Suku Ngada

suku bangsa di Indonesia

Ethnis Ngada (atau Ngadha, Nad'a, Nga'da) adalah ethnis yang mendiami sebagian besar daerah Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 155.000 jiwa. Mata pencaharian hidup ethnis ini umumnya adalah berladang, sebagian di sawah, ada pula yang beternak sapi, kerbau, kuda dan mayoritasnya beternak babi.

Ethnis Ngada merupakan penutur [bahasa Ngada atau Rokka]. Berdasarkan perbedaan dialek-dialek bahasa, Kabupaten Ngada dibagi atas empat ethnis yakni Rokka, Riung, Nage, Bajawa, Masing-masing klan mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri yang masih dipertahankan sampai saat ini, seperti rumah adat, tarian, pakaian adat, dan lain-lain.

Etimologi

Nama Ngada diambil dari nama salah satu dari klan atau woe yang terdapat di wilayah yang kini bernama Kabupaten Ngada. Sebutan "Ngada" diperkenalkan sebagai wilayah administratif oleh [Hindia Belanda|pemerintah kolonial Belanda]] pada tahun 1907. Sebelum tahun 1907,ethnis Ngada lebih dikenal dengan nama De Rokka yang berpusat di sekitar Rokkas Piek atau Gunung Inerie. Mayoritas penduduk De Rokka berada di tengah dan selatan Kabupaten Ngada saat ini. Seorang antropolog bernama Paul Arndt pernah melakukan penelusuran mengenai asal mula nama Ngada. Dalam penelusurannya yang dilakukan pada 1929, Paul menjelaskan bahwa nama Ngada berasal dari nama suku atau klan Kepala Swapraja Ngadha yang berubah menjadi "Ngada" karena lebih mudah diucapkan oleh lidah.

Dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia disebutkan, terdapat mitos bahawa nenek moyang Suku Ngada telah melakukan perjalanan yang jauh dari tempat yang disebut dengan istilah "pu’u zili giu gema", artinya tempat yang gelap gulita. Dalam syair adat yang dinyanyikan disebutkan bahwa tempat yang jauh itu mengacu ke sebuah negeri bernama Sina One, diartikan sebagai Negeri China.

Rumah adat

Rumah orang Ngada disebut "sa'o". Rumah-rumah ditata membentuk permukiman dengan pola bulat telur atau persegi panjang dan posisi mengelilingi sebuah lapangan yang digunakan untuk berkumpul dan mengadakan upacara. Di tengah-tengah lapangan, terdapat minimal satu susunan panggung batu untuk melengkapi upacara yang disebut "Ture" dimana terdapat Batu ceper yang besar dan disebut Nabe di swbagai altar dan batu tegak yang disebut "watu lewa'

Setiap rumah adat Suku Ngada selalu menghadap ke "ngadhu" dan "bhaga" sebagai poros. Bhaga berbentuk seperti rumah berukuran kecil yang merupakan representasi leluhur perempuan, sementara Ngadhu /Madhu merupakan representasi leluhur laki-laki dengan bentuk menyerupai payung dengan keri atau atap alang-alang dan ijuk dari pohon enau. Jumlah keduanya selalu berpasangan mengartikan banyaknya klan atau woe di dalam satu permukiman.

Sistem kekerabatan

Suku Ngada menganut sistem kekerabatan patrilineal. Keluarga inti disebut "se sao". Beberapa "se sao" bergabung membentuk keluarga patrilineal yang disebut "sipopali". Beberapa sipopali yang merasa masih satu kakek moyang dengan "sipopali" lain bergabung membentuk klan kecil yang disebut "ilibhou". Beberapa ilibhou terikat ke dalam satu kesatuan teritorial genealogis yang disebut "woe". Masing-masing woe mempunyai lambang "totem" yang mereka junjung tinggi.[1]

Sosial dan kemasyarakatan

Suku Ngada mengenal stratifikasi sosial atau disebut "gae meze" dalam istilah setempat. Pengelompokan ini biasanya ketika ada kelompok-kelompok woe yang dominan dan menganggap diri sebagai golongan bangsawan. Di bawahnya, ada golongan rakyat biasa disebut "gae kisa". Paling rendah, yakni golongan hamba sahaya atau bekas budak yang disebut "azi ana" atau "ho'o".[2]

Agama dan kepercayaan

Dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, mayoritas agama yang dipeluk Suku Ngada yakni Katolik dan sedikit Islam. Sejak tahun 1910-an, Suku Ngada sudah menjadi target misionaris di bawah kelompok Societas Verbi Divini.[3] Sebagian anggota masyarakat masih menganut kepercayaan asli mereka yang bersifat animisme dan dinamisme.[2]

Rujukan

Catatan kaki
Daftar pustaka