Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota Banda Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.[1]
Kerajaan Aceh Darussalam Keurajeuën Acèh Darussalam كاورجاون اچيه دارالسلام | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1496–1903 | |||||||||||
Luas Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, 1608-1637. | |||||||||||
Status | Wilayah protektorat Kekaisaran Ottoman (1569–1903) | ||||||||||
Ibu kota | Kutaraja, Bandar Aceh Darussalam (sekarang Banda Aceh) | ||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Aceh, Melayu, Arab, Gayo, Alas | ||||||||||
Agama | Islam | ||||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||||
Sultan | |||||||||||
• 1496–1530 | Ali Mughayat Syah | ||||||||||
• 1875–1903 | Muhammad Daud Syah | ||||||||||
Sejarah | |||||||||||
• Pengukuhan sultan pertama | 1496 | ||||||||||
1903 | |||||||||||
Mata uang | deureuham dan dinar | ||||||||||
| |||||||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia Malaysia | ||||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Bagian dari seri artikel mengenai |
Sejarah Malaysia |
---|
Sejarah
Awal mula
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.[2]
Masa Kejayaan
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh[diragukan ] [butuh rujukan] menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya.
Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.[3]
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.[4]
Kesultanan Aceh menguasai semenanjung Malaya, Pattani dan Ligor, hingga Tumasik Singapura dan hampir menguasai seluruh pulau Sumatera. Ligor yang pada waktu itu direbut oleh Pattani yang berada dibawah kesultanan Aceh, saat itu kerajaan Ligor baru saja kehilangan pemimpinnya, seorang ronin Jepang bernama Yamada Nagamasa (memerintah di bawah Ayutthaya), yang dibunuh oleh raja Siam yang baru saja naik tahta (Prasat Thong). Saat itulah Patani mengambil kesempatan untuk merebut Ligor dan berhasil. Patani semasa pemerintahan Ratu Ungu adalah vasal kesultanan Aceh, karena sang ratu adalah permaisuri dari Sultan Pahang yang diketahui tunduk pada Sultan Iskandar Muda. Ligor menjadi bawahan Aceh secara tidak langsung melalui Pattani.
Palembang, ada dua sumber yang mencatatnya sebagai salah satu negeri yang takluk pada Aceh. Yang satu adalah surat Sultan Iskandar Muda kepada Raja James I dari Inggris, yang dikutip oleh M. Dien Madjid dalam bukunya Catatan Pinggir Sejarah Aceh: Perdagangan, Diplomasi, dan Perjuangan Rakyat. Sumber kedua adalah tulisannya H.T. Damsté dalam Het Volk van Atjeh yg dikutip oleh Hasan Tiro dalam karyanya, Aceh di Mata Dunia. Aceh menaklukkan Palembang sekitar tahun 1624. Dalam hal wilayah kekuasaan ini tercatat Aceh sebagai kesultanan Islam terbesar di Asia Tenggara.
Pada masa Sultan Alaidin Ri'ayat Syah Sayyid Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.
Kemunduran
Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibu kota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[5]
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Prancis dengan mengirim surat kepada Raja Prancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Prancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.[3]
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibu kota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[5]
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatra, dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibu kota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
Perang Aceh
Perang Aceh merupakan perang terdahsyat, termahal dan terpanjang dalam sejarah Nusantara, dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, tetapi tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, tetapi lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar habis-habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.
Pada 1879 dan 1898, Sultan Aceh kala itu, Muhammad Daud Syah II, meminta Rusia untuk memberikan status protektorat kepada Kesultanan Aceh dan membantunya melawan Belanda. Namun, permintaan sultan ditolak Rusia.[6]
Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.[7]
Aceh dalam catatan sejarah tidak pernah benar benar takluk pada Belanda dan pernah mengalami kemenangan luar biasa seperti pada 22 April 1873 Bencana kekalahan di Aceh membuat Belanda menjadi bulan-bulanan dalam pemberitaan media massa international, Surat kabar London Times menulis: Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan baru sudah terjadi di kepulauan Melayu. Sebuah kekuatan Eropa yang besar telah dikalahkan oleh tentara anak negeri, tentara Kerajaan Aceh Darussalam. Kekalahan Belanda ini menggemparkan publik Eropa dan Amerika. Surat kabar London Times edisi 22 April 1873 memuat laporan lengkap dari Medan Perang Bandar Atceh antara lain ditulis: ‘Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan yang terjadi di kepulauan Melayu. Kekuatan pasukan Eropa yang besar dikalahkan oleh tentara pribumi. Tentara Aceh berhasil dengan gemilang meraih kemenangan besar dalam peperangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa lari’... The New York Times pada edisi 15 Mei 1873 menulis sebagai berikut ‘Suatu pertempuran berlumuran darah terjadi di Aceh. Serangan Belanda berhasil ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda dibunuh dan tentaranya lari tunggang langgang (Harry Kawilarang, 2010: 63)
Berdasarkan petikan diatas dapat diinterpretasikan bahwa dalam pertempuran agresi militer Belanda yang pertama tahun 1873 di Pante Ceureumen, pasukan Aceh mampu memukul mundur tentara agresor Belanda sehingga memunculkan kerugian yang besar pada pihak Belanda. Kekalahan Belanda pada pertempuran pertama ini terjadi karena Belanda sangat keliru dalam memperkirakan kekuatan pasukan Aceh. Mereka menganggap bahwa kondisi kerajaan Aceh Darussalam sedang mengalami penurunan diberbagai bidang kehidupan baik dalam bidang ekonomi dan militer.
dalam buku Perang kolonial Belanda di Aceh disebutkan bahwa, Belanda menghabiskan dananya pada 1873-1874 sebesar 16 Juta Gulden atau setara 6 Triliun Rupiah saat ini, sedangkan pada tahun 1875 Belanda menghabiskan dananya sebesar 26,5 Juta Gulden atau setara 9 Triliun Rupiah saat ini, dan tercatat sebagai perang termahal dalam sejarah Nusantara. Perang Aceh berlangsung hingga 30 tahun lebih lamanya dan tercatat sebagai perang terpanjang dalam sejarah Nusantara. Korban dalam perang Aceh mencapai hampir 100.000 orang tewas, baik dari pihak Belanda maupun pihak Aceh dan tercatat sebagai perang terdahsyat di Nusantara.
Perang Aceh berlangsung hingga 30 tahun lebih lamanya, dan tercatat sebagai perang terlama dan terdahsyat dalam sejarah Nusantara, Belanda mengibaratkan perang Aceh ini seperti perang 80 tahun
Perkiraan Belanda menaklukkan Aceh akan berjalan mulus ternyata keliru, J.H.R.Kohler tewas tertembak didadanya, pada saat itu ia berkata "O, God, ik ben getroffen!" Oh, Tuhan, aku tertembak, pekiknya., ini menandakan kerugian dan hal yang sangat memalukan bagi Belanda, hal tersebut dapat terlihat pada makam Kohler dengan gambar ular yang menggigit ekornya sendiri. Tercatat [[Teungku Imum Lueng Bata]] sebagai sosok penembak Kohler dalam peristiwa perang Aceh tersebut.
Selama pendudukan Belanda di Aceh, Belanda sama sekali tidak mendapatkan keuntungan selama di Aceh, bahkan mereka mengalami kerugian yang sangat sia sia apalagi dalam perang Aceh yang mencapai kerugian Belanda hingga 115 juta Gulden atau setara lebih dari 40 Triliun Rupiah hari ini, kekuasaan Belanda di Aceh hanyalah agar nampak di mata dunia bahwa kedaulatan Belanda telah mencapai Aceh, sedangkan Belanda di Aceh tidak mendapatkan apa apa. Hal ini dapat dilihat Wilayah para Uleebalang yang masih menikmati otonomi yang cukup luas sehingga tidak pernah diperintah langsung oleh Belanda, dan tidak pernah megalami penjajahan dan kerja paksa oleh pemerintah kolonial.
Restorasi
Dengan dibuangnya Sultan Muhammad Daudsyah ke Ambon (kemudian ke Batavia) pada tahun 1907 maka menandakan berakhirnya Kesultanan Aceh, yang telah dibina berabad-abad lamanya. walaupun telah jatuh ke dalam pendudukan Belanda secara de facto Belanda tidak bisa menguasai Aceh secara de jure, Aceh memang tidak sama dengan daerah lain di Nusantara yang takluk baik secara de facto dan de jure, sedangkan Aceh tidak, karena Belanda tidak benar benar menguasai Aceh. Disisi lain, tidak takluknya Aceh ke pangkuan Belanda secara de jure, melahirkan tokoh tokoh pahlawan yang hebat nan tangguh dan perlawanan terhadap Belanda tetap dilancarkan untuk menentang kekuasaan Belanda di Nusantara
Di akhir tahun 1930an, berkembang gagasan untuk menghidupkan monarki dengan memulangkan Tuanku Muhammad Daudsyah ke Kutaraja. Belanda tidak menentang secara terbuka gagasan restorasi monarki namun menolak Tuanku Muhammad Daudsyah untuk duduk di singgasana kembali. Sikap Belanda yang demikian membuat pendukung gagasan tersebut mengusulkan Tuanku Mahmud (mantan anggota volksraad dan pegawai pribumi aceh tertinggi di administrasi Belanda di Aceh) sebagai calon Sultan.
Usulan ini ditentang keras oleh kelompok Uleebalang yang menikmati otonomi besar di masa pendudukan Belanda. Mereka khawatir bahwa dengan naiknya sultan maka pengaruh posisi mereka berkurang bahkan hak turun temurun sebagai kepala daerah bisa ditanggalkan. Salah satu tokoh penentang keras dari kaum Uleebalang adalah Teuku Muhammad Hasan Geulumpang Payong (Hasan dik). Penentang di kalangan ulama adalah Teungku Muhammad Daud Beureueh. Beliau bukan tidak ingin kembalinya kesultanan, melainkan tidak menyukai orang yang akan menduduki tahta batee tabal, yaitu Tuanku Ibrahim dan Tuanku Mahmud. Tuanku Ibrahim dianggap memiliki akhlak yang kurang baik sedangkan Tuanku Mahmud meski cakap tapi terlalu dekat dengan Belanda.
Kelompok ulama muda terutama yang tergabung dalam PUSA sangat mendukung ide ini. Hal ini dilatar-belakangi banyak di antara mereka yang mengalami kepahitan hidup di bawah kekuasaan para Uleebalang yang hanya tunduk kepada kekuasaan Belanda dan banyak dari uleebalang tersebut bersikap otoriter. Mereka tidak mempunyai tempat untuk mengadukan nasib, karena Belanda senantiasa berpihak kepada Uleebalang. Situasi demikian tidak terjadi jika ada pemerintahan Sultan, setidaknya Sultan berada di bawah bayang-bayang ulama.
Namun demikian ide ini kemudian luntur seiring berkuasanya Jepang di Aceh.[8]
Pemerintahan
Sultan Aceh
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873 ibu kota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh" (maskawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông Pande.[9]
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.[10]
Perangkat Pemerintahan
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:
- Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang aggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
- Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Malikul Adil, yang beranggotakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
- Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
- Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
- Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira Departemen Pertahanan.
- Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kira-kira Departemen Kehakiman.
- Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.
Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan di antaranya
- Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan
- Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
- Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang; kira-kira Menteri Dalam Negeri.
- Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan pengembangan hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
- Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara.[11]
Ulèëbalang & Pembagian Wilayah
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah tersebut diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Setiap daerah dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):
- Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
- Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
- Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Masjid untuk melakukan shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie.[12] Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang luas [13].
Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.[14]
Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai berikut:
Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan daripada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.
— Sumpah Ulee Balang
Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh keturunannya hingga saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya, dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.[15] Diakhir sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat lima waktu, melakukan sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.
Perekonomian
Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:
- Minyak tanah dari Deli,
- Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
- Kapur dari Singkil,
- Kapur Barus dan menyan dari Barus.
- Emas di pantai barat,
- Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibu kota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.[16] Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang India, Prancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan Meulaboh.[5]
Kebudayaan
Arsitektur
Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang disebut Ar Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.[4]
Kesusateraan
Sebagaimana daerah lain di Sumatra, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat, Kisah Abdullah Hadat dan Hikayat Prang Sabi.[14]
Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (Taman Para Sultan) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus Salatin (1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Syarab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
Karya Agama
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia Tenggara. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam bahasa jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.[11]
Militer
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi meriam sendiri dari kuningan.[17]
Foto Bersejarah
Lihat pula
Referensi
- ^ Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com
- ^ Sumatra and the Malay peninsula, 16th century
- ^ a b Reid, Anthony (2011). Menuju Sejarah Sumatra, Antara Indonesia dan Dunia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. hlm. 97–99.
- ^ a b Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- ^ a b c Reid, Anthony (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan Pantai Timur Sumatra hingga akhir Kerajaan Aceh abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "asal mula" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ Egorov, Boris (Mei 04, 2017). "Dari Aceh hingga Alaska: Daerah-daerah yang Hampir Jadi Kekuasaan Rusia". Diakses tanggal 2018-04-09.
- ^ Zentgraft, Door H.C. (1938). ATJEH. Batavia: Koninklijke Drukkerij de Unie.
- ^ Sjamsuddin, Nazaruddin. (1999). Revolusi di serambi Mekah : perjuangan kemerdekaan dan pertarungan politik di Aceh, 1945-1949 (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. hlm. 33–35. ISBN 979-456-187-8. OCLC 43403789.
- ^ 20 Tahun Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh, Medan: Percetakan Universitas Syiah Kuala. 1980. hlm. 376–377.
- ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 104.
- ^ a b Hasjmi, Ali. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu. Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 130 – 133. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "Hasjmi" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 41–42.
- ^ a b Hurgronje, Snouck. The Acehnese, translated by A.W.O. Sullivian. Leiden: B.J. Brill. hlm. 434. Kesalahan pengutipan: Tanda
<ref>
tidak sah; nama "Snouck" didefinisikan berulang dengan isi berbeda - ^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy. hlm. 51.
- ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 87.
- ^ Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia Josef W. Meri hal. 465 [1]
Pranala luar
- (Indonesia) Sejarah bertinta emas pernah terukir di Bumi Aceh
- (Indonesia) Sejarah Islam di Indonesia di swaramuslim.net
- (Indonesia) Sedikit Bercerita tentang Atjeh
- (Indonesia) Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com
- (Inggris) Bendera-bendera yang digunakan oleh Kesultanan Aceh
- Johan Wahyudhi (2016) Pasang Surut Diplomatik Kesultanan Aceh dan Johor Abad XVI-XVII. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah
- (Indonesia) [(Indonesia) [2]