Krakatau Steel

perusahaan asal Indonesia

PT Krakatau Steel merupakan BUMN[1] yang bergerak di bidang produksi baja. Perusahaan yang beroperasi di Cilegon, Banten ini mulanya dibentuk sebagai wujud pelaksanaan Proyek Baja Trikora yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 untuk memiliki pabrik baja yang mampu mendukung perkembangan industri nasional yang mandiri, bernilai tambah tinggi, dan berpengaruh bagi pembangunan ekonomi nasional. Ketika dibentuk pada tanggal 20 Mei 1962, perusahaan yang dulunya bernama Cilegon Steel Mill ini resmi berdiri dengan kerja sama Tjazpromexport dari Uni Soviet. Namun, terjadinya gejolak politik dan ekonomi yang parah, mengakibatkan pembangunan pabrik sempat terhenti. Barulah memasuki awal 1970-an, unit pabrik dilanjutkan pembangunannya dan dioperasikan secara resmi pada tanggal 31 Agustus 1970 dengan nama Krakatau Steel. Selama dekade pertama perusahaan berdiri, Krakatau Steel telah melakukan gerak cepat dalam pembangunan kawasan operasi terpadu produksi baja di Cilegon dengan berbagai peresmian operasional perdana yang disaksikan dan diresmikan langsung oleh Presiden Soeharto dari pusat pengolahan air terpadu, pelabuhan Cigading, PLTU Cilegon 400 MW serta pabrik baja terpadu yang meliputi 4 produk baja utama.

PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
BUMN / Publik
Kode emitenIDX: KRAS
IndustriPeleburan Besi
Didirikan31 Agustus 1970
Kantor
pusat
Tokoh
kunci
  • Silmy Karim (Presiden Direktur)
  • Tardi. (Direktur Keuangan)
  • Wisnu Kuncoro (Direktur Produksi dan Teknologi)
  • Rahmad Hidayat (Direktur SDM)
  • Purwono Widodo (Direktur Pemasaran)
  • Ogi Rulino (Direktur Logistik dan Pengembangan Bisnis)
Produk
  • Baja Lembaran Panas
  • Baja Lembaran Dingin
  • Batang Kawat
Jasa
  • Rekayasa & Konstruksi
  • Pemeliharaan Mesin
  • Konsultasi Teknis
  • Penyediaan Infrastruktur-Suprastruktur
PendapatanKenaikanRp 1.745 Triliun (2016)
KenaikanRp 57,95 Triliun (2016)
Total ekuitas80% Pemerintah Indonesia, 20% Publik
IndukPemerintah Indonesia
Situs webkrakatausteel.com

Sejarah

Jauh sebelum gagasan industri baja nasional muncul, cikal bakal pengolahan bijih besi telah lahir sejak tahun 1861. Kala itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda membangun tanur di Lampung. Pembangunan Tanur di Lampung berfungsi untuk mengolah hasil tambang bijih besi berbahan bakar batu bara. Meski berukuran kecil, industri pengolahan tersebut mampu menghasilkan baja kasar yang berfungsi untuk membuat suku cadang pabrik gula, pabrik karet, dan peralatan pertanian. Namun, industri pengolahan bijih besi tersebut tutup lantaran pengelolaannya yang tidak profesional.

Pada masa pendudukan Jepang, sebuah tanur pernah dibangun di Kalimantan Selatan dengan bahan bakar batu bara. Namun, banyaknya gejolak perang dan revolusi fisik mengakibatkan perintisan industri baja sempat terhenti. Baru pada tahun 1956, industri baja mulai mendapat perhatian dengan diperkuat adanya gagasan mendirikan industri baja nasional. Menteri Perindustrian dan Pertambangan, Chaerul Saleh bersama Djuanda dari Biro Perancang Negara (kini Bappenas), mulai menyusun cetak biru industri baja nasional. Indonesia yang sedang giat-giatnya melakukan pembangunan sangat membutuhkan keberadaan industri pengolahan bijih besi. Biro Perancang Negara menggandeng konsultan asing untuk merintis industri baja yang bernama Proyek Besi Baja Trikora.

Setelah studi kelayakan selesai disusun, Cilegon dipilih sebagai tempat pengolahan dan produksi hasil olahan bijih besi karena memiliki kelebihan seperti, lahan luas yang tidak mengalihfungsikan lahan pertanian, terdapat sumber air yang melimpah, aksesnya yang terjangkau dari berbagai pulau untuk mendatangkan besi tua melalui pelabuhan Merak. Penandatanganan kerja sama pembangunan dengan Tjazpromexport (All Union Export-Import Corporation) dari Uni Soviet pada 7 Juni 1960 berlanjut dengan peletakan batu pertama pada 20 Mei 1962. Sekali lagi, pembangunan ini kembali terhenti karena gonjang-ganjing politik G30S/PKI. Setelah vakum selama lima tahun, Proyek Besi Baja Trikora dilanjutkan lewat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35, 31 Agustus 1970 dengan didirikannya PT Krakatau Steel (Persero). Pendirian Krakatau Steel disahkan dengan Akta Notaris Tan Thong Kie Nomor 34, pada tanggal 23 Oktober 1971 di Jakarta.

Sejak itu, Krakatau Steel mulai mengejar ketertinggalannya dengan mempercepat pembangunan industri baja terpadu di Indonesia. Gerak maju dan usaha keras itu dapat dilihat dari serangkaian peresmian unit-unit pabrik dan sarana pendukungnya. Pada tahun 1977, peresmian perdana oleh Presiden Soeharto sejumlah pabrik seperti, pabrik Besi Beton, pabrik Besi Profil dan Pelabuhan Cigading. Dua tahun kemudian, secara resmi pembangunan pabrik Besi Spons, pabrik Billet Baja, pabrik Batang Kawat, Pembangkit Listrik Tenaga Uap 400 MW, pusat pengolahan air dan PT KHI Pipe selesai dan beroperasi penuh. Pada tahun 1983 pembangunan pabrik Slab Baja, pabrik Baja Lembaran Panas dan pabrik Besi Spons selesai dibangun dan resmi dioperasikan. Hingga pada 1993, masih ada peresmian perluasan dan modernisasi.

Mitra

Perkembangan Usaha

Pada 10 November 2010, di tengah kondisi pasar yang masih bergejolak, PT Krakatau Steel (Persero) berhasil menjadi perusahaan terbuka dengan melaksanakan penawaran umum perdana (IPO) dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Pada tahun 2011, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk membukukan pendapatan bersih sebesar Rp17,9 triliun dan laba bersih Rp1.02 triliun. Pada tahun 2011, Perseroan dan anak perusahaan dengan aset senilai Rp21,5 triliun memiliki 8.023 orang karyawan.

Pada 26 November 2014, Krakatau Steel meresmikan pabrik pipa baja kedua milik anak perusahaannya PT KHI Pipe Industry di Cilegon, Banten,[2]. Dengan beroperasinya pabrik baru ini, PT KHI bakal menjadi produsen pipa baja terbesar di Indonesia, pabrik ini fokus membuat pipa baja untuk sektor industri minyak dan gas (migas)

Referensi

  1. ^ krakatausteel, (Kaunduh 14/2/13).
  2. ^ Artikel:"Pabrik Baru Diresmikan, Krakatau Steel Dapat Pesanan 2.700 Pipa dari Pertamina" di detik.com

Pranala luar