Gerakan Pemuda Ka'bah, atau disingkat GPK, adalah organisasi sayap pemuda tertua dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Gerakan tersebut adalah salah satu dari tiga sayap pemuda dari partai tersebut, yang lainnya adalah Angkatan Muda Ka'bah dan Generasi Muda Pembangunan Indonesia. Gerakan tersebut giat dipakai oleh pejabat PPP sebagai penjaga keamanan tak resmi untuk mereka dan keluarga mereka.

Gerakan Pemuda Ka'bah
Sekretaris JenderalProf. Arman Remy
Didirikan29 Maret 1982
Markas besarJalan Sunan Giri No.1, Jati, Distrik Pulo Gadung, Jakarta Timur, Jakarta
IdeologiDemokrasi Islam
Warna 
Partai indukPartai Persatuan Pembangunan

Husein Naro adalah putra Haji Jaelani Naro, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada awal dekade 1980-an. Kala itu PPP adalah satu-satunya partai Islam yang boleh hidup di zaman politik aliran Orde Baru. Jaelani Naro, yang lebih dari 20 tahun menjabat sebagai jaksa, punya reputasi sebagai orangnya Ali Moertopo.

“Ia (Ali Moertopo) menempatkan Naro untuk memperkeruh suasana Parmusi sehingga dalam partai tersebut kemudian muncul pimpinan ganda," kata Sembodo dalam Pater Beek, Freemason, dan CIA (2009: 136).

Parmusi adalah akronim Partai Muslimin Indonesia, berdiri pada 1968 dan menempati posisi keempat dalam Pemilu perdana Orde Baru yang semu pada 1971, sebelum Soeharto menggabungkan organisasi parpol Islami ke dalam fusi PPP pada 1973.

Dalam politik intelijen yang berkembang saat itu, Moertopo ingin mendekatkan partai Islam dengan pemerintah Orde Baru daripada Soeharto. Karena Naro memimpin PPP, “Naro dinyatakan sebagai pengkhianat Islam" oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), tulis Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (2006: 302).

Baca juga: Jalan Karier Ali Moertopo: Spymaster Daripada Soeharto Demokrasi Semu dalam Sejarah Pemilu Pertama Orde Baru Tahun 1971 Legenda Hijau Hitam Mahasiswa Islam Pada 29 Maret 1982, organisasi sayap pemuda PPP, yakni Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), berdiri. Jaelani menempatkan anaknya, Husein Naro, sebagai komandan GPK.

Dalam Karir Politik Anak Desa (2004: 166), autobiografi Tosari Widjaja, Sekretaris Jenderal Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang bernaung pada Nahdlatul Ulama (NU), orang dekat Naro meminta Tosari untuk membuat pernyataan mendukung GPK.

"Saya tolak ajakan itu karena tidak logis dan tidak etis," klaim Tosari. Pernyataan semacam itu tak cuma sangat berlebihan tapi juga berbau penjilatan, tulisnya.

Penolakan itu membuat Naro senior kecewa. Meski begitu, GPK jalan terus. GPK tumbuh menjadi anak organisasi atau underbouw PPP. (Jaelani Naro menjabat ketua umum PPP dari 1978 hingga 1989.)

Beberapa tahun setelah GPK berdiri, pada 4 Oktober 1984, terjadi ledakan kantor Bank Central Asia (BCA) di Glodok. Dari penyelidikan aparat, pelakunya adalah Muhammad Jayadi, Chairul Yunus, Tasrif Tuasikal, Hasnul Arifin.

Menurut Indiwan Seto Wahjuwibowo dalam Terorisme dalam Pemberitaan Media (2018: 15), para pelaku itu anggota GPK. Aksi itu adalah protes terhadap peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984. BCA dikenal bank milik kolega daripada Presiden Soeharto, Liem Sioe Liong alias Sudono Salim.

Baca juga: Pengeboman BCA 1984, Soeharto, dan Islam Bagaimana BCA Berjaya di Masa Orde Baru? Mengenang 33 Tahun Tragedi Pembantaian Tanjung Priok GPK di zaman Orde Baru, sayangnya, tak cuma dikenal sebagai nama ormas pemuda PPP. Sematan GPK dipakai oleh aparat-aparat keamanan negara Orde Baru sebagai singkatan untuk "Gerakan Pengacau Keamanan".

Istilah GPK untuk pengacau itu lazim ditujukan oleh pemerintahan Orde Baru kepada Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (Fretilin) di Timor-Timur, Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tentu saja sebutan pengacau itu versi penguasa demi menutupi kekerasan negara di Timor-Timur (nama saat itu sebelum berganti Timor Leste pada 1999), di Papua maupun di Aceh.

Baca juga: 1965: 'Kekerasan Brutal' Perdana Militer Indonesia di Papua GAM Lahir demi Kedaulatan atas Kekayaan Alam Aceh Upaya Indonesia Mencaplok Timor Lorosae lewat Operasi Seroja Politik Jalanan GPK Pasca-Orde Baru Mantan Ketua Umum PPP Muhammad Romahurmuziy—kini ditahan KPK—mengaku punya kenangan dengan Orde Baru dan GPK.

Dulu, ceritanya, pada 1987 orang-orang PPP pernah merasa tidak aman, termasuk keluarga Rommy, sampai-sampai saat dia berangkat sekolah pun harus dikawal anggota GPK.

"Masih sangat segar dalam ingatan, rumah kami sering diserang setiap masa kampanye. Yang menyerang tentu saja adalah kekuatan-kekuatan Orde Baru dengan partai politiknya saat itu," cerita Rommy, yang mengaku enggan masa Orde Baru hadir kembali di Indonesia.

Baca juga: Sejarah Hidup Romahurmuziy: Putra Keluarga Terhormat Terjerat KPK Pasca-Orde Baru, GPK Jakarta menyerukan dukungan kepada B.J. Habibie sebagai calon presiden era awal Reformasi. Dalam autobiografi Habibie, Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia menuju Demokrasi (2006: 337), GPK Jakarta menyatakan dukungan itu pada 9 Oktober 1999, bulan saat ada pemilihan presiden lewat sidang MPR. Padahal dalam situasi politik saat itu, Habibie dianggap sebagai bagian dari Orde Baru.

“Semua komponen bangsa agar tidak menghalang-halangi BJ Habibie menjadi calon presiden. Berikanlah kepercayaan kepada 700 anggota DPR/MPR sebagai wakil rakyat untuk memilih presiden mendatang. Apabila dalam SU MPR Pak Habibie terpilih, hendaknya diterima secara lapang dada. Apabila ada yang menghalangi, lalu membuat keadaan menjadi ruwet, Pemuda Ka’bah akan menghadapinya," seru Ketua GPK DKI Jakarta Ahmad Murda.

Intinya, kata GPK Jakarta, mereka siap mengamankan Jakarta. Mereka mengaku siap turun ke jalan melawan kelompok yang mereka anggap "anarkis"—istilah keliru yang kali pertama disebut Wiranto untuk aksi mahasiswa di jalan menurunkan Soeharto pada 1998.

Pada 2000, GPK disebut sebagai kelompok laskar yang gemar menyudutkan golongan yang dianggap "kafir berkedok Islam dan politik kerakyatan," tulis Djadja Suparman dalam autobiografinya, Jejak Kudeta (1997-2005).

Politik jalanan GPK itu dianggap Suparman seirama dengan ormas lain seperti Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, dan Front Hisbullah. Kelompok-kelompok paramiliter saat itu doyan "menebarkan isu terhadap mahasiswa dan pendukung Gus Dur (Presiden Abdurrahman Wahid) sebagai reinkarnasi komunis."

Baca juga: Sejarah Partai Persatuan Pembangunan: Penjinakan Islam ala Soeharto FPI dalam Lintasan Sejarah Dalam gelombang penolakan terhadap organisasi yang dianggap "komunis gaya baru", salah satunya dipelopori oleh Kivlan Zen, GPK bersama Pelajar Islam Indonesia, Pemuda Bulan Bintang, dan Gerakan Merah Putih pernah terlibat penyerbuan ke kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia pada 17 September 2017. YLBHI adalah lembaga advokasi nirlaba yang berdiri di zaman Orde Baru oleh orang-orang yang kritis terhadap rezim penguasa.

Anggota GPK dan ormas lain itu berpikir YLBHI tak dibutuhkan oleh orang-orang miskin yang susah hidupnya. Bagi mereka, YLBHI adalah “sarang komunis," sebuah politik pembingkaian terhadap organisasi pro-demokrasi di Indonesia.

Baca juga: Rapat Sebelum Menyerbu Gedung YLBHI Jejak Advokasi YLBHI dan LBH Jakarta

Referensi

Daftar pustaka

  • Widjaja, Tosari (2004), Karier Politik Anak Desa: Otobiografi Tosari Widjaja [The Political Career of Villager's Child: Autobiography of Tosari Widjaja] (dalam bahasa Indonesia), Jakarta: Forum Indonesia Satu 
  • Bruinessen, Martin van (1994), NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru [NU: Traditions, Power Relations, The Search for a New Discourse] (dalam bahasa Indonesia), Yogyakarta: LKiS Yogyakarta and Pustaka Pelajar, ISBN 9789798966033 
  • Wibowo, Indiwan Seto Wahyu (2015), Terorisme dalam Pemberitaan Media [Terrorism in Media Coverage] (dalam bahasa Indonesia), Tangerang: Rumah Pintar Komunikasi 
  • Zama, Pudana Faqih (2018), Peran Gerakan Pemuda Ka'bah Dalam Pendidikan Politik Untuk Meningkatkan Partisipasi Aktif Kaum Muda Kecamatan Gondomanan Kota Yogyakarta [The Role of the Kaaba Youth Movement in Political Education to Increase Youth Active Participation in the Gondomanan District of Yogyakarta City] (PDF) (dalam bahasa Indonesian), diakses tanggal 27 May 2019 
  • Habibie, Bacharuddin Jusuf (2006), Detik-Detik yang Menentukan : Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi [Decisive Seconds: Indonesia's Long Way Towards Democracy] (dalam bahasa Indonesia), Jakarta: THC Mandiri, ISBN 979-99386-6-X