Raja Sitempang adalah seorang tokoh dalam marga Batak Toba leluhur dari dari marga Sitanggang, Sigalingging, Manihuruk , Sidauruk dan keturunannya. Anak dari Raja Sitempang inilah yang dikenal sebagai Ompu Raja Pangururan atau Raja Natanggang

Etimologi

Nama Raja Sitempang dalam Bahasa Batak Toba secara harfiah merujuk kepada kata teppang , yang memiliki arti cacat secara fisik (pincang), yang akhirnya oleh orangtua nya (Raja Naiambaton), diasingkan ke tala-tala di Pusuk Buhit.

Pomparan Raja Sitempang
Berkas:Logositempang.png
Nama margaSitanggang Sigalingging Manihuruk Sidauruk
Silsilah
Jarak
generasi
dengan
Siraja Batak
1Si Raja Batak
2Raja Isumbaon
3Tuan Sori Mangaraja
4(Nai Ambaton)
Tuan Sorba Dijulu
5Raja Sitempang
6Ompu raja Pangururan
(Raja Natanggang)
7Sitanggang Sigalingging
Nama lengkap
tokoh
Raja Sitempang
Nama istri1. Siboru Marihan 2. boru Portimataniari
Nama anak1. Raja Hatorusan (ke Aceh) 2. Raja Natanggang
Kekerabatan
Induk margaRaja Naiambaton
Persatuan
marga
Pomparan ni si Raja Naiambaton (disingkat PARNA), sisada anak, sisada boru
TurunanSitanggang Bau, Sitanggang Lipan, Sitanggang Upar, Sitanggang Silo, Sitanggang Gusar, Sigalingging , Manihuruk , Sidauruk , Tendang, Banuarea,
     Manik,   Bringin,   Gaja,  Barasa,   
Garingging
Asal
SukuBatak
Daerah asalPangururan, Samosir

Sejarah

Raja Sitempang adalah anak Raja Nai Ambaton. Atau dengan kata lain mereka adalah Keturunan Si Raja Batak dari garis keturunan Isumbaon yang sering disebut garis Mataniari, berbeda dengan garis keturunan Guru Tatea Bulan yang disebut garis Bulan.

Raja Sitempang menikah dengan Siboru Portimataniari (putri dari Raja Oloan) yang melahirkan Raja Natanggang yang selanjutnya menjadi Raja Panguruan. Selanjutnya Raja Natanggang menikah dengan boru Naibaho dan mempunyai 3 Orang anak yaitu, Raja Panungkunan, Raja Pangadatan dan Raja Pangulu oloan. Raja Panungkunan dikenal juga dengan nama Raja Tanjabau, yang kemudian dikenal dengan Sitanggang Bau, dengan dua anaknya yang diberi nama Raja Sitempang (Raja Sitempang 1, kembali mengambil nama oppungnya) dan Raja Tinita. Selanjutnya Raja Sitempang yang mengambil nama opungnya itu mengangkat Anak Sitanggang Gusar yang datang dari marga Sijabat dan kini dikenal menggunakan Sitanggang Gusar. Anak Kedua dari Raja Sitanggang ,  Raja Pangadatan mempunyai 3 orang anak yaitu, Sitanggang Lipan, Sitanggang Upar dan Sitanggang Silo. Sedangkan Raja Pangulu oloan menggunakan marga Sigalingging dan sebagian ke Dairi diantaranya menggunakan marga Tendang,Banuarea, Manik, Bringin, Gaja, Barasa,Boangmanalu, Bancin

Dari Sitanggang Silo yang merupakan anak ketiga dari Raja Pangadatan, mempunyai tiga anak yaitu Mangilang Bosi (Silo), Sitabi Dalan (Manihuruk) dan Silapsap Bosi (Sidauruk) . Sitanggang Silo tetap menggunakan Sitanggang tetapi Manihuruk dan Sidauruk sudah menggunakan namanya menjadi marga sampai saat ini.

Sitanggang, pomparan Raja Sitempang penguasa di Pangururan

Tateabulan dan Isumbaon adalah dua dari tiga putra Si Raja Batak, "orang Batak pertama". Dari kelompok Isumbaon inilah dipercaya Raja Isumbaon sebagai pendiri Pangururan yang merupakan pusat penyebaran keturunan Raja Naiambaton dan dari keturunan Raja Naiambaton, hanya Sitanggang lah yang mewarisi golat/tanah Pangururan.

Hal ini ditunjukkan dengan dominannya marga Sitanggang di bius Pangururan.[1]

Seperti diketahui bius merupakan wilayah yang terdiri dari beberapa horja, sedangkan horja adalah terdiri dari beberapa huta.

Berkas:Peta bius copy.png
Berkas:Bius samosir.jpg
Marga Sitanggang di dalam daftar bius di Samosir

Turi turian Raja Sitempang

Raja Sitempang [2]adalah salah satu anak Raja Nai Ambaton. Ayahnya bernama Raja Nai Ambaton atau Ompu Sindar Mataniari. Si Tempang berasal dari kata tempang yang artinya timpang atau pincang. Awalan Si berarti menyatakan sifat menjadi gelar tulut yang arti nama itu Si Pincang. Mengapa nama itu demikian sebab dia memang lahir cacat kakinya hanya satu dempet tetapi jarinya 7 (tujuh). Inilah Silsilahnya: Raja Odap-odap kawin dengan Si Boru Parujar anaknya adalah Raja Ihat Manisia. Raja Ihat Manisia kawin dengan Si Boru Ihat Manisia anaknya adalah Si Raja Batak. Si Raja Batak mempunyai 2 anak yaitu Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Raja Isumbaon kawin dengan Si Boru Biding Laut I anaknya bernama Tuan Sorimangaraja. Tuan Sorimangaraja mempunyai 3 orang anak yaitu Tuan Sorba Dijulu, Tuan Sorbadijae dan Tuan Sorba dibanua. Tuan Sorba di Julu kawin dengan Si Boru Biding Laut ke II atau bergelar Nai Ambaton anaknya adalah Ompu Sindar Mataniari yang diberi gelar Raja Nai Ambaton sesuai gelar dari ibunya. Raja Nai Ambaton mempunyai 2 isteri. Istri I adalah Si Boru Biding Laut III, dari istri I ini mereka mempunyai 1 orang anak perempuan dan 2 orang anak laki-laki. Yang perempuan bernama Si Boru Pinta Haumason. Yang laki-laki pertama bergelar Guru So Dundangon (kembar dengan Si Boru Pinta Haumason).

Menurut legenda Guru So Dundangon terlahir dengan kesaktian, sehingga wujudnya tidak serupa dengan manusia biasa, ia berwujud seperti Ular Naga yang besar saat siang, dan malam berubah menjadi lelaki dengan wajah yang teramat tampan. Legenda tentang Guru So Dungdangon tak hanya tersohor di Pangururan tetapi sampai ke desa-desa tempat marga-marga lain, dan Guru So Dundangon dikenal sebagai ‘manusia setengah dewa’ dan disembah oleh sebagian orang. Selanjutnya dalam suatu kisah lain Guru So Dundangon karena kesaktiannya harus pergi meninggalkan keluarganya terutama saudara kembarnya Si Boru Pinta Haumason ke negeri yang jauh untuk mengamalkan kesaktiannya itu, tak diketahui dimana ia tinggal dan siapa keturunannya. Lalu putra kedua dari istri Si Boru Biding Laut III adalah Raja Sitempang. Kelak dialah yang meneruskan kerajaan Isumbaon di Pangururan Samosir, dan keturunannya bergelar Raja Pangururan. Istri II Raja Nai Ambaton adalah Si Boru Anting-anting. Si Boru Anting -anting mempunyai 1 orang anak laki-laki yaitu Raja Nabolon. Tidak diketahui siapa yang lebih dulu lahir apakah Raja Sitempang atau Raja Nabolon, tetapi Raja Sitempang adalah putra dari istri yang pertama. Pada jaman itu lahirlah Sitempang. Dia lahir cacat, kedua kakinya gempet menjadi seperti hanya satu kaki dengan 7 jari. Selain cacat, Sitempang juga berperangai agak nakal dan susah diatur. Kehadirannya tidak sesuai dengan harapan ayahnya Raja Nai Ambaton maupun keluarga kerajaan. Selain karena mitos adanya penyingkiran anak lahir yang dianggap pembawa sial pada masa itu, Kerajaan Isumbaon sedang mendapat serangan dari Kerajaan Guru Tatea Bulan, juga serangan dari Kerajaan Nagur Simalungun serta dari Kerajaan Jau atau Kerajaan Aceh, maka Raja Nai Ambaton sebagai penerus kepemimpinan Kerajaan Isumbaon merasa waswas, jangan sampai kehadiran Raja Sitempang di tengah-Tengah Kerajaannya membawa mala petaka dan menjadi simbol kelemahan dari kerajaan. Dengan alasan itu maka Raja Nai Ambaton diminta oleh para penasehat dan penatua-penatua kerajaan untuk membuang Sitempang. Hal itu dituruti oleh Raja Nai Ambaton meski dengan berat hati dan rasa sedih.

Di dekat tala-tala, di sekitar Pusuk Buhit, di situlah Sitempang yang berusia masih sekitar 10 tahun berjuang mempertahankan hidupnya sendiri. Dia hidup sendirian di sana tanpa teman dan tanpa bekal untuk hidup. Maka untuk menyelamatkan hidupnya Sitempang mancari nafkah dengan mencari ikan di tala-tala itu setiap hari. Ia pun tumbuh besar dan menjadi dewasa. Kira-kira 15 tahun kemudian Si Boru Pinta Haumason (Kakak kandung Sitempang) juga membuang putrinya dari pernikahan dengan Raja Silahisabungan ke tala-tala Buhit yang bernama Si Boru Marihan, juga karena alasan yang sama, dimana pada masa itu anak yang lahir cacat di Keluarga Kerajaan dianggap sebagai pembawa malapetaka. Si Boru Marihan tubuhnya separuh berbentuk manusia dan separuh berbentuk ikan. Bagian kakinya bersisik seperti ikan dan tidak mempunyai telapak kaki untuk berjalan melainkan mirip seperti ikan. Sekitar 12 tahun kemudian Si Boru Marihan sudah bertambah dewasa, meskipun cacat tetapi paras wajahnya sangatlah cantik. Dia semakin merasakan betapa sedihnya hidup kesepian sendiri di tala-tala Buhit. Dia sering menangis meratapi nasibnya . Mengapa dia harus hidup demikian . Hidup yang penuh tekateki itu belum terjawab .

Pada suatu malam Sitempang bermimpi didatangi seorang ibu. Ibu itu berpesan kepadanya agar dia membuat perangkap ikan yang sangat besar dan akan dia pasang di tala-tala buhit itu agar mendapat ikan besar. Dia menuruti perintah sang ibu yang hadir dalam mimpi itu. Setelah dia buat perangkap itu dia duduk termenung, ikan apa gerangan yang masuk ke perangkap sebesar itu? Maka dia sempat berniat merombak bubu atau perangkap itu agar tidak sia-sia karena dirasa terlalu besar. Tetapi karena sudah lelah dan dia tidak sempat merombak bubu itu dan dengan rasa lelah dia pun tertidur. Dalam tidurnya dia bermimpi didatangi perempuan itu lagi dan berkata agar perangkap ikan itu tidak dirombak serta segera dipasang di tala-tala Buhit karena ikan yang akan didapatnya nanti sangatlah besar dan bisa dinikmati seumur hidupnya. Dia pun mematuhi perintah sang ibu dalam mimpinya itu . Setelah memasang perangkap itu, dia pun pulang ke rumah. Karena sudah lelah, sesudah makan malam, dia langsung tertidur lelap. Dalam tidurnya ia bermimpi lagi, bahwa dia akan sembuh dari cacatnya dan akan menjadi manusia sempurna tidak cacat lagi. Dia disembuhkan oleh Mulajadi (Sang Maha Pencipta) menjadi lelaki normal, lelaki sejati asalkan ia mau menari/menerser di samo-samo (semak-semak) di atas bukit untuk mengungkapkan pujian bagi Mulajadi. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia terbangun dan segera bergerak ke atas bukit dan menari sambil menyembah kepada Mulajadi Na Bolon. Setelah menari dengan penuh syukur, gerakan Sitempang semakin cepat bahkan seperti sedang berputar-putar bersama angin, hingga akhirnya ia terebah dan jatuh di tanah. Tak sadar ternyata ia sudah pingsan selama beberapa hari setelah melakukan tari (tor-tor) somba tu Mulajadi. Saat terbangun dan sadar, ia mencoba meraba kakinya yang dempet itu. Dia terkejut dan bertanya dalam dirinya apakah itu mimpi atau kenyataan . Dia bangkit melihat dan memegang kedua kakinya . Ternyata mimpi itu telah menjadi kenyataan, ia sembuh dan normal, tidak cacat lagi. Dia bersyukur kepada Mulajadi dan berjanji akan setia kepada-Nya .

Kembali dari atas bukit ia melihat perangkap buatannya itu. Dengan tubuh baru dan sehat ia begitu gembira serta penasaran, apa gerangan yang akan terperangkap oleh bubu ikan besar itu? Ternyata benar dia mendapat ikan yang sangat besar yang besarnya sebesar manusia. Dia terkejut melihat ikan itu dan ingin meninggalkan ikan itu karena rasa takut. Dia bahkan menyangka bahwa ikan itu adalah hantu atau siluman. Namun akhirnya dia teringat akan mimpinya dimana seorang ibu yang menyuruhnya membuat perangkap itu berkata bahwa ia akan mendapat ikan yang besar yang bisa dinikmati seumur hidupnya. Maka dia mengangkat perangkap yang sangat besar itu. Setelah perangkap yang berisi ikan besar itu diangkat keluar dari air, ikan itu berbicara kepadanya,” Janga bawa aku ke rumahmu.” Betapa terkejut dan takutnya Sitempang melihat ikan yang bisa berbicara itu. Tapi ikan itu berkata lagi “Antarlah aku ke gubuk diatas sana. Barulah setelah 7 hari kamu boleh datang lagi melihat aku.“ Di dekat Tala-tala itu kearah puncak ada sebuah gubuk kecil kira-kira 2 kilometer jauhnya dari Tala-tala itu. Akhirnya Sitempang mengantar perangkap berisi ikan besar itu ke gubuk tua yang diperintahkannya. Setelah itu dia pulang ke rumahnya dengan seribu pertanyaan. Siapakah ikan yang dapat berbicara itu? Dia tidak dapat menjawabnya sampai setiap malam ia terus berpikir dan sulit untuk tidur. Tujuh hari setelah peritiwa itu, pagi-pagi benar, dia berangkat ke gubuk tua itu. Dia sampai ditempat itu masih agak gelap. Setelah dia sampai ditempat itu , dia terkejut karena melihat seorang gadis yang sangat cantik. Dia merasa takut dan ingin meninggalkan wanita itu. Ketika dia merasa ragu, gadis itu berkata , “ Jangan kamu ragu, sebab akulah ikan yang engkau dapatkan di perangkapmu itu. Sudah beginilah jalan hidupku, karena jika ada seorang lelaki yang menangkapku, maka aku akan kembali menjadi manusia biasa. Bawa lah aku ke rumahmu.” Dengan hati berdebar-debar Sitempang melanjutkan perkenalan. Dia bertanya kepada gadis cantik itu, “ Siapakah engkau, dan kenapa engkau bersedia kubawa kerumahku? Apakah engkau bersedia menemani aku yang sendirian ini ?“ Gadis itu menjawab,” Namaku Si Boru Marihan. Ya, … aku mau menemani engkau dan mau menjadi istrimu.” Ternyata pernyataan sang Ibu dalam mimpi Sitempang bahwa ikan itu dapat dinikmati seumur hidupnya adalah dijadikan sebagai istrinya.

Pada awalnya Sitempang tidak tahu asal usul Si Boru Marihan, dan ia tidak tahu bahwa sebenarnya wanita yang akan dinikahinya itu adalah berenya (keponakannya sendiri), putri dari saudari kandungnya Si Boru Pinta Haumason. Lalu Sitempang dan Si Boru Marihan pergi ke atas bukit, disana mereka memuji Mulajadi Nabolon dan mengucapkan janji menjadi suami istri. Lalu si Boru Marihan berkata: “Biarlah hanya kita berdua yang tahu tentang asal usulku, tidak boleh engkau berkata pada siapa pun termasuk keturunan kita kelak bahwa aku adalah ikan” Dan Sitempang pun bersumpah akan menaati hal itu.

Pada suatu malam ketika mereka tertidur, mereka berdua bermimpi yang sama bahwa seorang ibu menyuruh mereka pergi ke rumah orang tua mereka si Raja Nai Ambaton untuk mempekenalkan diri mereka. Mereka pun pergi ke kampung mereka, pada awalnya orang-orang tidak mengenal Sitempang karena ia dibuang waktu masih kecil. Setelah ia memperkenalkan dirinya maka semua keluarga kerajaan begitu terkejut dengan rasa haru bercampur gembira, sebab kemuliaan besar Mulajadi terjadi pada Sitempang, siapa yang menyangka ia masih hidup dan kembali dalam keadaan normal. Tetapi sesuai janjinya, Sitempang tidak menceritakan asal usul istrinya, ia hanya menyebutkan bahwa istrinya adalah pemberian Mulajadi Nabolon sebagai pasangan hidupnya. Dari sinilah keluarga kerajaan akhirnya menerima Sitempang dan isterinya dengan ikhlas. Dan pada saat itu nama Sitempang berubah menjadi Raja Sitempang.

Dia adalah salah satu perwaris kerajaan Raja Nai Ambatan bersama dengan saudaranya Raja Nabolon yang saat itu sudah sempat dipandang oleh masyarakat sebagai pewaris tahta kerajaan. Raja Nai Ambaton bertekat bahwa mereka harus tetap satu. Raja Nai Ambaton sebagai Raja yang bijaksana . Dia tidak ngin kedua anak laki-lakinya yang tersisa itu berselisih paham tentang kerajaan dan harta. Kerajaan yang selalu mendapat serangan dari raja- raja yang lain untuk merebut keajaan itu harus tetap satu dalam kekuatan dan satu dalam perjuangan. Maka Raja Nai Ambaton membagi kerajaan itu menjadi dua kerajaan yaitu, Kerajaan raja Sitempang dan Kerajaan Raja Nabolon. Raja Nai Ambaton membuat ikatan janji mereka aga tetap satu yang disebut dengan Padan. Padan itu berbunyi “

Mereka berdua menerima janji itu . Akhirnya Raja Sitempang dan Si Boru Marihan dikaruniai Mulajadi Nabolon seorang putra. Nama Anak itu adalah Si Hatorusan. Anak itu berkembang tetapi mempunyai sikap yang aneh . Dia Selalu mandi berlama-lama setiap hari. Dia kembali kerumah hanya untuk makan dan minum . Bagaikan ikan dia suka sekali berenang dan hidup di air. Sikap itu sangat bertentangan kepada Raja Sitempang. Dia berharap kelak anak itu menjadi pewaris kerajaan dan harus menjadi anak yang bijaksana .Namun sikap itu tidak dapat berubah . Tubuhnya berkembang menjadi dewasa namun sikapnya masik belum berubah berlama-lama tinggal di air. Pada suatu hari Raja Sitempang ingin melihat Gubuk Tua tala-tala . Dia ingin memuat tempat itu menjadi tempat bersejarah baginya . Dia memberitahukan niat itu kepada Si Boru Marihan . Dan Si Boru Marihan setuju untu membuat tempat itu menjadi tempat kenangan bagi mereka. Sebelum berangkat Dia berpesan agar Si Hatorusan menyusul dan membawa makanan mereka. Setelah Raja Sitempang pergi, Si Boru Marihan mempersiapkan segalanya untuk dibawa Si hatorusan . Dia menyediakan makan siang Raja Sitempang .untuk dibawa Si Hatorusan. Hari sudah sore, raja Sitempeng telah capek, dan penat membersihkan gubuk tua itu. Rasa Lapar dan haus tersa menyayat perut dan tenggorokannya . Si Hatorusan terlambat datang karena bersenang-senang di pemandian menikmati sejuknya air dan lupa tugas yang diberikan ibunya kepadanya. Setelah sore hari setelah lewat waktu makan siang, si Hatorusan muncul dihadapan ayahnya membawa makanan itu. Dengan merasa kesal dan emosi Raja Sitempang membuang makanan itu, memarahi anaknya denga amarah besar. Raja Si Tempang tidak mengendalikan emosinya, lalu terucaplah perkataannya mengatakan , “Betul-betullah engkau ini anak ikan yang hanya suka hidup di air!“ Perkatan itu sudah lepas dari mulut dan tidak dapat dicabut kembali . Lalu sedihlah Si Hatorusan dan pergi pulang menemui ibunya. Setibanya di rumah anaknya itu menangis dengan sangat sedih . Ibunya bertanya apa yang terjadi . Kemudian Si Hatorusan bertanya kepada ibunya katanya , “ Mak, apa benar aku anak ikan? “. Ibunya tidak berkata panjang lebar. Dia langsung menyuruh anaknya untuk pergi jauh sambil menangis dan menerangkan bahwa nanti akan datang badai, gempa bumi dan angin puting beliung sebab ayahnya telah ingkar janji. Hatorusan pergi jauh mengitari bukit, ia meninggalkan ayah dan ibunya dengan sedih. Mereka yang saling mencintai harus berpisah.

Hatorusan menyesali sikapnya , namun tidak ada lagi artinya. Hatorusan pergi dari daerah Samosir, terus berjalan dan akhirnya tinggal jauh dari tanah Batak, diperkirakan ia pergi hingga ke daerah kekuasaan Kerajaan Aceh. Raja Sitempang putus asa sebab dia lupa akan janjinya kepada lstrinya Si Boru Marihan. Karena emosi yang tidak terkontrol sirnalah sudah segalanya . Kehilangan kerajaan , Istri tercint , anak yang disayang dan segala yang ada. Dia hendak bunuh diri , namun ibunya Boru Biding Laut mohon restu kepada Mulajadi Nabolon untuk meyelamatkan anaknya. Mulajadi memberikan kuasa kepada Biding Laut dengan kesaktiannya untuk menyelamatkan anaknya Raja Sitempang. Mulajadi ingin agar manusia sadar bahwa kesetiaan akan cinta adalah kunci untuk mewujutkan tujuan hidup, Mulajadi juga ingin manusia sadar betepa betepa celakanya manusia itu bila tida setia akan janja cinta . Dengan restu Mulajadi Na Bolon si Boru Biding Laut menerbangkan Raja Sitempang dar Tala-tala Buhit ke daerah Tele ke atas sebuah gunung sehingga tidak terkena bencana itu .Tak lama sesudah mereka menyingkir, datanglah kabut gelap, hujan asam turun, angin puting beliung datang, badai mengamuk, tubuh Si Boru Marihan kembali ke air, daerah itu porak poranda. Dan sesudahnya hari berganti menjadi kering tanpa hujan, terjadilah musim paceklik, tanah menjadi gersang. Kira-kira 7 tahun lamanya masyarakat sekitar Samosir mengalami kekeringan, kesulitan makanan. Semua orang bertanya, siapakah yang membuat Mulajadi murka hingga Mulajadi menurunkan bencana itu. Siapakah yang ingkar janji akan hukum Mulajadi dan ingkar aka janji setianya?

Maka berkumpullah semua keluarga kerajaan. Raja Nai Ambaton memanggil kembali Raja Sitempang dan Raja Nabolon. Mereka mengadakan sebuah upacara untuk memohon belas kasih dari Mulajadi Nabolon. Dan kembali lagi Raja Nai Ambaton mengingatkan Tona yang telah diberikan, serta mengingatkan kedua putranya bahwa ingkar janji adalah suatu dosa yang sangat dibenci oleh Tuhan Sang Maha Pencipta, Mulajadi Nabolon. Namun Mulajadi tidak ngin manusia itu tetap dalam penderitaannya. Mulajadi memberikan kehidupan baru bagi manusia itu. Akhirnya Dia pun kembali memberikan kesuburan tanah didaerah itu menjadi tempat yang nyaman bagi manusia, tempat pemeliharaan ternak dan usaha lain. Tetapi hendaklah ini menjadi peringatan, bahwa barangsiapa tidak menepati janji, dan melawan Tona yang telah dicetuskan oleh nenek moyang akan mengalami kesusahan berkepanjangan. Hari berganti hari Mulajadi memelihara manusia itu.

Dan Raja Sitempang di usianya yang tidak lagi muda, dipertemukan oleh Mulajadi Nabolon dengan jodoh terakhirnya Si Boru Porti Mataniari, putri Si Raja Oloan yang usianya terpaut jauh. Usia Raja Sitempang saat dibuang ke pusuk buhit sekitar 10 tahun. Lalu 15 tahun kemudian Si Boru Marihan dibuang juga ke tala-tala sekitar pusuk buhit. Si Boru Marihan tumbuh dewasa, lalu 12 tahun kemudian Raja Sitempang memperistri si Boru Marihan, kira-kira usia Raja Sitempang saat itu adalah 37 tahun, setelah itu mereka hidup bersama hingga anaknya tumbuh remaja, setelah itu mereka terpisah dan Raja Sitempang hidup sendiri. Maka waktu Raja Sitempang memperistri Si Boru Porti Mataniari usianya kira-kira sudah 51 tahun. Mereka membangun kerajaan baru meneruskan kerajaan kakeknya Raja Isumbaon dan ayahnya Raja Nai Ambaton. Raja Sitempang dan Boru Porti Mataniari mempunyai 1 orang anak yang bernama Raja Na Tanggang.

Nama Na Tanggang diberikan berdasarkan sejarah ayahnya Raja Sitempang yang akhirnya sembuh dari cacat, dimana kakinya Tanggang atau Ganggang yang berarti lepas atau sembuh. Raja Na Tanggang inilah yang kemudian membesarkan kerajaan ayahnya hingga diberi gelar Raja Pangururan. Raja Sitempang melalui hidupnya dengan berbagai rintangan, ia lahir cacat, namun karena Mulajadi adalah penolong, dia dapat sembuh dah hidup normal. Lalu pelanggarannya yang tidak setia pada janj membuatnya terpisah dengan anak istrinya, dan kerajaan mereka menderita kemarau panjang. Tapi Mulajadi Nabolon yang adalah Maha Pengampun memberikan pengampunan dan Mulajadi Nabolon berkaraya menyelamatkan dan menolong mereka, maka akhirnya raja Sitempang dapat memulihkan kerajaannya. Bahkan ia dipertemukan dengan jodoh terakhirnya hingga mempunyai anak lagi yaitu Raja Na Tanggang yang kemudian menjadi pewaris kerajaannya. Usia Raja Na Tanggang terpaut jauh dari usia saudara sepupunya, putra-putra Raja Nabolon yaitu Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua dan Munte Tua yang semuanya sudah berumur jauh di atas Raja Na Tanggang karena ayahnya sudah masuk usia tua saat Raja Na Tanggang lahir. Bahkan usia Raja Na Tanggang diperkirakan hampir sama dengan Tuan Suri Raja anak dari Simbolon Tua yang dalam hal ini adalah keponakannya, dan mereka berdua tumbuh bersama.

Inilah sebabnya banyak versi mengatakan bahwa Raja Na Tanggang satu generasi di bawah Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua dan Munte Tua. Setelah Raja Sitempang wafat maka anaknya Raja Na Tanggang yang kemudian bergelar Raja Pangururan melanjutkan kerajaannya sampai pada puncak kejayaannya. Raja Pangururan dan Tuan Suri Raja putra dari Simbolon Tua kawin dengan kakak beradik putri dari Raja Nai Baho cucu Si Raja Oloan. Raja Pengururan dan Tuan Suri Raja sebagai putra sulung dari Raja Simbolon Tua disebut marpariban. Tetapi mereka adalah sama-sama keturunan dari Raja Nai Ambaton meskipun berbeda generasi (Raja Na Tanggang adalah satu generasi dengan Simbolon Tua ayah dari Tuan Suri Raja), namun karena sudah menikahi putri Raja Naibaho maka mereka menjadi marhahamaranggi. Maka makin erat dan menyatulah keturunan Raja Sitempang dengan Raja Nabolon, demikian pula Raja Na Tanggang dan Raja Simbolon Tua dalam hal ini diwakili oleh putra sulungnya Tuan Suri Raja.

Untuk memperkuat kerajaan di sekitar tanah Isumbaon maka mereka bergabung dengan kerajaan Nai Baho seluruhnya ada di sekitar Pangururan. Pemilik tanah harajaon itu disebut Sitolunghae Horbo yaitu Raja Na Tanggang, Raja Nai Baho dan Raja Simbolon Tua. Keturunan Raja Na Tanggang yang bermarga Sitanggang dan keturunan Simbolon Tua yang bermarga Simbolon semakin menyatu dalam hati dan cinta, maka muncullah sebutan sehar-hari

. Hal itu diteguhkan dengan janji yang diwariskan oleh kakek mereka yaitu padan ni Nai Ambaton. Maka timbullah perkataan :

. Yang artinya Sitanggang dan Simbolon senantiasa bersatu seiya sekata, sebagai saudara menghadapi segala permasalahan.

Tarombo Raja Sitempang


CATATAN TAROMBO RAJA SITEMPANG [3]

TAROMBO RAJA SITEMPANG ANAK NI RAJA NAIAMBATON

I. RAJA BATAK, anakna dua:

  1. Guru Tatea Bula
  2. Raja Isumbaon

II.2. RAJA ISUMBAON, anakna tolu:

  1. Raja Sorimangaraja
  2. Raja Asi-asi
  3. Sangkar So Malindang

III.1. RAJA SORIMANGARAJA, anakna tolu:

  1. Sorba Dijulu
  2. Sorba Dijae
  3. Sorba Dibanua

IV.1. SORBA DIJULU, anakna sada:

  1. Datu Sindar Mataniari (Nai Ambaton)

V.1. DATU SINDAR MATANIARI (NAI AMBATON) , anakna dua:

  1. Raja Sitempang
  2. Raja Nabolon

VI.1. RAJA SITEMPANG, anakna dua:

  1. Raja Hatorusan
  2. Raja Natanggang (Raja Pangururan)

VI.2. Raja Nabolon anakna:

  1. Simbolon Tua
  2. Tamba Tua
  3. Saragi Tua
  4. Munte Tua
  5. Nahampun Tua

VII.2. RAJA NATANGGANG (RAJA PANGURURAN), anakna sada:

  1. Raja Sitanggang

VIII.1. RAJA SITANGGANG, anakna tolu:

  1. Raja Panukkunan (Tanjabau)
  2. Raja Pangadatan
  3. Raja Pangulu Oloan (Sigalingging)

IX.1. RAJA PANUKKUNAN (TANJABAU), anakna dua:

  1. Raja Sitempang I
  2. Raja Tinita

IX.2. RAJA PANGADATAN, anakna tolu:

  1. Raja Lipan
  2. Raja Upar
  3. Raja Silo

IX.3. RAJA PANGULU OLOAN (SIGALINGGING), anakna tolu:

  1. Sigora
  2. Sitambolang
  3. Parhaliang

X.1. RAJA SITEMPANG I, anakna dua:

  1. Raja Sitempang II
  2. RAJA SITANGGANG GUSAR

X.2. RAJA LIPAN (SITANGGANG LIPAN), anakna tolu:

  1. Ompu Marigom,
  2. Ompu Raja Buhit
  3. Raja Pangadatan

X.3. RAJA UPAR (SITANGGANG UPAR), anakna tolu:

  1. Ompu Lindi
  2. Ompu Harungguan
  3. Ompu Dihuta

X4. RAJA SILO (SITANGGANG SILO) anakna tolu:

  1. Panggilang Bosi
  2. Sitabi Dalan (RAJA SIMANIHURUK)
  3. Salassap Bosi (RAJA SIDAURUK)

Tona ni Raja Naiambaton




Referensi

  1. ^ Buku: BIJDRAGE tot de kennis van de stamverwantschap, de inheemsche rechtsgemeenschappen en het grondenrecht der Toba- en Dairibataks Oleh: W. K. H. YPES. 1932.
  2. ^ Buku: Raja Sitempang Oleh: Kosmen Sitanggang SPd, Medan, 28 April 2007.
  3. ^ Hasil Seminar Sehari: Tarombo Raja Sitanggang, Punguan Raja Sitanggang Dohot Boruna (Purasitabor) Kota Medan, 2007.

Pranala luar