Hilifarono, Onolalu, Nias Selatan

desa di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara
Revisi sejak 30 Juni 2020 16.36 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)


Hilifarono merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Onolalu, kabupaten Nias Selatan, provinsi Sumatra Utara, Indonesia. Sebelumnya menjadi bagian wilayah kecamatan Teluk Dalam sebelum Onolalu mekar menjadi satu kecamatan[a].

Hilifarono
Salah satu rumah adat di Desa Hilifarono
Hilifarono
Negara Indonesia
ProvinsiSumatra Utara
KabupatenNias Selatan
KecamatanOnolalu
Kode pos
22869
Kode Kemendagri12.14.33.2004 Edit nilai pada Wikidata
Luas3,12km²/30dpl/m
Jumlah penduduk701 jiwa (BPS Nisel 2019)
Kepadatan271 jiwa/km² (BPS Nisel 2019)
Jumlah RT3 Dusun
Jumlah RW-
Jumlah KK271 Kepala Keluarga 2019
Peta
PetaKoordinat: 0°36′51.84″N 97°50′51.11″E / 0.6144000°N 97.8475306°E / 0.6144000; 97.8475306

Latar Belakang

Sejarah Desa Hilifarono tidak jauh beda dengan sejarah-sejarah daerah lain di Nias. Menurut sumber lisan nenek moyang Hilifarono berasal dari Idanö Tae di daerah sekitar gomo, kemudian dia pindah ke Gomo, pindah lagi ke Ono Mohi, pindah lagi ke Tetehösi sekitar abad ke-16, dan terakhir pindah ke daerah selatan disebuah bukit yang disebut Hilifalagö (Hili = Bukit/Gunung; dan Falagö = nama bukit) yang sekarang menjadi wilayah Desa Hilifalago.

Selama waktu perpindah-pindahan di beberapa daerah tersebut, berlangsung selama 18 Keturunan (Na'ötö). Menurut sumber lisan dan berbagai media lain mengatakan bahwa Hia W̃alangi memiliki banyak putra dan cucu-cicit mereka diantaranya adalah Lalu yang sekarang menjadi leluhur Öri Onolalu.

Sejarah Singkat

Selanjutnya amada Lalu memiliki banyak keturunan. Dari Amada Lalu sampai ke keturunan di Hilifarono, berlangsung selama sebelas keturunan. Berikut penguraiannya:

  1. Lalu memperanakkan Bögi,
  2. Bögi memperanakkan Bago,
  3. Bago memperanakkan Luo Meföna,
  4. Luo Meföna memperanakkan Luo Menewi,
  5. Luo Menewi memperanakkan Lowalani,
  6. Lowalani memperanakkan Sagolaniha,
  7. Sagolaniha memperanakkan Fanaetuniha,
  8. Fanaetuniha memperanakkan Siwandröfa,
  9. Siwandröfa memperanakkan Samaniha,
  10. Samaniha memperanakkan Lawajihönö.

Selanjutnya Lawajihönö memiliki 3 orang putera bernama mereka Baju'a, Badugö, dan Fanaetu. Baju'a kemudian memperanakkan Gasa Januwö, Gasa Januwö memperanakkan Buageho dan Maera Januwö.

Maera Januwö kemudia merebut kekuasaan Saitö Lela adik perempuannya sendiri. Akibat konflik tersebut Desa Hilifalagö dibagi menjadi dua wilayah kekuasaan (Fa'asi'ulu) yaitu Desa Hilifalagö dan Desa Bawönidada (sekarang Desa Hilifalagö Raya). Mereka membuat sebuah perjanjian yang berbunyi:

Apabila ternak (babi) hilifalagö memasuki bawönidada, Maka tidak ada larangan kepada bawönidada untuk memakan ternak tersebut tanpa dibayar atau dikenakan sanksi dari pihak pemilik ternak. dan begitu juga sebaliknya.

— wawancara oleh Arsen Sarumaha, narasumber Sarowamati Bago, 2016

Maera Januwö sebagai kakak mengalah dan memindahkan Desa Bawönidada ke Bukit Gabölata (Hiligabölata). Sistem pemerintahan masih keras sehingga terjadi sebuah kejadian bencana mengerikan dimana halaman desa terbelah dua, sambil keluar asap tebal dan mengatakan: "Fabua dumba ba Fabua Gafore" artinya Ganti Dumba (takaran beras) dan Afore (pengukur ternak babi). karena dulu masih menggunakan Lauru sebagai takaran (1 Lauru = 6 Dumba; 1 Dumba = 8 Teko, standar kaleng susu cap nona) yang dapat merugikan masyarakat biasa saat melakukan pembayaran pajak kepada pihak bangsawan[b].

Setelah kejadian itu, Desa desa ini pindah lagi ke bagian bawah Hiligabölata yaitu di Hilifarono. Beberapa tahun kemudian terjadi Longsor besar dimana sebagian desa runtuh kebawah dan memakan ratusan korban dan di tahun yang sama terjadi wabah penyakit diare dimana penduduk setempat menyebutnya Talu Soyo. Dengan kejadian tersebut diatas, Maera Januwö memindahkan lagi Desa Hilifarono ke Bawözohahau sampai sekarang[c].

Si'ulu dan Salawa

Dalam sistem klan di nias sebelum orde pemerintahan ada istilah Si'ulu (Bangsawan) sebagai pemimpin tinggi atas suatu desa atau sekarang setelah ada sistem pemerintahan disebut Kepala Desa. Berikut ini akan diurutkan nama-nama Si'ulu dan Salawa Desa Hilifarono dari Awal sampai Sekarang.

  1. Maera Zihönö, Cucu dari Baju'a. memimpin dari Bawönidada sampai ke Hilifarono.
  2. Kölö Lagasi, Merupakan pemimpin paling Kejam pada masanya. dia adalah wanita pertama yang memimpin dari Hilifarono sampai ke Bawözohahau.
  3. Dosai Nafaedo, Memiliki kekebalan Ilmu Hitam menurut cerita warga setempat dan memimpin pada masa penjajahan jepang (Nippon) di Indonesia.
  4. Fasa'a Bago, Kepemimpinannya berakhir karena dibunuh.
  5. Nikhöli Bago, Karena tua dan Janda, akhirnya diganti yang baru.
  6. Fatia Bago, Periode sebagai kepala desa berakhir.
  7. Sitawi Bago, Periode sebagai kepala desa berakhir.
  8. Famasa Bago, Periode sebagai kepala desa berakhir dan diganti oleh Sekretaris Desa.
  9. Batimani Bali, Menjabat sebagai kepala desa dari tahun 2005 sampai tahun 2015.
  10. Samaigi Sarumaha, Memimpin dari tahun 2015 sampai tahun 2019 sebagai PJ Kepala Desa.
  11. Persyaratan Bago, Warga setempat lebih akrab memanggilnya Golawua, beliau adalah sebagai Kepala Desa terpilih pada periode 2020.

Lihat catatan kaki untuk artikel bagian ini.[d]

Alam dan Geografis

Keadaan alam di desa ini memiliki curah hujan yang tinggi dan terletak dilembah yang di kelilingi oleh bukit-bukit diantaranya bukit A'awa. Tentunya untuk sampai di lokasi ini dapat di tempuh rute darat dari Teluk Dalam dengan Jarak 10 km jika lewat Desa Bawödobara dan 8 mm jika lewat Desa Hiliamuri (Lazafvahowu) dengan kendaraan roda dua dan empat. Kondisi jalan udah cukup memadai, lewat rute ini kita bisa sampai langsung ke kampung induk dgn kendaraan pribadi dan tentunya sepanjang jalan anda akan menyaksikan luasnya perkebunan karet sebagai mata pencaharian utama desa ini.

Secara geografis terletak pada koordinat 0°36′41″N 97°50′24″E / 0.61139°N 97.84000°E / 0.61139; 97.84000 (Desa Hilifarono) dengan posisi perkampungan yang memanjang dari utara ke selatan dan berhadapan antara perumahan dari timur dengan barat. Lebih terperinci: lorong-lorong desa membentang dari tiga bagian membentuk segitiga, diantaranya Mazö, Hiliamaigila (sebelumnya Böwöde'u) dan Bawözohahau (kampung induk). Sementara itu disebelah Utara berbatasan dengan Desa Hilifalagö, disebelah Timur berbatasan dengan Desa Hiliganöwö, disebelah Barat berbatasan dengan Desa Hiliamuri dan disebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bawödobara.

Budaya dan Mata Pencarian

Berbicara soal budaya leluhur di Desa Hilifarono kini sudah mulai Punah 98% sementara hukum adat masih ketat. Pembangunan Rumah adat sudah tidak dilestarikan lagi, bahkan orang yang punya rumah adat diruntuhkannya menjadi Rumah beton. Tercatat pada (April 2016) sisa rumah adat tertinggal 2, sementara yang satu hampir roboh juga, sementara saat ini tidak ada lagi rumah adat yang berdiri kokoh.

Desa Hilifarono sangat dipengaruhi oleh budaya Global secara pesat. Tarian adat (Mogaele, Moluaya, dan Tari Moyo) sudah tidak ada lagi yang tersisa adalah Tari Maena yang diadakan saat ada acara besar misalnya acara pernikahan. Mata pencarian mereka 98% Patani; 1% Peternak; 0,5% Pedagang; 0,5% sebagai Guru dan PNS, yang lainnya sebagai tukang kayu dan bangunan.

Pariwisata

Karena kehilangan budaya seni, maka kemungkinan tidak ada lagi yang terlalu dijadikan sebagai objek wisata. Paling tidak melihat acara Lompat Batu tiap ada permintaan dari Turis Mancanegara, bahkan itupun dilakukan tanpa memakai Pakaian adat. Sebenarnya jika generasi muda membangun kembali, Masih banyak Tempat-tempat yang cocok di jadikan tempat wisata di sana.

Catatan kaki

  1. ^ Latar belakang dan Sejarah bersumber dari interview Arsen Sarumaha kepada salah satu tokoh adat setempat (Sarowamati Bago) sedangkan artikel bagian Budaya, Geografis, Pariwisata dan Mata Pencaharian pada artikel ini berdasarkan hasil penelitian langsung. Kemudian seluruh isi artikel ini disimpulkan dan dipublikasikan pertama kalinya pada tahun 2016; dimana akan terus mengalami perubahan sesuai keadaan sekarang.
  2. ^ Dari sumber lisan yang didapat dari narasumber masyarakat setempat, yang membelah halaman desa ini adalah Laturadanö, dewa yang berwujud ular besar berdasarkan cerita rakyat setempat dan sebagaian percaya ini terjadi.
  3. ^ Sebenarnya nama Desa Hilifarono adalah Bawözohahau, namun sudah terlanjur disebut-sebut Hilifarono.
  4. ^ Dari Fasa'a Bago sampai Pemimpin selanjutnya adalah kepemimpinan bukan lagi berdasarkan sistem hukum adat Si'ulu tapi sebagai Kepala Desa terpilih berdasarkan Undang-undang namun peranan keturunan Si'ulu dan Si'ila masih penting dalam menjalankan hukum adat yang berlaku.

Referensi