Terapi moral
Terapi moral, Bahasa Inggrisnya moral treatment, atau Bahasa Perancisnya traitement moral, adalah sebuah istilah yang secara umum dinisbatkan kepada Philippe Pinel (1745–1826) daripada tokoh-tokoh yang lainnya. Hal tersebut terjadi karena istilah ini dibuat oleh kepala Rumah Sakit Jiwa La Bicêtre di Paris, Perancis, tersebut. Meskipun Pinel lebih banyak menganggap bahwa alasan dari dilakukannya terapi moral adalah karena kewajiban moral sebagai manusia itu sendiri alih-alih sebuah kewajiban agamawi ataupun klinis, namun istilah terapi moral-nya telah telah dipergunakan dalam makna yang bervariasi di Perancis dan secara internasional, baik oleh para tokoh yang sezaman dengan Pinel maupun pada masa setelahnya.
Pinel tidak menempuh sudut pandang yang sama dengan keluarga Tuke [terutama dengan para tokoh utamanya yaitu William Tuke (1732–1822) dan cucunya, Samuel Tuke (1784–1857)] di Inggris, yang lebih banyak menekankan aspek religius; dan juga tidak sama dengan para penganut terapi moral ini di Skotlandia yang lebih banyak menekankan aspek klinis. Terapi moral ini kelak menemukan momen yang sangat pentingnya ketika Dorothea Dix (1802–1887) di Amerika Serikat menyaksikan sangat banyaknya kondisi yang teramat buruk dalam rawat-inap kejiwaan, yang menyebabkannya tidak hanya mengkritik dengan sangat lantang mengenai hal itu, namun juga mendirikan 32 Rumah Sakit yang menerapkan konsepnya mengenai kesehatan jiwa yang lebih baik.
Secara keseluruhan terapi moral telah mempengaruhi ranah Psikiatri hingga di masa pasca-modern, dengan lahirnya bentuk-bentuk terapi komunitas serta terapi okupasional alih-alih pengekangan mekanis seperti perantaian ke dinding rumah sakit jiwa. Model pemulihan (recovery model) dalam ranah kesehatan jiwa yang lebih menekankan pada orang yang diterapi alih-alih menekankan otoritas orang yang melakukan terapinya, merupakan sebuah gaung yang paling berkumandang dari sejarah terapi moral ini.
Terapi Moral di Berbagai Sudut Dunia
Di Italia
Di bawah kekuasaan Grand Duke Pietro Leopoldo di Florence, seorang dokter Italia Vincenzo Chiarugi (1759–1820) menerapkan reformasi yang manusiawi dalam lembaga kesehatan jiwa. Pada tahun antara 1785 dan 1788 ia mencabut aturan perantaian sebagai mekanisme pengekangan dalam seluruh bangunan Rumah Sakit Santa Dorotea. Sejak tahun 1788, ia melakukan hal yang sama di Rumah Sakit St. Bonifacio, yang merupakan rumah sakit yang dipergunakan setelah bangunannya mengalami renovasi fisik.
Di Perancis
Mantan-pasien Jean-Baptiste Pussin dan istrinya Margueritte, dan dokter Philippe Pinel (1745–1826) dianggap sebagai pelopor dalam kondisi yang lebih manusiawi dalam perawatan di asilum di Perancis. Sejak dasawarsa 1780-an Pussin dirawat-inap di Rumah Sakit Jiwa La Bicêtre, yang merupakan sebuah asilum di Paris, bagi pasien laki-laki. Sejak dasawarsa 1780-an Pinel telah mempublikasikan artikel-artikel dengan topik kaitan-kaitan antara emosi, kondisi sosial, dan gangguan jiwa. Pada tahun 1792 (yang tercatatkan secara resmi pada tahun 1793), Pinel menjadi pimpinan para dokter di Bicetre. Pussin menunjukkan kepada Pinel bahwa mengetahui kondisi pasien berarti mereka dapat dikelola dengan simpati dan sikap baik sebagaimana juga pemberian wewenang dan hak pengendalian diri yang lebih besar kepada para pasien tersebut.
Pada tahun 1797, untuk pertama kalinya Pussin membebaskan para pasien dari perantaian mereka dan menangguhkan hukuman-hukuman fisik, meskipun jaket ketat (straitjacket) masih dapat dipergunakan. Para pasien diperbolehkan untuk bergerak secara bebas di pelataran rumah sakit, dan ruang bawah-tanah yang gelap digantikan dengan ruangan-ruangan yang diterangi oleh sinar matahari dan berventilasi baik.
Pendekatan Pussin dan Pinel dilihat sebagai keberhasilan yang luar biasa, dan kelak mereka membawa reformasi yang sama pada Rumah Sakit di Paris untuk pasien perempuan yang bernama La Salpetrière. Salah satu murid Pinel, dan penggantinya sebagai pimpinan para dokter kemudian, Jean Esquirol (1772–1840), mendirikan 10 Rumah Sakit Jiwa yang baru yang beroperasi dengan prinsip utama yang sama.
Di Inggris
Seorang penganut Quaker yang bernama William Tuke (1732–1822), terlepas dari yang terjadi di Italia dan Perancis tersebut, memimpin pengembangan sebuah lembaga kesehatan jiwa dengan pendekatan yang sama sekali baru di sebelah utara Inggris, karena sebelumnya seorang yang juga penganut Quaker meninggal di sebuah perawatan kejiwaan di wilayah tersebut pada tahun 1790. Pada tahun 1796, dengan bantuan dari para mitra penganut Quakernya dan orang-orang lainnya, ia mendirikan khalwat York (York Retreat), di mana ia menempatkan sekitar 30 pasien yang hidup sebagai bagian dari komunitas kecil di sebuah pedesaan yang bersuasana tenang dan dilibatkan dalam kombinasi antara istirahat, diajak bicara, dan terapi kerja.
Khalwat York adalah sebuah perawatan kejiwaan yang menolak pendekatan teori dan teknik medis, lembaga kejiwaan ini berkonsentrasi pada upaya-upaya untuk mengurangi pengekangan serta memperkuat penanaman rasionalitas dan kekuatan moral. Seluruh keluarga Tuke dikenal sebagai pendiri dari gerakan terapi moral. Mereka menciptakan sebuah etos bergaya kekeluargaan dan para pasien disemangati untuk mengerjakan tugas-tugas kecil dalam lingkungan keluarga tersebut dan juga disemangati untuk memberikan berbagai kontribusi yang bermakna. Ada rutinitas sehari-hari baik yang berupa kerja maupun kegiatan bersantai. Jika sang pasien berperilaku secara baik, maka mereka diberikan pujian dan/atau hadiah; jika mereka berperilaku buruk, maka hanya ada penggunaan pengekangan yang minimal atau hukuman yang sifatnya psikologis dalam kadar yang sedikit. Para pasien diberitahu bahwa pengobatan diterapkan berdasarkan pada perilaku mereka. Pada terapi yang demikian ditemukan kenyataan bahwa para pasien mampu membentuk kemandirian sebagai seorang manusia.
Cucu dari William Tuke, yang bernama Samuel Tuke (1784-1857), kemudian mempublikasikan karya pada awal abad ke-19 mengenai metode-metode pemulihan yang diterapkan dalam khalwat dimaksud. Pada masa tersebut Treatise On Insanity (Risalah tentang Gangguan Kejiwaan) karya Pinel telah terbit dan Samuel Tuke menerjemahkan istilah traitement moral dari Bahasa Perancis dalam karya Pinel tersebut sebagai moral treatment (yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai terapi moral).
Di Skotlandia
Sebuah pendekatan dengan latar yang sangat berbeda terjadi di Skotlandia. Ketertarikan terhadap penyakit kejiwaan merupakan ciri khas dari fakultas kedokteran Edinburgh pada abad ke-18. William Cullen (1710–1790) dan Robert Whytt (1714–1766) sebagai para pengajar yang berpengaruh menekankan pentingnya hal-hal klinis dalam menyembuhkan gangguan kejiwaan.
Pada tahun 1816, Johann Spurzheim (1776–1832), mengunjungi Edinburgh dan mengajar tentang konsep yang menautkan antara pikiran dengan bagian-bagian pada otak (phrenology) dalam hubungannya dengan organ yang berada di balik tulang tempurung kepala (cranium). Hal tersebut memicu permusuhan dari kaum agamawi, terutama dari pihak Gereja Skotlandia (The Church of Scotland). Namun hal tersebut mendapatkan respon yang baik dari sejumlah mahasiswa kedokteran, terutama William A.F. Browne (1805–1885). William Browne menganggapnya sebagai sebuah konsep materialis mengenai sistem saraf, dan, sebagai impikasinya, terhadap gangguan jiwa.
Teori materialisme dalam gangguan kejiwaan ini dianggap merupakan pengejewantahan dari konsep evolusi dalam ilmu biologi yang digagas oleh Jean-Baptiste Lamarck (1744-1829); yang juga kemudian menjadi sebuah bahan perenungan bagi Charles Darwin, yang dianggap sebagai tokoh utama yang menggaungkan konsep evolusi dalam ilmu biologi, karena ia pernah menjadi mahasiswa kedokteran di Edinburgh ini pada tahun 1826/1827.
William Browne secara terus-menerus mengembangkan lebih jauh versinya sendiri mengenai kaitan antara gangguan jiwa dengan bagian-bagian pada otak (phrenology) tersebut pada konferensi-konferensi ilmiah yang dilakukan oleh Edinburgh Phrenological Society, Royal Medical Society (Komunitas Kedokteran Kerajaan) dan Plinian Society. Kemudian, sebagai penyelia (pengawas) di Rumah Sakit Kerajaan Sunnyside (Montrose Asylum) mulai dari tahun 1834 hingga tahun 1838, Browne menerapkan pendekatan umumnya dalam terapi moral semacam ini, termasuk menggunakan mimpi dan karya-karya seni para pasiennya untuk dianalisa secara medis.
Browne menyimpulkan pendekatan moralnya dalam pengelolaan perawatan di asilum dalam sebuah buku yang ia beri judul What Asylums Were, Are, and Ought To Be (Bagaimana Sebuah Asilum di Masa Lalu, di Masa Kini, dan Bagaimana Seharusnya di Masa Depan), yang sebenarnya merupakan sebuah transkrip dari kumpulan lima kuliah publiknya.
Pencapaiannya dengan gaya psikiatrik ini membuatnya diangkat sebagai Komisioner bagi Gangguan Jiwa di Skotlandia (Commissioner in Lunacy for Scotland) dan menyebabkan terpilihnya ia sebagai Presiden dari Medico-Psychological Association (Perhimpunan Kedokteran dan Psikologi) pada tahun 1866.
Anak sulung dari Browne, yaitu James Crichton-Browne (1840–1938), memperluas karya ayahnya tersebut; dan pada tanggal 29 February 1924, ia menyampaikan kuliah yang dianggap istimewa berjudul The Story of the Brain (Kisah mengenai Otak), di mana ia mencatat jejak-jejak penting peranan para ahli yang mengaitkan antara pikiran dengan bagian-bagian pada otak (phrenologist) pada masa-masa awal peletakkan landasan Psikiatri sebagai ilmu kedokteran jiwa.
Di Amerika Serikat
Tokoh kunci dalam penyebarluasan terapi moral di Amerika Serikat adalah Benjamin Rush (1745–1813), seorang dokter terkenal dan dihormati di Rumah Sakit Pennsylvania. Ia membatasi prakteknya hanya pada gangguan kejiwaan saja dengan mengembangkan pengobatan-pengobatan yang inovatif dan manusiawi. Ia mempersyaratkan bahwa Rumah Sakit harus merekrut para pekerja yang cerdas dan sensitif agar dapat bekerja-sama dengan baik dengan para pasien, termasuk melaksanakan pemulihan dengan cara membaca, berbincang-bincang serta mengajak mereka berjalan kaki pada waktu-waktu yang teratur. Ia juga menyarankan agar para dokter memberikan hadiah kecil kepada para pasiennya sebagai bagian dari terapi. Meskipun Rush juga mengizinkan metode-metode yang sifatnya fisik, termasuk pengeluaran darah (bloodletting), memuntahkan makanan (purging), penggunaan zat raksa (mercury), mandi air dingin dan air panas, kursi putar, dan "kursi penenang" ("tranquilizer chair"; yaitu semacam kursi dengan tambahan alat pemblokiran pandangan mata sang pasien, dengan tujuan menenangkan pasien).
Seorang guru sekolah di Boston, Dorothea Dix (1802–1887), juga membantu terciptanya perlakuan yang manusiawi dan menjadikannya sebagai sebuah kehendak politik di negara Amerika Serikat. Pada sebuah perjalanannya ke Inggris selama setahun, ia bertemu dengan Samuel Tuke. Pada tahun 1841 ia mengunjungi penjara lokal sebagai pengajar sekolah Minggu dan sangat terkejut ketika menemui kondisi-kondisi yang terjadi pada pasien rawat-inap kejiwaan di tempat tersebut. Sejak saat itu ia mulai menyelidiki dan menggaungkan pentingnya permasalahan tersebut di negara bagian Massachusetts dan di seluruh negeri. Ia menyatakan dukungannya terhadap model pengobatan terapi moral.
Ia berbicara kepada banyak pejabat pemerintahan mengenai kondisi-kondisi mengerikan yang ia saksikan sendiri dalam berbagai penjara dan menyerukan reformasi bagi hal tersebut. Dix memperjuangkan terciptanya hukum yang baru dan agar dialokasikannya dana yang lebih besar untuk meningkatkan pengobatan bagi orang dengan gangguan jiwa; hal ini ia lakukan mulai 1841 hingga 1881. Ia juga secara personal membantu berdirinya 32 Rumah Sakit Negeri yang menawarkan terapi moral sebagai cara penyembuhannya.
Karena pengaruh dari hal-hal yang diupayakan oleh Dix tersebut, maka sejak saat itu banyak asilum dibangun dengan mengimplementasikan desain bangunan yang disebut dengan istilah rencana Kirkbride (Kirkbride plan). Disebut demikian sebab dirancang oleh psikiater yang bernama Thomas Story Kirkbride (1809–1883) yang mengemukakan teori bahwa lingkungan dan paparan terhadap sinar alamiah dan sirkulasi udara merupakan hal yang penting dalam penyembuhan gangguan jiwa.
Mental hygiene dan Kesehatan jiwa
Seiring dengan industrialisasi, asilum bertambah jumlahnya dan ukuran bangunan-bangunannya diperbesar. Terkait dengan hal ini adalah pengembangan sistem pengelolaannya, sehingga memungkinkan para pasien rawat-inap untuk dikumpulkan dalam jumlah banyak. Pada akhir abad ke-19 dan memasuki abad ke-20, asilum-asilum semacam ini, yang pada umumnya berada di luar kota, telah menjadi sangat menurun kualitas perawatannya; ruangan-ruangannya yang penuh-sesak dengan para pasien menjadi permasalahan yang umum ditemui di banyak asilum. Sebagai contoh data, pada tahun 1827 rata-rata jumlah penghuni setiap asilum di Inggris Raya (Britania) adalah 166 orang, yang bertambah menjadi 1.221 orang pada tahun 1930. Prinsip-prinsip dari terapi moral menjadi seringkali terabaikan dan teknik-teknik pengobatan yang semula manusiawi menjadi jatuh kualitasnya menjadi hanya sebuah lembaga tanpa pertimbangan pikiran serta hanya menjalankan rutinitas belaka, dengan struktur di dalamnya yang otoriter alih-alih bersikap ramah terhadap para pasien.
Pertimbangan mengenai pembiayaan secara cepat menggantikan idealisme. Asilum/rumah sakit jiwa tidak lagi merupakan sesuatu yang mencerminkan suasana keluarga dalam sebuah rumah, namun sangat menurun kualitas suasananya menjadi serba-terabaikan dan minimalis. Menjadi ada penerapan yang sangat kuat dalam hal keamanan, penahanan, dinding-dinding yang tinggi, pintu-pintu yang selalu tertutup, pengasingan dari masyarakat, dan pengekangan secara fisik.
Tercatat secara baik dalam sejarah bahwa hanya ada kegiatan terapeutik yang sangat sedikit, obat lebih dianggap sebagai hanya menjalankan kepentingan administratif saja serta hanya untuk menangani gejala-gejala yang sifatnya fisik saja, alih-alih sebuah terapi untuk gangguan kejiwaan. Harapan akan munculnya terapi moral dan suasana yang bersifat kekeluargaan telah terhancurkan sama sekali karena kondisi-kondisi yang demikian.
Pada pergantian abad ke-20, banyak rumah sakit menjadi sangat mirip dengan gudang penyimpanan. Setelah abad ke-20 berjalan barulah ada perbaikan dalam hal kualitas di berbagai rumah sakit - rumah sakit tersebut. Kondisi pada rumah sakit swasta dengan tarif yang lebih mahal pada umumnya lebih baik. Hingga waktu tersebut, para pasien yang kurang mampu untuk masuk ke rumah sakit swasta, akan ditempatkan dalam gedung yang besar, penuh-sesak, dan secara fisik terasing dari masyarakat, yang tidak menawarkan pengobatan apapun.
Clifford Beers (1876-1943), salah satu orang dengan gangguan jiwa yang pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa dengan kualitas yang buruk seperti itu, menulis A Mind that Found Itself (1908), yang menggugah banyak orang untuk mengubah kondisi-kondisi dalam perawatan kejiwaan yang semacam itu. Pada masa-masa inilah lahir sebuah istilah yang disebut sebagai mental hygiene (sanitasi jiwa) yang merupakan istilah yang kemudian berkembang menjadi kesehatan jiwa.
Pengaruh dari Terapi Moral: Sebuah Kesimpulan
Menuju berakhirnya abad ke-19, teori yang berlandaskan konsep biologis muncul; meskipun pada masa ini sayangnya terjadi juga penerapan rawat-inap sebagai sebuah penahanan alih-alih sebuah penyembuhan yang manusiawi. Teori genetis mengambil alih, dan pada abad ke-20 konsep yang bernama mental hygiene (sanitasi jiwa) menyeruak ke permukaan; setelah itu konsep mental health (kesehatan jiwa) pun berkembang darinya.
Sejak pertengahan abad ke-20, sebuah gerakan yang bernama "pengembalian para pasien ke tengah-tengah masyarakat" atau deinstitusionalisasi terjadi di banyak negara di belahan dunia Barat. Sehingga sebagai akibatnya asilum digantikan peranannya oleh layanan-layanan komunitas kesehatan jiwa yang berada di tengah-tengah masyarakat.
Gerakan anti-psikiatri, seperti yang digagas oleh Thomas Szasz (1920-2012) dan Michel Foucault (1926-1984), telah membangkitkan kerinduan akan sebuah perlakuan yang manusiawi terhadap semua orang. Meskipun banyak paparan datanya telah secara efektif digusur oleh temuan-temuan biologis dan juga genetis. Ternyata gangguan jiwa tidak selalu dapat diselesaikan dengan menganggapnya hanya sebagai sebuah permasalahan filosofis dan budaya saja, namun -- sebagai hasil dari banyak sekali penelitian ilmiah dalam bidang kesehatan jiwa -- merupakan sebuah permasalahan kompleks yang menuntut pendekatan menyeluruh dengan menggunakan pendekatan biologis, psikologis, sosial, kultural, dan juga spiritual.
Terapi moral dengan riwayatnya yang panjang dan berliku, adalah sebuah gagasan yang telah memungkinkan diraihnya kesetimbangan bahwa perlakuan yang manusiawi bukan hanya layak diterapkan dalam pengobatan gangguan jiwa, namun juga adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan, bahwa hal yang demikian menyumbang kadar pemulihan yang besar pada orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Akhirnya, terapi moral adalah sebuah konsep yang telah menghasilkan perubahan yang sangat istimewa secara internasional, bagi banyak sekali orang yang terdampak -- secara langsung dan tidak langsung -- oleh gangguan jiwa.
Kepustakaan
Secara umum diterjemahkan dan diadaptasikan redaksinya berdasarkan "Moral treatment". Wikipedia Bahasa Inggris. https://en.wiki-indonesia.club/wiki/Moral_treatment#Consequences. Diakses pada tanggal 14 September 2020 pukul 21.00 WIB.
Adapun rujukan yang lainnya adalah:
"Benjamin Rush". Wikipedia Bahasa Inggris. https://en.wiki-indonesia.club/wiki/Benjamin_Rush#Mental_health. Diakses pada tanggal 14 September 2020 pukul 23.43 WIB.
"Chlorpromazine". Wikipedia Bahasa Inggris. https://en.wiki-indonesia.club/wiki/Chlorpromazine#History. Diakses pada tanggal 14 September 2020 pukul 22.09 WIB.
Grob, Gerald N. The Mad Among Us: A History of the Care of America's Mentally Ill. Harvard University Press: 1995.
Kline, Smith & French. "Thorazine advertisement". Wikimedia. https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Thorazine_advert.jpg#/media/File:Thorazine_advert.jpg. Diakses pada tanggal 14 September 2020 pukul 22.16 WIB. Sekitar tahun 1963.
Scull, Andrew T. The Most Solitary of Afflictions: Madness and Society in Britain, 1700-1900. Yale University Press, 1993.