Kayu rapet
Kayu rapet | |
---|---|
Least concern
| |
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | Plantae
|
Subkerajaan: | Tracheobionta
|
Superdivisi: | Spermatophyta
|
Divisi: | Magnoliophyta
|
Kelas: | Magnoliopsida
|
Subkelas: | Asteridae
|
Ordo: | Gentianales
|
Famili: | Apocynaceae
|
Genus: | Parameria
|
Spesies: | P. laevigata
|
Kayu rapet atau manggarsih (Parameria laevigata) adalah tumbuhan berbunga dari genus Parameria yang berupa semak menjalar. Nama daerahnya bermacam-macam misalnya akar gerip putih, gakeman mayit (Lampung), kayu rapet (Sd.) kayu rapet, gembor, ragen (Jw.) kayu rapat (Ml.), dan dugtong ahas (Filipina)[1].
Pemerian
Kayu rapet merupakan semak menjalar dengan panjang hingga mencapai 4 m. Batang kayu rapet ini membelit, bulat, berkayu, dan berbulu cokelat. Daun tunggal kayu rapat berbentuk lanset dengan letak berhadapan dan berujung runcing. Warna daun hijau kemerahan swaktu masih muda, kemudian berubah menjadi hijau setelah tua. Bunganya majemuk berbentuk malai dengan mahkota berbentuk corong dan berwarna putih. Sementara buah polongnya panjang hingga mencapai 45 cm dan berujung lancip. Polong berisi biji yang berbentuk bulat dan berwarna cokelat kehitaman.[2]
Ekologi
Tumbuhan menjalar ini ditemukan pada hutan primer dan sekunder dan belukar dari ketinggian 0 meter sampai 1.500 mdpl[3]. Kayu rapet memiliki preferensi tumbuh di lahan terbuka, utamanya di lokasi yang kosong tanpa ada vegetasi lainnya serta dengan kelembaban rendah dan intensitas cahaya matahari yang tinggi[4]. Tumbuhan ini juga berasosiai kuat dengan spesies mahang (Macaranga javanica) dan karet (Hevea brasiliensis)[5].
Persebaran
Kayu rapet ditemukan di India (Kepulauan Andaman) dan Tiongkok bagian selatan, sampai ke Myanmar, Indochina, Thailand, Semenanjung Malaysia, Singapura, Sumatera, Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, Sulawesi, Kalimantan, dan Filipina.[3]
Pemanfaatan
Bagian yang dimanfaatkan dari tumbuhan ini antara lain ranting dan kulit kayunya. Kulit kayu atau ranting kayu rapet dikeringkan dan dijual di pasar tradisional Tiongkok dan Indochina[3]. Selain itu, getah tumbuhan kayu rapet juga dimanfaatkan[6].
Kandungan kimia
Mengandung zat-zat seperti tanin, kautsuk (getah perca), kiksiin (beracun dan zat alkaloid)[6]. Daun kayu rapet baik yang berasal dari alam maupun budidaya eksitu sama-sama mengandung saponin, quinon, tanin dan steroid. Batang kayu rapet baik yang berasal dari alam maupun hasil budidaya eksitu sama-sama mengandung flavonoid, quinon, saponin, tanin, steroid dan alkaloid, sedangkan akar mengandung flavonoid, quinon, saponin, tanin, triterpenoid, dan alkaloid.[7] Lebih lanjut, terdapat senyawa trimeric proanthocyanidin, parameritannin A-1, paramerittanin A-2, proanthocyanidin A-2, proanthocyanidin a-6, cinnamtannin B-1, dan aesculitannin B[8]. Sejumlah senyawa yaitu parameritannin A-3, cinnamtanin B-2, pavetannin C-1, dan cinnamtannin D-1 juga terdapat dalam kulit kayu rapet[9].
Khasiat
Kulit kayu rapet digunakan sebagai pelangsing, selain itu juga sebagai obat luka, koreng, disentri, dan nyari rahim sehabis bersalin[2]. Ekstrak daunnya memiliki khasiat penghambat parsial bakteri Micrococcus aureus dan Escherichia coli [10]pada medium kertas filter termodifikasi. Khasiat penghambat terhadap HIV-1 protease juga terdeteksi pada percobaan screening biologis[3].
Khasiat anti nyeri yang dilakukan melalui uji analgetika dari infus kulit kayu rapet pada mencit putih menunjukkan semua dosis infus yang dicoba mempunya efek analgetik yang lebih baik dibanding dengan kontrol (hanya diberi akuades) tetapi dibandingkan dengan Asetosal, efek analgetik infus kayu rapet sama[11].
Di beberapa tempat di Jawa, kayu rapet digunakan sebagai campuran jamu "sehat wanita" yang berfungsi untuk mengembalikan dan merangsang sistem endokrin setelah melahirkan[12].
Referensi
- ^ "Mengenal Kayu Rapet". BPTP Banten. 15 Juni 2016. Diakses tanggal 4 Juni 2020.
- ^ a b Mursito, Bambang (2012). Ramuan Tradisional untuk Pelangsing Tubuh. Penebar Swadaya. hlm. 112. ISBN 9794897493.
- ^ a b c d van Valkenburg, J.L.C.H; Bunyapraphatsara, N., ed. (2011). Plant Resources of South-East Asia. 12. Leiden: Backhuys Publishers. hlm. 402.
- ^ Hamidah, Siti; Arifin, Yudi; Fitriani, Adistina (2018). "Micro Climate Assessment of Medicinal Plant Habitat for The First Step of Domestication" (PDF). Acedemic Research International. 9 (3): 145–150.
- ^ Amirina, Wira; Arifin, Yudi; Prihatiningtyas, Eva (2019). "Analisis Vegetasi dan Jenis Vegetasi Dominan yang Berasosiasi dengan Manggarsih (Parameria laevigata) di Kawasan Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan". Sylva Scienteae. 2 (6): 1140–1148.
- ^ a b "Tumbuhan Obat #Parameria laevigata (Juss.) Moldenke". IPBiotics. Diakses tanggal 4 Juni 2020.
- ^ Barus, Sika Handayani; Hamidah, Siti; Satriadi, Trisnu (2019). "Uji Fitokimia Senyawa Aktif Tumbuhan Manggarsih (Parameria laevigata (Juss) Moldenke) dari Hutan Alam Desa Malinau Loksado dan Hasil Budidaya Eksitu Banjarbaru". Sylva Scienteae. 2 (3): 510–518.
- ^ Kamiya, Kohei; Watanabe, Chiharu; Endang, Hanani; Umar, Mansur; Satake, Toshiko (2001). "Studies on the Constituents of Bark of Parameria laevigata MOLDENKE". Chem. Pharm. Bull. 49 (5): 551–557.
- ^ Kamiya, Kohei; Ohno, Akiko; Horii, Yukiko; Hanani, Endang; Mansur, Umar; Satake, Toshiko (2003). "A-type proanthocyanidins from the bark of Parameria laevigata". Heterocycles. 60 (7): 1697–1708.
- ^ Kosala, Lantin Cerya (2003). "Uji Daya Antimikroba Ekstrak n-Heksan Kulit Kayu Rapet {Parameria laevigata(Juss.)Moldenke} Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli dengan Kloramfenikol". University of Surabaya Repository. doi:http://digilib.ubaya.ac.id/pustaka.php/150591 Periksa nilai
|doi=
(bantuan). - ^ Sundari, Dian; Gusmali, Desy M.; Nuratmi, Budi (2005). "Uji Khasiat Analgetika Infus Kayu Rapet (Parameria laevigata (Juss.) Moldenke) pada Mencit Putih". Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 15 (4): 8–11. doi:10.22435/mpk.v15i4 Des.1158. Periksa nilai
|doi=
(bantuan). - ^ Sangat, Harini; Larashati, Inge (2002). "Some Ethnophytomedical Aspects and Conservation Strategy of SeveralMedicinal Plants in Java, Indonesia". Biodiversitas. 3 (2): 231–235.