Sigalingging
Sigalingging adalah salah satu marga dari suku Batak di Indonesia.
Tarombo Marga Sigalingging
Sigalingging termasuk dalam marga-marga PomparAn ni Raja Nai Ambaton atau Parna, yang asal leluhur Raja Sigalingging berasal dari Saitnihuta, Pangururan, Samosir.[1]
Raja Sigalingging memiliki 3 (tiga) orang anak dan salah satunya seorang putri. Istri dari Raja Sigalingging adalah Naibaho Sitakkaraen/Sitangkaraen, putri dari Raja Sigalingging kawin dengan putra dari Naibaho Siahaan. Berikut nama anak Raja Sigalingging:
- Guru Mangarissan (Sigorak)
- Raja Tinatea (Sitambolang)
- Namora Pangujian (Parhaliang)
Tarombo Raja Sitempang (Sitanggang Manihuruk Sidauruk Sigalingging)
Raja Natanggang / Raja Pangururan
Raja Sitempang adalah anak Raja Nai Ambaton. Atau dengan kata lain mereka adalah Keturunan Si Raja Batak dari garis keturunan Isumbaon yang sering disebut garis Mataniari, berbeda dengan garis keturunan Guru Tatea Bulan yang disebut garis Bulan.
Garis keturunan Mataniari diwarisi oleh Si Raja Batak sebuah Kitab bernama “Tumbaga Holing” yang berisikan Hukum, Ketatanegaraan, Bercocok Tanam, Bertukang, hingga Seni Mencipta. Sementara golongan Bulan diwarisi “Pustaha Laklak” yang berisi Ilmu Pengobatan, Ilmu Perbintangan dan Spiritual.
Warisan ini tentu menjadi suatu kekayaan, termasuk bagi Raja Naiambaton dan anaknya Raja Sitempang turut mewarisi hal ini. Raja Sitempang dalam pengasingannya juga terampil dalam seni mencipta, ia bahkan membangun pondokan/sopo yang indah untuk istrinya.
Ketika kembali dari pengasingannya Raja Sitempang membuka sebuah huta (kampung), di huta itu ia melanjutkan kepiawaiannya dalam seni mencipta. Tidak hanya itu, ia juga membantu dan mengajarkan masyarakat di huta itu dalam hal seni bertukang dan membangun rumah. Keterampilannya mengolah batang pohon menjadi “urur” (kayu kasau/beroti, kayu yang dipakai untuk membangun rumah dan penyangga bangunan) akhirnya tersohor sampai ke daerah lain, sehingga banyak orang yang datang untuk mencari nya.
Jaman dahulu belum semudah seperti sekarang dalam mengolah kayu, karena peralatannya masih belum canggih, menebang pohon dan membentuknya menjadi kayu kasau (urur) hanya menggunakan kapak dari batu, ataupun dari tembaga yang kasar. Karena itu butuh keterampilan dalam membuatnya.
Semakin banyaklah orang datang ke huta yang dibuka oleh Raja Sitempang untuk mencari urur, dan sebagian lagi belajar membuat urur. Karena itulah huta itu akhirnya diberi nama “Pangururan” tempat orang mendapatkan urur untuk membuat bangunan.
- Bius Sitolu Hae Horbo
Bius Pangururan disebut Bius Sitolu Tali yang kemudian berubah nama menjadi Bius Sitolu Hae Horbo. Disebut Tolu Hae karena yang memiliki harajaon adalah tiga Marga yaitu: Sitanggang, Simbolon dan Naibaho. Apabila ada acara, maka masing-masing marga ini dapat sakhae dari kerbau yang disembelih. Konon katanya, hae keempat ditanam dibatu mamak. Kemudian dalam perkembangannya hae keempat diberikan kepada pargonsi.
- Aek Parsuangan
Di salah satu sisi di Gunung Pusuk Buhit, ada 3 (Tltiga) mata air yang disebut Aek Parsuangan. Pemilik dan nama mata air itu berturut-turut dari atas kebawah adalah: Naibaho, Sitanggang dan Simbolon.
Sejarah Marga Sigalingging
Putra Sulung Raja Sigalingging yaitu Guru Mangarissan mengerjakan dan mengusahakan semua hauma (hauma: sawah; bahasa Batak Toba) yang berada di sekitar Huta Sigalingging (huta: kampung, pada zaman dahulu huta dikelilingi oleh benteng besar yang bertujuan untuk menghindari serangan musuh dari kampung lain ataupun binatang buas). Guru Mangarissan adalah petani ulung dan pekerja keras, sementara itu adiknya Raja Tinatea adalah nelayan atau “par Tao”, di tepian Danau Toba. Ikan hasil tangkapannya dijual ke Onan Pangururan. Pada zaman dahulu sistem perdagangan sudah mengenal sistem barter, di mana sesama petani maupun nelayan saling menukarkan hasil usahanya masing-masing sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.
Pada suatu ketika Raja Sigalingging mengalami jatuh sakit, Guru Mangarissan memberitahu adiknya Raja Tinatea agar bersama-sama memberikan “Sipanganon” (makanan khusus yang ditujukan kepada orang yang sangat dihormati) kepada ayah mereka Raja Sigalingging. Guru Mangarissan sebagai putra sulung sangat menghormati orang tuanya. Oleh karena itu beras yang akan ditanak untuk dihidangkan kepada Raja Sigalingging harus dipilih tidak boleh ada beras yang patah atau pecah. Demikian hormatnya Guru Mangarissan kepada ayah mereka, nasi yang dihasilkan merupakan “Indahan Na Bottar “ ( Nasi putih ) yang berasal dari beras utuh.
Raja Tinatea juga membawa “Indahan” (Nasi), hasil dari keringatnya “Mardoton” ( mencari ikan ), dan nasi yang dibawanya tidak “saksak bottar” ( putih bersih ), tetapi beras campuran yaitu beras merah dan beras biasa. Secara spontan Guru Mangarissan membentak adiknya dan berkata: “ inilah saatnya adat yang penting untuk memberi orang tua kita ‘marsipanganon’ tetapi kau hidangkan “indahan na mar bolang-bolang” (nasi yang bercampur-campur), sungguh engkau anak yang tidak berbakti”. Sembari berkata demikian Guru Mangarissan menendang nasi Raja Tinatea. Raja Tinatea tidak dapat berbuat apa-apa. Dia berkata kepada abangnya:” dia ma dohonon ku dahahang, ai ido pancarian dohot pancamontanku, dengke na dapot doton sian tao ido hu boan tu onan pasar, jala di tukkar mai dohot boras na binoan ni angka panuhor i. Ai so adong hauma hu ula jadi beha bahenonku dahahang na laho patupahon indahan songon na pinatupa mi, ai hasil ni hauma na niula mi do dipatupa ho na laho pangananon ni natua-tua ta . I do na tarbahen ahu tu jolo ni damang ba ima hupasahat na laho panganon ni damang, beha ma bahenon ndang tarpatupa au songon na pinarade ni dahahang i,”. (“ Apa yang aku bisa perbuat bang, itu adalah hasil pekerjaanku, ikan hasil tangkapan ku yang aku tukarkan di pasar, mana ada sawah yang aku kerjakan, jadi aku tidak bisa berikan seperti apa yang abang berikan kepada orang tua kita, “). Ikan hasil tangkapan jala dari Danau Toba di bawa ke pasar. Di pasar ikan ditukarkan dengan beras. Misalnya: 1 liter ikan mujahir ditukar dengan 1 liter beras. Orang yang dating untuk barter membawa beras, ada beras merah dan ada beras putih. Raja Tinatea tidak mungkin memilih beras mana yang akan ditukarkan dengan ikan hasil tangkapannya/jalanya. Sehingga beras yang diperoleh bercampur baur (“Marbolang”) antara beras merah dan beras putih, itu yang menyebabkan nasi yang berasal dari beras merah dan beras putih menjadi Marbolang . Melihat hal tersebut Raja Sigalingging menatap kedua anaknya dan berkata:” Anakku Mangarissan, tidak perlu engkau mempermasalahkan makanan yang dibawa Adikmu, sebab itulah yang mampu ia berikan,”. Masyarakat di kampung dan sekitarnya mengetahui kejadian tersebut, terkabar bahwa Guru Mangarissan “manggorakkon” ( menyepelekan ) makanan yang dibawa Adiknya karena “marbolang” (berbelang-belang), pada saat memberikan makanan kepada Raja Sigalingging dengan cara menendang makanan yang dihidangkan oleh adiknya. Masyarakat sekitar merasa bahwa tindakan Guru Mangarissan tidak pantas, mereka mencibir dan mencuekin Guru Mangarissan dengan berkata:,” hanya karena bercampur makanan yang dibawa adiknya, kemudian dia menendang makanan tersebut,”.
Akibat dari perbuatannya, masyarakat di sekitar Huta Sigalingging kurang hormat kepada Guru Mangarissan, sebaliknya Raja Tinatea banyak mendapat nasihat agar sabar menghadapi tingkah laku Abangnya. Karena Guru Mangarissan merasa dijauhi, dicuekin dan dimusuhi oleh masyarakat sekitar dia merasa tertekan dan semakin lama merasa asing di tengah-tengah masyarakat Huta Sigalingging Sait Ni Huta dan Pangururan. Dengan segala kepahitan dan kegalauan Guru Mangarissan meninggalkan tanah kelahirannya. Guru Mangarissan pergi merantau jauh agar tidak mendengar cemoohan tentang dirinya dan dia tidak ingin bertemu dengan orang sekampungnya.
Kisah in berlangsung alamiah, maka dikemudian hari Raja Tinatea diberi gelar Si “Tambolang”, karena nasi yang ia hidangkan kepada orang tuanya berbelang-belang dan kepada Guru Mangarissan diberi gelar “Sigorak”, karena memperhatikan makanan yang dihidangkan oleh adiknya.
Sejarah Namora Pangujian Anak Raja Sigalingging nomor 3 yaitu Namora Pangujian dengan gelar “Parhaliang”, menurut hikayatnya lahir di Rianiate sebelah selatan kota Pangururan. Raja Sigalingging berkelana ke Rianiate, pada saat itu putrid raja penguasa Rianiate dalam keadaan sakit parah. Sudah banyak “Datu”, ( dukun ), yang berupaya untuk menyembuhkan sang Putri namun tidak kunjung sembuh. Akhirnya seseorang menyampaikan pesan dan berita kepada Raja Rianiate, bahwa ada seorang dukun dari Sait Ni Huta Pangururan yang saat ini berada di desa Rianiate. Sang Raja memesan Raja Sigalingging untuk mengobati putrinya. Dengan rendah hati Raja Sigalingging mengeluarkan ilmu “Pandampolon” ( Pijat Refleksi ), dan memijat Putri Raja dengan ramuan yang ia buat. Seluruh tubuh putri raja harus dibalur dengan obat Raja Sigalingging, karena harus dibalur langsung ke tubuh putri raja, maka putri raja tidak boleh mengenakan pakaian.
Setelah beberapa minggu putri raja sehat seperti sediakala, banyak “Pariban”, (anak Paman) yang meminang putri raja, tetapi tidak satupun berkenan dihati putrid raja. Akhirnya sang Raja memanggil putrinya dan menanyakan mengapa putri tidak menerima lamaran dan pinangan paribannya. Putri raja menyahut:” Bagaimana aku mau menerima lamaran dari “Pariban” ku, seluruh tubuhku telah dipijat oleh Raja Sigalingging ketika aku sakit, jadi aku tidak sanggup menerima lamaran “Pariban” ku ataupun laki-laki lain. Keadaan ini berlangsung lama, namun sang putri tidak kunjung mau menerima lamaran pria lain. Akhirnya Raja Rianiate memanggil Raja Sigalingging dan memohon agar mau mempersunting putrinya. Raja Sigalingging menjawab:,” Mohon maaf yang sebesar-besarnya Raja, saya telah berkeluarga dan saat ini telah mempunyai dua orang putra, jadi tidak mungkin aku memperistri putri raja,”. Namun putrinya berkeras tidak mau dipersunting oleh pria lain.
Akhirnya Raja Sigalingging diminta untuk mengawini putrid raja Rianiate, Raja Sigalingging mau dengan persyaratan “Parpadanan” (janji yang mengikat), bahwa hal ini tidak boleh diceritakan oleh siapapun kepada keluarga Raja Sigalingging di Sait Ni Huta Pangururan . Tapi kelak kalau ada keturunan dari putri Raja Rianiate harus mencari keluarga Raja Sigalingging di Sait Ni Huta Pangururan itupun kalau Raja Sigalingging telah wafat. Itu adalah janji/pesan yang ia katakan agar ia mau mempersunting putri raja Rianiate. Maka pada pesta “Peletakan Batu Pertama Tugu Raja Sigalingging” di Huta Sigalingging Sait Ni Huta Pangururan, pada saat akan membunyikan “ Gondang Sabungan”, turunan Namora Pangujian parhaliang memaparkan kisah Raja Sigalingging di Rianiate, dan mereka menyatakan bahwa mereka adalah “anak ketiga” dari Raja Sigalingging sesuai dengan pesan Raja Sigalingging zaman dahulu, yang menyatakan bahwa mereka harus mencari kedua abangnya di Pangururan.
Hal ini diekspresikan pada tugu Raja Sigalingging “tangga na tolu”, (tiga tangga) yang menopang pilar tugu Raja Sigalingging ada sebanyak tiga, yang menggambarkan jumlah anak Raja Sigalingging ada 3 orang yaitu:
- Sigorak
- Sitambolang
- Siparhaliang
Ompu Bada / Mpu Bada
Keturunan Ompu Bada terdapat di Klasen Kabupaten Dairi di Manduamas Kab Tapanuli Tengah dan di Boang Kabupaten Aceh Selatan
Marga-marga keturunan Ompu Bada
- Marga Tendang yang tersebar di Boang Aceh
- Rea menjadi Banurea di Salak Kabupaten Dairi
- Manik (dari Pakpak) yaitu Manik Kecupak dan Manik Pegindar di Dairi
- Bringin di Simerpara Kab Dairi
- Gajah di Manduamas (Kab Tapanuli Tengah), Parmonangan (Tap Utara) dan Pakkat (Kab Dairi)
- Brasa di Parmonangan, Parlilitan dan Sileang Kab Tapanuli Utara
Selain marga diatas masih ada lagi Boangmenalu dan Bancin yang masih keturunan Ompu Bada.
Keturunan lain adalah Saraan (daerah Keppas), Kombih (daerang Boang) dan Brampu (daerah Keppas), ketiga marga ini masih cucu dari O. Banuarea.
Kumpulan Marga Sigalingging
Persatuan keluarga besar keturunan Raja Sigalingging berdasarkan Hasil Mubes Sigalingging tgl 6-7 Juli 2012 di Pangururan Hotel Dainang, yakni Parsadaan Pomparan Raja Sigalingging (PPRS).
Huta Sigalingging
Huta Sigalingging tersebar secara luas dibeberapa Kabupaten di Sumatra Utara, berikut daftarnya:
- Lumban Sigalingging di Desa Sait Nihuta, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir (Bona Pasogit Sigalingging - Makam Op. Raja Sigalingging - Tempat Tugu)
- Huta Sigalingging di Desa Tanjungbunga, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir
- Huta Sigalingging di Kecamatan Palipi, Kabupaten Samosir
- Lumban Sigalingging di Sirait Uruk, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba
- Desa Sigalingging, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi
- Lumban Sigalingging di Kecamatan Siempat Nempu, Kabupaten Dairi
- Huta Sigalingging Sigumbang, Kecamatan Siborong-borong, Kabupaten Taput
- Huta Sigalingging di Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Taput
- Huta Sigalingging Lumban Bangun Sirisi-risi, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbahas
- Huta Sigalingging di Siambaton, Kecamatan Pakkat, Kabupaten Humbahas
- Huta Sigalingging, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbahas
- Huta Sigalingging di Kecamatan Manduamas, Kabupaten Tapteng
- Desa Garingging, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo
- Huta Sigalingging Combi Boang, Kabupaten Aceh Singkil
Referensi
- ^ Buku yang berjudul Tarombo Raja Sigalingging