

Jenis-jenis majas

Majas perbandingan

  • Alegori: Menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran.
Contoh: Perjalanan hidup manusia seperti sungai yang mengalir menyusuri tebing-tebing, yang kadang-kadang sulit ditebak kedalamannya, yang rela menerima segala sampah, dan yang pada akhirnya berhenti ketika bertemu dengan laut.
  • Alusio: Mengungkapkan suatu hal dengan kiasan yang memiliki kesamaan dengan yang telah terjadi sebelumnya.
Contoh: Megawati berhasil menjadi Kartini modern karena menjadi presiden wanita pertama di Indonesia.
  • Simile: Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan penghubung, seperti layaknya, bagaikan, umpama, ibarat, dll.
Contoh: Kau umpama air aku bagai minyaknya, bagaikan Qais dan Laila yang dimabuk cinta berkorban apa saja.
  • Metafora: Gaya Bahasa yang membandingkan suatu benda dengan benda lain karena mempunyai sifat yang sama atau hampir sama.
Contoh: Cuaca mendung karena sang raja siang enggan menampakkan diri. Totok itu seperti ananta.
  • Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
  • Sinestesia: Majas yang berupa suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang dicurahkan lewat ungkapan rasa indra lainnya.
Contoh: Dengan telaten, Ibu mengendus setiap mangga dalam keranjang dan memilih yang berbau manis. (Bau: indera penciuman, Manis: indera pengecapan)
  • Antonomasia: Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
  • Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
  • Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
Contoh: Karena sering menghisap jarum, dia terserang penyakit paru-paru.(Rokok merek Djarum)
  • Hipokorisme: Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.
Contoh: Lama Otok hanya memandangi ikatan bunga biji mata itu, yang membuat Otok kian terkesima.
  • Litotes: Ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri.
Contoh: Terimalah kado yang tidak berharga ini sebagai tanda terima kasihku.
  • Hiperbola: Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal.
Contoh: Gedung-gedung perkantoran di kota-kota besar telah mencapai langit.
  • Personifikasi: Pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia.
Contoh: Hembusan angin di tepi pantai membelai rambutku.
  • Depersonifikasi: Pengungkapan dengan membuat manusia menjadi memiliki sifat-sifat sesuatu bukan manusia.
Contoh: Hatinya telah membatu, padahal semua orang sudah berusaha menasihatinya.
  • Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
Contoh: Sejak kemarin dia tidak kelihatan batang hidungnya.
  • Totem pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
Contoh: Indonesia bertanding voli melawan Thailand.
  • Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
Contoh: Dimana saya bisa menemukan kamar kecilnya?
  • Disfemisme: Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.
Contoh: Apa kabar, Roni? (Padahal, ia sedang bicara kepada bapaknya sendiri)
  • Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
Contoh: Kucing itu berpikir keras, bagaimana cara terbaik untuk menyantap tikus di depannya.
  • Parabel: Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
  • Perifrasa: Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
  • Eponim: Menyebutkan nama seseorang yang memiliki hubungan dengan sifat tertentu yang ingin diungkapkan.
Contoh: Kami berharap kau belajar yang giat agar menjadi Einstein.
  • Simbolik: Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.
  • Asosiasi: perbandingan terhadap dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama.
Contoh: Masalahnya rumit, susah mencari jalan keluarnya seperti benang kusut.

Majas sindiran

  • Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut.
Contoh: Suaramu merdu seperti kaset kusut.
Contoh: Kamu tidak dapat mengerjakan soal yang semudah ini? Dasar otak udang isi kepalamu!
  • Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
Contoh: Kamu kan sudah pintar ? Mengapa harus bertanya kepadaku ?
  • Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
  • Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya.

Majas penegasan

  • Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan.
  • Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Contoh: Saya naik tangga ke atas.
  • Repetisi: Perulangan kata, frasa, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat.
Contoh: Dia pasti akan datang, dan aku yakin, dia pasti akan datang ke sini.
  • Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan.
  • Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara berurutan.
Contoh: Dengar daku. Dadaku disapu.
  • Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frasa, atau klausa yang sejajar.
  • Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
  • Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek tertentu.
Contoh: Kutulis surat ini kala hujan gerimis. (Salah satu kutipan puisi W.S. Rendra)
  • Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan.
  • Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting.
Contoh: Baik rakyat kecil, kalangan menengah, maupun kalangan atas berbondong-bondong menuju ke TPS untuk memenuhi hak suara mereka.
  • Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting.
  • Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
Contoh: Dikejar oleh Anna kupu-kupu itu dengan begitu gembira.
  • Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut.
  • Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
  • Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
  • Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung.
  • Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung.
  • Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat.
  • Eksklamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
  • Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi bagian suatu keseluruhan.
  • Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan maksud yang sebenarnya.
  • Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
  • Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat.
  • Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
  • Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu.
Contoh: Perlu saya ingatkan, Kakek saya itu peramah dan juga pemarah.

Majas pertentangan

  • Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.
  • Oksimoron: Paradoks dalam satu frasa.
  • Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan yang lainnya.
  • Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya.
  • Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan waktunya

Referensi

  • Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2007. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Tera, Yogyakarta.

Catatan kaki

  1. ^ Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga. 2002.