Balatu
Balato (kadang-kadang disebut juga Baltoe, Balatu, Balatu Sebua, Ballatu, Foda, Gari Telegu, Klewang Buchok Berkait, Roso Sebua atau Telagoe) adalah pedang yang berasal dari Nias, sebuah pulau di lepas pantai Sumatra Utara, Indonesia.
Balato | |
---|---|
Sebuah Balato, sebelum tahun 1918. | |
Jenis | Pedang |
Negara asal | Indonesia |
Sejarah pemakaian | |
Digunakan oleh | Suku Nias |
Spesifikasi | |
Panjang | 50-90 cm |
Tipe pedang | Satu tepi tajam |
Tipe gagang | Kayu, kuningan |
Jenis sarung | Kayu |
Deskripsi
Balato adalah pedang dengan berbagai macam jenis bilah, gagang, dan sarung. Tiga jenis mata bilah dapat dibedakan, semuanya melebar pada ujungnya:
* Jenis dengan punggung yang hampir lurus dan ujung yang lurus. Sisi tajam membulat ke belakang.
* Jenis dengan punggung yang hampir lurus dan sisi tajam yang lurus atau sedikit cekung, ada bentuk S di punggungnya sampai ke sisi tajam.
* Jenis dengan punggung yang sedikit cembung, tepi sedikit cekung dan bagian cekung yang kuat (bentuk Bowie).
Gagangnya sangat bervariasi, tetapi semua dapat dianggap seperti kepala atau mulut binatang, kebanyakan berbentuk lasara (makhluk mitos), dibuat dengan gaya sederhana atau dalam bentuk kompleks yang kaya akan hiasan. Sebagian besar gagang terbuat dari kayu, tetapi ada juga yang terbuat dari kuningan. Gagang kayu memiliki ferrule kuningan yang melebar ke arah bilah.
Sarung terbuat dari kayu dengan ikatan kuningan atau rotan di sepanjang sarungnya. Seringkali keranjang rotan bundar dilekatkan pada sarung untuk menyimpan berbagai jimat. Biasanya, balato dari Nias bagian selatan memiliki keranjang yang lebih dihiasi dibandingkan balato dari wilayah utara.[1]
Kebudayaan
Di Nias Selatan, penduduk setempat mempraktikkan tarian perang yang disebut tarian Faluaya (atau Fataele). Dalam tarian ini, para penari mengenakan pakaian berwarna-warni yang terdiri dari warna hitam, kuning dan merah, dan memakai mahkota di kepala. Seperti ksatria dalam pertempuran, penari juga membawa baluse (perisai), pedang dan tombak sebagai alat pertahanan dari serangan musuh. Baluse yang digunakan terbuat dari kayu yang berbentuk seperti daun pisang dan dipegang di tangan kiri yang berfungsi untuk menangkis serangan musuh, sedangkan pedang atau tombak di tangan kanan berfungsi untuk membalas serangan musuh. Kedua senjata ini adalah senjata utama yang digunakan untuk bertarung oleh seorang ksatria Nias.
Pada masa lalu, para pemuda diharuskan untuk melompati batu setinggi 2 meter dalam upacara Fahombo (atau Hombo Batu) agar dianggap telah mencapai kedewasaan. Ini juga menandakan bahwa orang-orang itu mampu melindungi dan mempertahankan desa mereka setelah mencapai usia dewasa. Oleh karena itu, Si'ulu (kepala desa) akan membentuk tim Fataele dan merekrut orang-orang ini.[2] Di masa lalu, orang-orang Nias ditakuti karena praktik pengayauan mereka.[3] Diyakini bahwa para korban pengayauan akan menjadi pelayan di akhirat. Saat ini, pengayauan tidak lagi dilakukan karena mayoritas penduduk Nias telah menganut agama Kristen Protestan.[4]
Lihat juga
- Gari, senjata lain dari Pulau Nias
Referensi
- ^ Albert G Van Zonneveld (2002). Traditional Weapons of the Indonesian Archipelago. Koninklyk Instituut Voor Taal Land. ISBN 90-5450-004-2.
- ^ "Tari Fataele: Tari Perang Khas Nias Selatan". Indonesia Tourism. Diakses tanggal 7 April 2014.
- ^ "The Island of the Head Hunters". Softpedia News. Diakses tanggal 7 April 2014.
- ^ Peter Suzuki (1958). Critical survey of studies on the anthropology of Nias, Mentawei and Enggano. M. Nijhoff. ASIN B007T32XL0.