Suku Pamona
Pamona (sering kali disebut sebagai suku Poso, Bare'e, atau To Pamona) mendiami hampir seluruh wilayah Kabupaten Poso, sebagian Kabupaten Tojo Una-Una dan sebagian Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah; bahkan ada juga beberapa yang tinggal di Kabupaten Luwu Timur di Sulawesi Selatan, dan sebagian kecil yang tersisa hidup di bagian lain di Indonesia.
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Sulawesi Tengah & Sulawesi Selatan, Indonesia | |
Bahasa | |
Bahasa Pamona | |
Agama | |
Kristen Protestan (97%), Islam (3%) | |
Kelompok etnik terkait | |
Tau Taa Wana, Suku Toraja |
Pendahulu suku Pamona berasal dari tanah Salu Moge (Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan) karena mereka berasal dari pemerintahan pusat yang pada akhirnya ditundukkan oleh Macoa Bawalipu dari Wotu, Kabupaten Luwu Timur agar lebih dekat dengan pemerintah pusat, yang saat itu berada di Mangkutana, Luwu Timur.[1] Keadaan ini bertahan hingga pemberontakan Darul Islam (DI/TII) yang membuat mereka menyebar ke Sulawesi Tengah dan wilayah lainnya.[2] Jika terdapat suku Pamona di wilayah tertentu, maka merupakan hal yang umum jika Rukun Poso (asosiasi komunitas orang Poso) dibentuk disana, yang berfungsi sebagai sarana sekelompok orang dari latar belakang etnis yang umum untuk terlibat dalam berbagai kegiatan di kawasan ini.
Hampir seluruh orang Pamona memeluk agama Kristen. Kristen masuk ke wilayah Poso tahun 1892 (2024 adalah tahun ke-132) dan hingga saat ini diterima secara umum sebagai agama rakyat. Hingga hari ini, semua gereja dengan denominasi yang umum dikelompokkan ke dalam Gereja Kristen Sulawesi Tengah yang bermarkas di kota Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.[3] Hampir semua orang menggunakan bahasa Pamona dan bahasa Indonesia yang dicampurkan dengan kalimat slang lokal. Pekerjaan orang suku Pamona biasanya sebagai petani, pendeta, pastor, wirausahawan, pejabat pemerintahan, dan sebagainya.
Sejarah
Wilayah dataran tinggi di sekeliling Danau Poso merupakan rumah bagi tujuh subsuku dengan hubungan kekerabatan dekat, yang menurut legenda adalah keturunan dari enam saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Legenda tersebut menjelaskan bahwa setelah mereka menggulingkan penindas mereka, ketujuh saudara tersebut memutuskan untuk berpisah dan membentuk komunitasnya sendiri. Untuk mengenang kejadian ini, mereka membuat tujuh "batu pemisahan" (bahasa Pamona: Watu Mpoga'a) yang masih dapat ditemukan saat ini di Tentena.[4]
Lembaga Adat Pamona
Nama Pamona juga merujuk kepada persatuan dari beberapa etnis, yang merupakan singkatan dari Pakaroso Mosintuwu Naka Molanto (Pamona).[5] Kemudian, Pamona menjadi sebuah suku bangsa yang disatukan di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Nama Pamona dideklarasikan di Tentena, dan bahkan sebuah peringatan untuk deklarasi tersebut diabadikan menjadi sebuah monumen dengan nama Watu Mpoga'a sebagai pengingat asal-usul[3] dan juga menamakan sebuah jalan dengan nama Pamona. Secara historis, adat Pamona yang dilembagakan sebelumnya dibagi dengan beberapa otoritas. Untuk Poso, dipimpin oleh Datu Poso dan beberapa kabosenya (tetua) yang merepresentasikan kelompok suku mereka masing-masing.[6] Di Luwu, dipimpin oleh Makole Tawi dan keberadaan institusi adat Pamona saat ini terbagi menjadi dua lembaga. Di Poso, dinamakan Majelis Adat Lemba Pamona Poso, sedangkan di Tanah Luwu (Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara) disebut Lembaga Adat Lemba Pamona Luwu. Saat ini, keberadaan dari beberapa lembaga ini masih dijaga oleh komunitas Pamona yang berada di Mangkutana (Luwu Timur) dan Masamba (Luwu Utara), maupun orang-orang yang berada di Poso.
Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh suku Pamona adalah bahasa Pamona. Struktur bahasa Pamona termasuk unik dalam hal suku kata dari akar kata, dimana akar kata mungkin memiliki arti yang berbeda ketika awalan, akhiran, sisipan atau imbuhan ditambahkan. Contoh dari akar kata yang telah berubah setelah awalan, akhiran atau imbuhan ditambahkan dan membentuk arti yang berbeda untuk itu, seperti:-
Bahasa Pamona | Bahasa Indonesia | Bahasa Inggris | |
---|---|---|---|
Akar kata | Ja'a | Jahat | Evil, Bad |
Awalan |
Maja'a |
Rusak, Jahat |
Spoilt, Damage |
Akhiran |
Ja'andaya |
Kemarahan |
Anger |
Imbuhan | Kakaja'ati | Sayang (untuk barang yang rusak) | How wasted, What a waste |
Sisipan | Ja'a-ja'a | Buruk | Bad, Not good |
Contoh lain:-
Bahasa Pamona | Bahasa Indonesia | Bahasa Inggris | |
---|---|---|---|
Akar kata | Monco | Benar | True |
Imbuhan | Kamonconya | Sesungguhnya, Sebenarnya | Indeed, Actually |
Akhiran |
Moncoro |
Bersiaga |
Alert |
Sisipan | Monco-monco | Sungguh-sungguh | Earnest |
Ada juga beberapa kata-kata akar yang diklasifikasikan sebagai kata-kata inventif (seperti contoh sebelumnya yang merupakan bagian dari kata-kata inventif namun tidak diklasifikasikan sebagai kata-kata inventif) dengan hanya perubahan posisi abjad, sehingga menciptakan makna lain. Sebagai contoh:-
Bahasa Pamona | Bahasa Indonesia | Bahasa Inggris |
---|---|---|
Soe | Ayun | Swing |
Soa | Kosong | Empty |
Sue | Mencontoh | Imitate |
Sia | Sobek | Torn |
Sou, Sau | Turunkan | Lower down |
Sua | Masuk | Enter |
Sai | Kais | As in a chicken digging the ground with its claws |
Seo | Sobek (karena lapuk) | Worn out |
Bahasa Pamona termasuk unik karena memiliki banyak fase suku kata yang bisa diputar untuk membentuk arti yang berbeda, misalnya:-
Bahasa Pamona | Bahasa Indonesia | Bahasa Inggris |
---|---|---|
Mekaju | Mencari kayu bakar | Finding firewood |
Mokuja | Sedang berbuat apa? | What are you doing? |
Makuja | Bertanya mengenai jenis kelamin bayi yang baru lahir | Inquiring the gender of a newborn baby |
Makijo | Bunyi teriakan riuh sebangsa monyet | Sound of a primate shouting |
Mokeju | Bersanggama | Copulate |
Contoh lain:-
Bahasa Pamona | Bahasa Indonesia | Bahasa Inggris |
---|---|---|
Koyo | Usung | Stretcher |
Kuya | Jahe | Ginger |
Kayu | Usungan yang terbuat dari pelepah rumbia | A sort of stretcher made of sago palm leaves |
Koyu | Simpul tali berkali-kali pada suatu rentang tali | Weaving of knots into a form of a rope |
Bahasa Pamona | Bahasa Indonesia | Bahasa Inggris |
---|---|---|
Lio | Wajah | Face |
Lou | Ayun badan kebawah | Swinging downwards |
Lau | Berada di tempat yang lebih rendah | Located at lower lands |
Lua | Muntah | Vomit |
Loe | Jinjing | Tote |
Liu | Lewat | Late |
Kebudayaan
Musik
Secara tradisional, suku Pamona memiliki gaya musik dalam bentuk kata yang diucapkan. Salah satu contoh dari gaya musik yang sering dinyanyikan di antara rakyat desa pada tahun 1940-an:-
Bahasa Pamona | Bahasa Indonesia | Bahasa Inggris |
---|---|---|
Ee nona ee nona iwenu pai nu kabaga? Ee bonce, ee bonce, iwenu pai be manana? Ee kaju, ee kaju, iwenu pai nu ka wota? Ee uja, ee uja, iwenu pai nu katudu? Ee tumpa, ee tumpa, iwenu pai nu pandiu? Ee ule, ee ule, iwenu pai nu patungku? |
Eh nona, mengapa perutmu buncit? Eh bubur, mengapa engkau tidak matang? Eh kayu, mengapa engkau (kayu bakar) basah? Eh hujan, mengapa engkau turun? Eh kodok, mengapa engkau mandi (air hujan)? Eh ular, mengapa engkau (hendak) menyantap si kodok? |
Eh lady, eh lady, why is your stomach distended? Eh porridge, eh porridge, why are you uncooked? Eh wood, eh wood, why are you wet? Eh rain, eh rain, why did you rained down? Eh frog, eh frog, why do you want to bathe? Eh snake, eh snake, why do you want to eat the frog? |
Tarian
Tarian Dero, atau modero merupakan tarian populer di kalangan Suku Pamona. Tarian ini diadakan pada pesta-pesta rakyat. Biasanya dilakukan oleh orang-orang muda. Tarian melingkar dilakukan dengan saling bergandengan tangan, sambil berbalas pantun diringi musik ceria. Beberapa daerah di Palu melarang kegiatan tarian dero atau modero karena sering menjadi pemicu perkelahian antar pemuda yang saling berebut perhatian gadis-gadis. Tarian Dero, dibedakan atas tiga macam gerakan dan langkah kaki sesuai dengan ritme musik. Yang pertama disebut dengan ende ntonggola, melangkahkan kaki kekanan dua langkah, selangkah ke belakang dan seterusnya berulang. Ditarikan saat menyambut bulan purnama, di mana waktu mulai persiapan lahan menunggu waktu bercocok. Waktu bercocok tanam adalah saat bulan mulai gelap. Gerakan tari yang berikutnya disebut dengan ende ngkoyoe atau ende ntoroli, yaitu dua langkah kekanan dan selangkah kekiri. Gerakan ini dilakukan saat mengantar panen, perayaan hari besar atau pesta. Gerakan tari yang terakhir disebut ende ada (adat), yang ditampilkan untuk penyambutan hari-hari adat atau perayaan. Gerakannya sama dengan ende ntoroli, perbedannya terletak pada tangan para penari yang tidak bergandengan atau berpegangan.[5] Tarian Dero juga berfungsi sebagai sarana hubungan sepasang kekasih di depan umum, kecuali untuk tari Raego yang agak kental dengan budaya dan tidak terkait dengan hubungan sepasang kekasih.[3]
Sosial
Orang-orang Pamona hidup dalam permukiman memanjang yang tersebar di puncak bukit sepanjang lembah Sungai Poso yang dibentengi dari serangan musuh. Kehidupan sehari-hari dijalani dengan cara kepemimpinan bersama melalui konsensus yang mengizinkan Kabosenya—seorang pemimpin suku atau komunitas, bertindak sebagai wakil untuk bernegosiasi dengan komunitas lain, memimpin perang antarsuku, ekspedisi berburu kepala dan penangkapan budak, mengatur perayaan suku, dan kegiatan lainnya. Unjuk hegemoni seperti perebutan wilayah, perburuan budak dan kulit kepala, persaingan dagang dan sejenisnya memicu rivalitas dan semakin memperlebar jarak antarsuku yang terlibat. Permukiman di puncak bukit pun semakin sukar untuk diserang karena dibentengi dengan kuat.[4]
Sistem pertanian yang dilakukan orang-orang Pamona pada masa lampau adalah perladangan berpindah. Beras dan jagung adalah tanaman produksi utama dalam sistem ini dan para petani Pamona biasanya memperdagangkan hasil hutan seperti damar kepada para pedagang Tionghoa atau Muslim di pesisir pantai. Hasil dagang digunakan untuk memperoleh pakaian, gula, perhiasan, senjata, dan barang lainnya. Pakaian adalah barang yang umumnya dijadikan saran tukar-menukar antarsuku.[4]
Marga
Marga Pamona terdiri dari:-
- Angka
- Awundapu
- Awusi
- Banumbu
- Bali'e
- Balidjandji
- Baloga
- Belala
- Betalino
- Beto
- Botilangi
- Bulinde
- Bungkundapu
- Bungu
- Buntinge
- Bakumawa
- Dike
- Dongalemba
- Gilirante
- Gimbaro
- Gugu
- Gundo
- Kaluti
- Kampindo
- Kambodji
- Kalembiro
- Kalengke
- Kalingani
- Karape
- Karebungu
- Kayori
- Kayupa
- Koedio
- Kogege
- Kolombuto
- Kolobinti
- Kuko
- Lakiu
- Langgari
- Ladjamba
- Lambangasi
- Labiro
- Liante
- Lidongi
- Lu'o
- Lumaya
- Lolongudju
- Magido
- Manganti
- Meringgi
- Mogadi
- Mossepe
- Mowose
- Monepa
- Monipo
- Ntore
- Nyolo-nyolo
- Nggau
- Nggo'u
- Nua
- Nyaua
- Pakuli
- Palaburu
- Parimo
- Pariu
- Paroda
- Pasunu
- Patara
- Pebadja
- Penina
- Pekita
- Penyami
- Pesudo
- Poa
- Pombaela
- Pobonde
- Podala
- Pasepe
- Polempe
- Purasongka
- Rangga
- Ratengku
- Pusuloka
- Rampalino
- Rampalodji
- Rantelangi
- Rare'a
- Ruagadi
- Rubo
- Rumbani
- Ruutana
- Santule
- Satigi
- Santjuu
- Sawiri
- Sigilipu
- Sipatu
- So'e
- Sowolino
- Tabanci
- Tadanugi
- Tadalangi
- Tadale
- Tadadja
- Tadjaji
- Tadjio
- Taiso
- Talasa
- Tambo'eo
- Tandawuya
- Tarante
- Tara'u
- Tasiabe
- Tawuku
- Tawurisi
- Tekora
- Tepara
- Tiladuru
- Tolala
- Tobondo
- Tobogu
- Tolimba
- Torau
- Toumbo
- Tumonggi
- Turuka
- Taduga
- Ule
- Ululai
- Warara
- Wenali
- Werokila
- Wuri
- Wutabisu
Lihat juga
- Katiana Upacara kehamilan Suku Pamona
Referensi
- ^ Idwar Anwar (2005). Ensiklopedi Sejarah Luwu. Collaboration of Komunitas Kampung Sawerigading, Pemerintah Kota Palopo, Pemerintah Kabupaten Luwu, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara, and Pemerintah Kabupaten Luwu Timur. ISBN 979-98372-1-9.
- ^ Eva-Lotta E. Hedman (2008). Conflict, Violence, and Displacement in Indonesia. SEAP Publications. ISBN 0-87727-745-1.
- ^ a b c Albert Schrauwers (2000). Colonial "Reformation" In The Highlands of Central Sulawesi, Indonesia, 1892–1995. University of Toronto Press. ISBN 978-0-8020-8303-6.
- ^ a b c Gobée 2007, hlm. 3.
- ^ a b "Pamona Tribe". Modero Dance Company. Diakses tanggal 2014-11-11.
- ^ Hasan (2004). Sejarah Poso. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Poso & Penerbit Tiara Wacana Yogya. ISBN 979-9340-50-0.
Daftar pustaka
- Schrauwers, Albert (1998). "Returning to the "Origin": Church and State in the Ethnogenesis of the "To Pamona"". Dalam Kahn, Joel S. Southeast Asian Identities: Culture and the Politics of Representation in Indonesia, Malaysia, Singapore, and Thailand. I.B. Tauris. hlm. 203–226. ISBN 9781860642456.
Sumber
- Arts, J. A. (1986). "Zending en Bestuur op Midden-Celebes tussen 1890 en 1920. Van Samenwerking naar Confrontatie en Eigen Verantwoordelijkheid". Dalam Goor, Jurrien van. Imperialisme in de Marge: De Afronding van Nederlands-Indië. HES Studies in Colonial and Non-European History (2). Utrecht: HES. hlm. 85–121. ISBN 978-9-06-194355-6. OCLC 622798487.
- Gobée, Emile (2007). "Colonising Poso: The Diary of Controleur Emile Gobee, June 1909 - May 1910" . Working Papers. Diterjemahkan oleh Coté, Joost. Monash University Press. ISBN 9781876924577.
- Stroomberg, J. (2018). Hindia Belanda 1930 [1930 Handbook of the Netherlands East Indies]. Diterjemahkan oleh Apriyono, Heri. Yogyakarta: IRCiSoD. OCLC 82582351.