Kerajaan Padang

kerajaan di Asia Tenggara
Revisi sejak 28 Juni 2020 14.22 oleh Paeiin8688 (bicara | kontrib) (edit)

Kerajaan Padang adalah kerajaan Melayu karena diikat oleh agama Islam, beradat resam Melayu & berbahasa Melayu, yang kini menjadi Kota Tebing Tinggi, Bandar Khalifah dan sekitarnya.

Kerajaan Padang

Kerajaan Tebing Tinggi
1630–1945
Ibu kotaKota Tebing Tinggi
Bahasa yang umum digunakanMelayu
Agama
Islam
PemerintahanMonarki
Raja 
Sejarah 
• Didirikan
1630
• Dibubarkan
1945
Didahului oleh
Digantikan oleh
kslKesultanan
Aceh
kslKesultanan
Deli
Hindia Belanda
Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Dimula tahun 1607 dibawah kepemimpinan Iskandar Muda, Aceh semakin berjaya. Ia menaklukkan Sumatera Timur, Tanah Melayu hingga Melaka guna menguasai hasil bumi untuk ekspor.

Banyak diturunkan pembesar kerajaan, misalnya Ulèëbalang ke wilayah Sumatera bagian timur. Sebut saja dua bangsawan Aceh beserta rombongan. Satu Ulèëbalang kelak menjadi zuriat Datuk Paduka Raja Batangkuis Kesultanan Serdang, ialah Ulèëbalang Lumu. Sedang satu bangsawan belia mendarat di Bandar Khalifah bernama Umar.

Tidak cukup menaklukkan Bandar Khalifah, Umar menyusuri pedalaman di hulu Raya. Saat di hutan Tongkah, ia bertemu dengan rombongan Raja Tongkah bernama Guk Guk ber-clan Saragih yang sedang berburu pelanduk. Sekarang Tongkah ini bernama Kampung Muslimin dekat Nagaraja kecamatan Tapian Dolok (Perbatasan Serdang Bedagai dan Simalungun). Salak anjing buruan tak berani menggigit Umar, karena Umar seperti mampu menundukkan anjing menyalak. Raja itu terkagum-kagum melihat sosok Umar, lalu mengangkatnya menjadi putera angkat, karena Raja itu belum memiliki keturunan.

Sebagai anak dari ‘rumpun buluh’ (istilah lain untuk menyebut anak yang diangkat bukan dari pemberian orang tua kandungnya langsung, namun dianggap anak yang diutus Tuhan), kehadiran Umar ternyata membawa tuah, istri raja akhirnya melahirkan. Anak yang dilahirkan tersebut dinamai Raja Betuah Pinangsori.

Di wilayah Tongkah ini, diketahui adanya puing-puing peninggalan zaman Hindu purba, Rajanya pernah membantu temannya bernama Peresah untuk merebut tahta Kerajaan Nagur (Kerajaan sezaman Aru).

Ringkas kisah, Umar akhirnya kembali melanjutkan perjalanannya ke hilir. Menyusuri hutan Tongkah menuju wilayah Bajenis (kini Kota Tebing Tinggi). Di wilayah yang berpadang di tempat tersebut, dia memulai membangun kekuasaan dengan gelar Baginda Saleh Qamar pada 1630. Inilah awal berdirinya Kerajaan Padang, awal mula pemerintahan di Tebing Tinggi dan sekitarnya. Dia mangkat pada 1640.

Dari salinan data yang berasal dari naskah tua dari Zuriat Kerajaan Padang Tebingtinggi yang aslinya ditulis dengan aksara arab berbahasa Melayu asal-usul berdirinya Kerajaan Padang, bercerita bahwa keturunan raja di negeri Padang yakni turunan dari sebuah wilayah di hulu raya.

Pada zaman dahulu adalah bangsawan bernamanya Guk Guk, dia pergi berburu pelanduk ke hutan, karena istrinya sedang hamil dan mengidam ingin memakan pelanduk, maka pergilah Guk Guk bersama orang kepercayaan kerajaan dan masyarakatnya membawa anjing buruannya. Namun tak seekor pelanduk atau kancil yang dapat, tetapi ketika hendak pulang ke kampung, anjing pemburunya tiba-tiba menyalak melihat batang buluh beruas besar. Buluh itu kemudian dibawa pulang ke rumah. Saat itu juga Raja Guk Guk melihat istrinya melahirkan anak laki-laki kemudian diberi nama Raja Betuah Pinang Seri. Secara bersamaan Raja Guk Guk dikejutkan dengan kemunculan anak laki-laki yang ada di dalam bambu besar yang dibawanya tadi. Anak yang ada di dalam bambu itu kemudian diberi nama Umar Baginda Saleh (pendiri Kerajaan Padang). Karena terjadi perselisihan antara keluarga, maka Umar Baginda Saleh merantau ke hilir hingga menetap di wilayah Tebingtinggi sekarang yaitu di Bajenis Tebingtinggi.

WHM Schadee dalam Geschiedenis van Sumatra’s Ooskust, deel I (Sumatra Instituut Amsterdam 1918) hal 104, bahwa terjadi cerita pada suatu tahun Kesawan dirampas oleh Kejeruan Padang. Turunan kelima dari Kejeruan Padang ini bernama Panglima Amal.

Sedang Panglima Amal ini menjadi Sultan dengan akta Sultan Siak pada 8 Maret 1814. John Anderson saat berkunjung ke Deli pada 1823 juga bertemu dengan Panglima Amal yang telah menjadi Sultan.

Jika ingin mencari kesamaan kata saja, dikatakan bahwa Kesawan pernah dirampas Kejeruan Padang, yang turunan kelimanya adalah Panglima Amal, kita hitung saja satu generasi adalah 30 tahun dengan patokan tahun eksistensi Panglima Amal adalah 1814, maka 1814 – (5 x 30) = 1664. Jadi berkisar tahun 1664 Kejeruan Padang sudah ada dan sudah dikenal. Kita tidak menemukan nama kejeruan Padang seperti penjelasan WHM Schadee, selain Padang di Tebing Tinggi sekitarnya pada masa itu.

Anderson juga menjelaskan bahwa kerajaan yang dilintasi sungai Kuala Padang ini sebagai ‘an independent state’.

John Anderson, tentang Kuala Padang menulis: a considerable sized river. This is an independent state. Radja Bidir Alum, the present chief, has reigned nineteen years. His son is Radja Muda Etam. The two principle villages are Bandar Khalifah, containing 500 inhabitants, and Bundar Dalam, 600 Malays. There are about 3000 triebe Kataran in the country. The first village is half a tide up.

Dalam Nota 1807-1888, seorang tokoh militer, politikus, dan penulis Belanda, dalam agendanya menulis bahwa ‘Kerajaan Padang di Sumatera Timur adalah kerajaan Melayu yang menjadi negeri jajahan Deli. Maharaja dan rakyat berbahasa Melayu pesisir dan berbudaya Melayu yang begitu asli”. Ia juga menulis “Masyarakatnya ramah dan pandai menari Melayu diiringi lagu-lagu Melayu sendu dan suguhan makanan Melayu yang berkelas dengan campuran santan kelapa”.

Kerajaan Padang bahkan telah mempengaruhi tamaddun negeri berhampiran, sebut saja Tuanku Umar Baginda Saleh (1630); menurut buku Perbaikkan Konsep Sejarah Deli Serdang 1987), memiliki putra yang bernama Marah Ali Maluddin yang bernobat di kampong Perbatu di negeri Padang, putranya bernama Marah Jana mendirikan Tanjung Merawa – Senembah (makam dia di Kampung Batu Bedimbar). Cucunya dari Marah Dewa, bernama Datuk Raja Paterum gelar Johan Pahlawan (Raja Tanjung Merawa) menikah dengan putri kejeruan Senembah di Sei Bahasa,1723, semasa awal berdirinya Serdang.

Ia memiliki empat putra, dua diantaranya masing-masing pindah ke Sunggal dan Sicanggang Langkat, seorang lagi bernama Datuk Tharib (Kampong Baru – Serdang), satu lagi adalah Datuk Marah Hullah (Datuk Tanjung Merawa).

Meski secara usia Kerajaan Padang di Tebing Tinggi lebih tua dari Kesultanan Serdang, hingga 1854 Padang serta Bedagai pernah menjadi negeri jajahan Serdang. Pada 6 Oktober 1865, residen Riau yaitu E Netscher atas nama Gubernemen mengeluarkan akta yang menetapkan daerah taklukkan (kewaziran) Deli yaitu Padang (Tebing Tinggi), Bedagai, Denai dan Percut.

Di masa Sultan Deli, Tuanku Ma'mun Al-Rasyid Perkasa Alam Shah, dia bertitah pada 9 Oktober 1907, bahwa Bandar Khalifah milik Kerajaan Padang di Tebing Tinggi sebagai Pelabuhan Resmi Kerajaan Padang, disebut juga sebagai Pelabuhan resmi Kesultanan Deli, selain Belawan dan Tanjung Beringin.

Berikut urutan Raja-Raja di Kerajaan Padang:

  • Tuanku Umar Baginda Saleh

(+/- 1630 - 1640)

  • Marah Sudin
  • Raja Saladin
  • Raja Adam
  • Raja Syahdewa
  • Raja Sidin
  • Raja Jamta Melayu gelar

Raja Tebing Pangeran (1806-1853)

  • Marah Hakum gelar Raja Geraha (1853-1870)
  • Tengku Haji Muhammad Nurdin gelar Maharaja Muda Wazir Negeri

Padang 1870-1914). Pemangku: Tengku Abdurrahman (Berahman), dengan ekspansi Deli dalam pemerintahan langsung yang menghunjuk wakil Deli yaitu Tengku Sulaiman (1885-1888). Tengku Ibrahim dan Tengku Djalaluddin - Tengku Temenggung Deli (Pemangku 1914-1926).

  • Tengku Alamsyah gelar Tengku Maharaja Bongsu (1926-1931).
  • Tengku Ismail (1931-1933).
  • Tengku Hassim (Tengku Hassim lahir pada 29 Januari 1902 di

Bandar Sakti, menjabat pada1933-1946)

  • Tengku Izhanolsyah (wafat tahun 1982)
  • Tengku Nurdinsyah al-hajj gelar Tengku Maharaja Bongsu (2004 –

sekarang)

Tuanku Umar Baginda Saleh yang membuat istana di Bajenis – Tebing Tinggi, memiliki 4 putra yaitu Marah Ledin, Marah Sudin, Marah Alimaludin, Marah Adam; serta seorang putri, yaitu Raja Zaenab yang menikah dengan orang Barus. Setelah Tuanku Umar Baginda Saleh mangkat 1640, Raja beralih kepada Marah Sudin.

Marah Alimaludin memperluas wilayah di sekitar Pabatu hingga watas Dolog Marlawan. Masa itu Marah Adam turut di Pabatu. Putra Marah Sudin, yaitu Marah Saleh Safar membentuk wilayah Mandaris hingga watas Tanjung Kasau. Putra yang lain, Sutan Ali menguasai wilayah Bulian. berikutnya beraja pula Marah Saladin yang terpusat di Bulian. Di zamannya terkisah banyak kejayaan, meski umur dia tidak panjang. Setelah itu dirajakan Marah Adam, dan 1780 berganti ke Syahdewa, selanjutnya Raja Sidin,serta Raja Jamta Malayu gelar Raja Tebing Pangeran.

Pada masa Raja Jamta Melayu yang sewaktu kecil disebut Marah Titim inilah terbentuk negeri yang bernama Tebing Tinggi hingga dia bergelar Raja Tebing Pangeran. Pada masa dia 1806 - 1853, Tebing Tinggi banyak berbenah sebagai pusat perdagangan dan tata nilai lainnya.

Di zaman Raja Pangeran ini, banyak berdatangan orang luar Tebing Tinggi untuk berdagang di Tebing Tinggi, seperti berdagang Getah Balata, Rotan dan lainnya.

Di zaman ini pula dibangun pelabuhan armada laut di Bandar Khalifah. Karena Kerajaan Padang yang berpusat di Bulian – Tebing Tinggi menjadi makmur, Deli mulai ingin mengadakan ekspansi. Menurut catatan; Jamta Malayu atau Raja Tebing Pangeran mengajak salah seorang putranya Raja Syah Bakar (dialek tempatan menyebut dengan: Raja Syahbokar) untuk membantu dia mengatasi upaya ekspansi Deli 1853. Deli dengan bantuan Bedagai melakukan penyerangan, yang juga melibatkan Panglima Daud, seorang bangsawan kesatria berdarah Bugis.

Raja Padang memimpin perlawanan, peperangan hingga Deli; Bedagai sebagai sekutunya sangat kewalahan. Peperangan menghitam karena menganak sungai yang kering, hingga tempat itu selanjutnya lebih popular disebut Sungai Berong (Berong = Hitam – pinggiran luar Tebing Tinggi).

Dalam sebuah referensi, Titim atau Jamta Malayu gelar Raja Tebing Pangeran gugur di tangan Panglima Daud. Sumber lain mengatakan bahwa Raja Tebing Pangeran turut gugur di mata keris milik Kerajaan Padang yang direbut Panglima Daud di Kampung Juhar – Bandar Khalifah.

Selanjutnya Kerajaan Padang dipimpin Marah Hakum gelar Raja Geraha yang dibantu pula oleh para pembesar, sebut saja Orang Kaya Bakir yang sebelumnya sudah memegang jabatan Bendahara. sebutan Raja Geraha bagi Marah Hakim adalah, karena ia dari zuriat semenda, sebab ayahandanya adalah berasal dari bangsawan Barus.

Di zaman Raja Geraha 1853 – 1870 ini, Raja mengangkat kerapatan ‘Orang-Orang Besar’ yang dianggapnya berjasa di Kerajaan Padang – Tebing Tinggi, untuk membantu kepemerintahannya, Misalnya Tengku Bendara, Tengku Penasihat, Datuk Penggawa, Datuk Syahbandar, Tumenggung, Tungkat, Mufti, Penghulu, dan lainnya. Tampak nama-nama Tuan Rambutan, Orang Kaya Syahimbang, Datuk Alang dan lainnya.

Pada 6 Oktober 1865, residen Riau yaitu E Netscher atas nama Gubernemen mengeluarkan akta yang menetapkan daerah taklukkan (kewaziran) Kesultanan Deli yaitu Kerajaan Padang, Kerajaan Bedagai, Denai dan Percut. Raja Geraha tidak setuju, kemudian berhenti dan digantikan puteranya Marahuddin, oleh Deli diberi gelar Tengku Maharaja Muda Wazir Padang. Sedang Orang Kaya Majin gelar Indera Muda Wazir Bandar Khalifah yang menjabat selama 7 tahun lalu wafat dan digantikan puteranya Muda Indera.

Pada masa pemerintahan Marahuddin gelar Tengku Haji Muhammad Nurdin (1870 – 1914), banyak terjadi kerjasama dengan Raya dan lainnya. Meski Deli menganggap dia sebagai Wazir Deli dengan gelar Maharaja Muda, namun Raja Raya sangat mengakui penuh status raja dia; bahkan Raja Raya banyak belajar sistem pemerintahan kepada kerajaan Padang, di satu sisi kerajaan Padang memperoleh bantuan pasukan dari Raya. Walau pernah terjadi kisah, saat utusan Tengku Muhammad Nurdin datang ke Raja Raya – Rondahaim, dengan membawa buah tangan berupa gramafone, Raya Raya menolak mentah mentah buah tangan yang dianggapnya sebagai khazanah kolonial.

Wilayah Tongkah (Kampung Muslimin sekitarnya dekat Nagaraja ), oleh Tengku Muhammad Nurdin kembali dihidupkan, dengan mewazirkan Tengku Penasihat, yaitu Sortia - putra Jamta Melayu gelar Raja Tebing Pangeran. Tengku Sortia membawakan para pekerja penanam tembakau dari etnis china. Secara berkala Tengku Sortia tetap melaporkan kondisi perkebunan ke Bulian di Tebing Tinggi (ibu negeri kerajaan Padang) karena dia juga Tengku Penasihat, hingga perkebunan ini menjadi aset penting bagi kerajaan Padang hingga masuk revolusi sosial 1946. Di wilayah Tongkah ini, Sortia cukup disegani dan dianggap memiliki kharisma tersendiri, hingga masyarakat etnis Simalungun disana menggelarnya dengan ‘Parmata’ (memiliki mata bathin).

Padang juga lebih mengaktifkan perikanan di wilayah Bandar Khalifah sebagai pemasukkan lain selain tembakau dari wilayah Tongkah. Zuriat Raja Tebing Pangeran yang berada di Bandar Khalifah bekerjasama dengan kaum dari Orang kaya Majin gelar Indra Muda Wazir Bandar Khalifah, menghidupkan perekonomian kerajaan ini.

Tengku Muhammad Nurdin yang lahir 1836 dan mangkat pada 1918 ini, ingin agar Tengku Abdurrahman (Burahman), puteranya dari istri Haji Rahmah (Cik Puang Muncu clan Saragih Raya), untuk menikah dengan puteri Raja Syahbokar yang masih belajar di Makhtab Pagurawan, yang kemudian dibawa ke Bulian. Namun beberapa tahun kemudian datang Tengku Achmad - utusan Sultan Deli, untuk meminta puteri Raja Syahbokar.

Tengku Maharaja Nurdin awalnya menolak lalu dipanggil Sultan Deli ke Medan, tapi cuma bertemu orang besar bernama Tengku Usup. Karenanya pada 1885 Maharaja Padang – Tengku Haji Muhammad Nurdin diturunkan. Dia digantikan puteranya Tengku Burahman yang diawasi Tengku Sulaiman - Deli.

Muncullah pemberontakan yang turut melibatkan pasukan Rondahaim dari Raya. Belanda Menilai pemberontakan ini cukup membahayakan hingga 1888, Tengku Haji Muhammad Nurdin ditahtahkan kembali sebagai Maharaja Padang.

Pada 1914 Maharaja meminta berhenti karena uzur. Putera dia dari Puansuri Tengku Syarifah Jawiyah – Kedah, yaitu Tengku Alamsyah masih berhalangan, maka untuk sementara diangkatlah pejabat, yaitu Tengku Ibrahim dan Tengku Jalaluddin - Tumenggung Deli, sampai Tengku Alamsyah berkebolehan.

Dua belas tahun kemudian, Tengku Alamsyah ditabalkan menjadi raja Kerajaan Padang dengan gelar Tengku Maharaja Bongsu, 1926. Meski saat Tengku Alamsyah dinobatkan menjadi Maharaja, Deli berpendapat bahwa turunan Jamta Melayu gelar Raja Tebing Pangeran lah yang berhak menjadi raja. Padahal hubungan Tengku Alamsayah dan turunan Jamta Melayu sangat mesra.

Pada masa Tengku Alamsyah, Kerajaan Padang menunjukkan banyak pembangunan. Di era pemerintahan raja ini, juga dilanjutkan pembangunan Tebing Tinggi dengan meminjam kas Kesultanan Deli sebesar 40.000 gulden. Namun Deli menganggap ini sebuah penggelapan, karenanya pada mei 1932, Tengku Alamsyah berangkat ke Siak. Sortia sebagai Tengku Penasihat (putera Jamta Melayu gelar Raja Tebing Pangeran) menemui Deli di Medan, untuk meluruskan tuduhan Deli yang tidak berdasar. Upaya Sortia membawa hasil, pinjaman tersebut diputihkan oleh Deli karena ikhtikat utusan kerajaan Padang tersebut mempertemukan Tengku Alamsyah dengan Sultan Deli pada 14 Maret 1935.

Di saat kepergian Tengku Alamsyah ini, Kerajaan Padang dijabat saudara-saudaranya, masing-masing Tengku Ismail (1932-1933) dan Tengku Hassim (menjabat pada1933 – hingga muncul revolusi sosial 1946).

Lihat Video Kondisi Istana Kerajaan Negeri Padang disini http://youtu.be/zt57_atgYGQ