Ayat-Ayat Setan

Revisi sejak 16 Mei 2020 09.02 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Insiden ayat-ayat setan, atau dikenal dalam literatur Islam sebagai Qissat al-Gharaniq (Kisah Burung Bangau), adalah nama sebuah dugaan kejadian ketika Nabi Muhammad disebutkan telah keliru mengira ayat-ayat yang "dibisikkan setan" sebagai wahyu.[1]

Narasi yang melibatkan tuduhan atas terjadinya insiden ayat-ayat ini, dapat ditemukan dalam beberapa sumber, seperti Sirah nabawiyah yang ditulis oleh al-Wāqidī, Ibn Sa'd (juru tulis dari Waqidi) dan Ibn Ishaq (yang direkonstruksi oleh Alfred Guillaume),[2] demikian juga dari tafsir oleh al-Tabarī.

Istilah 'ayat-ayat setan' pertama kali disebutkan dan dipopulerkan oleh Sir William Muir (1858).[3]

Ikhtisar kisah

Ada beberapa sumber melaporkan peristiwa yang berbeda dalam pembentukan dan perincian riwayat.[4] Semua versi yang berlainan dapat ditelusuri merujuk kepada seorang periwayat, Muhammad bin Kaab, yang terpisah dua generasi dari perawi riwayat nabi, Ibn Ishaq. Intinya, cerita melaporkan bahwa Nabi Muhammad sangat ingin mengajak kaumnya dan tetangga-tetangga warga Mekkah agar memeluk Islam. Ketika dia menyebut Surah An-Najm[5], yang diwahyukan oleh malaikat Jibril, Setan mengambil kesempatan untuk membisikkan ayat berikut setelah ayat 19 dan 20:

Pernahkah kamu memikirkan Al-Lat, Al-‘Uzzá,
dan Manāt, yang ketiga, yang lain?
Ini adalah gharāniq yang dimuliakan, dan perantaraannya diharapkan.

Allāt, Al-'Uzzā dan Manāt adalah tiga dewi pagan yang disembah oleh penduduk Mekkah pada permulaan penyebaran Islam di Jazirah Arab. Menafsirkan makna "gharāniq" adalah sukar, karena kata ini bagaikan hapax legomenon. Penulis menduga bahwa kata ini bermakna burung bangau. Istilah dalam bahasa Arab ini memang pada umumnya bermakna seekor "bangau" - muncul dalam bentuk tunggal seperti ghirnīq, ghurnūq, ghirnawq dan ghurnayq, dan mempunyai bentuk kerabat kata lain untuk menyebut berbagai jenis burung, termasuk "gagak" dan "elang".[6]

Makna yang tersirat dari peristiwa ini adalah; Nabi Muhammad sempat berpaling dari tauhid atau monoteisme sejati, dengan berkompromi dengan pemujaan selain Allah, dan mengatakan bahwa dewi-dewi ini adalah benar dan pengantaraan mereka adalah efektif. Penduduk Mekah bersuka cita mendengar ini dan turut sujud bersama Nabi Muhammad di ujung surah. Penghijrah Muslim yang telah melarikan diri ke Abesinia yang mendengar berakhirnya penindasan, mulai kembali ke Mekkah. Tradisi Islam menyebutkan bahwa Malaikat Jibril menghardik Nabi Muhammad karena telah mengelirukan firman Allah.22:52


Tidak pernah Kami mengirim seorang utusan atau nabi sebelum kami,
tetapi apabila dia membaca (wahyu) yang dibisikkan setan (pembangkang) dalam seperti mana yang dia membaca yang disebutkan.
Tetapi Allah mematahkan apa yang setan bisikkan.
Kemudian Allah meneguhkan wahyu-Nya.
Allah adalah yang Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.


Nabi Muhammad menarik kembali kata-katanya dan penindasan oleh penduduk Quraisy Mekkah kembali berlanjut. Ayat [Qur'an 53:21] telah diberikan, di mana dewi-dewi ini telah direndahkan. Ayat tersebut, dari 53:19, berbunyi:


Pernahkah kamu menganggapkan Al-Lat dan Al-'Uzza
serta Manat, yang ketiga, yang lain?
Adakah yang milik kamu lelaki dan milik-Nya perempuan?
Itu sudah tentu adalah pembagian yang tidak adil!
Mereka hanyalah nama-nama yang telah kamu dan bapak-bapak kamu berikan, yang mana tidak diizinkan Allah (melalui firman-Nya).
Mereka hanya mengikuti dugaan yang (mereka) inginkan sendiri.
Dan kini kebenaran dari Tuhan telah tiba kepada mereka.


Ketidak benaran

Kebanyakan cendekiawan Muslim menolak keabsahan sejarah dari insiden ini, berdasarkan argumen bahwa kisah ini mempunyai isnad (rantai penyampaian) yang lemah (dha'īf), serta berpegang pada doktrin isma dalam teologi Islam; yaitu Ketidakbersalahan Nabi; perlindungan Illahiah bahwa Allah melindungi Nabi Muhammad agar terhindar dari melakukan segala perbuatan salah.[1] Sekalipun Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir menganggap sahih, tetapi Al-Baihaqi mengatakan bahwa kisah ini tidak tetap (tsabit) dari sisi penukilan (pengutipan) di isnadnya." Qadhi 'Iyadh[7] menganggap serupa; karena hampir semunanya lemah dan sangat lemah. Tidak pernah hadits ini dikeluarkan seorangpun yang konsisten dalam hadits-hadits shahīh, juga tiada yang meriwayatkannya oleh seorang tsiqah (tepercaya) dalam sanad yang baik dan marfū. Anehnya, hadits ini disukai benar oleh ahli tarikh, dan para mufasir (ahli tafsir) dalam menghiasi kitab-kitab mereka dengan semua yang shahih dan dha'if. Adapun riwayat yang marfū (sampai sanadnya kepada Nabi ﷺ) adalah dari Syu'bah, dari Abu Basyar, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas - dalam keraguan menyambungkan hadits. Walau demikian, yang memarfu'kan sanad ini cuma Umayyah bin Khalid — walaupun sebenarnya tidak begitu sanadnya. Al-Kalbi — seorang kadzdzāb (penipu ulung dalam ilmu hadits)- juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas, namun sayang, Al-Kalbi adalah seorang penipu, yang tak boleh dipercaya hadits-haditsnya. Ibnu Khuzaimah pernah mengomentari hadits ini dengan mengatakan bahwa "kisah ini adalah karangan orang-orang zindik (orang yang menampakkan keIslamannya, tetapi menyembunyikan kekafirannya)". Prof. Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah menganggap cerita ini batil dan bertentangan dari sisi aqli dan naqli, serta banyak sekali kerancuan riwayat mengenai kisah ini.[8]

Selain itu, Ibnu Katsir, Abubakr al-Bazzar, penafsir Imam Fakhr ar-Razi, juga menolak hal ini, sebagaimana dikutipkan oleh Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar-nya.[9] Penafsir-penafsir Quran kontemporer seperti Syaikh Muhammad Abduh juga menolak ini, berdasar pada pemakaian kaidah kebahasaan yang dangkal pada kisah ini.[10] Gharānīq berasal daripada kata al-ghurnūq, sebangsa burung air, yang warnanya hitam atau putih. Ada pula ghurnīq yang bermakna pujian kepada anak muda yang putih, cantik, dan lembut sifatnya. Ada pula gharānīqah, yang bisa berarti rambut yang halus, dan kilat kerna disisir baik-baik. Ia juga bermakna sesuatu yang lemah gemulai karena ditiup angin. Sebab itu, tak ada satupun yang jadi suatu yang bersifat dituhankan atau diberhalakan.[10]

Ibnu Hazm dalam al-Milal wan-Nihal mengatakan cerita ini bohong dan palsu. Karena kalau ditilik dari sumberpun, tidak ada sumbernya, dari yang memang sesuatu yang tak ada.[11] Sayyid Quthb juga turut mengatakan, meskipun ulama-ulama telah jauh mengatakan bahwa kisah palsu ini bikinan orang-orang zindiq dan mulhid (menyeleweng), kaum orientalis selalu memperbaharui kisah ini, dan membangkitkannya terus.[11]

Lihat juga

Catatan

  1. ^ a b Ahmed, Shahab (1998). "Ibn Taymiyyah and the Satanic Verses". Studia Islamica. Maisonneuve & Larose. 87: 67–124. 
  2. ^ Ibn Ishaq, Muhammad (1955). Ibn Ishaq's Sirat Rasul Allah - The Life of Muhammad Translated by A. Guillaume. Oxford: Oxford University Press. hlm. 165. ISBN 9780196360331. 
  3. ^ John L. Esposito (2003). The Oxford dictionary of Islam. Oxford University Press. hlm. 563. ISBN 978-0-19-512558-0. 
  4. ^ Ahmed, Shahab (2008), "Satanic Verses", dalam Dammen McAuliffe, Jane, Encyclopaedia of the Qurʾān, Georgetown University, Washington DC: Brill (dipublikasikan tanggal 14 August 2008) 
  5. ^ (Q.53)
  6. ^ Militarev, Alexander; Kogan, Leonid (2005), Semitic Etymological Dictionary 2: Animal Names, Alter Orient und Altes Testament, 278/2, Münster: Ugarit-Verlag, hlm. 131–132, ISBN 3-934628-57-5 
  7. ^ Lihat 'Iyadh, Qadhi, Asy-Syifā, jilid 2, halaman 116.
  8. ^ Syahbab, Muhammad bin Muhammad Abu (2014). Isrăǐliyyat & Hadits-Hadits Palsu Tafsir Al-Qur'an. hal.448 – 464. Depok:Keira Publishing. ISBN 978-602-1361-29-0.
  9. ^ Hamka (tanpa tahun), hlm.191 – 94
  10. ^ a b Hamka (tanpa tahun), hlm.195
  11. ^ a b Hamka (tanpa tahun), hlm.196

Kepustakaan

  • Fazlur Rahman (1994), Major Themes in the Qur'an, Biblioteca Islamica, ISBN 0-88297-051-8 
  • John Burton (1970), "Those Are the High-Flying Cranes", Journal of Semitic Studies, 15: 246–264, doi:10.1093/jss/15.2.246. 
  • Uri Rubin (1995), The Eye of the Beholder: The Life of Muhammad as Viewed by the Early Muslims: A Textual Analysis, The Darwin Press, Inc., ISBN 0-87850-110-X 
  • G. R. Hawting (1999), The Idea of Idolatry and the Emergence of Islam: From Polemic to History, Cambridge University Press, ISBN 0-521-65165-4 
  • Nāsir al-Dīn al-Albānī (1952), Nasb al-majānīq li-nasfi qissat al-gharānīq (The Erection of Catapults for the Destruction of the Story of the Gharānīq) 
  • Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al Azhar. XVII. Jakarta: PT Pustaka Panjimas. 

Pranala luar

Pengulas