Mustain Billah dari Banjar
Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah adalah Sultan Banjar IV yang memerintah antara 1595-1620. Beliau menggantikan ayahnya Sultan Hidayatullah (Sultan Banjar III).
Gelar lain : Pangeran Kacil/Panembahan Marhum/Mustakim Billah/Musta Ayinubillah/Mustain Allah/Mustain Ziullah/Raja Maruhum.
Serangan VOC tahun 1612 yang menyebabkab pemindahan ibukota kerajaan dari Banjarmasih (Kuin) ke hulu sungai Martapura yaitu ke Kuliling Benteng, kemudian ke Batang Mangapan dan ke Batang Banyu.
Setelah wafatnya beliau mendapat gelar anumerta Marhum Panembahan. Ibu beliau adalah puteri dari Khatib Banun, seorang menteri Kesultanan Banjar yang berasal dari kalangan suku Biaju (Dayak Ngaju) yang sudah memeluk Islam. Isteri Sultan Mustain Billah yaitu Nyai Biang Lawai juga berasal dari kalangan suku Biaju.
Penggantinya sebagai Sultan Banjar adalah puteranya Sultan Inayatullah, sedangkan puteranya yang lain, Pangeran Dipati Anta Kasuma menjadi Raja Kotawaringin. Kotawaringin adalah wilayah pecahan Kesultanan Banjar yang berada pada daerah paling barat yang berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura.
Dewan Mahkota
Selama kekuasaan Sultan Musta’in Billah sistem politik dan pemerintahan negara menjadi lebih kompleks. Mangkubumi bertindak sebagai King Viceregent mempunyai 4 deputi dan 4 hakim untuk memecahkan masalah hukum.
Dalam kasus masalah sekuler yang mempunyai wewenang pertama adalah : para hakim, raja, para deputi dan terakhir Mangkubumi yang memberikan pendapat.
Dalam kasus masalah negara, termasuk hubungan luar negeri, monopoli perdagangan, serta mengadakan kontrak perdagangan dengan luar negeri, diselesaikan oleh Mangkubumi dan para Dipati, dalam hal ini raja mempunyai kata terakhir.
Tradisi untuk menyelesaikan masalah negara berkembang menjadi suatu sistem yang kemudian menjadi suatu institusi yang paling berwewenang yang disebut Dewan Mahkota (The Royal Council).
Situasi di Masa Mustain Billah
Di masa pemerintahan Mustain Billah, perkenalan pertama orang Banjar dengan Belanda terjadi ketika beberapa pedagang Banjar melakukan aktivitas perdagangan di pelabuhan Banten dalam tahun 1596. Akibat sikap Belanda yang sombong, para pedagang di Kesultanan Banten tidak mau menjual lada kepada para pedagang Belanda, sehingga mereka tidak memperoleh lada di Banten. Pada saat itu di pelabuhan Banten berlabuh dua buah kapal jung yang berisi muatan lada dari Kesultanan Banjar yang dibawa pedagang-pedagang Banjar. Lada merupakan komoditas ekspor primadona Kesultanan Banjar pada abad ke-17. Karena tidak memperoleh lada di Banten, maka Belanda merampok lada dari dua buah jung tersebut. Bagi orang Banjar peristiwa itu menjadi kesan awal yang buruk terhadap Belanda. Untuk mengetahui daerah Kesultanan Banjar yang merupakan daerah penghasil lada, Belanda mengirim sebuah ekspedisi ke Banjarmasin pada tanggal 17 Juli 1607 dipimpin Koopman Gillis Michielzoon. Utusan Belanda tersebut dan seluruh anggotanya diajak ke darat, dan kemudian seluruhnya dibunuh, serta harta benda dan kapalnya dirampas. Peristiwa pembantaian terhadap utusan Belanda dengan anggotanya di Banjarmasin itu, menyebabkan Belanda tidak pernah berhasil tinggal lama di Banjarmasin. Dalam tahun 1612 secara mengejutkan armada Belanda tiba di Banjarmasin untuk membalas atas terbunuhnya ekspedisi Gillis Michielzoon tahun 1607. Armada ini menyerang Banjarmasin dari arah pulau Kembang, menembaki Kuyin, ibukota Kesultanan Banjar. Penyerangan ini menghancurkan Banjar Lama yang merupakan istana Sultan Banjar, karena itu ibukota kerajaan dipindahkan, dari Kuyin yang hancur ke Kayu Tangi (Telok Selong), Martapura. Meskipun ibukota kerajaan telah dipindahkan, namun aktivitas perdagangan, di pelabuhan Banjarmasin tetap ramai. Hubungan dagang dengan bangsa asing tetap berjalan terutama dengan bangsa Inggris. Tahun 1615 Casirian David telah mendirikan faktory di Banjarmasin. Hubungan dagang dengan Belanda terputus, tetapi diteruskan dengan perantaraan orang-orang China. Pedagang Denmark juga telah menetap di Banjarmasin.
Hubungan Mustain Billah dan suku Dayak
Diang Lawai, seorang Dayak Ngaju (Biaju) adalah isteri Dari Marhum Panembahan. Ketika munculnya desas-desus dikonversikannya Diang Lawai yang beragama Kaharingan, hal tersebut membangkitkan kemarahan para sanak saudara Diang Lawai yang berujung pada peperangan antara Dayak Ngaju dan Banjar selama 20 tahun. Walaupun issue pengislaman Nyai Diang Lawai itu ternyata tidak benar, tetapi karena salah paham dipihak orang Dayak Ngaju yang menyangka bahwa Raja Maruhum telah melanggar perjanjian pada waktu menikahi Nyai Diang Lawai yaitu Nyai Diang Lawai tidak boleh disunat seperti yang biasa dilakukan di kalangan orang Islam. Kesalahpahaman itu terjadi karena adanya berita bahwa Nyai Diang Lawai menderita sakit akibat disunat oleh raja, padahal sebenarnya dia mengalami sedikit tidak enak badan karena mulai hamil muda.
Perang karena sentimen agama ini sangat membekas dalam ingatan kolektif orang Dayak Ngaju yang diabadikan dalam mitos asal-usul, disebut Zaman Raja Maruhum Usang. Dalam kitab suci agama Kaharingan yang disebut Panaturan, Raja Marhum (Raja Helu Maruhum Usang) dan Nyai Siti Diang Lawai merupakan bagian dari leluhur orang Dayak Ngaju, yang setelah mereka meninggal dunia menjadi Sangiang (manusia ilahi) dan berdiam di Lewu Tambak Raja, yaitu salah satu bagian dari Lewu Sangiang (perkampungan para dewa). Karena Raja Maruhum adalah seorang Muslim maka di perkampungan para dewa itu disebutkan ada masjid .
Marhum Panambahan mempunyai hubungan geneologis dengan orang Dayak Ngaju, sebab ibunya merupakan seorang Dayak Ngaju sehingga ketika wafat ia menjadi salah satu Sangiang dari orang-orang Dayak Ngaju. Karena itu dalam sistem kepercayaan orang Ngaju, ia dapat diproyeksikan sebegitu rupa ke alam atas (dunia Sangiang) untuk menjadi salah satu Pantheon mereka.
Marhum Panembahan merupakan raja Banjar yang berdarah Biaju (Ngaju), karena itu dengan mudah ia bisa meminta bantuan orang-orang suku Biaju untuk 'menghabisi' para lawan politiknya yaitu para bangsawan keraton Banjar. Ia meminta seorang panglima perang suku Ngaju yang bernama Sorang bersama sepuluh orang kawannya untuk masuk Islam dan tinggal menetap di kalangan warga kesultanan. Sorang akhirnya diambil ipar oleh Marhum Panembahan yaitu dengan mengawinkannya dengan Gusti Nurasat, saudara sebapak dari Marhum Panembahan. Penerimaan Sorang masuk ke lingkungan istana dikarenakan Marhum Panembahan sendiri adalah keturunan (utus) orang Ngaju. Hal tersebut sebagai usaha pengokohan kedudukannya dan golongannya atas suatu hak yang diperolehnya dengan jalan usurpasi. Ia memulai menjalankan pemerintahan tanpa pengikut dari golongan bangsawan dan penasihat yang berpengalaman.
Didahului oleh: Panembahan Batu Irang |
Sultan Banjar 1595-1620 |
Diteruskan oleh: Ratu Agung |
Rujukan
- Hikayat Banjar
- Marko Mahin dalam "URANG BANJAR IDENTITAS DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN".
- M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.