Ahmad Syathibi al-Qonturi

Salah satu sosok ulama Tatar Pasundan

Al-'Alim Al-'Allamah Al-Kamil Al-Waro Asy-Syaikh Ahmad Syathibi bin Muhammad Sa'id Al-Qonturi Asy-Syanjuri Al-Jawi Asy-Syafi'i (bahasa Arab: العالم العلامة الكامل الورع الشيخ أحمد شاطبى بن محمد سعيد القنتورى الشنجورى الجاوى الشافعى, lahir di Cianjur, Hindia Belanda sekitar tahun 1253 Hijriyah atau 1837 Masehi - meninggal di Cianjur, Indonesia pada Rabu 14 Jumadil Akhir 1365 Hijriyah, tanggal 15 Mei 1946 Masehi) atau lebih dikenal dengan Mama Gentur adalah salah satu sosok ulama Tatar Pasundan yang bergelar Al-Alim Al-'Allamah Al-Kamil Al-Wara.[2]

Ahmad Syathibi
Syekh Ahmad Syathibi al-Qonturi
NamaAhmad Syathibi
NisbahAl-Qonturi Asy-Syanjuri Al-Jawi Asy-Syafi'i
Meninggal1946 (umur 108–109)
Indonesia Gentur, Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat
Dimakamkan diGentur
Nama lainMama Syathibi
Mama Gentur
Mama Gentur Kaler
Mama Kaler
KebangsaanIndonesia
Zaman13 Hijriyah
JabatanPengajar di Pesantren Gentur
Dipengaruhi  oleh
  • Syekh Muhammad Adzro'i (Mama Bojong) Kabupaten Garut, Jawa Barat
    Syekh Muhammad Shoheh (Mama Bunikasih) Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
    Syekh Ahmad Syuja'i (Mama Gudang atau Mama Kudang) Kota Tasikmalaya, Jawa Barat
    Dan Guru lainnya
Mempengaruhi
Istri
  • Ibu Hajjah Siti Nafi'ah
  • Ibu Hajjah Siti Sholihah
Keturunan
  • Mama Hajji Hidayatullah (Aang Baden) - Pengajar Pondok Pesantren Picung, Gekbrong, Cianjur
  • Mama Hajji Rohmatullah (Aang Eyeh) - Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur
  • Mama Hajji Hasbullah (Aang Abun) - Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur
  • Mama Hajji Abdul Haq Nuh (Aang Nuh) - Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur
  • Ibu Hajjah Siti Aminah (Ibu Hajjah Mas Noneh) - Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur
  • Ibu Hajjah Mas Ucu Qoni'ah - Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur
Orang tuaMama Hajji Muhammad Sa'id
Ibu Hajjah Siti Khodijah
Keluarga
  • Ibu Hajjah Ruqiyah - Pengajar Pondok Pesantren Cipadang, Cianjur (kakak)
  • Mama Hajji Ilyas (Mama Haji Yahya) - Pengajar Pondok Pesantren Babakan Bandung, Sukaraja, Sukabumi (kakak)
  • Mama Hajji Muhammad Qurthubi (Mama Gentur Kidul) - Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur (adik).[1]

Sejarah

Syekh Ahmad Syathibi tanpa diketahui secara pasti tanggal, bulan dan tahun kelahirannya, namun menurut penuturan sebagian anak muridnya beliau usianya beliau dua tahun lebih tua dari usianya Mama Sempur.

Beliau lahir di Kampung Gentur, Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat, Hindia Belanda. Tetapi, yang jelas dia keturunan Waliyullah Syekh Abdul Muhyi, Pamijahan, Tasikmalaya, Tatar Pasundan. Nama sewaktu kecilnya adalah Adun, setelah pulang dari Mekkah namanya diganti menjadi Dagustani. Namun, nama masyhurnya sekarang yaitu Al-'alim Al-'allamah Syaikh Ahmad Syathibi atau biasa disebut sebagai Mama Gentur kata orang sunda yang jadi anak muridnya.[3]

Mama Gentur

Sebagai seorang ulama, Syekh Ahmad Syathibi kemudian diberi gelar Mama (dibaca juga: Mama), kemudian lebih dikenal dengan sebutan Mama Gentur oleh masyarakat sekitar.

Nama Mama adalah gelar kehormatan suku sunda yang disematkan kepada ulama berpengetahuan tinggi yang menjadi gurunya para ulama di daerah Jawa Barat dan daerah tujuan diaspora para keturunan Sunda, seperti Banten, Jakarta, dan Lampung.

Kata Mama adalah merupakan istilah Bahasa Sunda yang berasal dari kata Rama artinya Bapak. Di kalangan masyarakat Jawa Barat, kata Mama ini biasanya disematkan kepada Ajengan atau Kyai yang ilmunya tinggi, sehingga sebutannya menjadi Mama Ajengan atau Mama Kyai. Sementara Gentur adalah sebuah Desa yang ada di Kecamatan Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat.

Syekh Ahmad Syathibi adalah anak ketiga dari empat bersaudara buah hati pasangan Mama Hajji Muhammad Sa'id & Ibu Hajjah Siti Khodijah. Kakak kandungnya antara lain Hajjah Ruqiyah (pengajar Pondok Pesantren Cipadang, Cianjur), Mama Hajji Ilyas (alias Mama Hajji Yahya, pengajar Pondok Pesantren Babakan Bandung, Sukaraja, Sukabumi), dan adik kandung yakni Mama Hajji Muhammad Qurthubi (alias Mama Gentur Kidul, pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur).[4]

Perjalanan

Kabar dari Syekh Ahmad Eumed (alias Mama Cimasuk, Garut) bin Syekh Muhammad Rusdi (alias Mama Haurkoneng, Garut), "Waktu saya mengunjungi Mama Gentur, dia mengisahkan, "Bahwa dulu Mama ketika sangat menginginkan punya ilmu yang besar tapi Mama merasa bingung memilih guru untuk ngaji kemana?"[5][6]

Akhirnya Mama berangkat ziarah kubur ke Habib Husain bin Abu Bakar Alaydrus alias Wali Luar Batang, Jakarta.[5][6] Di situ Mama membaca Shalawat Nariyah sebanyak 4444 kali dan tamat sebanyak 44 kali dalam waktu delapan bulan. Kemudian, setelah itu Mama bermimpi bertemu dengan Wali Luar Batang. Wali tersebut berkata, "Kalau kamu benar-benar mau punya ilmu yang besar, segeralah pergi ke daerah Garut."[5][6]

Menempuh pendidikan

Pesantren Keresek

Maka kemudian Mama mulai berangkat ke Pesantren Keresek. Kata Mama Keresek, "Kalau Ananda mau punya ilmu yang besar, besok mama antar ke paman mama yaitu Pangersa Mama Ajengan Muhammad Adzro'i di Bojong, sebab dalam waktu sekarang ini para sepuh yang punya ilmu yang besar di tiap kabupaten juga kebanyakan adalah yang nyantri ke paman mama tersebut, yaitu Syekh Muhammad Adzro'i, Bojong, Garut". Mama Gentur menginap semalam di Keresek, besoknya kemudian diantarkan ke Pesantren Bojong.[7][8]

Pesantren Bojong

Diceritakan waktu pertama masuk ke Pesantren, oleh guru di pesantren disumpah jikalau tidak mempunyai ilmu sihir. Kemudian dia melaksanakan sumpahnya tanda tidak memiliki ilmu sihir. Kemudian barulah dia diterima sebagai murid di Pesantren.[9] Makanan yang biasa dia makan selama di pesantren cukup dengan talas yang dicuilkan ke dalam sambal roay, tidak pernah makan yang enak dengan rupa-rupa makanan.

Ketika mendapati masalah kitab yang susah dipaham, dia langsung menghadiahi mualifnya dengan makanan dan aurod shalawat.[9][10] Hanya dalam waktu 40 hari mondok di Bojong dia sudah hafal kitab Yaqulu (Nazom Maqsud, dalam ilmu shorof), Kailany (ilmu shorof), Amrithy (ilmu nahwu), Alfiyah (ilmu nahwu dan shorof), Samarqondy (ilmu bayan), dan Jauhar Maknun (ilmu ma'ani, bayan dan badi).[8][11]

Keunggulan Pesantren Bojong - Garut adalah para santri yang belajar di pesantren tersebut jika sudah belajar selama dua tahun biasanya akan jadi Al-'Alim al-'Allamah.[11][12] Mama Gentur menetap di Pesantren Bojong hanya selama satu tahun hingga akhir bulan Sya'ban[11][13], karena disuruh gurunya, yaitu Syekh Muhammad Adzro'i untuk menemani Kiyai Muhammad Rusdi atau Kiyai Rusdi berguru ngaji di Pesantren Gudang - Tasikmalaya sekarang, yang sudah menetap selama empat tahun.

Kiyai Rusdi merupakan salah satu santri Bojong, di saat Mama Gentur mulai mondok di Pesantren Bojong tersebut Kiyai Rusdi sudah genap tiga tahun. Ketika Ajengan Muhammad Rusdi sudah genap dua tahun di Bojong juga oleh gurunya yaitu Syekh Muhammad Adzro'i sudah disuruh muqim sebab sudah Allamah, hanya saja ayahnya dan kakeknya belum mengizinkan.

Sebab menurut pendapat kakeknya yaitu Syekh Utsman berkata kepada Syekh Muhammad Adzro'i, Bojong, "Ajengan khawatir masih remaja, baru usia 17 tahun entar jadi Kiyai nunggul dan takut kasar bahasanya." Kemudian dijawab oleh Mama Bojong, "Tidak akan jadi Kiyai nunggul Mang Haji, saya yang bertanggungjawab, bahkan santrinya juga putra-putra saya dan santri-santri saya." Kemudian dijawab lagi oleh kakeknya, "Ajengan semoga berkenan untuk menambah lagi ilmunya kepada cucuku itu, agar cucuku itu ilmunya semakin bertambah matang, fahamnya semakin bertambah jenius."

Maka kemudian Mama Bojong bersedia untuk mengajar Kiyai Muhammad Rusdi lagi. Ketika Ajengan Muhammad Rusdi sudah genap empat tahun di Bojong sedangkan Mama Gentur sudah genap satu tahun. Dari situ Kiyai Rusdi disuruh ngaji ke Mama Syuja'i, Gudang, Tasikmalaya, ditemani oleh Mama Gentur.[14][15]

Pesantren Gudang

Menurut penuturan Mama Gentur, Mama Gudang jika sedang mengajar di hadapan Kiyai Rusdi dagu dan badan dia bergetar dikarenakan sungkan akan ilmunya Kiyai Rusdi. Bahkan, Mama Gudang berkata kepada Mama Gentur, "Katakan kepada Ki Rusdi segeralah bermukim. Bukankah Kang Adzro'i pun sudah menyuruhnya dan sudah ada dalam ridho guru?" Kemudian Mama Gentur menyampaikan amanat dari gurunya itu dengan sebisa-bisa bicara kepada Ajengan Muhammad Rusdi. Namun, tetap saja ayah dan kakeknya belum juga menyetujuinya.

Kemudian Kiyai Rusdi setelah mondok di Gudang selanjutnya pindah lagi ke Syekh Muhammad Shoheh, Bunikasih, Cianjur yang disebut Ba'dul Ikhwan oleh Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam kitab Tijan.[16][17] Syekh Muhammad Shoheh, Bunikasih, Cianjur dan Syekh Muhammad Adzro'i, Bojong, Garut adalah teman sepondok sewaktu ngaji di Syekh Ibrahim al-Baijuri.[18][19] Mama Gentur terus menetap di Gudang hingga sembilan tahun lamanya.[20][21]

Waktu mondok pesantren di Gudang, dia pernah ziarah ke makam kubur di Geger Manah. Sebelumnya dia puasa dulu selama empatpuluh hari baru berangkatlah ke Geger Manah dan langsung mendatangi juru kunci makam. Dia disambut di rumah kuncen sembari ditanya perihal maksud dan tujuannya, yaitu hendak ziarah tabaruk di makam keramat. Kemudian diantarlah dia menuju makam keramat tersebut. Kira-kira jam empat Subuh dia pulang dari makam dan balik lagi ke tempat kuncen, kemudian kuncen menjamunya dengan rupa-rupa makanan.

Selesai makan, dia bertanya kepada kuncen, "Mang, malem tadi ada hujan kesini gak?" Jawab kuncen, "Ah, gak ada. Memangnya ada apa Ajengan?" Kuncen agak heran. "Waktu saya di makam sedang ziarah tiba-tiba ada hujan yang besar sekali, petir menyambar-nyambar disertai angin yang sangat kencang. Saya melihat pohon kayu yang amat besar merunduk-runduk ke tanah seperti mau runtuh, tumbang." Kuncen bertanya, "Terus ada apa lagi?" Jawab Mama Gentur, "Ah rahasia, saya gak sanggup menceritakannya."

Di malam itu kata penduduk kampung ada suara ayam berkokok yang terdengar jelas oleh semuanya, sedangkan di kampung tersebut tidak ada yang punya ayam yang suaranya seperti itu. Semuanya kaget akan suara ayam tersebut, kemudian diselidiki dari mana sumbernya suara. Ternyata yakin bahwa suara ayam tersebut berasal dari atas pasir (bahasa indonesia: bukit), tempat makam yang diziarahi oleh Pangersa Mama Gentur.[22] Kata Mama Gentur, "Setelah 9 tahun di Gudang kemudian Mama berangkat ke Mekkah ngaji ke Syekh Hasbullah.[20][21]

Pesantren di Mekkah

Pertama ngaji di Syekh Hasbullah banyak yang menyepelekannya. Suatu hari, Syekh Hasbullah berkata kepada murid-muridnya, kira-kira begini artinya, "Besok hari Rabu kita akan mulai ngaji kitab Tuhfatul Muhtaj, tapi sebelumya kalian muthala'ah dulu kitabnya. Hasil muthala'ah tuliskan dalam buku masing-masing. Besok semua harus hadir dan bawalah hasil tulisan tersebut. Besoknya Syekh Hasbullah memeriksa buku murid-muridnya. Ketika melihat buku tulisan Mama, Syekh Hasbullah tertegun, kemudian buku Mama Gentur dipisahkan dan melanjutkan pemeriksaannya.

Setelah selesai, Syekh Hasbullah berkata, "Ngaji Tuhfah batal sebab gak pantas Syatibi ngaji kepada saya, bahkan seharusnya saya yang ngaji ke Syatibi. Masalah yang belum sampai saya muthala'ah, dalam buku Syatibi sudah ada. Saya gak sanggup mentaswirkan kitab dihadapan Syatibi. Tetapi, oleh sebab semuanya meminta untuk diteruskan, dan juga Mama memohon supaya diteruskan biarpun dibaca hanya lafadznya, maka barulah Syekh Hasbullah bersedia walaupun cuma lafadznya hingga tamat.[23][24]

Kata Mama Gentur, "Ilmu yang dipakai muthala'ah kitab tuhfah tersebut adalah sebagian ilmu yang diterima dari Syaikhuna Bojong." Inilah ciri Allamah-nya Syaikhuna Bojong, Garut.[23][24] Sewaktu di Mekkah, Mama Gentur suka shalat di depan baitullah, para askar sudah pada tahu dan memberi isyarat kepada jama'ah yang lain supaya ada tata hormat kepada dia sembari berkata, "Hadza 'Ulamaul Jawa".[25]

Pesantren di Mesir

Setelah sekian lama di Mekkah, kemudian dia berangkat ke Mesir dengan maksud mau melanjutkan thalab ilmunya. Namun, Ulama Mesir sama berkata, "Sudah tidak ada guru buat Ahmad Syathibi". Hanya ada satu ulama ahli qiro'at Qur'an yang berasal dari Indonesia juga yang bermuqim di Mekkah, yaitu dari Pulau Bawean. Selanjutnya mereka saling menggurui. Mama Gentur mengajar ilmu Mantiq, ulama Bawean mengajar ilmu Qiro'at.[26]

Sesudah Mama Gentur mukim di Mekkah selama tiga tahun, kata satu riwayat kemudian ada utusan dari Syekh Muhammad Shoheh, Bunikasih, Cianjur. Amanatnya, "Katakan kepada Syatibi segeralah pulang kemudian mukim di Cianjur, sebab di daerah Tatar Pasundan sudah tidak ada lagi yang kuat untuk jadi pemimpin dan tauladan dari pengamalan ilmu yang sebenarnya.[27]

Pesantren Bunikasih

Kemudian Mama Gentur pulang ke Cianjur melanjutkan mengaji ke Syeikh Shoheh Bunikasih, kemudian mukim di Gentur..

Mendirikan Pesantren

Sebelum muqim, dia membaca Shalawat Nariyyah terlebih dahulu sebanyak 4444 kali dengan maksud supaya mukimnya ditambah-tambah ilmu dan tambah-tambah manfaatnya.[18][19]

Cara Mama Gentur dalam menyebarkan ilmunya yaitu dia tidak pernah mengajarkan suatu ilmu kepada murid-muridnya kecuali telah ia amalkan terlebih dahulu. Seperti dia mengijazahkan shalawat untuk umum sesudah diamalkan terlebih dahulu selama 40 tahun. Dia pernah diminta mengaji kitab Tuhfah Muhtaj, sebelum belajar mangaji dia puasa dulu selama empatpuluh hari.[28]

Jika makan, dia cukup di mangkok dengan garam. Dia tidak pernah makan enak sebagaimana keadaan dia pada waktu nyantri di pesantren. Suatu ketika, dia khusus diundang makan-makan oleh "Om Muharam". Ia adalah seorang saudagar kaya raya di Cianjur. Segala makanan dan minuman disediakan. Namun, yang dimakan dia cuma sedikit nasi yang dicuilkan ke garam saja. Begitulah menu dia makan selamanya.[29] Cuma pernah sesekali makan agak beda, termasuk mewah menurut dia yaitu waktu makan dengan pepes burayak (ikan kecil) hasil ternak dia, sebab kasab dia yaitu ternak telur ikan hingga jadi burayak.

Malah, suatu ketika Mama Gentur berternak telur ikan di kolam. Ketika sudah jadi burayak, tidak biasanya waktu itu bibit telur jadi dan mulus semuanya. Dari situ Mama memanggil pekerjanya yang bernama Ki Yusuf. Kata dia, "Suf, coba kesini bawa cangkul!" Ki Yusuf menjawab, "Ada apa, Kang?" Kata Mama Gentur, "Kamu lobangi pinggir kolam ini, kemudian buanglah sebagian airnya!" Ki Yusuf heran, "Kalau begitu bukankah burayaknya pasti pada kabur, Kang?" Kata Mama Gentur, "Iya sengaja biar pada kabur ikan-ikannya takutnya ini istidraj karena sadar diri belum bisa ibadah". Setelah terbuang sebagian air dan ikan-ikannya, barulah Ki Yusuf disuruh menutup kembali lubang air tadi.[30]

Karya Tulis

Semasa hidupnya Mama Gentur mengarang rupa-rupa kitab kurang lebih sekitar 80 kitab, berbahasa Arab dan Sunda. Di antaranya adalah:

  1. Sirojul Munir (dalam ilmu fiqih)
  2. Tahdidul 'Ainain (dalam ilmu fiqih)
  3. Nadzom Sulamut Taufiq (dalam ilmu fiqih)
  4. Nadzom Muqadimah Samarqandiyah (dalam ilmu bayan)
  5. Fathiyah (dalam ilmu bayan)
  6. Nadzom Dahlaniyah (dalam ilmu bayan)
  7. Nadzom 'Addudiyah (dalam ilmu munadzoroh)
  8. Nadzom Ajurumiyah (dalam ilmu nahwu)
  9. Muntijatu Lathif (dalam ilmu shorof)
  10. Dan Lain-lainnya

Sebagian karangannya dalam ilmu bayan ada yang menyebar sampai Tanah Arab. Para Ulama Arab dan Mesir banyak yang membaca hasil karya dia dan memujinya seraya berkata, "Ternyata di Tanah Jawa ada juga ulama yang luas ilmunya".[1]

Murid-muridnya

Mama Gentur memiliki banyak murid, kurang lebih tiga ribu muridnya yang menjadi ulama besar,[1] antara lain:

Penghargaan

Penghargaan dari Belanda

Suatu hari, ketika Mama Gentur sedang ngajar para santrinya dan khalayak yang biasa ngaji rutinan, datanglah utusan dari pemerintah Kolonial Belanda. Dia diminta hadir dalam diskusi program perpolitikan Belanda. Mama genturpun menyempatkan diri dulu menghadiri undangan tersebut tanpa didampingi seorangpun. Tidak lama, Mamapun sudah hadir kembali ke madrasah dan melanjutkan kembali pengajarannya. Para santri yang sudah menunggu-nunggu ingin tahu tentang pembicaraan yang didiskusikan oleh kaum Belanda, tapi Mama Gentur tak membahasnya sedikitpun. Inilah ciri Mama Gentur tidak ikut-ikutan dalam soal politik, hingga dia mendapat penghargaan keamanan tanda bulan-bintang tiga dari Wilhelmina (pelafalan Sunda menjadi Wihalminak), yaitu Gubernur Hindia Belanda.[1]

Penghargaan dari Jepang

Di zaman pemerintahan Kolonial Jepang, Mama Gentur mendapat hadiah dari Tenno Heika (dilafalkan ejaan Sunda menjadi Kaisar Tenoheka) dikarenakan ideologinya yang murni hanya mengamalkan ajaran agama, tanpa ada maksud mencampuradukan politik dan agama.[1]

Rujukan

  • bahasa Arab: قائدة المحتاج ۑاريوسكن سافله نا رواية مما سفوه ڬنتور، سرڠ فرا مشايخ الكرام انو سنيسنا وقتوس ۑفره علم, translit. Qoidatul Muhtaj Nyariyosken Sapalihna Riwayat Mama Sepuh Gentur, Sareng Para Masyaikil Kirom Anu Sanesna Waktos Nyuprih Ilmu
  • bahasa Arab: الرسالة القنتوريه فى مناقب الشيخ العالم العلامة الكامل الورع، الحاج احمد الشاطبى القنتورى السنجورى الجاوى, translit. Ar-Risalatul Qonturiyah Fi Manaqibisy Syaikhil 'Alimil 'Allamatil Kamilil Waro'i, Al-Hajji Ahmad Syathibi Al-Qonturi As-Sanjuri Al-Jawi
  • bahasa Arab: تسهيل الهلالى فى مناقب مام احمد شاطبى, translit. Tashilul Hilali Fi Manaqibi Mama Ahmad Syathibi

Catatan

Referensi

  1. ^ a b c d e Ar-Risalatul Qonturiyyah Fi Manaqibi Asy-Syaikh Al-'Alim Al-'Allamah Al-Kamil Al-Waro', Al-Hajji Ahmad Syathbi, Al-Qonturi Asy-Syanjuri Al-Jawi halaman 02 sampai dengan halaman 03 Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Ar-Risalatul Qonturiyyah Fi Manaqibi Asy-Syaikh Al-'Alim Al-'Allamah Al-Kamil Al-Waro', Al-Hajji Ahmad Syathbi, Al-Qonturi Asy-Syanjuri Al-Jawi" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  2. ^ Paslan, Ade Anak. 4.xhtml "Biografi Mama Ahmad Syathibi Gentur Kaler - Cianjur (3)" Periksa nilai |archiveurl= (bantuan). Majlis Ta`lim Sayyidul Arwaah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 03:12, 01 Mei 2015. Diakses tanggal 18 September 2015. 
  3. ^ Ar-Risalatul Qonturiyyah Fi Manaqibi Asy-Syaikh Al-'Alim Al-'Allamah Al-Kamil Al-Waro', Al-Hajji Ahmad Syathbi, Al-Qonturi Asy-Syanjuri Al-Jawi halaman 01
  4. ^ Ar-Risalatul Qonturiyyah Fi Manaqibi Asy-Syaikh Al-'Alim Al-'Allamah Al-Kamil Al-Waro', Al-Hajji Ahmad Syathbi, Al-Qonturi Asy-Syanjuri Al-Jawi halaman 02 sampai dengan halaman 03
  5. ^ a b c Tashilul Hilali, p. 03
  6. ^ a b c Qoidatul Muhtaj, p. 08-9
  7. ^ Tashilul Hilali, p. 03-04
  8. ^ a b Qoidatul Muhtaj, p. 09-10
  9. ^ a b Ar-Risalatul Qonturiyah, p. 05-06
  10. ^ Paslan, Ade Anak. "Biografi Mama Ahmad Syathibi Gentur Kaler - Cianjur (1)". Majlis Ta`lim Sayyidul Arwaah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 03:12, 01 Mei 2015. Diakses tanggal 18 September 2015. 
  11. ^ a b c Tashilul Hilali, p. 04-05
  12. ^ Qoidatul Muhtaj, p. 12-13
  13. ^ Qoidatul Muhtaj, p. 10-11
  14. ^ Tashilul Hilali, p. 05-06
  15. ^ Qoidatul Muhtaj, p. 13-15
  16. ^ Tashilul Hilali0607, p. 06-07
  17. ^ Qoidatul Muhtaj, p. 15
  18. ^ a b Tashilul Hilali13, p. 13
  19. ^ a b Qoidatul Muhtaj, p. 24
  20. ^ a b Tashilul Hilali, p. 11
  21. ^ a b Qoidatul Muhtaj, p. 21
  22. ^ Ar-Risalatul Qonturiyah, p. 08-10
  23. ^ a b Tashilul Hilali, p. 11-12
  24. ^ a b Qoidatul Muhtaj, p. 21-23
  25. ^ Ar-Risalatul Qonturiyah, p. 20
  26. ^ Ar-Risalatul Qonturiyah, p. 19-20
  27. ^ Paslan, Ade Anak. "Biografi Mama Ahmad Syathibi Gentur Kaler - Cianjur (2)". Majlis Ta`lim Sayyidul Arwaah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 03:12, 01 Mei 2015. Diakses tanggal 18 September 2015. 
  28. ^ Ar-Risalatul Qonturiyah, p. 14-16
  29. ^ Ar-Risalatul Qonturiyah, p. 06-07
  30. ^ Ar-Risalatul Qonturiyah, p. 11-12

Ahmad Syathibi al-Qonturi