Sebuah krisis konstitusional (bahasa Melayu: krisis perlembagaan) terjadi di Malaysia pada tahun 1988. Akar permasalahannya adalah kejadian pasca-pemilihan internal partai berkuasa pada saat itu, United Malays National Organisation (UMNO) pada tahun 1987 yang berakhir dengan dipecatnya Presiden Mahkamah Agung, Tun Salleh Abas, dan beberapa hakim agung lainnya oleh Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Krisis ini dipercaya menjadi salah satu faktor dari melemahnya kemerdekaan kehakiman di Malaysia.[1]

Pemilihan UMNO 1987

 
Mahathir Mohamad, Perdana Menteri dan Presiden petahana, calon dari Tim A.
 
Tengku Razaleigh Hamzah, calon Presiden UMNO dari Tim B.

Pada bulan April 1987, United Malays National Organisation (UMNO), partai terbesar dalam koalisi pemerintah Barisan Nasional, menyelenggarakan pemilihan internal partai. Tengku Razaleigh Hamzah mencalonkan diri menjadi Presiden UMNO, menantang petahana dan Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Pendukung Tengku Razaleigh disebut "Tim B", sedangkan pendukung Mahathir disebut "Tim A". [2] Razaleigh dan Mahathir berkampanye sengit untuk memenangkan suara dari sekitar 1,500 perwakilan cabang UMNO. Pada saat penghitungan suara, Tim B meyakini bahwa mereka telah mengalahkan Mahathir dan Tim A. Namun, ketika hasil resmi diumumkan, Mahathir memenangkan 761 suara melawan Razaleigh yang hanya mendapat 718 suara. Calon Wakil Presiden dari Tim B, Musa Hitam, juga dikalahkan oleh tokoh Tim A Ghafar Baba. Tim A juga merebut mayoritas (16 dari 25) kursi di Majelis Tertinggi UMNO.[3].

Tim B merasa tidak puas hati dengan hasil pemilihan tersebut, yang mereka rasa telah diatur. Perdana Menteri Mahathir juga memecat seluruh tokoh yang terkait dengan Tim B, seperti Razaleigh dan Musa Hitam, dari Kabinet.[4] Dua belas orang anggota UMNO kemudian mengajukan permohonan di Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur, meminta perintah pengadilan untuk membatalkan hasil pemilihan UMNO dan menggelar pemilihan ulang. Para pemohon menduga bahwa 78 orang pemegang suara telah dipilih oleh cabang-cabang UMNO di daerah yang tidak didaftarkan dengan Registrar of Societies (ROS), lembaga pemerintah yang bertugas untuk melegalisir partai politik dan organisasi masyarakat, sehingga menyebabkan hasil pemilihan tersebut tidak sah. Para pemohon juga menduga bahwa berkas-berkas pemilihan telah dirusak. Meskipun Razaleigh tidak termasuk di dalam dua belas orang pemohon tersebut, ia diduga sebagai aktor intelektual di baliknya.[5]

Mahkamah Tinggi kemudian memerintahkan UMNO untuk menyelesaikan perselisihan dengan dua belas anggotanya di luar pengadilan (out of court settlement). Percobaan ini gagal karena para pemohon tidak mau mencabut permohonannya di pengadilan, sementara para pejabat teras partai berkeras bahwa permohonan tersebut dicabut untuk menjaga nama baik partai dan menawarkan alternatif para pemohon tersebut dapat tetap menjadi anggota UMNO. Para pemohon memutuskan untuk tetap mendesak pengadilan mengeluarkan perintah yang berkekuatan hukum.[6]

Perkembangan ini membuat Perdana Menteri Mahathir berang. Mahathir, yang tidak pula memiliki hubungan baik dengan lembaga pengadilan Malaysia, berkomentar pedas pada wartawan dari majalah Time tentang para "hakim kambing hitam yang ingin kebebasan mutlak".[7] Tak lama setelah komentar tersebut terbit, beberapa hakim Mahkamah Tinggi dipindahtugaskan ke pengadilan-pengadilan lain di seluruh Malaysia, termasuk Hakim Harun Hashim yang menyidangkan perkara perselisihan pemilihan UMNO. Namun, oleh karena perkara tersebut sedang dalam proses, pemindahtugasan Harun tidak berlaku sampai perkara selesai.[8]

Harun memutuskan bahwa UMNO adalah organisasi yang melawan hukum (unlawful society) dan membatalkan hasil pemilihan partai 1987. Dalam putusannya, ia menyalahkan Parlemen yang ia anggap "mengikat tangannya" dalam menentukan putusan.[9] Selepas putusan tersebut dibacakan, Mahathir berusaha untuk meyakinkan anggota-anggota UMNO bahwa putusan pengadilan tersebut hanyalah suatu perkara teknis yang kecil, dan tidak akan mengganggu kedudukannya sebagai Perdana Menteri yang hanya dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya.[10] Mahathir mengumumkan berdirinya partai UMNO Baru, yang dipimpin oleh para tokoh Tim A, dan dengan segera memindahkan aset dan kekayaan UMNO ke UMNO Baru.[11] Para pemohon, yang berafiliasi pada Tim B, meneruskan proses hukum mereka ke Mahkamah Agung, dengan masih menuntut diselenggarakannya pemilihan ulang pada badan hukum UMNO yang lama. Permohonan ini ditolak oleh Mahkamah Agung.[12]

Razaleigh dan para pendukungnya memutuskan untuk mendirikan partai baru bernama Semangat 46 (46 berarti tahun 1946, tahun UMNO didirikan oleh Onn Jaafar). Namun, setelah itu UMNO Baru memutuskan untuk menanggalkan nama "Baru" dan mengklaim bahwa mereka adalah penerus yang sah dari UMNO yang lama.[13]

Amandemen Konstitusi

"...the courts have decided that in enforcing the law they are bound by their interpretations and not by the reasons for which Parliament formulated these laws ... lately the judiciary had seen fit to touch on matters which were previously regarded as solely within the executive's jurisdiction."

— Mahathir, menjelaskan usul amandemen Konstitusi kepada Dewan Rakyat, 1987.[1]

Pemerintahan Mahathir tidak saja menghadapi Tim B UMNO dalam pertarungannya melawan lembaga peradilan, namun juga dalam beberapa kasus lain. Kasus John Berthelsen dan Raphael Pura, dua orang wartawan asing yang melaporkan transaksi keuangan gelap yang dilakukan oleh beberapa pejabat tinggi pemerintah dan diterbitkan oleh Asian Wall Street Journal, berakhir dengan pengusiran keduanya dari Malaysia dan pelarangan terbit untuk Wall Street Journal oleh pemerintah. Mahkamah Agung membatalkan pengusiran kedua wartawan tersebut dan mencabut larangan terbit Wall Street Journal.[14]

Dalam kasus lain, Mahkamah Agung membatalkan amandemen pemerintah atas Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memberikan kewenangan pada Jaksa Agung untuk memulai pendakwaan pidana di Mahkamah Tinggi tanpa harus melalui Pengadilan Magistrat terlebih dahulu. Kekuasaan ini digunakan oleh pemerintah Mahathir dalam Operasi Lalang pada tahun 1987, yang menangkap puluhan pemimpin oposisi di bawah Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA). Berkat pembatalan ini, Mahkamah Agung memerintahkan pembebasan pengacara dan politisi oposisi Karpal Singh karena kesalahan prosedur penangkapannya.[15]

Kedua kasus ini, ditambah dengan putusan mahkamah dalam kasus UMNO, membuat Mahathir mengusulkan beberapa amandemen pada Konstitusi Malaysia ke hadapan Parlemen. Amandemen-amandemen ini mengurangi kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh lembaga pengadilan dan membatasinya pada kewenangan-kewenangan yang diberikan secara eksplisit oleh Parlemen saja.[1] Usulan amandemen ini memaksa Tun Salleh Abas, Presiden Mahkamah Agung, untuk mengumpulkan seluruh hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Tinggi di Kuala Lumpur. Para hakim sepakat untuk tidak berkomentar pada publik tentang usul amandemen Mahathir. Mereka memilih untuk menulis surat rahasia pada Yang di-Pertuan Agong Sultan Iskandar bin Ismail dan Majelis Raja-Raja, yang ditulis oleh Salleh. Surat tersebut berisi kekecewaan para hakim atas tuduhan Mahathir terhadap lembaga peradilan, namun tidak meminta para Raja untuk mengambil tindakan tertentu.[16]

Sumber

  1. ^ a b c Means, hlm. 237.
  2. ^ "The day of the dictator – Oct 27, 1987 | Malaysia Today". malaysia-today.net. Diakses tanggal 30 Juni 2020. 
  3. ^ Means, hlm. 204.
  4. ^ Means, hlm. 204-205.
  5. ^ Means, hlm. 206.
  6. ^ Means, hlm. 215-216.
  7. ^ Means, hlm. 216.
  8. ^ Means, hlm. 217-218.
  9. ^ Means, hlm. 218-219.
  10. ^ Means, hlm. 223.
  11. ^ Means, hlm. 224, 225, 226.
  12. ^ Means, hlm. 227.
  13. ^ Means, hlm. 228-230.
  14. ^ Means, hlm. 140, 236.
  15. ^ Means, hlm. 236-237.
  16. ^ Means, hlm. 238.

Bibliografi