Sejarah kelapa sawit (Elaeis guineensis) di Indonesia berawal pada tahun 1848, ketika orang Belanda membawa empat biji kelapa sawit dari Bourbon, Mauritius, dan Hortus Botanicus, Amsterdam, Belanda. Keempat biji kelapa sawit itu kemudian ditanam di Kebon Raya Bogor dan ternyata berhasil tumbuh dengan subur. Setelah berbuah, biji-biji dari induk kelapa sawit tersebut disebar ke Sumatra.

Asal mula

Kelapa sawit (Elaeis guineensis) bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini merupakan tanaman asli dari Afrika Barat dan Afrika Tengah.[1] Di Indonesia, sejarah kelapa sawit berawal dari empat biji kelapa sawit yang dibawa oleh Dr. D. T. Pryce[2], masing-masing dua benih dari Bourbon, Mauritius dan dua benih lainnya berasal dari Hortus Botanicus,[3] Amsterdam, Belanda, pada tahun 1848.[4]

 
Monumen kelapa sawit di Kebon Raya Bogor, tempat empat biji kelapa sawit dari Mauritius dan Hortus Botanicus, ditanam.

Empat biji kelapa sawit tersebut kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor yang ketika itu dipimpin oleh Johanes Elyas Teysman dan berhasil tumbuh dengan subur.[5] Di Kebon Raya Bogor, pohon kelapa sawit tersebut tumbuh tinggi dengan ketinggian 12 meter dan menjadi pohon kelapa sawit tertua di Asia Tenggara.[6] Namun, pada 15 Oktober 1989, induk pohon kelapa sawit itu mati.

Pada tahun 1853 atau lima tahun setelah ditanam, pohon kelapa sawit di Kebon Raya Bogor menghasilkan buah. Biji-biji kelapa sawit itu kemudian disebar secara gratis, termasuk dibawa ke Sumatra pada tahun 1875[1], untuk menjadi tanaman hias di pinggir jalan.[3] Tidak disangka, ternyata kelapa sawit tumbuh subur di Deli, Sumatra Utara, pada tahun 1870-an, sehingga bibit-bibit kelapa sawit dari daerah ini terkenal dengan nama kelapa sawit "Deli Dura".[6]

Era Hindia Belanda

Semula, orang-orang Belanda tidak terlalu menaruh perhatian besar terhadap kelapa sawit. Mereka lebih mengenal minyak kelapa. Namun, revolusi industri (1750-1850) yang terjadi di Eropa, mendorong terjadinya lonjakan permintaan terhadap minyak. Hal ini mendorong pemerintahan Hindia Belanda mencoba melakukan penanaman kelapa sawit di beberapa tempat. Percobaan penanaman kelapa sawit pertama kali dilakukan di Karesidenan Banyumas antara tahun 1856 hingga 1870, namun tidak menghasilkan minyak yang baik meski berbuah empat tahun lebih cepat dibandingkan di Afrika yang membutuhkan waktu 6-7 tahun. Selanjutnya, percobaan penanaman kedua dilakukan pemerinahan Hindia Belanda di Palembang, di Muara Enim tahun 1869, Musi Ulu tahun 1870, dan Belitung tahun 1890. Namun, hasilnya masih kurang baik, karena cuaca di Palembang, yang tidak cocok. Hal yang sama juga terjadi di Banten, meski coba dilakukan perkebunan kelapa sawit pada tahun 1895.[3]

Perintis

Perkebunan kelapa sawit berskala besar kemudian dibuka untuk pertama kalinya pada tahun 1911 oleh perusahaan yang didirikan oleh Adrien Hallet asal Belgia dan K. Schadt di Pantai Timur Sumatra (Deli) dan Sungai Liat, Aceh, melalui perusahaannya yang bernama Sungai Liput Cultuur Maatschappij,[3] dengan luas 5.123 hektare.[6]

Pada tahun 1911 tercatat ada tujuh perusahaan perkebunan kelapa sawit, yakni Onderneming Soengei Lipoet, Onderneming Kuala Simpang, N.V Moord Sumatra Rubber Maatschappij, Onderneming Soengei Ijoe, Tanjung Suemanto', Batang Ara, dan Mopoli, yang sebagian besar memiliki kebun-kebun karet. Di Aceh Timur pada tahun 1912 terdapat 18 konsesi perkebunan karet dan kelapa sawit dan kembali bertambah menjadi 20 perusahaan perkebunan pada tahun 1923, dengan rincian 12 adalah perusahaan perkebunan karet, tujuh perkebunan kelapa sawit dan satu perkebunan kelapa.[7]

Pada tahun 1911-1912 didirikan pusat perbenihan kelapa sawit di Marihat. bernama Algemene Vereneging voor Rubberpalnters ter Oostkus van Sumatera (AVROS), di Sumatra Utara dan Rantau Panjang, Kuala Selangor.[6]

Ekspor kelapa sawit pertama terjadi pada tahun 1919 yang berasal dari perkebunan di Pesisir Timur Sumatra. Namun, memasuki Perang Dunia Pertama, produksi kelapa sawit berjalan lambat dan baru setelah Depresi Besar tahun 1921, aktivitas penanaman kelapa sawit kembali bergairah. Pada tahun 1924, luas area perkebunan kelapa sawit meningkat dari 414 hektare menjadi 18.801 hektare.Di Jawa juga muncul pabrik-pabrik minyak kelapa sawit berskala kecil yang memproduksi sabun dan mentega.[3]

Pada tahun 1925, lahan kelapa sawit yang telah ditanami di Sumatra mencapai 31.600 hektare dan terus bertambah menjadi 75.000 hektare pada tahun 1936[1] dari hanya seluas 6.920 hektare tahun 1919. Produksi kelapa sawit dari tahun 1919 ke tahun 1937 melonjak drastis dari 181 ton menjadi 190.627 ton crude palm oil (CPO) dan 39.630 ton kernel oil.[8]

Hingga tahun 1940 total area luas perkebunan kelapa sawit di Hindia Belanda telah mencapai 100.000 hektare yang dimiliki oleh 60 perusahaan. Kapal-kapal tanker berisikan minyak kelapa sawit terus-menerus dikirim dari Aceh, Asahan, dan Lampung menuju Rotterdam, Belanda, untuk memenuhi kebutuhan pabrik sabun dan margarin di Eropa.[3]

Era pendudukan Jepang

Pada zaman pendudukan Jepang (1942-1945), perkebunan kelapa sawit Indonesia menurun tajam. Jumlah lahan perkebunan kelapa sawit menyusut 16% yang membuat produksi minyak sawit anjlok menjadi 56 ribu ton pada tahun 1948/1949, padahal pada tahun 1940, Indonesia dapat mengekspor sebanyak 250 ribu ton dan baru meningkat kembali menjadi 200 ribu ton pada tahun 1950-an.[9]

Ketika itu, Jepang juga mengambil alih penguasaan perkebunan-perkebunan di Sumatra Timur dari pengusaha-pengusaha kecil, sehingga mengubah struktur kepemilikan. Oleh Jepang, hasil kelapa sawit bukan untuk diekspor namun untuk memenuhi kebutuhan perang. Sayangnya, blokade yang dilakukan pasukan Sekutu terhadap kapal-kapal Jepang di Selat Malaka membuat Jepang tidak bisa mengirim hasil kelapa sawit hingga menumpuk di gudang-gudang perkebunan.[4]

Era Kemerdekaan

Pada era kemerdekaan, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan Jepang, termasuk perusahaan perkebunan. Namun, proses nasionalisasi ini belum mampu meningkatkan produksi kelapa sawit secara besar-besaran mengingat masih terjadinya beberapa pemberontakan di daerah dan keterbatasan pengetahuan petani.[3]

Jumlah perusahaan Belanda yang dinasionalisasi pada awalnya adalah perusahaan perkebunan tembakau berjumlah 38 perusahaan, kemudian ditambah lagi 205 perusahaan perkebunan dengan mayoritas adalah perkebunan karet, disusul teh, kopi, tebu berikut pabrik gulanya, kelapa, kelapa sawit, cengkih dan lain sebagainya. Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia kembali menasionalisasi 22 perusahaan perkebunan pala. Seluruh perusahaan perkebunan hasil nasionalisasi kemudian disatukan di bawah Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) Baru yang berdiri pada tahun 1957.[10]

PPN-Lama yang berjumlah 40 perusahaan perkebunan yang dinasionalisasi pada September 1950, kemudian digabungkan dengan PPN-Baru di bawah naungan Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara (BPU-PPN) dengan pembagian berdasarkan komoditas, yakni karet, gula, tembakau, dan aneka tanaman, dengan total keseluruhan 88 PPN. Pada tahun 1967, BPU-PPN dibubarkan dan pemerintah mengubah status perusahaan perkebunan PPN menjadi perseroan terbatas dengan membaginya menjadi PT Perkebunan (PTP) I hingga PT Perkebunan IX dan selanjutnya dipisahkan menjadi PTPN I hingga PTPN XIV.[10]

PT Perkebunan Nusantara I adalah perusahaan hasil nasionalisasi dari perusahaan perkebunan swasta milik Hindia Belanda dan Jepang. Perusahaan hasil nasionalisasi ini diberi nama PPN Kesatuan Aceh berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 142 tahun 1961 dan berganti nama menjadi PNP-1 berdasarkan PP No 14 Tahun 1968. Baru pada 2 Mei 1981, perusahaan berganti nama menjadi PT Perkebunan-I dan menjadi PT Perkebunan Nusantara I pada tanggal 14 Februari 1996, hasil penggabungan PT Perkebunan I, PT Cot Girek Baru, PT Perkebunan V dan PKS Cot Girek PT Perkebunan IX.[11]

Setelah Indonesia merdeka, perkembangan pesat perkebunan kelapa sawit baru terjadi pada tahun 1980-an. Pada awal tahun 1980-an, luas perkebunan kelapa sawit baru mencapai 200.000 hektare, yang umumnya adalah kebun-kebun peninggalan kolonial Hindia Belanda. Melalui program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Transmigrasi dan program kredit Pengembangan Besar Swasta Nasional (PBSN), perkebunan kelapa sawit berkembang pesat.[5]

Pemerintah mengembangkan empat tipe program Perkebunan Inti Rakyat, yakni pertama, PIR khusus dan lokal tersebar di 12 provinsi pada tahun 1980. Hasilnya tercipta lahan perkebunan kelapa sawit baru seluas 231.535 hektare, terdiri atas 67.754 hektare perkebunan inti dan 163.781 hektare perkebunan plasma. Kedua adalah program PIR Transmigrasi yang dimulai pada tahun 1986 di 11 provinsi. Program ini menghasilkan perkebunan kelapa sawit baru seluas 566 ribu hektare terdiri atas 70% perkebunan plasma dan 30% berupa perkebunan plasma. Ketiga adalah program PIR Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (PIR-KKPA) dengan melibatkan 74 Koperasi Unit Desa. Keempat adalah PIR Revitalisasi Perkebunan yang dimulai pada tahun 2016 melalui PMK No 117/PKM.06/2006 dengan memberikan subsidi bunga kredit untuk pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan rakyat. Program PIR ini menghasilkan peningkatan area perkebunan kelapa sawit milik rakyat dari 6 ribu hektare pada tahun 1980 menjadi 5,81 juta hektare tahun 2019.[12]

Program Pengembangan Besar Swasta Nasional (PBSN) dirintis pada tahun 1977 dan terbagi menjadi tiga tahapan, yakni PBSN I periode 1977-1981, PBSN II periode1981-1986 dan PBSN III periode 1986-1990.[13]

Perkebunan kelapa sawit tertua

Sime Darby Plantation

Kehadiran Sime Darby Plantation terjadi pada tahun 1907, ketika Crosfield, Lampard & Co, mengakuisisi lahan perkebunan di Malacca, Selangor, dan Perak, seluas 6.673 hektare dan mengakuisisi lahan perkebunan Begerbang di Sumatra. Sebelumnya, Harrisons & Crosfield mengakuisisi Pataling Company, perusahaan perkebunan karet di Selangor, pada tahun 1903. Pada tahun yang sama, Guthrie & Co kemudian bekerja sama dengan Scott & Co mendirikan perusahaan patungan bernama Guthrie and Company Ltd dengan modal sebesar RM 1 juta.[14]

Pada tahun 1910, William Middleton Sime, Henry d'Esterre Darby dan Herbert Milford Darby mendirikan Sime, Darby & Co di Malacca. Pada tahun 1912, Guthrie menjadi agen perkebunan di Borneo (Kalimantan) dan Sumatra, termasuk perusahaan asuransi, bank, distributor sepeda motor, mobil dan Singapore Electric Tramway Company. Baru pada tahun 1920, Guthrie and Co mengakuisisi lahan perkebunan di Mengkibol, Johor, dan menanaminya dengan kelapa sawit.[15]

Socfin Indonesia

Perusahaan perkebunan yang kini bernama Socfin Indonesia (Socfindo) didirikan pada tahun 1908 oleh seorang teknisi agronomi asal Belgia bernama Adrien Hallet (1867-1925). Setelah sukses menjadi pengusaha perkebunan di Kongo, Afrika, Hallet memutuskan pergi ke Malaysia. Di negeri tersebut, Hallet mendirikan perusahaan bernama La Compagnie du Selangor pada tahun 1906.[16]

Hallet lalu memutuskan pergi ke Hindia Belanda, persisnya ke Sumatra, kemudian mendirikan dan menjadi direktur perusahaan bernama Sungei Lipoet Cultuur Maatschaappij yang mengelola lahan perkebunan karet seluas 1.500 hektare di Tamiang, Aceh. Pada tahun 1909, Hallet turut menjadi salah satu pendiri perusahaan Société Financière des Caoutchoucs Societé Anonyme (Socfin SA) yang tercatat di Brussels, Belgia.[17] Setahun kemudian dia bekerja sama dengan Rivaud Group untuk mencari lokasi ideal di Indochina untuk menanam karet dan pada tahun 1919, saham perusahaan Socfin S.A diambil alih oleh Rivaud Group.[16]

Baru pada tahun 1911, Hallet membuka lahan perkebunan kelapa sawit di atas area lahan seluas 5.123 hektare.[6] Fasilitas penelitian dan pengembangan didirikan pada tahun 1918 di Medan.[16] Setelah itu, Sungei Lipoet Cultuur Maatschaappij kemudian berturut-turut membuka area perkebunan lainnya di Sumatra Utara, yakni di Mata Pao tahun 1927, Negeri Lama tahun 1928, dan Tanah Bersih (1937). Di Aceh, area perkebunan sawit yang dibuka adalah di Seunagan (1930), Seumanyam (1936), dan Lae Butar (1938).[17]

Hallet sendiri meninggal dunia pada tahun 1925 dengan meninggalkan sejumlah perusahaan yakni Socfin S.A and Banco yang beroperasi di Afrika, Indochina dan Asia Tenggara. Area perkebunan yang dimiliki pada saat itu sudah mencaai 73 ribu hektare perkebunan karet, 29 ribu hektare perkebunan kelapa sawit dan 21 ribu hektare perkebunan kopi. Generasi penerusnya, yakni Robert Hallet, kemudian mengambil alih kepemimpinan perusahaan dan bisnis perusahaan terus berkembang pesat.[16]

Sebelum meninggal pada tahun 1947, Robert Hallet berhasil mengembangkan perusahaan dengan total luas area mencapai 350 ribu hektare pada tahun 1940, terdiri atas 73 ribu hektare perkebunan karet, 31 ribu hektare perkebunan kelapa sawit, dan 36 ribu hektare perkebunan kopi. Grup perusahaan berhasil memproduksi 6% dari pasar karet internasional dan 20% pasar kelapa sawit dunia pada saat itu dan secara bertahap mulai meninggalkan perkebunan kopi.[16]

Di Indonesia, perusahaan ini kemudian terkena nasionalisasi pada tahun 1965. Baru pada tahun 1968, PT Socfin Indonesia berdiri melalui kerja sama patungan antara Plantation Nord Sumatra (PNS Ltd) sebesar 60% dan Republik Indonesia sebesar 40%. Setelah itu, Socfindo baru kembali membuka lagi area perkebunan baru di Sumatra Utara, yakni di Bangun Bandar/Tanjung Maria dan Aek Loba/Padang Pulo (1970), Aek Pamienke (1979), dan Tanah Gambus/Lima Puluh (1982).[17]Kepemilikan saham tersebut kembali berubah menjadi PNS Ltd 90% dan Republik Indonesia sebesar 10% pada tahun 2001.[17]

PP London Sumatra Indonesia

Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia (dikenal dengan Lonsum) berdiri pada tahun 1906 oleh Harrisons & Crosfield Plc yang berbasis di London, Inggris. Meski sudah memiliki diversifikasi perkebunan tanaman karet, teh, dan kakao, Lonsum pada awal kemerdekaan masih mengkonsentrasikan lini bisnisnya pada tanaman karet, sedangkan kelapa sawit baru mulai produksi pada tahun 1980-an.[18]

Pada tahun 1994, Harrisons & Crosfield menjual 100% kepemilikan sahamnya di Lonsum kepada PT Pan London Sumatra Plantation. Indofood Agri Resources Ltd melalui PT Salim Ivomas Pratama kemudian menguasai Lonsum pada Oktober 2007.[18]

Bakrie Sumatera Plantations

 
Sebuah gerbong kereta api tipe Schoma CFL45B (4872A) melintasi jalur kereta api peninggalan kolonial Hindia Belanda di perkebunan kelapa sawit PT Bakrie Sumatera Plantations, di Bunut, Kecamatan Kota Kisaran Barat, Asahan, Sumatra Utara.

Bakrie Sumatera Plantations adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berdiri pada tahun 1911 dengan nama Naamlooze Vennootschap Hollandsch Amerikaansche Plantage Maatschappij, yang awalnya adalah perusahaan perkebunan karet. Pada tahun 1957, nama perusahaan berganti nama menjadi PT United States Rubber Sumatera Plantations setelah diakuisisi oleh Uniroyal Inc.[19]

Selanjutnya, pada tahun 1965, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi terhadap PT United States Rubber Sumatera Plantations. Pada tahun 1985, nama perusahaan berganti menjadi PT Uniroyal Sumatera Plantations (UNSP) dan setahun kemudian sebanyak 75% saham perusahaan diakuisisi oleh PT Bakrie & Brothers. Nama perusahaan pun berganti nama menjadi PT United Sumatera Plantations dan tahun 1992 kembali berganti nama menjadi PT Bakrie Sumatera Plantations.[19]

Meski awalnya adalah perusahaan perkebunan karet, PT Bakrie Sumatera Plantations pada tahun 2019 hanya memiliki area kebun karet seluas 16.532 hektare di Sumatra Utara melalui PT BSP Kisaran, Bengkulu seluas 2.610 hektare melalui PT AMR, dan di Lampung seluas 3.331 hektare melalui PT HIM.[19]

Per September 2019, PT Bakrie Sumatera Plantations memiliki area perkebunan inti kelapa sawit yang telah ditanami seluas 43.262 hektare di Sumatra Utara melalui PT BSP Kisaran (9.924 hektare) dan PT GLP (7.626 hektare); di Sumatra Barat melalui PT BPP (8.820 hektare) dan PT CCI (1.965 hektare); di Jambi melalui PT AGW (4.387 hektare) dan PT SNP (6.111 hektare); dan di Kalimantan Selatan melalui PT MIB seluas 4.429 hektare. Adapun perkebunan plasma seluas 14.976 hektare, dengan rincian seluas 6.347 hektare di Sumatra Barat melalui PT BPP, 7.701 hektare di Jambi melalui PT AGW, dan 928 hektare di Jambi melalui PT SNP.[19]

Perusahaan memiliki lima pabrik pengolahan kelapa sawit, berkapasitas 225 metrik ton, masing-masing dua pabrik di Sumatra Uatra, satu pabrik di Sumatra Barat, dan dua pabrik di Jambi. Selain itu ada lima pabrik pengolahan oleo chemical, yakni satu pabrik pengolahan Fatty Acid FSC berkapasitas 52.800 metrik ton per tahun di Tanjung Morawa, Sumatra Utara dan empat pabrik pengolahan fatty acid di Kuala Tanjung, Sumatra Utara, yakni fatty acid I berkapasitas 99 ribu metrik ton/tahun, pabrik pengolahan fatty alcohol I berkapasitas 33 ribu metrik ton/tahun, pabrik pengolahan fatty acid II berkapasitas 82.500 metrik ton/tahun, dan pabrik pengolahan fatty alcohol II berkapasitas 99 ribu metrik ton/tahun.[19]

Perkebunan kelapa sawit terbesar

1. Astra Agro Lestari

Per Desember 2018, Astra Agro Lestari memiliki 285 ribu hektare perkebunan kelapa sawit tersebar di Sulawesi seluas 50,6 hektare (17,8%), Kalimantan 129,8 hektare (45,5%), Sumatra 104,6 hektare (36,7%). Area perkebunan kelapa sawit inti yang dimiliki perusahaan adalah seluas 218,4 hektare (76,6%) dan sisanya seluas 66,6 hektare dimiliki oleh petani plasma.[20]

Astra Agro Lestari berdiri pada 3 Oktober 1988 oleh kelompok usaha Astra International dengan nama PT Suryaraya Cakrawala dan kemudian berganti nama menjadi PT Astra Agro Niaga pada Agustus 1989. Nama perusahaan berganti nama menjadi Astra Agro Lestari pada 30 Juni 1997 ketika terjadi merger antara PT Suryaraya Bahtera dengan PT Astra Agro Niaga. Perusahaan berhasil memproduksi satu juta ton minyak kelapa sawit (crude palm oil) untuk pertama kalinya pada tahun 2009.[21]

Daftar referensi

  1. ^ a b c John D Watts, Silvia Irawan (Desember 2018). "Oil Palm in Indonesia" (PDF). Profor. Diakses tanggal 3 April 2020. 
  2. ^ "Industri Minyak Sawit Indonesia Menarik Perhatian Dunia". Palm Oil Association of North Sumatera | GAPKI Sumatera Utara (Sumut). 2019-07-06. Diakses tanggal 2020-04-04. 
  3. ^ a b c d e f g "Riwayat Buah Emas di Tanah Hindia". Historia. Diakses tanggal 2020-04-04. 
  4. ^ a b "Manis Pahit Kelapa Sawit". Historia. Diakses tanggal 2020-04-04. 
  5. ^ a b "Sejarah Kelapa Sawit Indonesia". Indonesian Palm Oil Association (GAPKI IPOA) (dalam bahasa Inggris). 2017-11-28. Diakses tanggal 2020-04-03. 
  6. ^ a b c d e "Kelapa Sawit Tertua di Kebun Raya Bogor". Antara News. Diakses tanggal 2020-04-04. 
  7. ^ Halimatussa’diah Simangunsong, Suprayitno (2019). "Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Asing di Aceh Timur (1945-1968)". Sindang, jurnal pendidikan sejarah dan kajian sejarah. 1 (2): 70. ISSN 2623-2065. 
  8. ^ Budidarsono, Suseno; Susanti, Ari; Zoomers, Annelies (2013-01-23). Fang, Zhen, ed. Biofuels - Economy, Environment and Sustainability (dalam bahasa Inggris). InTech. hlm. 176. doi:10.5772/53586. ISBN 978-953-51-0950-1. 
  9. ^ "Sekilas Perjalanan Sawit di Indonesia". Indonesian Palm Oil Association (GAPKI IPOA). 2016-09-09. Diakses tanggal 2020-04-04. 
  10. ^ a b "Inilah Bidang-bidang Usaha yang Dinasionalisasi". Historia. Diakses tanggal 2020-04-08. 
  11. ^ "Sejarah PTPN 1". PTPN1.co.id. Diakses tanggal 4 April 2020. 
  12. ^ "PIR Sawit? Sejarahnya Gimana, Sih?". Warta Ekonomi. 2020-03-30. Diakses tanggal 2020-04-06. 
  13. ^ "Industri Minyak Sawit Indonesia Berkelanjutan (Bagian XXV)". Majalah Sawit Indonesia. 2018-09-16. Diakses tanggal 2020-04-03. 
  14. ^ "History". Sime Darby Plantation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-10. 
  15. ^ "History | Sime Darby Berhad". www.simedarby.com. Diakses tanggal 2020-04-10. 
  16. ^ a b c d e "Key dates Socfin". www.socfin.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-05. 
  17. ^ a b c d "Socfindo Sustainability Report 2018" (PDF). Socfin.com. Diakses tanggal 5 April 2020. 
  18. ^ a b "Profil Lonsum". www.londonsumatra.com. Diakses tanggal 2020-04-04. 
  19. ^ a b c d e "Materi Paparan Publik UNSP" (PDF). www.idx.co.id. 29 November 2019. Diakses tanggal 4 April 2020. 
  20. ^ "Materi Paparan Publik Astra Agro Lestari" (PDF). www.idx.co.id. 10 April 2019. Diakses tanggal 4 April 2020. 
  21. ^ "Laporan Tahunan 2019 Astra Agro Lestari" (PDF). www.idx.co.id. 17 Maret 2020. Diakses tanggal 4 April 2020.