Kambing dan Hujan

novel karya Mahfud Ikhwan
Revisi sejak 23 Agustus 2020 11.28 oleh Havefan (bicara | kontrib)

Kambing dan Hujan adalah sebuah roman yang ditulis oleh Mahfud Ikhwan. Novel ini sudah dicetak dalam dua edisi, edisi pertama Mei 2015 dan edisi kedua April 2018. Buku ini memiliki jumlah 380 halaman (edisi kedua, cetakan kedua April 2018) dan diterbitkan oleh Penerbit Bentang, Yogyakarta. Kambing dan Hujan adalah karya yang berhasil menjadi pemenang Sayembara Novel DKJ 2014[1], Karya Sastra Terbaik 2015 versi Jakartabeat[2], dan Buku Terbaik 2015 versi Mojok.

Alur Cerita

Kambing dan Hujan menceritakan tentang konflik asmara antara tokoh Mif dan Fauzia, anak pemuka agama yang terkenal di Centong. Kisah cinta mereka terhalang oleh restu dari Ayah-ayah mereka, yakni Pak Iskandar dan Pak Fauzan. Persahabatan dan pertengkaran di masa lalu antara Pak Iskandar dan Pak Fauzan ikut memengaruhi kehidupan asmara kedua anaknya.

Pertemuan yang tidak disengaja oleh Mif dan Fauzia di sebuah bus mengantarkan mereka kepada tahap untuk menjalin masa depan bersama. Perbedaan tradisi Islam yang dianut keduanya dan perang dingin antar Ayah mereka membuat mereka harus lebih berjuang dan meyakinkan tekad kepada orang tua masing-masing. Pak Iskandar (Is) adalah tokoh masjid Utara dan Pak Fauzan (Mat) adalah tokoh masjid Selatan di Centong. Mereka adalah tokoh pembaharu dan tokoh Nahdiyin yang terkenal di desanya.

Mif dan Fauzia akhirnya mengetahui sejarah dua kelompok muslim yang berseberangan di Centong sejak tahun 1960-an, sekaligus mengetahui latar belakang hubungan Ayah mereka. Is kecil yang pandai, tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan di pesantren. Setelah lulus SR (Sekolah Rakyat) ia lebih memilih belajar mandri di masjid dan berguru kepada Cak Ali. Sedangkan Mat yang berasal dari keluarga berkecukupan memilih belajar dan memperdalam ilmu agama di pesantren. Is kecil mulai mengagumi Cak Ali dan Cak Ali juga membawa pengaruh yang luar biasa untuk Is.

Setelah melihat perkembangan ilmu Is. Mat merasa janggal. Pemikiran Is sangat bertentangan dengan Mat dan masyarakat di Centong. Begitu pula dengan Is, Cak Ali, dan teman-temannya yang merasa bahwa pemikiran masyarakat Centong perlu diluruskan kembali dalam hal beragama. Niat baik mereka tidak disambut baik oleh masyarakat Centong, mereka tidak suka dengan pemikiran dan sikap Is, Cak Ali, dan kawan-kawannya. Cak Ali, Is, dan yang lainnya diusir dan dilarang beribadah di masjid karena menimbulkan kerusuhan. Akhirnya Is dan Cak Ali mendirikan sebuah masjid di sebelah Utara Centong.

Perkembangan masjid Utara dan pengikut yang semakin bertambah, menyebabkan persaingan bagi kedua masjid (masjid Utara dan masjid Selatan). Mereka saling menunjukkan eksistensi dengan mendirikan madrasah di wilayah masing-masing. Persaingan tersebut akan semakin terasa dengan kehadiran bulan ramadan dan lebaran di desa Centong. Pemikiran dan tradisi yang berbeda membuat mereka sulit untuk bisa melaksanakan malam takbiran dan salat ied bersama-sama, sebuah mimpi indah yang diharapkan terjadi oleh Mif dan Fauzia[3]

Referensi

  1. ^ Putri, Dwina Dian (2019-05-15). "Narasi NU dan Muhammadiyah dalam Roman Kambing dan Hujan Karya Mahfud Ikhwan dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah". 
  2. ^ Rizky (2019-01-21). "Kambing dan Hujan Jadi Karya Sastra Terbaik 2015 versi Jakartabeat". Bentang Pustaka (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-23. 
  3. ^ Naufal, Mazka Hauzan (2018-12-28). "PERPADUAN NILAI DAKWAH DAN ESTETIKA DALAM NOVEL KAMBING DAN HUJAN KARYA MAHFUD IKHWAN". Islamic Communication Journal. 3 (2): 141. doi:10.21580/icj.2018.3.2.3049. ISSN 2615-3580.