Perjanjian Salatiga

Revisi sejak 9 Mei 2020 03.01 oleh 36.81.81.26 (bicara) (Membalikkan revisi 16913834 oleh 36.78.41.71 (bicara))

Perjanjian Salatiga adalah perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga. Perjanjian ini adalah penyelesaian dari serentetan pecahnya konflik perebutan kekuasaan yang mengakhiri

Dengan berat hati, Sultan Hamengkubuwono I dan Sunan Pakubuwono III melepaskan beberapa wilayahnya untuk Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa). Ngawen yang kini berada di Gunungkidul, Yogyakarta dan sebagian Surakarta (Karanganyar dan Wonogiri) menjadi kekuasaan Pangeran Sambernyawa.

Perjanjian ini ditandatangani oleh Raden Mas Said, Sunan Pakubuwono III, VOC, dan Sultan Hamengkubuwono I di sebuah gedung bernama Gedung Pakuwon yang terletak di Jalan Brigjen Sudiarto No. 1, Kota Salatiga.[1]

Di saat Pangeran Mangkubumi menempuh jalan perundingan damai dengan imbalan mendapat separuh bagian kekuasaan Mataram melalui Perjanjian Giyanti dan menjadi Sultan Hamengkubuwana I, Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) tetap melancarkan perlawanan.Dengan keberhasilan VOC menarik Pangeran Mangkubumi kedalam kubunya maka perlawanan Pangeran Sambernyawa menjadi menghadapi Pangeran Mangkubumi,Sunan Paku Buwono III dan VOC.Pangeran Sambernyawa tidak mau menyerah kepada salah satu dari ketiganya atau semuanya.Ketika VOC menyarankan untuk menyerah kepada salah satu dari dua penguasa (Surakarta, Yogyakarta) Pangeran Sambernyawa bahkan memberi tekanan kepada ketiganya supaya Mataram dibagi menjadi tiga kekuasaan.VOC ingin keluar dari kesulitan untuk mengamankan kantong finansial dan menyelamatkan kehadirannya di Jawa, sementara peperangan tidak menghasilkan pemenang yang unggul atas empat kekuatan di Jawa.Gabungan tiga kekuatan ternyata belum mampu mengalahkan Pangeran Sambernyawa sedang sebaliknya Pangeran Sambernyawa juga belum mampu mengalahkan ketiganya bersama sama.

Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 di Salatiga[2] adalah solusi dari keadaan untuk mengakhiri peperangan di Jawa. Dengan berat hati Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III melepaskan beberapa wilayahnya untuk Pangeran Sambernyawa.Ngawen di wilayah Yogyakarta dan sebagian Surakarta menjadi kekuasaan Pangeran Sambernyawa.

Pihak-pihak yang menandatangani perjanjian ini adalah Pangeran Sambernyawa, Kasunanan Surakarta, dan VOC, Kesultanan Yogyakarta, diwakili oleh Patih Danureja, juga terlibat. Perjanjian ini memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta (4000 karya, mencakup daerah yang sekarang adalah Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar, eksklave di wilayah Yogyakarta i Ngawen dan menjadi penguasa Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Mangkunegara I. Penguasa wilayah Mangkunegaran tidak berhak menyandang gelar Sunan atau Sultan, dan hanya berhak atas gelar Pangeran Adipati.

Lokasi penandatanganan perjanjian ini sekarang digunakan sebagai kantor Wali kota Kota Salatiga.

Setelah Perjanjian

Pakubuwono III wafat pada tahun 1788 dan penggantinya adalah Pakubuwono IV, yang cakap dalam politik dan piawai dalam intrik dan intimidasi. Dua tahun setelah wafatnya Pakubuwono III, awal tahun 1790 Sunan Pakubuwono IV melancarkan strategi politik yang agresif dengan memulai memberi nama untuk saudaranya, Arya Mataram. Oleh Sunan Pakubuwono IV, Arya Mataram dianugerahi nama Pangeran Mangkubumi.

Pemberian nama "Mangkubumi" menimbulkan protes Sultan Hamengkubuwono I yang merasa kebakaran jenggot karena hak nama Mangkubumi adalah miliknya sampai meninggal dunia. Sultan mengajukan protes kepada Kompeni yang ternyata tidak membuahkan hasil karena Sunan tetap pada pendirian tidak bakalan mencabut Nama Mangkubumi untuk saudaranya.

Jurus politik pertama Pakubuwono IV dilanjutkan dengan jurus keduanya yaitu menolak hak suksesi Putra Mahkota Kasultanan Yogyakarta. Keadaan politik yang sudah memanas itu bertambah lagi dengan tuntutan Mangkunegara I yang melihat suatu peluang ada didepannya. Mangkunegara I menulis surat kepada Gubernur di Semarang, Yan Greeve, pada bulan Mei 1790 yang isinya Mangkunegara I Menagih janji Residen Surakarta Frederick Christoffeel van Straaldorf yang menjanjikan bahwa Jika Pangeran Mangkubumi yang menjadi Sultan Hamengku Buwono I wafat maka Mangkunegara I berhak menduduki tahta Kasultanan Yogyakarta.

VOC yang tidak ingin terseret kembali dalam pertikaian bersenjata menjadi panik dan mulai memeriksa situasi lapangan militernya dan ke tiga Kerajaan. Kompeni yang di wakili Yan Greeve menemui dengan perasaan kecewa ketika dilapangan menemukan fakta bahwa Mangkunegoro I memiliki 1.400 orang pasukan bersenjata yang siaga. Dalam waktu yang yang singkat kekuatan 1.400 orang bersenjata dapat dilipatkan dengan memanggil pengikutnya menjadi 4.000 orang pasukan bersenjata.

Tuntutan Mangkunegoro I juga diikuti dengan tuntutan berikutnya yaitu dikembalikannya GKR Bendoro isterinya kepada Mangkunegara I. Jika tuntutan ini tidak dipenuhi sebagai gantinya Mangkunegara I menuntut 4.000 cacah dari Yogyakarta. Mangkunegara I mulai memobilisasi pasukannya dan pertempuran pertempuran kecil mulai terjadi. Wilayah Gunung Kidul menjadi medan pertempuran.dalam mobilisasi dan pertempuran ini G.R.M. Sulomo (calon Mangkunegara II sudah terlibat dan aktif dalam pertempuran.

7 Oktober 1790, Yan Greeve mengintimidasi Sultan Hamengkubuwono I untuk memberikan 4.000 cacah tetapi Sultan menolak. Awal November 1790 tuntutan 4.000 cacah diganti dengan upeti Belanda kepada Mangkunegaran sebesar 4.000 real.

Mangkunegaran penyambung roh Mataram

Perjanjian Salatiga secara hakikat menandai berdirinya praja atau negeri Mangkunegaran dengan Raden Mas Said sebagai Pangeran otonom yang menguasai sebuah wilayah yang otonom pula. Mangkunegaran yang didirikan oleh Pangeran Sambernyawa adalah penyambung dari Mataram yang telah hilang akibat perjanjian Giyanti 1755. Mataram yang telah bubar dengan traktat Giyanti di bangun kembali melalui Negeri Mangkunegaran. Politik dan kebudayaan Mataram serta unsur unsur keprajuritan dipertahankan dan dihidupkan dari generasi ke generasi.

Abad ke-19

Sunan Paku Buwono III wafat tahun 1788, Sultan Hamengkubuwono I wafat tahun 1792 dan Mangkunegara I wafat tahun 1795. Paku Buwono III di ganti Pakubuwono IV, Sultan Hamengkubuwono I diganti Sultan Hamengu Buwono II dan Mangkunegara I diganti Mangkunegara II. Pembubaran VOC pada tahun 1800 awal bulan menandai perubahan baru di bekas Mataram. Kewenangan VOC diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Pada masa generasi ini Sunan Paku Buwono IV menjadi aktor politik yang sangat piawai sekaligus berbahaya bagi Belanda.Jurus jurus politik yang ditampilkan begitu terampilnya dan tidak gentar dengan gertak peperangan.

Kedatangan Daendels dan Raffles dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga segala perjudian politik pada tahun 1800 ini seakan akan merupakan pematangan situasi untuk munculnya perang Diponegoro.

Pakubuwono IV berhasil memprovokasi Sultan Hamengkubuwono II sehingga berkonfrontasi dengan Daendels dan Raffles di kemudian hari. Di samping itu faktor Secadiningrat seorang Kapitan Cina di Yogyakarta yang menjadi penasehat putera mahkota (Calon Hamengkubuwono III) juga turut andil dalam merunyamkan pemerintahan Hamengkubuwono II. Secadiningrat membocorkan rencana rencana Sultan kepada pihak asing terutama Inggris bahwa Kasultanan mempersenjatai diri untuk kekuatan perang.

Yogyakarta di datangi Daendels dengan beribu pasukan. Sultan Hamengku Buwono II diturunkan tahta dan diganti Sultan Raja (Hamengkubuwono III). Ngayogyakarta sepeninggal Hamengkubuwono I mengalami kesuraman yang tiada tara. Dari Hamengkubuwono II sampai Hamengkubuwono VI, Kasultanan mengalami instabilitas serius.

Generasi kedua setelah pembagian Mataram

Generasi kedua para petinggi kerajaan setelah pembagian Mataram memperlihatkan kepada khalayak tentang persiapan generasi pertama dalam mewariskan pemerintahan dan penyiapkan para penggantinya. Pada generasi kedua ini Kesultanan Yogyakarta yang bertahta adalah Hamengkubuwono II, Praja Mangkunegaran yang bertahta adalah Mangkunegara II, dan Kasunanan Surakarta yang bertahta adalah Pakubuwono IV.

Hamengkubuwono II merupakan putera Hamengkubuwono I setelah saudaranya R.M. Entho yang menjadi Putera Mahkota meninggal dunia. Pakubuwono IV adalah putera Pakubuwono III sedang Mangkunegara II adalah cucu Mangkunegara I. Pada pemerintahan generasi ke dua ini Yogyakarta di bawah Hamengkubuwono II mengalami kemerosotan yang serius. Sultan kedua Yogyakarta ini mengalami naik turun tahta selama pergantian kekuasaan kolonial di Nusantara ini.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah (5 April 2018). "Rumah Tinggal Jalan Brigjen Sudiarto, Penanda Tempat Perjanjian Salatiga". Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 17 Agustus 2019. 
  2. ^ Raditya, Iswara N. (17 Maret 2018). "17 Maret 1757: Perjanjian Salatiga dan Musnahnya Cita-Cita Menyatukan Jawa". Tirto.id. Diakses tanggal 17 Agustus 2019. 

Daftar pustaka

  • M.C. Ricklefs, Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002.

Pranala luar