Pertentangan antar hak asasi manusia
Pertentangan antar hak asasi manusia adalah pertentangan yang terjadi di antara dua hak asasi, contohnya pertentangan antara hak atas kehidupan pribadi seorang artis dengan kebebasan berekspresi seorang wartawan yang mengulas kehidupan artis tersebut.[1]
Pandangan filosofis
Spesifikasionisme
Secara filosofis, terdapat beberapa filsuf (seperti James Griffin) yang menampik adanya pertentangan antar hak asasi manusia. Penolakan ini dilandaskan pada filsafat Immanuel Kant yang menyatakan bahwa kebebasan individu merupakan bagian dari sistem kebebasan yang sama untuk semua orang. Pengakuan akan adanya pertentangan antar hak yang dimiliki oleh individu yang berbeda dianggap dapat membahayakan landasan teoretis ini.[2][3] Beberapa filsuf malah menekankan pandangan "spesifikasionisme" yang menyatakan bahwa setiap individu hanya memiliki hak-hak yang spesifik dan tidak saling bertentangan.[4][5] Walaupun mungkin terdapat beberapa contoh yang menunjukkan seolah adanya pertentangan antar dua hak, solusi yang diajukan pendukung spesifikasionisme adalah dengan menerapkan hak yang benar-benar spesifik terhadap situasinya. Sebagai contoh, seorang pengelana yang tersesat di tengah badai salju hendak menerobos masuk ke dalam sebuah pondok pribadi milik orang kaya yang telah lowong pada saat itu. Dalam kasus ini, seolah terdapat pertentangan antara hak untuk hidup sang pengembara dengan hak atas properti si orang kaya. Berdasarkan pandangan spesifikasionisme, tidak ada pertentangan sama sekali karena hak untuk hidup tidak memberikan hak untuk masuk ke pondok orang tanpa izin, dan hak atas properti juga tidak memberikan hak agar pondok milik seseorang tidak diterobos masuk oleh seseorang yang sedang tersesat di tengah badai.[6]
Namun, pandangan spesifikasionisme telah menuai kritikan akibat landasan teoretisnya yang dianggap lemah. Menurut pakar hak asasi manusia Stijn Smet, pandangan spesifikasionisme sama sekali tidak dapat diterapkan di dunia nyata akibat banyaknya skenario yang mungkin terjadi, sehingga tidak ada yang benar-benar tahu hak spesifik apa yang dimiliki A dalam skenario B atau C.[7] Selain itu, pandangan spesifikasionisme juga dianggap tidak sesuai dengan praktik hak asasi manusia.[6] Sebagai contoh, ketika dua orang yang terombang-ambing di lautan setelah kapal mereka tenggelam mencoba berpegangan pada papan Karneades, hak untuk hidup dua orang tersebut tampak saling bertentangan. Karena mereka memiliki hak yang sama, konsekuensi dari pandangan spesifikasionisme adalah bahwa sama sekali tidak ada hak asasi yang bisa diterapkan dalam perkara tersebut. Menurut pakar hak asasi manusia Stijn Smet, hal ini sama sekali tidak masuk akal. Contoh lain adalah dalam skenario sang pengelana; jika pandangan spesifikasionisme diterapkan, konsekuensinya adalah sang pemilik pondok tidak berhak menerima kompensasi sama sekali, tetapi hal ini tidak sesuai dengan intuisi dan praktik di dunia nyata.[7][8]
Model pro tanto
Tidak seperti pandangan spesifikasionis, model pro tanto hak asasi manusia menganggap "hak" sebagai pemberi alasan bagi suatu tindakan yang memiliki kandungan normatif. Model pro tanto mengakui adanya pertentangan antar hak, dan hak seseorang dapat dikurangi oleh pertimbangan-pertimbangan lain. Sebagai contoh, Darsem tidak memiliki hak untuk berteriak "Kebakaran!" di dalam gedung konser yang penuh dengan penonton karena kepanikan dapat berujung pada insiden terinjak-injak. Pada saat yang sama, model pro tanto dapat dengan mudah diadaptasi untuk skenario lain yang serupa. Misalnya, Darsem punya hak untuk berteriak "Kebakaran" di dalam gedung apabila memang benar-benar terjadi kebakaran. Hak tersebut tidak lagi dikurangi oleh hak untuk hidup para penonton seperti pada contoh sebelumnya.[9]
Perbedaan antara interferensi dan pelanggaran
Beberapa filsuf seperti Joel Feinberg membedakan antara interferensi (interference) dengan pelanggaran (violation) suatu hak.[10][8] Dalam skenario pengelana yang menerobos ke pondok yang sedang lowong demi keselamatan nyawanya, si pengelana telah melakukan interferensi terhadap hak properti si pemilik pondok karena ia mungkin merusak pintu, jendela, atau barang-barang lainnya agar ia bisa masuk. Secara moral si pengelana mungkin diwajibkan untuk mengganti rugi si pemilik pondok. Namun, dalam kasus ini tidak terjadi pelanggaran dan oleh sebab itu si pengelana tidak diwajibkan membayar ganti rugi karena hak untuk hidup sang pengelana lebih diutamakan daripada hak properti si pemilik pondok.[8] Pandangan semacam ini juga dianut oleh Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia. Misalnya, dalam perkara yang terkait dengan kebebasan berekspresi, Mahkamah pertama-tama akan mempertimbangkan apakah telah terjadi interferensi terhadap hak tersebut. Jika ya, para hakim kemudian akan mencoba melihat apakah interferensi tersebut dapat dijustifikasi. Apabila tidak, Mahkamah akan menetapkan bahwa telah terjadi pelanggaran.[11]
Catatan kaki
Daftar pustaka
Buku
- Griffin, James (2008), On Human Rights, Oxford dan New York: Oxford University Press, ISBN 9781435633452
- Smet, Stijn (2017), Resolving Conflicts between Human Rights: The Judge's Dilemma, Oxon dan New York: Routledge, ISBN 9781138658011
Jurnal
- Feinberg, Joel (1978), "Voluntary Euthanasia and the Inalienable Right to Life", Philosophy & Public Affairs, 7 (2): 93–123
- Nickel, James W. (1982), "Are Human Rights Utopian?" (PDF), Philosophy & Public Affairs, 11 (3): 246–264