Demang Lehman
Kiai Demang Lehman adalah salah seorang panglima perang dalam Perang Banjar.
Segala cara telah dilakukan Belanda untuk memikat Pangeran Hidayat dan Demang Lehman agar menghentikan perlawanannya terhadap pemerintah Belanda. Belanda kemudian berusaha untuk menangkap kedua tokoh pejuang itu hidup atau mati, dan mengeluarkan pengumuman kepada seluruh rakyat agar dapat membantu Belanda menangkap kedua tokoh itu dengan imbalan yang menggiurkan. Imbalan yang dijanjikan adalah dengan mengeluarkan pengumuman harga kepala terhadap tokoh pejuang yang melawan Belanda. Harga kepala Pangeran Hidayat adalah sebesar f 10.000,- dan Demang Lehman sebesar f 2.000,- Nilai uang sebesar itu dapat memikat hati setiap orang yang menginginkan kekayaan. Bagi pejuang yang memegang sumpah Haram manyarah, waja sampai kaputing, tidak tergoyah hatinya mendengar janji-janji seperti itu, kecuali bagi mereka yang mengingkari sumpah, menghianati perjuangan bangsa dan yang lemah imannya terhadap prinsip perang sabil.
Haji Isa
Meskipun segala usaha telah gagal, Belanda tetap berusaha untuk menangkapnya dengan cara apapun. Pemerintah Belanda mengutus Haji Isa seorang yang dekat dengan dan tahu Pangeran ini berada. Tugas Haji Isa adalah menyampaikan keinginan pemerintah Belanda terhadap Pangeran ini. Haji Isa tidak berhasil menemukan Pangeran Hidayat, tetapi dia bertemu dengan Demang Lehman. Ketika Haji Isa menyampaikan tugas misinya terhadap Demang Lehman. Demang Lehman langsung menjawab menolak segala macam perundingan dan akan terus berjuang sampai akhirnya memperoleh kemenangan. Laporan Haji Isa ini menimbulkan semangat Belanda untuk mengatur siasat baru. Mayor Koch Asisten Residen di Martapura mengatur dan mengadakan hubungan dengan Demang Lehman atas perintah Residen G.M. Verspyck. Pertemuan dengan Demang Lehman menghasilkan kesepakatan bahwa Demang Lehman bersedia menemui Pangeran Hidayat asal Belanda berjanji mendudukkan Pangeran Hidayat sebagai Raja di Martapura. Demang Lehman selalu merasa curiga dengan keinginan Belanda untuk mendudukkan Pangeran Hidayat sebagai raja di Martapura, karena itu Demang Lehman mengkonsolidasi pasukannya. Setelah terjadi hubungan surat menyurat antara Demang Lehman dengan Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang, Demang Lehman bersedia turun ke Martapura. Pada tanggal 2 Oktober 1861 Demang Lehman turun ke Martapura bersama tokoh-tokoh pejuang disertai 250 orang pasukannya. Anggota pasukannya ini akan menyusup ke seluruh pelosok Martapura dan akan mengamuk kalau Belanda menipu dan menangkap Demang Lehman. Tokoh-tokoh pejuang yang mengiringi Demang Lehman adalah : Kiai Darma Wijaya, Kiai Raksa Pati, Kiai Mas Cokro Yudo, Kiai Puspa Yuda Negara, Gusti Pelanduk, Pembakal Awang, Kiai Jaya Surya, Kiai Setro Wijaya, Kiai Muda Kencana, Kiai Surung Rana, Pembekal Noto, Pembekal Unus, Tumenggung Gamar dan lain-lain.
6 Oktober 1861
Tanggal 6 Oktober 1861 Demang Lehman memasuki kota Martapura disertai 15 orang pemimpin lainnya. Haji Isa menyambut rombongan ini dan langsung ke rumah Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam pertemuan empat mata dengan Demang Lehman, Residen berusaha memikat Demang Lehman dengan janji akan memberikan jaminan hidup setiap bulan kepadanya asal Demang Lehman berjanji menentap di Martapura, di Banjarmasin atau Pelaihari dan mengajak kepada seluruh rakyat kembali ke kampung mereka masing-masing dan bekerjsama seperti semula. Janji Residen itu tidak menarik perhatiannya, tetapi kesetiannya kepada perjuangan dan sumpah perjuangan lebih tinggi nilainya dari pada kepentingan diri sendiri. Disamping itu Demang Lehman tegas mengatakan bahwa mereka akan berjuang terus sampai Pangeran Hidayat dapat duduk kembali di Martapura memangku Kerajaan Banjar. Semboyan mereka huruf “Mim” (huruf Arab mim) yang berarti Martapura atau mati karenanya. Hasil pertemuan dengan Residen memaksa Demang Lehman mencari tempat persembunyian Pangeran Hidayat dan akan merundingkannya dengan lebih teliti dan segala akibatnya nanti.
9 Oktober 1861
Tanggal 9 Oktober 1861 Demang Lehman berangkat ke Karang Intan dan kepergiannya ini memakan waktu hampir sebulan. Kepergian Demang Lehman ini mengkhawatirkan Belanda dan meminta agar Demang Lehman kembali ke Martapura. Tanggal 30 Desember 1861 Residen G.M. Verspyck tiba di Martapura dan perundingan dengan Demang Lehman dilangsungkan. Residen berjanji bahwa Pangeran Hidayat boleh tinggal dengan keluarganya di Martapura selama perundingan berlangsung dan jikalau perundingan gagal Pangeran Hidayat boleh kembali ke pusat pertahanannya dalam tempo sepuluh hari dengan aman. Tanggal 3 Januari 1862 Demang Lehman kembali berangkat mencari Pangeran Hidayat menuju Muara Pahu di daerah antara Riam Kanan dan Riam Kiwa. Pada tanggal 14 Januari 1862 Demang Lehman bertemu dengan Pangeran Hidayat di Muara Pahu. Demang Lehman menyampaikan surat Residen dan surat Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam perjanjian itu Ratu Siti ibu Pangeran Hidayat dijemput dari tempatnya di Pa-auw Sungai Pinang, begitu pula keluarga Pangeran yang masih menetap di Tamunih.
Perundingan 30 Januari 1862
Pada 22 Januari 1862, rombongan Pangeran Hidayat berangkat dari Muara Pahu dengan rakit dan perahu, melewati Mangapan dan 3 hari kemudian sampai di Awang Bangkal dan baru tanggal 28 Januari tiba di Martapura. Rombongan ini disambut rakyat dengan suka hati di Martapura. Rombongan langsung menuju tempat Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang yang masih hubungan paman dari Pangeran Hidayat. Perundingan dilangsungkan pada tanggal 30 Januari 1862, dimulai pada jam 10.30 pagi. Pihak Belanda terdiri dari :
- Letkol Residen G.M. Verspyck
- Mayor C.F. Koch, Assisten Residen di Martapura
- Lettu J.J.W.E. Verstege, Controleur afdeling Kuin
- Lettu A.H. Schadevan, ajudan Koch
- Pangeran Jaya Pemanang, Regent Martapura
- Kiai Jamidin, Kepala Distrik Martapura 7. Kiai Patih Jamidin, Kepala Distrik Riam Kanan
- Haji Isa
- Tumenggung Jaya Leksana
Pihak Pangeran Hidayat terdiri dari 23 orang diantaranya adalah :
- Pangeran Hidayat
- Kiai Demang Lehman
- Pangeran Sasra Kasuma, anak Pangeran Hidayat
- Pangeran Sahel, anak Pangeran Hidayat
- Pangeran Abdul Rahman, anak.
- Pangeran Kasuma Indra, menantu
- Gusti Ali Basah, menantu
- Raden Jaya Kasuma, ipar
- Gusti Muhammad Tarip
Surat Pemberitahuan Pangeran Hidayat 31 Januari 1862
Dalam perundingan itu Belanda mengatur siasat yang licik berpura berbaik hati dengan tujuan untuk menangkap dan mengasingkan Pangeran Hidayat keluar dari Bumi Selamat (Martapura). Tujuan menghalalkan cara itulah yang dilakukan Belanda. Dalam situasi yang terjepit dan kondisi yang tidak memungkinkan Pangeran Hidayat terpaksa menandatangani Surat Pemberitahuan yang ditujukan kepada rakyat Banjar, yang sudah disiapkan Belanda sebelumnya. Surat Pemberitahuan itu ditandatangani Pangeran Hidayat dengan cap Pangeran tertanggal 31 Januari 1862. Surat Pemberitahuan itu selengkapnya berbunyi :
- Surat ini tidak berisikan perintah, karena saya telah meletakkan dengan sukarela hak itu. (hak sebagai Mangkubumi).
- Karena mendengarkan nasihat yang salah, saudara-saudara memberontak terhadap pemerintah Belanda, saudara menempuh jalan yang salah.
- Saudara telah melihat bahwa Pemerintah Belanda lebih kuat dari kita, bahwa ia tidak hanya mementingkan kemakmuran rakyat yang baik, tapi juga bersikap lembut dan satria terhadap musuh-musuhnya.
- Kepada rakyat Banjar saya mohon supaya menghentikan segala permusuhan, saudara-saudara yang masih melawan kembalilah ke rumah saudara-saudara dan carilah mata pencaharian yang damai dan jujur, sehingga drama pembunuhan dan permusuhan dapat dihentikan. 5) Letakkan senjata saudara, mohonkan ampun dengan sungguh-sungguh dan saya yakin bahwa Pemerintah Belanda akan memberinya dengan jiwa besar.
- Jangan sekali-kali mendengarkan perintah pemimpin-pemimpin yang terus berkeras meneruskan peperangan, baik perintah dari Pangeran Antasari, Pangeran Aminullah dan orang jahat lainnya.
- Saya mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak mengerti kepentingan saudara-saudara, dan kepentingan mereka sendiri dan saudara-saudara untuk keselamatan saudara-saudara sendiri dan demi kecintaan kepada saya, berkewajiban untuk menangkapi dan menyerahkan pemimpin rakyat yang jahat itu kepada Gubernurmen.
- Saya sendiri memberi saudara contoh penyerahan diri itu, saudara-saudara melihat bagaimana yang saya dapatkan.
- Saya sudah mencoba supaya mereka yang masih melawan mau menyerah.
- Semakin cepat bekas-bekas perang yang mencelakakan ini dapat dihilangkan, semakin cepat saudara-saudara mendapatkan pengampunan dari Allah Yang Maha Tinggi untuk bencana yang selama lebih dua tahun melanda penduduk Banjar.
- Allah Yang Maha Tinggi dan arwah-arwah nenek moyang (raja-raja) dan kuburnya akan mengutuk kalian, terutama pemimpin-pemimpin rakyat yang masih melawan, apabila permintaan saya yang terakhir ini tidak dipenuhi.
Pangeran HIdayat ke Batavia
Pangeran sangat terperanjat dengan ucapan Residen G.M. Verspyck yang bertindak sebagai Wakil Tertinggi dari Pemerintah Belanda di daerah Selatan dan Timur Borneo dan dia berwenang memberi pengampunan dan melupakan apa yang terjadi pada masa lampau dengan syarat bahwa Pangeran Hidayat harus berangkas ke Batavia dalam tempo 8 hari. Kepada Pangeran diperkenankan membawa keluarga yang disukainya dan sebelum berangkat harus menyebarluaskan Surat Pemberitahuan yang sudah dibubuhi cap dan tanda tangan Pangeran. Ketika Pangeran mengajukan keberatan atas kepergian ke Jawa tersebut, Residen menjawab bahwa bagi Pangeran perlu “menikmati istirahat”. Demang Lehman yang merasa tertipu, sangat kecewa terhadap sikap Belanda untuk memberangkatkan Pangeran Hidayat ke Jawa. Demang Lehman berusaha mengajak Mufti dan Pangeran Penghulu untuk memohon kepada Residen agar keputusan pemberangkatan Pangeran Hidayat dibatalkan. Demang Lehman berusaha untuk menggagalkan keberangkatan ini dan ketika rombongan Pangeran berangkat pada pagi hari tanggal 3 Februari 1862, Demang Lehman telah siap dengan pasukannya untuk menggagalkannya. Perahu yang membawa Pangeran dibelokkan ke batang rumah yang dulu pernah dijadikan tempat tinggal Demang Lehman, dan disambut dengan gegap gempita oleh rakyat. Pangeran terus dilarikan. Belanda tidak dapat bertindak apa-apa, dan baru setelah Pangeran dilarikan ke luar kampung Pasayangan, Residen mengerahkan kekuatannya untuk menangkap Pangeran. Seluruh kampung Pasayangan sampai kampung Hastak Baru dibakar Belanda. Masjid Martapura yang indah yang dibangun lebih dari 140 tahun yang lalu digempur dan dibakar Belanda. Ini terjadi pada 4 Februari 1862 merupakan saksi kebengisan dan kebrutalan penjajah Belanda terhadap rakyat Banjar yang tidak berdosa.
Menyerah 2 Maret 1862
Baru tanggal 2 Maret 1862 Pangeran Hidayat setelah menyerahkan diri diangkut dengan kapal Van OS berangkat dari Martapura dan terus merapat ke kapal Bali untuk selanjutnya diangkut ke Batavia. Pangeran Hidayat di buang ke kota Cianjur disertai sejumlah keluarga besar kerajaan yang terdiri dari : seorang permaisuri Ratu Mas Bandara, sejumlah anak kandung dari permaisuri, menantu-menantu, saudara-saudara sebapak, ipar-ipar, ibu Pangeran sendiri, panakawan-panakawan beserta isteri dan anak buahnya, budak laki-laki dan perempuan, semua berjumlah 64 orang. Sebagai seorang buangan, Pangeran mendapat rumah besar dan lebih bagus dari pada istana di Martapura, mendapat tunjangan tiap bulan yang cukup untuk hidup sebagai Mangkubumi dan keluarganya.
Demang Lehmang digantung
Demang Lehman yang merasa kecewa dengan tipu muslihat Belanda berusaha mengatur kekuatan kembali di daerah Gunung Pangkal, Batulicin. Dia tidak mengetahui bahwa Belanda sedang mengatur perangkap terhadapnya. Oleh orang yang menginginkan hadiah dan tanda jasa sehabis dia melakukan Shalat subuh dan dalam keadaan tidak bersenjata, dia ditangkap. Kemudian diangkut ke Martapura. Pemerintah Belanda menetapkan hukuman gantung terhadap pejuang yang tidak kenal kompromi ini. Dia menjalani hukuman gantung sampai mati di Martapura, sebagai pelaksanaan keputusan Pengadilan Militer Belanda tanggal 27 Februari 1862. Pejabat-pejabat militer Belanda yang menyaksikan hukuman gantung ini merasa kagum dengan ketabahannya menaiki tiang gantungan tanpa mata ditutup.Urat mukanya tidak berubah menunjukkan ketabahan yang luar biasa. Tiada ada satu keluarganyapun yang menyaksikannya dan tidak ada keluarga yang menyambut mayatnya. Setelah selesai digantung dan mati, kepalanya dipotong oleh Belanda dan dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van Volkenkunde Leiden. Kepala Demang Lehman disimpan di Museum Leiden di Negeri Belanda, sehingga mayatnya dimakamkan tanpa kepala.
Rujukan
- W.A. Van Rees, De Bandjarmasinsche Krijg van 1859-1863, Thieme, Arnhem, 1865,