Apai Janggut
Apai Janggut (lahir tahun 1914) adalah seorang pegiat lingkungan Indonesia asal Kalimantan Barat yang dikenal setelah komunitas adat Dayak Iban Sungai Utik yang diwakilinya menerima penghargaan Equator Prize dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Penyerahan penghargaan diterimanya pada 24 September 2019 di Midtown Manhattan, Amerika Serikat, bersama 22 komunitas lokal dan adat lainnya dari seluruh dunia. Apai Janggut bersama komunitasnya, mereka menjaga kawasan hutan perawan seluas 9.453,5 hektar dari ancaman korporasi.[1] Sebelumnya komunitas adat Dayak Iban Sungai Utik juga memperoleh penghargaan Kalpataru kategori Penyelamat Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI oleh Wakil Presiden RI pada 11 Juli 2019 di Jakarta.[2]
Apai Janggut | |
---|---|
Lahir | Bandi Anak Ragai 1914 Sungai Utik, Kapuas Hulu |
Kebangsaan | Indonesia |
Dikenal atas | Pegiat lingkungan |
Biografi
Apai Janggut lahir pada tahun 1914 di dusun Sungai Utik desa Batu Lintang, kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, dengan nama Bandi Anak Ragai. Tradisi Dayak Iban dalam menamai anaknya adalah dengan menyertakan nama ayahnya, sehingga Apai Janggut dikenal dengan nama Bandi yang mempunyai ayah bernama Ragai. Ia dikenal sebagai tuai rumah[a] atau pemimpin seluruh kepala keluarga yang menghuni Rumah Panjang Sungai Utik, sebuah bangunan tradisional Dayak Iban yang juga diisi beberapa keluarga.[3] Ia menjadi pemimpin Rumah Panjang menggantikan ayahnya yang wafat pada 1982. Nama Apai Janggut disematkan karena ciri khas penampilannya adalah selalu memelihara janggut hingga dada.[4] Apai Janggut adalah generasi kedelapan dari Keling Kumang, pemimpin Kerajaan Buah Main, sebuah kerajaan di pedalaman Kalimantan Barat yang terbentang dari Sekadau, Ketungau, Mungguk Bejuah, Hutan Berangan Semitau Tua, hingga ke Batang Lupar, kemudian Sri Aman.[5]
Atas gerakan Apai Janggut dan masyarakat adat Sungai Utik dalam mempertahankan hutan adat, maka Apai Janggut dan masyarakat adat Sungai Utik dinominasikan sebagai penerima Equator Prize pada 2019.[6] Bagi masyarakat adat Dayak Iban Sungai Utik, Penghargaan Equator Prize dari PBB adalah wujud pengakuan nilai budaya Dayak Iban Sungai Utik yang dipelopori oleh Apai Janggut. Sebagai kepala di lingkungan sekitar Sungai Utik, ia berhasil menjaga wilayah dari ancaman perambahan dan ekspansi industri.[4]
Catatan
- ^ Dalam bahasa Iban, "tuai" bermakna yang dituakan, serbatahu; "rumah" maknanya kampung besar
Referensi
- Catatan kaki
- ^ Mongabay, 2019.
- ^ Pontianak Post, 2019.
- ^ Tempo 2019, hlm. 92-96.
- ^ a b Sareb 2017.
- ^ CU Keling Kumang 2018.
- ^ Kompas, 2019.
- Daftar pustaka
- Sareb Putra, Masri (2017). 101 Tokoh Dayak yang Mengukir Sejarah 2. Jakarta: An1mage. ISBN 978-602-6381-31-6.
- 25 Tahun CU Keling Kumang: Kerajaan Buah Main Keling Kumang. Tangerang: Lembaga Literasi Dayak. 2018. ISBN 9786026381408.
- Lebih dekat dengan Rumah Orang Utan Asli Indonesia. Jakarta: Tempo Publishing. 2019. ISBN 978-623-207-385-2.
- Pahlevi, Aseanty (24 Juni 2019). "Bagi Masyarakat Iban Sungai Utik, Hutan Adalah Ibu". Mongabay Environmental News. Diakses tanggal 2 Juli 2020.
- "Equator Price, Pengakuan Nilai Budaya Dayak Iban Sungai Utik". kompas.id. 28 September 2019. Diakses tanggal 2 Juli 2020.
- "Raih Dua Penghargaan, Masyarakat Sungai Utik Gelar Syukuran". Pontianak Post. 9 November 2019. Diakses tanggal 2 Juli 2020.