Janur Kuning

film Indonesia tahun 1980 karya Alam Surawidjaja
Revisi sejak 5 Mei 2020 01.37 oleh Labdajiwa (bicara | kontrib) (Menghapus Kategori:Seniman Orde Baru menggunakan HotCat)

Janur Kuning adalah sebuah film drama perjuangan Indonesia yang diproduksi pada tahun 1979. Film yang disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja ini dibintangi antara lain oleh Kaharuddin Syah, Deddy Sutomo dan Sutopo H.S.

Janur Kuning
SutradaraAlam Rengga Surawidjaja
PemeranKaharuddin Syah
Deddy Sutomo
Sutopo H.S
Dicky Zulkarnaen
Pujiono Surya Triono
Tanggal rilis
1979
Durasi180 menit
NegaraIndonesia

Sinopis

Film ini menceritakan tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam meraih kembali kemerdekaannya yang direbut kembali oleh pasukan sekutu. Latar belakang yang diambil adalah di sekitar peristiwa Enam Jam di Yogya. Tokoh-tokoh nyata yang ditampilkan di sini di antaranya adalah Soeharto, Jenderal Sudirman, dan Amir Murtono. Janur kuning adalah lambang yang dikenakan para pejuang di lengan sebagai tanda perjuangan kemerdekaan tersebut.

Pasca jatuhnya Soeharto

Pada bulan September 1998, empat bulan setelah jatuhnya Soeharto, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah menyatakan bahwa film ini tidak akan lagi menjadi bahan tontonan wajib, dengan alasan bahwa film ini adalah usaha untuk memanipulasi sejarah dan menciptakan kultus dengan Soeharto di tengahnya. TEMPO melaporkan pada 2012 bahwa Saleh Basarah dari Angkatan Udara Republik Indonesia telah mempengaruhi dikeluarkannya keputusan ini. Majalah ini menyatakan bahwa Basarah telah menghubungi Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono dan memintanya untuk tidak menayangkan Pengkhianatan G 30 S PKI, karena film ini telah merusak citra Angkatan Udara Republik Indonesia. Dua film lainnya, Janur Kuning dan Serangan Fajar, kemudian juga dipengaruhi oleh keputusan tersebut;[1] Janur Kuning menggambarkan Soeharto sebagai pahlawan di balik Serangan Umum 1 Maret 1949, sementara Serangan Fajar menunjukkan dia sebagai pahlawan utama Revolusi Indonesia.[2] Pada saat itu TVRI tampaknya berusaha untuk menjauhkan diri dari mantan presiden Soeharto.[3] Hal ini terjadi semasa periode penurunan status simbol-simbol yang berkaitan dengan peristiwa G30S, dan pada dekade 2000-an awal, versi non-pemerintah dari peristiwa kudeta G30S mudah didapatkan di Indonesia.[4]

Pranala luar

Referensi