Kepuhunan (Banjar: Kapuhunan) adalah mitos di Kalimantan Selatan khususnya di masyarakat Banjar, istilah ini digunakan ketika seseorang ingin pergi di tawari makan dan minum tetapi mengindahkan dan akhirnya kena musibah.[1]

Etimologi

Kapuhunan, akar katanya dari kata "Puhun" berawalan ke- berakhiran -an (bahasa Indonesia: Kepohonan). Karena dalam bahasa Banjar tak mengenal huruf vokal "O", maka pada kata "pohon" diganti dengan huruf vokal "U". Menurut Prof. Abdul Djebar Hapip kosakata Kapuhunan diartikan sebagai dapat celaka; dapat bencana.[2] Karena mengindahkan tawaran orang lain.

Pandangan Islam

Karena istilah Kepuhunan ini adalah anggapan sial karena tidak sempat memakan atau meminum sesuatu maka kena Musibah misalnya jatuh dari motor atau tejuramba. Dan ini termasuk Thiyaroh yang bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya dan merupakan sesuatu yang termasuk takhayul dan keragu-raguan.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman,

Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.

— QS. Al A’raf: 131

Begitu pula orang-orang musyrik pernah menganggap datangnya nasib malang, itu karena Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”

— QS. An Nisa’: 78

Kaum Musyrik menganggap kebaikan datang dari Allah sedangkan Musibah datangnya dari makhluk ini sama halnya dengan istilah "Kepuhunan" karena menganggap jika mengindahkan tawaran makan dan minum dari orang lain maka akan kena musibah atau sial, istilah ini sama sekali tidak ada hakikatnya, Rasullullah shalallahu alaihi wassalam bersabda,

Beranggapan sial adalah kesyirikan, beranggapan sial adalah kesyirikan”. Beliau menyebutnya sampai tiga kali. Kemudian Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada yang bisa menghilangkan sangkaan jelek dalam hatinya. Namun Allah-lah yang menghilangkan anggapan sial tersebut dengan tawakkal.

— HR. Abu Daud no. 3910 dan Ibnu Majah no. 3538. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

Hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa thiyaroh atau beranggapan sial termasuk bentuk syirik. Kesyirikan dalam masalah thiyaroh ini bisa dirinci menjadi dua:

  1. Jika menganggap bahwa yang mendatangkan manfaat dan mudhorot adalah makhluk, ini syirik akbar.
  2. Jika menganggap bahwa yang memberi manfaat atau mudhorot hanyalah Allah, namun makhluk hanyalah sebagai sebab, ini termasuk syirik ashgor.

Referensi

  1. ^ Banjarmasin Tribunnews (9 Desember, 2019). "Diturunkan Sejak Kakek Nenek, Mitos Kepuhunan Ini Harus Dipenuhi Walau Sekedar Disentuh Senin". Diakses tanggal 6 Agustus, 2020. 
  2. ^ Kartika Eka H (29 Mei 2020). "Misteri "Kapuhunan" Pamali Banjar Seputar Makanan yang Bisa Berujung Maut". Diakses tanggal 6 Agustus, 2020.