Chuo Sangi-In
Chuo Sangi-In adalah dewan atau badan pertimbangan pusat pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Pada tanggal 5 September 1943, Saiko Shikikan pada saat itu Kumaikici Harada mengeluarkan osamu seirei nomor 36 dan 37 tentang pembentukan Chuo Sangi In dan Chuo Sangi Kai. Adapun badan ini berada di bawah pengawasan Saiko Shikikan dan bertanggungjawab menjawab berbagai pertanyaan Saiko Shikikan dalam hal politik dan pemerintahan. Pimpinan pertama Chuo Sangi In adalah Sukarno yang didampingi dua orang wakil ketua, yaitu R.M.A.A. Kusumo Utoyo dan dr. Buntaran Martoatmojo yang diangkat melalui sidang Chuo Sangi In pertama pada tanggal 17 Oktober 1943. Secara umum, badan ini mirip dengan volksraad pada masa penajajahan Belanda, tapi tidak berwenang menentukan pemerintahan Indonesia secara utuh. Pada waktu itu penentuan dan kendali utama pemerintahan Indonesia harus atas persetujuan pemerintah pusat di Tokyo.[1]
Anggota
Anggota Chuo Sangi In adalah sebagai berikut.
- 23 orang yang diangkat Saiko Shikikan.
- 2 orang dipilih Chuo Sangi Kai dan Tokubetsu Shi Sangi Kai (Dewan Pertimbangan Kotapraja).
- 2 orang disulkan oleh kooti dan koci (Solo dan Yogyakarta)
Pada tanggal 15 November 1943, delegasi Chuo Sangi In yang terdiri dari Ir. Soekarno, Moh. Hatta, dan Bagus Hadikusumo berangkat ke Jepang untuk memenuhi undangan Perdana Menteri Tojo. Ketiga delegasi mendesak agar Indonesia bisa mengibarkan bendera merah putih dan melantunkan Indonesia Raya, Tapi, usulan itu ditangguhkan. Perdana Menteri Tojo tidak memberi janji dan jaminan karena belum tentu menang pada saat perang melawam sekutu. Pada tanggal 17 Juli 1944, Perdana Menteri Tojo jatuh dan digantikan oleh Koisi sehari setelahnya. Tanggal 07 September 1944, Jepang semakin terdesak pada perang dunia II dan memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia. Janji Koiso ini membawa angin segar untuk perjuangan bangsa Indonesia.
Pada 10 September 1944, anggota Chuo Sangi In ditambah. Jumlah Saiko Shikikan yang tadinya beranggota 23 orang ditambah menjadi 28 orang. Lima orang anggota baru tersebut adalah R. Abikusno Cokrosuyoso, R. Margono Joyodikusumo, Mr. R. W. Sumanang, Mr. R. Sujono, dan R. Gatot Mangkuprojo. Setelah itu, pada tanggal 7 November 1944 anggota keseluruhan ditambah lagi menjadi 60 orang. Ada beberapa tokoh penting yang ikut masuk seperti Moh. Yamin, Mr. J. Latuharhary, Abdurrahman Baswedan, dan seorang berkebangsaan Tiongkok Yap Cwan Bing.[1]
Referensi
- ^ a b Sejarah 2. Yudhistira Ghalia Indonesia. ISBN 978-979-746-906-1.