Gele Harun Nasution
Mr. Gele Harun Nasution (6 Desember 1910 – 4 April 1973) adalah seorang hakim, pengacara dan politikus Indonesia. Ia adalah Residen Lampung dari tahun 1950 hingga 1955. Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Daerah Lampung pada 10 November 2015.[1]
Gele Harun Nasution | |
---|---|
Residen Lampung | |
Masa jabatan 1950–1955 | |
Anggota DPR-GR/MPRS | |
Masa jabatan 1965–1968 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Sibolga, Sumatra Utara | 6 Desember 1910
Meninggal | 4 April 1973 Bandar Lampung, Lampung | (umur 62)
Makam | TPU Kebon Jahe, Bandar Lampung |
Partai politik | Partai Nasional Indonesia |
Orang tua | Harun Al Rasyid Nasution |
Sunting kotak info • L • B |
Biografi
Gele Harun lahir di Sibolga, 6 Desember 1910. Meski berdarah Batak, Gele Harun sudah tidak asing lagi dengan Lampung sebab ayahnya, Harun Al-Rasyid Nasution yang merupakan seorang dokter sejak dahulu telah menetap dan memiliki tanah yang sangat luas di Tanjungkarang Timur.[2] Gele Harun dikirim orang tuanya untuk belajar hukum di sekolah hakim tinggi di Leiden, Belanda.[3] Pada akhir tahun 1938 ia kembali ke tanah air dengan membawa gelar Mr. atau meester in de rechten. Lalu, ia membuka kantor advokat pertama di Lampung.[2]
Pada tahun 1945, ia memulai perjuangannya dari Angkatan Pemuda Indonesia (API) dengan menjadi ketuanya. Tetapi aktivitas itu terhenti saat ia ditugaskan menjadi hakim di Mahkamah Militer Palembang, Sumatra Selatan tahun 1947 dengan pangkat letnan kolonel (tituler).[2] Dengan adanya ultimatum dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus van Mook yang mengharuskan seluruh tentara Indonesia termasuk hakim militer angkat kaki dari Palembang, Gele Harun memutuskan kembali ke Lampung dan bergabung kembali dengan API hingga ikut mengangkat senjata saat Agresi Militer Belanda II tahun 1948.[2]
Pada 5 Januari 1949, Gele Harun diangkat sebagai acting Residen Lampung (kepala pemerintahan darurat) menggantikan Residen Rukadi. Baru sebentar bertugas, pada 18 Januari 1949, Gele Harun terpaksa memindahkan keresidenan dari Pringsewu ke Talangpadang. Hal ini dilakukan karena Belanda telah memasuki kawasan Pringsewu. Serangan Belanda yang begitu bertubi-tubi, membuat Gele Harun kembali memindahkan pemerintahan darurat ke pegunungan Bukit Barisan di Desa Pulau Panggung, dan terakhir hingga ke Sumber Jaya, Lampung Barat.[2]
Saat berjuang di Waytenong, kondisi makanan dan obat-obatan yang sulit didapatkan, menyebabkan seorang putrinya Herlinawati yang berusia delapan bulan meninggal dunia. Jasadnya dimakamkan di sebuah desa di tengah hutan kawasan itu juga. Gele Harun dan pasukannya keluar dari hutan Waytenong setelah gencatan senjata antara Indonesia-Belanda pada 15 Agustus 1949. Tapi, Gele Harun dan pasukannya baru kembali ke Tanjungkarang setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1947.[2]
Sekembalinya ke Tanjungkarang, ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan Negeri pada 1 Januari 1950. Lalu ia diangkat kembali menjadi Residen Lampung yang "definitif" pada tanggal 1 Januari 1950 hingga 7 Oktober 1955. Selain berjuang melawan penjajah, Gele Harun berperan dalam pembentukan Lampung sebagai provinsi.[2] Gele Harun sempat menjadi anggota Dewan Konstituante pada tahun 1956 hingga 1959 dan anggota DPR-GR/MPRS dari fraksi PNI periode 1965-1968. Selepas itu, dia kembali pada profesi lamanya, yakni sebagai advokat. Profesi pengacara itu ditekuninya hingga mengembuskan napas terakhir pada 4 April 1973. Gele Harun wafat di usia 62 tahun. Jasadnya dimakamkan di TPU Kebonjahe, Enggal, Bandar Lampung.
Karier
- Advocaat en Procureur di Lampung (1938–1942)
- Ketua Pengadilan Negeri Tanjungkarang (1942–1945)
- Ketua Pengadilan Negeri merangkap Ketua Mahkamah Militer Sumatra Selatan (1945–1948)
- Kepala Pemerintahan Darurat merangkap Pemimpin Gerilya Lampung (1949–1950)
- Residen Lampung (1950–1955)
- Anggota Konstituante (1956–1959)
- Anggota DPR-GR/MPRS dari PNI (1965–1968)
- Pengacara (1968-1973)
Referensi
Bibliografi
- Amiruddin Sormin, 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 tahun Kebangkitan Nasional.Hal 5 dan 26 .ISBN 978979250311.