Jam Gadang
0°18′19″S 100°22′10″E / 0.305210°S 100.3694°E
Perancang | Jazid Radjo Mangkuto |
---|---|
Tipe | Menara jam |
Material | Kapur, pasir |
Tinggi | 26 meter |
Tanggal selesai | 1926 |
Didedikasikan kepada | Sekretaris Fort de Kock (sekarang kota Bukittinggi) |
Biaya pembangunan | 3.000 Gulden |
Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi, Sumatra Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".
Selain sebagai pusat penanda kota Bukittinggi, Jam Gadang juga telah dijadikan sebagai objek wisata dengan diperluasnya taman di sekitar menara jam ini. Taman tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik pada hari kerja maupun pada hari libur. Acara-acara yang sifatnya umum biasanya diselenggarakan di sekitar taman dekat menara jam ini.
Struktur
Ukuran dasar bangunan Jam Gadang yaitu 6,5 x 6,5 meter, ditambah dengan ukuran dasar tangga selebar 4 meter, sehingga ukuran dasar bangunan keseluruhan 6,5 x 10,5 meter.[1] Bagian dalam menara jam setinggi 36 meter[1] ini terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga harus diganti akibat gempa pada tahun 2007.
Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London, Inggris.[butuh rujukan] Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Relinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.
Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur dan pasir.
Sejarah
Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rookmaker. Rookmaker merupakan sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda.[2] Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Jazid Radjo Mangkuto, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rookmaker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.[3]
Ketika berita proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan di Bukittinggi, bertempat di Jam Gadang untuk pertama kalinya dipuncak jam itu dikibarkan bendera merah putih setelah melalui pertentangan dengan pucuk pimpinan tentara Jepang.[4][5][6][7][8][9] Pemuda yang memimpin massa untuk menaikkan pertama kali Sang Saka Merah Putih di puncak Jam Gadang bernama Mara Karma.[10]
Di sekitar Jam Gadang, dulunya terdapat taman bernama Wirasakti.
Renoasi
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010.[11]
Pada Juli 2018, kawasan Jam Gadang direvitalisasi oleh pemerintah. Pengerjaannya memakan biaya Rp18 miliar dan rampung pada Februari 2019.[12]
Galeri
-
Jam Gadang pada bulan Mei 2011
-
Pembalap sepeda peserta Tour de Singkarak 2010 saat melintasi Jam Gadang
-
Angka Romawi empat (IV) yang pada Jam Gadang tertulis "IIII"
-
Jam Gadang pada tahun 1948
-
Jam Gadang pada masa pendudukan Jepang
-
Jam Gadang pada tahun 1933
Referensi
- ^ a b Edinal Agung (24 Februari 2017). Kajian Bentuk Jam Gadang di Bukittinggi (Tesis). Universitas Sumatra Utara.
- ^ MededeelIngen van den Dienst der Volksgezondheid in Nederlandsch-Indië - Dutch East Indies. Dienst der volksgezondheid - Google Books
- ^ travel.kompas.com Jam Gadang Gengsi Kota Bukittinggi.
- ^ Penerangan, Indonesia Departemen (1954). Lukisan revolusi, 1945-1950: dari negara kesatuan ke negara kesatuan. Kementerian Penerangan.
- ^ Raliby, Osman (1953). Documenta historica: sedjarah dokumenter dari pertumbuhan dan perdjuangan negara Republik Indonesia (dalam bahasa Melayu). Bulan-Bintang.
- ^ Daerah, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan (1977). Sejarah daerah Sumatera Barat. Proyek.
- ^ Sejarah daerah ...: Sumatra Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. 1978.
- ^ Wild, Colin (1986). Gelora api revolusi: sebuah antologi sejarah. Diterbitkan atas kerja sama BBC Seksi Indonesia dan Penerbit PT Gramedia.
- ^ Lintasan perjalanan Kepolisian RI sejak proklamasi-1950. Gadhessa Pura Mas. 1985.
- ^ Mintaraga, Mulyadi (1986). Api perjuangan kemerdekaan di kota Padang. Songo Abadi Inti.
- ^ http://www.republika.co.id Renovasi Jam Gadang.
- ^ Taman Jam Gadang Diresmikan 17 Februari, Telan Dana Rp18 Miliar | VALORA NEWS SUMBAR